Materi Ips Kelas 9 Indonesia Kurun Demokrasi Terpimpin

Kehidupan penduduk Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer belum pernah meraih kestabilan secara nasional. 

Persaingan partai-partai politik yang mengakibatkan perubahan kabinet terus terjadi. 

Selain itu, Dewan Konstituante hasil pemilu tahun 1955 ternyata tidak sukses melakukan tugasnya menyusun Undang-Undang Dasar gres bagi Republik Indonesia. 

Dewan Konstituante tidak sukses melakukan tugasnya disebabkan adanya perbedaan persepsi perihal dasar negara. 

Aggota Dewan Konstituante dari PNI, PKRI, Permai, Parkindo, dan partai lain sehaluan mengajukan Pancasila selaku dasar negara. 

Sedangkan Masyumi, NU, PSII dan partai lain yang sehaluan mengajukan dasar negara Islam. 

Dalam upaya mengakhiri perbedaan pertimbangan terkait dengan permasalahan dasar negara, kelompok Islam merekomendasikan terhadap penunjang Pancasila perihal kemungkinan dimasukannya nilai-ilai Islam ke dalam Pancasila, yakni dimasukkannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 selaku pembukaan undang-undang dasar yang baru. 

Namun usulan itu ditolak oleh penunjang Pancasila dan bikin keadaan negara kian tidak stabil. 

Dalam rangka menanggulangi permasalahan tersebut, timbul ide untuk melakukan model pemerintahan Demokrasi Terpimpin dan kembali terhadap Undang-Undang Dasar 1945. 

Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang dimengerti dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. 

Isinya yakni selaku berikut: 

  1. Menetapkan pembubaran Konstituante 
  2. Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan dekrit dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 
  3. Pembentukan MPRS, yang terdiri atas anggota dewan perwakilan rakyat ditambah dengan utusan-utusan dan golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).


Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin berencana untuk menata kembali kehidupan politik dan pemerintahan yang tidak stabil pada masa Demokrasi Parlementer dengan kembali melakukan Undang-Undang Dasar 1945. 

Namun pada perkembangannya, pada masa Demokrasi Terpimpin justru terjadi penyimpangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Bentuk-bentuk penyimpangan tersebut antara lain selaku berikut: 


1. Presiden menunjuk dan mengangkat anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). 

Seharusnya anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) diseleksi lewat pemilu bukan ditunjuk dan diangkat oleh Presiden 


2. Presiden membubarkan Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPT) hasil pemilu 1955 dan mengubahnya dengan Dewan Permusyawaratan Rakyat Gotong Royong 9DPR-GR). 

Seharusnya kedudukan presiden dan dewan perwakilan rakyat yakni setara. Presiden tidak sanggup membubarkan DPR, sebaliknya dewan perwakilan rakyat tidak sanggup memberhentikan Presiden. 


3. Pengangkatan presiden seumur hidup. 

Seharusnya Presiden diseleksi setiap lima tahun sekali melaui pemilu sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945, bukan diangkat seumur hidup.


Pada masa Demokrasi Terpimpin kekuatan politik terpusat antara tiga kekuatan politik, yaitu: Presiden Soekarno, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. 

Berbeda dengan masa sebelumnya, pada masa Demokrasi Terpimpin partai politik tidak memiliki kiprah besar dalam pertunjukan politik nasional. 

Partai politik yang pergerakannya dianggap bertolak belakang dengan pemerintah dibubarkan dengan paksa. 

Dengan demikian partai-partai politik itu tidak sanggup lagi menyuarakan ide dan kehendak kelompok-kelompok yang diwakilinya. 

Sampai tahun 1961, cuma ada 10 partai politik yang diakui oleh pemerintah, yakni PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII, IPKI, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti).


1. Oldefo dan Nefo 

Oldefo (The Old Established Forces) yakni istilah untuk negara-negara barat yang sudah mapan ekonominya. 

