Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Sholawat serta salam buat junjungan mulia Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarga, para sahabat, dan pengikut yang istiqamah menuruti Baginda sampai ke hari kiamat.
Wahai Sahabatku yang senantiasa di rahmati oleh Allah Subhanahu wa ta'ala. Dizaman yang kian maju kini ini pergaulan di kelompok para dewasa sepertinya kian terlhat bebas dan terang terangan. Akibat dari pergaulan yang bebas tersebut, banyak kejadian-kejadian yang tidak dikehendaki oleh sebagianbesar masyarakat, seumpama hilangnya kehormatan perempuan sampai kehamilan di luar nikah.
Dari hal-hal yang tidak dikehendaki tersebut, maka acap kali para belakangan ini terpaksa dihadapkan pada opsi yang menyulikan, antara menjaga kehamilannya yang terjadi di luar nikah tersebut, atau menggugurkannya.
Pilihan yang kedua ini lah yang kini ini banyak dianggap selaku opsi yang paling tepat demi menjaga kehormatan dirinya yang tersisa dan menutup malu dirinya, meski pun menggugurkan kandungan sanggup saja akan berakibat membahayakan nyawanya.
Menggugurkan kandungan berarti seseorang memaksa untuk mengeluarkan janin di rahimnya. Menggugurkan kandungan mungkin ditangani menurut usul ibu yang mengandung janin tersebut atau sanggup juga disebabkan alasan-alasan medis tertentu.
Lalu, bagaimana aturan menggugurkan kandungan dalam Islam? Sebelum membahas terlalu jauh, mari kita mencar ilmu dahulu proses kemajuan insan dalam kandungan menurut Islam.
Islam merupakan agama yang cocok dan sarat dengan hikmah. Bahkan, jauh sebelum teknologi mutakhir seumpama sekarang, Islam sudah menguraikan tahapan-tahapan kehamilan dan penciptaan insan sejak di dalam rahim sang ibu.
Tahapan-tahapan ini nantinya akan menjadi dasar pembahasan kita mengenai aturan menggugurkan kandungan menurut Islam.
Di dalam Al Quran, Allah sudah menerangkan mengenai proses pembentukan insan sejak embrio sampai menjadi bayi.
Dalam surat al Mu’minun ayat 12 sampai 14 Allah berfirman
“Dan, sebenarnya Kami sudah bikin insan dari sebuah saripati (berasal) dari tanah. Kemudian, Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam kawasan yang kuat (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan segumpal darah. Lalu, segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang. Lalu, tulang belulang itu Kami kemasan daging. Kemudian, Kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik”.
“Dan, sebenarnya Kami sudah bikin insan dari sebuah saripati (berasal) dari tanah. Kemudian, Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam kawasan yang kuat (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan segumpal darah. Lalu, segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang. Lalu, tulang belulang itu Kami kemasan daging. Kemudian, Kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik”.
Dari Keterangan ayat tersebut diatas disebutkan bahwa kemajuan janin di dalam rahim sanggup terbagi menjadi 6 fase. Fase pertama yakni saripati air mani, yang kemudian berlanjut ke fase kedua yakni segumpal darah.
Di fase ketiga, segumpal darah itu akan berubah menjadi segumpal daging yang kemudian akan membungkus tulang di fase kelima.
Pada fase keenam, maka akan ada pergantian bentuk janin ke bentuk yang lain. Semua tahapan itu kini terbukti dengan ilmu medis yang dilengkapi dengan teknologi canggih. Bahkan para ilmuwan masa sekarang pun merasa kagum dengan keakuratan yang disebutkan dalam al Alquran mengenai tahapan penciptaan insan di dalam rahim, mengingat di masa turunnya al Alquran masih belum ada teknologi seumpama di saat ini.
Di fase ketiga, segumpal darah itu akan berubah menjadi segumpal daging yang kemudian akan membungkus tulang di fase kelima.
Pada fase keenam, maka akan ada pergantian bentuk janin ke bentuk yang lain. Semua tahapan itu kini terbukti dengan ilmu medis yang dilengkapi dengan teknologi canggih. Bahkan para ilmuwan masa sekarang pun merasa kagum dengan keakuratan yang disebutkan dalam al Alquran mengenai tahapan penciptaan insan di dalam rahim, mengingat di masa turunnya al Alquran masih belum ada teknologi seumpama di saat ini.
