Seorang kawan muda terkagum-kagum pada seorang lelaki yang sungguh kritis di media sosial. Bahkan setiap artikel lelaki yang menurutnya sudah layak disebut tokoh, senantiasa di-capture selaku materi mempublikasikan inspirasi.
Kebanggaan sang kawan muda berulang kali diutarakan terhadap seorang tukang pangkas rambut yang pernah kuliah tetapi berhenti bersebab kekurangan modal di tengah jalan.
Hingga sebuah hari si kawan muda itu penasaran, mengapa setiap kali beliau bercerita wacana sang "tokoh muda", si tukang pangkas senantiasa tidak antusias. Paling cuma menjawab dengan senyum tipis.
"Abang ini aneh. Padahal Abang itu sungguh keren. Mungkin saya salah alamat, bercerita wacana sosok revolusioner pada lelaki drop out dari akademi tinggi. Tak hingga asumsi Abang ni wacana usaha Abang tu. Hanya kami yang sanggup memahaminya."
Si tukang pangkas masih saja tidak menimpali. Sembari menyundut rokok di teras ruko kecilnya, beliau menyeruput kopi sachet Ule Kareng.
Teman muda kesal. "Kita memang sulit menampilkan apresiasi terhadap orang satu kampung. Karena bagi sebagian kita, mengakui kecanggihan orang lain ialah bentuk legalisasi bahwa diri lebih rendah. Padahal tidak demikian," kata kawan muda menggunakan kalimat bijak bestari.
Si tukang pangkas lagi-lagi tersenyum. Kemudian mulai bicara.
"Dik, apabila sekadar bicara, percayalah di dunia ini anjing yakni makhluk paling idealis. Lihat saja, siapapun yang tidak digemari oleh si anjing, niscaya akan digong-gongnya."
"Maksud Abang?"
"Bila kau kenal baik dengan dia, kirim salam dariku. Bilang saja dari kawan yang sekarang menjadi tukang pangkas di Kota M. Dia niscaya akan tahu."
"Dia menipu, Abang?"
"Maybe, menyerupai itulah."
"Tapi kan, semua insan berubah. Mungkin di masa kemudian beliau butuh uang, sehingga mesti menipu. Sekarang beliau kan sudah berbeda. menjadi sosok penting. Masak, kadar integritas seseorang diukur dari masa lalunya. No body is perfect, Brother," timpal kawan muda.
"Hehehe, demikianlah apabila sudah jatuh cinta, kita tidak sanggup menerima terlebih orang yang kita cintai disebut kurang baik. Cinta memang membutakan."
"Tapi integritas seseorang juga tidak sanggup ditarik kesimpulan dari satu dan dua kali beliau berbuat tidak baik. Manusia sanggup berganti seiring perjalanan waktu," jawab si kawan muda.
"Aku yakin bahwa insan niscaya berubah. Tapi kau jangan lupa, apabila ada juga insan yang tidak akan pernah berubah. Culas, picik dan curang hingga mati. Bagi mereka yang demikian, untuk menutupi semua susila buruknya, maka beliau mesti berteriak paling lantang wacana kejujuran. Dia mesti berteriak terbesar apabila orang yang beliau membenci yakni individu yang tidak bersih. Tapi saya punya satu alat uji yang sanggup kau gunakan."
"Apa alat ujinya," tanya si kawan muda.
"Bekerjasamalah dengan dia. Punyalah relasi keuangan. Kalau dalam pekerjaan, minimal beliau mesti lebih tinggi posisinya dari kamu. Bila beliau tidak menzalimimu dan bertannggung jawab pada tugasnya, maka beliau sudah berubah. Hal paling kecil, utangkanlah duit yang agak besar terhadap dia. Bila beliau amanah, maka beliau sudah berubah. Pantas dipercaya. Tapi apabila belum maka beliau masih sama menyerupai dulu. Tukang tipu yang berani menggunakan sejuta kata idealisme untuk menutup susila buruknya.
Bagiku, selama beliau belum mengeluarkan duit utangnya padaku, yang diminta kuutangkan beberapa kali, dan kuberikan hingga beberapa kali, maka beliau belum layak kupercaya. Tolok ukur insan bukan pada ucapan, tetapi pada tindakan."
"Mungkin beliau lupa. Kewajiban pemberi utang untuk mengingatkan," timpal kawan muda.
"Khusus untuk orang yang kau kagumi itu, bahkan saya sudah tidak lagi berani menagihnya. Karena beliau senantiasa berdalih dan mengulur waktu. Sering pula saya menyerupai orang yang membutuhkannya.
Pesanku padamu, kagumilah seseorang pada kadar yang normal. Jangan cuma lantaran kekagumanmu pada si A kau membenci si B. Karena kau takjub pada si C kau justru memusuhi si D. Aku sepakat no body is perfect. Tapi kita juga mesti adil, bahwa mata kita, pendengaran kita juga memiliki kekurangan dalam menyaksikan dan mendengar. Jangan lantaran kau menggemari seseorang, kau sanjung setinggi langit. Jangan pula lantaran kau tidak menggemari seseorang, kau hina hingga ke kakek dan nenek moyangnya. Orang yang bertindak berlebihan sungguh dicintai oleh setan, tetapi dibenci oleh malaikat."
"Apa alat ujinya," tanya si kawan muda.
"Bekerjasamalah dengan dia. Punyalah relasi keuangan. Kalau dalam pekerjaan, minimal beliau mesti lebih tinggi posisinya dari kamu. Bila beliau tidak menzalimimu dan bertannggung jawab pada tugasnya, maka beliau sudah berubah. Hal paling kecil, utangkanlah duit yang agak besar terhadap dia. Bila beliau amanah, maka beliau sudah berubah. Pantas dipercaya. Tapi apabila belum maka beliau masih sama menyerupai dulu. Tukang tipu yang berani menggunakan sejuta kata idealisme untuk menutup susila buruknya.
Bagiku, selama beliau belum mengeluarkan duit utangnya padaku, yang diminta kuutangkan beberapa kali, dan kuberikan hingga beberapa kali, maka beliau belum layak kupercaya. Tolok ukur insan bukan pada ucapan, tetapi pada tindakan."
"Mungkin beliau lupa. Kewajiban pemberi utang untuk mengingatkan," timpal kawan muda.
"Khusus untuk orang yang kau kagumi itu, bahkan saya sudah tidak lagi berani menagihnya. Karena beliau senantiasa berdalih dan mengulur waktu. Sering pula saya menyerupai orang yang membutuhkannya.
Pesanku padamu, kagumilah seseorang pada kadar yang normal. Jangan cuma lantaran kekagumanmu pada si A kau membenci si B. Karena kau takjub pada si C kau justru memusuhi si D. Aku sepakat no body is perfect. Tapi kita juga mesti adil, bahwa mata kita, pendengaran kita juga memiliki kekurangan dalam menyaksikan dan mendengar. Jangan lantaran kau menggemari seseorang, kau sanjung setinggi langit. Jangan pula lantaran kau tidak menggemari seseorang, kau hina hingga ke kakek dan nenek moyangnya. Orang yang bertindak berlebihan sungguh dicintai oleh setan, tetapi dibenci oleh malaikat."
Penulis: Muhajir Juli
0 Komentar untuk "Tak Percaya"