Khusunya negara-negara kapitalis. Nefo (The New Emerging Forces) yakni istilah untuk negara-negara baru, terutama negara-negara sosialis. 

Pada masa Demokrasi Terpimpin, Indonesia lebih banyak menjalin kolaborasi dengan negara-negara Nefo. 

Hal ini terlihat dengan dibentuknya Poros Jakarta-Peking (Indonesia dan China) dan Poros Jakarta-Phnom Penh-Pyongyang (Indonesia, Kamboja, Vietnam Utara, dan Korea Utara). 

Terbentuknya poros ini mengakibatkan ruang gerak diplomasi Indonesia di lembaga internasional menjadi sempit. Indonesia terkesan memihak terhadap blok sosial/komunis. 


2. Politik Mercusuar 

Politik Mercusuar ialah politik yang dijalankan oleh Presiden Soekarno dengan asumsi bahwa Indonesia ialah mercusuar yang menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. 

Untuk mewujudkannya, maka diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuler yang dibutuhkan sanggup menempatkan Indonesia pada kedudukan yang ternama di kelompok Nefo. 

Proyek-proyek tersebut memerlukan ongkos yang sungguh besar, diantaranya yakni penyelenggaraan Ganefo (Games of the New Emerging Forces), pembangungan kompleks olahraga Senayan, dan pembangunan Monumen Nasional (Monas). 


3. Indonesia dalam Gerakan Non-Blok 

Dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955, timbul ide untuk membentuk organisasi yang disebut dengan Gerakan Non-Blok. 

Gerakan Non-Blok (Non-Aligned Movement) diresmikan untuk merespon kompetisi antara Blok Barat yang dipiminan Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Sovyet pada permulaan tahun 1960-an. 

Persaingan kedua blok menyebabkan terjadinya Perang Dingin (Cold War) yang sanggup mengancam perdamaian dunia. 

Berdirinya Gerakan Non-Blok diprakarsai oleh PM India Jawaharlal Nehru, PM Ghana Kwame Nkrumah, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Indonesia Soekarno, dan Presiden Yugoslavia Jossep Broz Tito. 

Gerakan Non- Blok (GNB) secara resmi berdiri lewat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tahun 1961 di Beograd, Yugoslavia. 

Adapun tujuan pendirian Gerakan Non- Blok antara lain yakni selaku berikut. 

  • Menentang imperialisme dan kolonialisme 
  • Menyelesaikan sengketa secara damai. 
  • Mengusahakan pengembangan sosial ekonomi mudah-mudahan tidak dikuasai negara maju. 
  • Membantu perdamaian dunia dan berupaya meredakan ketegangan Amerika Serikat dengan Uni Soviet. 


Munculnya ide pembentukan Gerakan Non-Blok pada Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955 memamerkan besarnya efek Indonesia dalam gerakan tersebut. 

Indonesia pun terlibat aktif dalam antisipasi KTT I Gerakan Non-Blok di Beograd, Yugoslavia. 


4. Konfrontasi dengan Malaysia 

Konfrontasi dengan Malaysia berawal dari kehendak Federasi Malaysia untuk memadukan Brunei, Sabah dan Sarawak ke dalam Federasi Malaysia. 

Rencana pembentukan Federasi Malaysia mendapat saingan dari Filipina dan Indonesia. 

Filipina menentang lantaran menilai bahwa wilayah Sabah secara historis yakni milik Kesultanan Sulu. 

Indonesia menetang lantaran menurut Presiden Soekarno pembentukan Federasi Malaysia ialah sebagian dari planning Inggris untuk mengamankan kekuasaaanya di Asia Tenggara. 

Pembentukan Federasi Malaysia dianggap selaku proyek Neokolonialisme Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia.  

Pada tanggal 16 September 1963 pendirian Federasi Malaysia diproklamirkan. 

Menghadapi langkah-langkah ini, Indonesia mengambil kebijakan konfrontasi. Pada tanggal 17 September 1963 hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia putus. 