Selain dari ayat al Alquran di atas, juga terdapat hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan proses penciptaan manusia,
“Seseorang dari kau diposisikan penciptaannya di dalam perut ibunya selama 40 hari, kemudian menjadi ‘alaqah selama itu pula (40 hari), kemudiaan menjadi mudhghah selama itu pula (40 hari) kemudian Allah menyuruh seorang malaikat kemudian ditugaskan 4 kalimat (hal), dan dibilang kepadanya: Tulislah amal, rizki dan ajalnya, serta celaka atau bahagia(nya) kemudian ditiupkan ruh padanya” (HR. Bukhari dan Muslim).
“Seseorang dari kau diposisikan penciptaannya di dalam perut ibunya selama 40 hari, kemudian menjadi ‘alaqah selama itu pula (40 hari), kemudiaan menjadi mudhghah selama itu pula (40 hari) kemudian Allah menyuruh seorang malaikat kemudian ditugaskan 4 kalimat (hal), dan dibilang kepadanya: Tulislah amal, rizki dan ajalnya, serta celaka atau bahagia(nya) kemudian ditiupkan ruh padanya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari ayat al Alquran dan hadis di atas, kita sanggup mengenali bahwa ternyata di permulaan kandungan, janin yang masih berupa gumpalan darah masih belum memiliki ruh. Ruh insan gres ditiupkan sementara waktu setelah janin berada di dalam kandungan. Dari hal inilah kita akan mempelajari aturan menggugurkan kandungan, menurut banyak nasehat ulama disertai ayat al Alquran maupun hadis yang mendasarinya.
Pandangan Islam Tentang Menggugurkan Kandungan
Dalam dunia medis, perumpamaan pengguguran atau menggugurkan kandungan berarti mengeluarkan hasil konsepsi atau pembuahan, sebelum janin sanggup hidup di luar badan ibunya. Sementara itu, dalam Bahasa Arab pengguguran disebut dengan perumpamaan al Ijhadh. Kata al Ijhadh ini berasal dari kata ajhadha yajhidhu yang bermakna ‘wanita yang melahirkan anaknya secara paksa dalam kondisi belum tepat penciptaannya’. Dalam kitab al Misbah al Munir juga disebutkan bahwa pengguguran dalam fikih disebut isqath (menggugurkan), ilqaa (melempar), atau tharhu (membuang).
Jika kita merujuk pada proses penciptaan insan yang dibahas sebelumnya, kita sanggup mengenali bahwa ada masa dimana bayi di dalam kandungan masih belum menerima ruh. Dari sinilah kita akan membahas lebih jauh mengenai aturan menggugurkan kandungan, mengingat ada beberapa nasehat yang berlainan mengenai hal ini.
Menggugurkan Kandungan Sebelum Peniupan Ruh
Ada sebagian ulama yang mengijinkan menggugurkan kandungan sebelum terjadi peniupan ruh. Pendapat ini dianut oleh ulama-ulama yang bermadzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Adapun dalil yang menjadi dasar dari nasehat ini merupakan hadits yang memamerkan bahwa sebelum kandungan memasuki usia 4 bulan, maka ruh belum ditiupkan ke janin dan penciptaan masih belum tepat sehingga janin masih dianggap selaku benda mati.
Akan tetapi, tidak semua ulama beropini yang sama. Ada sebagian ulama yang menghukumi menggugurkan kandungan dengan aturan makruh, dan sebagian yang lain beropini hal ini haram dilakukan. Bagi ulama yang beropini menggugurkan kandungan selaku hal yang makruh, didasarkan pada nasehat bahwa waktu peniupan ruh tidak diketahui secara pasti.
Maka, dihentikan untuk seseorang menggugurkan janin kalau sudah mendekati waktu peniupan ruh, selaku bentuk kehati-hatian. Pendapat ini disertai oleh sebagian ulama madzhab Hanafi dan Imam Romli, salah satu ulama madzhab syafi’i (Hasyiyah Ibnu Abidin: 6/591, Nihayatul Muhtaj: 7/416).