Selanjtunya pada tanggal 3 Mei 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora). 

Isi Dwikora yakni selaku berikut. 

a) Perhebat ketahanan revolusi Indonesia 

b) Bantu usaha revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Serawak, Sabah, dan Brunei untuk memerdekakan diri dan menggagalkan negara boneka Malaysia. 

Pada dikala Konfrontasi Indonesia-Malaysia sedang berlangsung, Malaysia dicalonkan menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. 

Pencalonan ini mendapat reaksi keras dari Presiden Soekarno. 

Pada tanggal 7 Januari 1965 Malaysia dinyatakan diterima selaku anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dengan impulsif Presiden Soekarno menyatakan Indonesia keluar dari PBB


5. Pembebasan Irian Barat 

Sesuai isi KMB, Irian Barat akan diserahkan oleh Belanda satu tahun setelah akreditasi kedaulatan RIS. 

Namun, pada kenyataanya lebih dari satu tahun akreditasi kedaulatan Indonesia, Belanda tidak kunjung menyerahkan Irian Barat pada Indonesia. 

Dalam solusi permasalahan Irian Barat, pemerintah Indonesia melakukan upaya diplomasi bilateral dengan Belanda. 

Upaya ini tidak membuahkan hasil. 

Selanjutnya sejak tahun 1954 setiap tahun duduk permasalahan Irian Barat berulang-ulang dimasukkan ke dalam program sidang Majelis Umum PBB, namun tidak pernah mendapatkan jawaban positif. 

Oleh lantaran aneka macam upaya diplomasi tidak berhasil, pemerintah Indonesia akhirnya menentukan untuk menempuh perilaku keras lewat konfrontasi total terhadap Belanda, antara lain selaku berikut:


a) Pada tahun 1956, Indonesia secara sepihak membatalkan hasil KMB dan secara otomatis membubarkan Uni Indonesia- Belanda. 

Melalui UU No. 13 Tahun 1956 tanggal 3 Mei 1956 Indonesia menyatakan bahwa Uni Indonesia–Belanda tidak ada. 


b) Pada 17 Agustus 1960, Indonesia secara sepihak menentukan hubungan diplomatik dengan Belanda yang disertai oleh pemecatan seluruh warga negara Belanda yang melakukan pekerjaan di Indonesia. 

Kemudian pemerintah Indonesia menghalau semua warga negara Belanda yang tinggal di Indonesia dan mengundang pulang duta besar serta para ekspatriat Indonesia yang ada di Belanda. 


c) Pembentukan Provinsi Irian Barat dengan ibu kota di Soasiu (Tidore) untuk menandingi pembentukan negara Papua oleh Belanda. 


Puncak konfrontasi Indonesia terhadap Belanda terjadi dikala Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta. 

Adapun isi Trikora yakni selaku berikut. 

1) Gagalkan pembentukan negara boneka Papua bikinan Belanda kolonial. 

2) Kibarkan sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia. 

3) Bersiaplah untuk mobilisasi lazim menjaga kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa Untuk melakukan Trikora, pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden/ Pangti ABRI/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan keputusan Nomor 1 Tahun 1962 untuk membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. 

Antara bulan Maret hingga bulan Agustus 1962 oleh Komando Mandala dijalankan serangkaian operasi-operasi pendaratan lewat maritim dan penerjunan dari udara di tempat Irian Barat. 

Operasi-operasi infiltrasi tersebut sukses mendaratkan pasukan-pasukan ABRI dan sukarelawan di aneka macam tempat di Irian Barat. 

Antara lain Operasi Banteng di Fak-Fak dan Kaimana, Operasi Srigala di sekeliling Sorong dan Teminabuan, Operasi Naga dengan sasaran Merauke, serta Operasi Jatayu di Sorong, Kaimana, dan Merauke. 

Pada awalnya Belanda mencemoohkan persiapan-persiapan Komando Mandala tersebut. 

Mereka mengira, bahwa pasukan Indonesia sulit dipercayai sanggup masuk ke wilayah Irian. 

Tetapi setelah ternyata bahwa operasi-operasi infiltrasi dari pihak kita berhasil, maka Belanda bersedia untuk duduk pada meja tawar menawar guna mengakhiri sengketa Irian Barat. 


Pada tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani suatu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda di New York, yang beken dengan Perjanjian New York. 

Adapun isi dari Perjanjian New York yakni selaku berikut. 

1) Kekuasaan Belanda atas Irian Barat rampung pada 1 Oktober 1962. 

2). Irian Barat akan berada di bawah perwalian PBB hingga 1 Mei 1963 lewat lembaga UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) terbuat PBB. 

3) Pada 1 Mei 1963, Irian Barat akan diserahkan terhadap pemerintah Indonesia. 

4) Pemerintah Indonesia wajib mengadakan penentuan pertimbangan rakyat (pepera) Irian Barat untuk menyeleksi akan berdiri sendiri atau tetap bergabung dengan Indonesia, pada tahun 1969 di bawah pengawasan PBB. 

Berdasarkan hasil Pepera tahun 1969, Dewan Musyawarah Pepera secara aklamasi menentukan bahwa Irian Barat tetap ingin bergabung dengan Indonesia. 

Hasil musyawarah pepera tersebut dilaporkan dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-24 oleh diplomat PBB, Ortiz Sanz yang bertugas di Irian Barat


Peristiwa Gerakan 30 September/PKI terjadi pada malam tanggal 30 September 1965. 

Dalam insiden tersebut, sekelompok militer di bawah pimpinan Letkol Untung melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat serta memasukkan mayit mereka ke dalam sumur bau tanah di tempat Lubang Buaya, Jakarta. 

Setelah melakukan pembunuhan itu, kelompok tersebut menguasai dua fasilitas komunikasi penting, yakni Radio Republik Indonesia (RRI) di jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. 

Pada tanggal 1 Oktober 1965 pemimpin Gerakan 30 September Letkol Untung menginformasikan lewat RRI Jakarta perihal gerakan yang sudah dilakukannya. 

Dalam pengumuman tersebut disebutkan bahwa Gerakan 30 September ialah gerakan internal Angkatan Darat untuk mengontrol anggota Dewan Jenderal yang mau melakukan perebutan kekuasaan terhadap pemerintah Presiden Soekarno. 

Selain itu, diumumkan juga perihal mengenai pembentukan Dewan Revolusi, pendemisioneran Kabinet Dwikora, dan pemberlakuan pangkat letnan kolonel selaku pangkat tertinggi dalam TNI. 

Pengumuman ini secepatnya menyebar pada 1 Oktober 1965 dan memunculkan kebinungungan di masyarakat. 

Mayor Jenderal Soeharto yang dikala itu menjabat selaku Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) menentukan secepatnya menggantikan pimpinan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat lantaran Jenderal Ahmad Yani senantiasa Pangad dikala itu belum dikenali keberadaanya. 

Setelah sukses menghimpun pasukan yang masih setia terhadap Pancasil, operasi penumpasan Gerakan 30 September pun secepatnya dilakukan.


Dewan Perancang Nasional (Depernas) dibikin menurut Undang-Undang No. 80 Tahun 1958 dan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1958. 

Tugas dewan ini yakni menyiapkan rangcangan undang-undang pembangunan nasional yang berencana serta menilai pelaksanaan pembangunan tersebut. 

Dewan ini diketuai oleh Mohammad Yamin dngan 50 orang anggota. Pelantikannya secara resmi dijalankan oleh Presiden Soekarno pada 15 Agustus 1959. 

Pada 26 Juli 1960, Depernas sukses menyusun suatu Rancangan Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana untuk tahun 1961-1969. 

Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui oleh MPRS dan ditetapkan dalam Tap MPRS No. 2 Tahun 1960. 

Pada 1963, Depernas diganti namanya menjadi Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas). Ketuanya dijabat secara pribadi oleh Presiden Soekarno. 

Tugas tubuh ini menyusun planning pembangunan jangka panjang dan jangka pendek secara nasional dan daerah, memantau dan menilai pelaksanaan pembangunan, dan menyiapkan serta menilai hasil kerja manfataris untuk MPRS


Pada tanggal 24 Agustus 1959, pemerintah mendevaluasi (menurunkan nilai mata uang) Rp 1.000 dan Rp 500 menjadi Rp 100 dan Rp 50. 

Pemerintah juga melakukan pembekuan terhadap semua tabungan di bank-bank yang melampaui jumlah Rp 25.000. 

Tujuan kebijakan devaluasi dan pembekuan tabungan ini yakni untuk meminimalisir banyaknya duit yang beredar demi kepentingan perbaikan keuangan dan perekonomian negara.


Pada tanggal 28 Maret 1963, Presiden Soekarno menyodorkan Deklarasi Ekonomi (Dekon) di Jakarta. 

Dekon ialah taktik dasar dalam ekonomi terpimpin. 

Tujuan utama Dekon yakni untuk bikin ekonomi nasional yang bersifat demokratis dan bebas dari imperialisme untuk meraih perkembangan ekonomi. 

Mengingat tidak gampang untuk mendapat dukungan luar negeri, maka pemerintah Indonesia menyatakan bahwa ekonomi Indonesia berpegang pada metode ekonomi Berdikari (Berdiri di atas kaki sendiri). 

Pada bulan September 1963 Presiden Soekarno menangguhkan pelaksanaan Dekon dengan argumentasi sedang berfokus pada konfrontasi dengan Malaysia. 

Upaya-upaya perbaikan ekonomi yang dijalankan pemerintah pada masa Demokrasi Terpimpin tidak menyodorkan hasil yang menggembirakan. 

Kondisi ekonomi memburuk lantaran budget belanja negara setiap tahunnya terus bertambah tanpa diimbangi dengan pendapatan negara yang memadai. 

Salah satu penyebab membengkaknya budget belanja tersebut yakni pembangunan proyek-proyek mercusuar, yang lebih bersifat politis. Akibatnya, ekonomi kian terpuruk. 

Harga barang-barang naik meraih 200-300% pada tahun 1965 sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa pecahan mata duit Rp 1000 (uang lama) diganti dengan Rp 1 (uang baru). 

Penggantian duit usang dengan duit gres disertai dengan pengumuman peningkatan harga materi bakar. 

Hal ini mengakibatkan mahasiswa dan penduduk turun ke jalan menyuarakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).


Dinamika politik yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin berupa kompetisi antarkekuatan politik yang ada kokoh terhadap kehidupan sosial penduduk Indonesia waktu itu. 

Ajaran Nasakom (Nasionalis-Agama- Komunis) yang diciptakan Presiden Soekarno sungguh menguntungkan PKI dan bikin kedudukannya di Indonesia kian kuat. 

Melalui Nasakom PKI berupaya mudah-mudahan seluruh faktor kehidupan penduduk tergolong bidang sosial, pendidikan dan seni budaya berada di bawah dominasi politiknya. 

Kampus dijadikan selaku fasilitas politik, mahasiswa yang tidak ikut dalam rapat lazim atau demonstrasi-demonstrasi dianggap selaku lawan. 

Media komunikasi massa menyerupai surat kabar yang menentang dominasi PKI dicabut Surat Ijin Terbitnya. 

Dengan demikian surat kabar dikuasai oleh surat kabar PKI menyerupai Harian Rakyat, Bintang Timur, dan Warta Bhakti.


Pada tahun 1950-an, murid-murid sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas jumlahnya banyak sekali dan sebagian besar menginginkan menjadi mahasiswa. 