Maka, dihentikan untuk seseorang menggugurkan janin kalau sudah mendekati waktu peniupan ruh, selaku bentuk kehati-hatian. Pendapat ini disertai oleh sebagian ulama madzhab Hanafi dan Imam Romli, salah satu ulama madzhab syafi’i (Hasyiyah Ibnu Abidin: 6/591, Nihayatul Muhtaj: 7/416).
Namun, ada sebagian ulama yang lain yang mengharamkan menggugurkan kandungan, walaupun usia kandungan belum memasuki waktu peniupan ruh. Dalil untuk nasehat mereka merupakan sperma yang sudah tertanam di dalam rahim sudah bercampur dengan ovum perempuan dan siap menerima kehidupan. Oleh lantaran itu, langkah-langkah yang menghancurkan hal ini tergolong dalam langkah-langkah kejahatan. Pendapat ketiga ini merupakan nasehat yang dianut oleh Imam Ghazali, Ahmad Dardir dan Ibnu Jauzi (Syareh Kabir: 2/267, Ihya Ulumuddin: 2/53, Inshof: 1/386).
Menggugurkan Kandungan Setelah Peniupan Ruh
Jika masih ada perbedaan nasehat mengenai aturan menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh, lain halnya dengan nasehat ulama mengenai aturan menggugurkan kandungan setelah peniupan ruh. Pada umumnya, para ulama menyetujui bahwa menggugurkan kandungan setelah ruh ditiup merupakan langkah-langkah yang haram.
Ketentuan tersebut didasari oleh hadits mengenai waktu peniupan ruh, yakni pada di saat kandungan memasuki usia 4 bulan. Setelah ruh ditiupkan pada bayi dalam kandungan, maka secara otomatis bayi tersebut sudah hidup menjadi seorang manusia. Maka, tentunya langkah-langkah untuk menggugurkannya sama dengan langkah-langkah pembunuhan yang haram untuk ditangani kalau tidak ada sebab-sebab darurat.
Namun, kalau ada sebab-sebab darurat yang mewajibkan pengguguran kandungan dilakukan, masih ada beberapa perbedaan nasehat di antara para ulama. Mayoritas ulama beropini bahwa langkah-langkah ini tetap haram untuk dilakukan, walaupun sudah diperkirakan bahwa bayi di dalam kandungan sanggup membahayakan nyawa ibunya. Pendapat ini didasarkan pada ayat al Quran, pada surat al Israa’ ayat 33, “Dan janganlah kau membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sebuah (alasan) yang benar”. Para ulama yang menganut nasehat tersebut mengemukakan bahwa kematian ibu masih diragukan, maka dihentikan membunuh janin yang sudah ditiup rohnya, cuma lantaran sesuatu yang mencurigai (Hasyiyah Ibnu Abidin: 1/602).
Sementara itu, ada ulama lain yang beropini bahwa menggugurkan kandungan hukumnya merupakan boleh walaupun sudah ditiupkan ruh kepadanya, kalau memang hal tersebut merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan nyawa ibunya. Alasannya merupakan menjaga kehidupan ibu lebih utama dibanding menjaga kehidupan janin, lantaran hidup ibu sudah ada lebih dahulu dan ada secara yakin, sementara kehidupan janin masih belum percaya dan keberadaannya terakhir (Mausu’ah Fiqhiyah: 2/57). Besarnya resiko mengenai prediksi keamanan ibu dan bayi sanggup didasarkan pada ilmu kedokteran, walaupun memang hal ini tidak mutlak kebenarannya.
Mengingat banyaknya langkah-langkah menggugurkan kandungan yang bermula dari kehamilan yang tidak diinginkan, disebabkan oleh pergaulan bebas di kelompok remaja, maka alangkah baiknya kita menjaga bawah umur kita mudah-mudahan terhindar dari pergaulan yang demikian. Semoga kita semua senantiasa dalam lindungan dan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala. Wallahu a’lam bishawab.
0 Komentar untuk "Hukum Menggugurka Kandungan Menurut Agama Islam"