Supaya mereka sanggup melanjutkan pendidikan, pemerintah menentukan kebijakan untuk mendirikan universitas gres di setiap ibu kota provinsi dan memperbesar jumlah fakultas di universitas- universitas yang sudah ada. 

Untuk menyanggupi kehendak umat Islam diresmikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Adapun untuk murid-murid yang beragama Kristen Protestan dan Katholik diresmikan Sekolah Tinggi Theologia dan seminari-seminari. 

Selanjutnya, diresmikan pula perguruan tinggi tinggi-perguruan tinggi Islam, Kristen dan Katholik, menyerupai Universitas Islam Indonesia, Universitas Kristen Indonesia serta Universitas Katholik Atmajaya. 

Tercatat pada tahun 1961 sudah berdiri sebanyak 181 buah perguruan tinggi tinggi. Pada tahun 1962 metode pendidikan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengan Atas mengalami perubahan. 

Dalam kurikulum Sekolah Menengah Pertama disertakan mata pelajaran Ilmu Administrasi dan Kesejahteraan Masyarakat, dan di Sekolah Menengan Atas dijalankan penjurusan mulai kelas II, jurusan dibagi menjadi kelas budaya, sosial, dan ilmu alam. 

Penjurusan ini berencana untuk merencanakan murid-murid Sekolah Menengan Atas untuk memasuki perguruan tinggi tinggi. 

Gerakan menabung bagi setiap murid dijalankan pada Bank Tabungan Pos, kantor pos, kantor pos pembantu. 

Para penabung dikontrol oleh Departemen P dan K bareng dengan Direksi Bank Tabungan Pos. 

Usaha ini berencana untuk mendidik anak berhemat dan menghimpun dana masyarakat. Gerakan koperasi sekolah juga digiatkan. 

Murid aktif dalam penyelenggaraan koperasi. Kepala sekolah dan guru selaku pengawas dan penasehat koperasi. 

Pemerintah masa Demokrasi Terpimpin juga membentuk kelas khusus untuk memuat lulusan sekolah rakyat yang tidak sanggup melanjutkan pendidikan. 

Mereka didik dalam kelas khusus ini mudah-mudahan mendapat keterampilan. Waktu pendidikan kelas khusus ini selama 2 tahun.

Pada tahun 1960-an timbul permasalahan di kelompok pendidik yakni usaha PKI untuk menguasai Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). 

Hal ini mengakibatkan perpecahan di kelompok guru dan PGRI.


Dalam bidang seni timbul aneka macam lembaga seni yang dibangun oleh partai politik, menyerupai Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) milik PKI, Lembaga Kesenian Nasional milik Partai Nasional Indonesia, 

Lembaga seni-Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) milik Nahdhatul Ulama, dan Himpunan Budayawan Islam milik Masyumi. 

Lembaga-lembaga tersebut saling berkompetisi dan memperebutkan dominasi sesuai dengan haluan politik partai yang menaunginya. 

Pada masa Demokrasi Terpimpin bidang kesenian tidak luput dari upaya dominasi PKI. 

Para seniman dan budayawan yang tak mau kebudayaan nasional didominasi oleh suatu ideologi politik tertentu memproklamasikan Manifesto Kebudayaan (Manikebu). 

Manifesto Kebudayaan mendapat kecaman keras dari Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang pro PKI. 

Presiden Soekarno ternyata menyetujui kecaman itu, jadinya tidak hingga satu tahun usianya, Manikebu dihentikan pemerintah.


Setiawan, Iwan, dkk. 2017. Ilmu Pengetahuan Sosial Untuk Kelas IX. Jakarta: Kemendikbud


Related : Materi Ips Kelas 9 Indonesia Kurun Demokrasi Terpimpin

0 Komentar untuk "Materi Ips Kelas 9 Indonesia Kurun Demokrasi Terpimpin"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close