Untuk mengakhiri semua soal itu, bahkan untuk soal-soal yang ‘prioritas’ saja, siapapun pada kesudahannya terbentur pada kekurangan waktu.
Padahal, waktu merupakan sumber daya yang terbatas dan sama sekali tidak tergantikan. Bila 10 menit telah berlalu, kita tidak dapat mendapatkan penggantinya. Lantaran itu, kita mengenal kata ‘lembur’ yang bergotong-royong memiliki makna mengambil jatah waktu istirahat untuk terus bekerja.
Adakah cara pandang lain untuk memecahkan duduk permasalahan kekurangan waktu? Tony Schwartz, pendiri Energy Project di New York City, dan Catherine McCarthy, menampilkan pendekatan lain biar kinerja kita tetap cantik meskipun banyak duduk permasalahan mesti diselesaikan.
Kuncinya: kelola energimu sebaik-baiknya, bukan waktumu. Waktu berada di luar kontrol kita.
Schwartz dan McCarthy lebih menyarankan kita biar cerdik mengurus energi, sebab energi sanggup diperbarui, sedangkan waktu tidak. Energi kita memiliki empat dimensi: fisik, emosi, pikiran, dan spirit. Tubuh merupakan sumber energi fisik.
Kebugaran fisik berkontribusi kepada kinerja yang bagus. Makanan bergizi, tidur yang cukup, olahraga yang mencukupi sungguh memiliki arti untuk menciptakan energi fisik yang berkualitas.
Emosi berhubungan dengan mutu energi. Tatkala orang bisa mengendalikan emosi dengan lebih baik, mereka sanggup memperbaiki mutu energi mereka, betapapun besar tekanan eksternal yang mereka hadapi.
Pandangan ini ‘nyambung’ dengan perspektif Daniel Goleman wacana kecerdasan emosional orang yang kecerdasan emosionalnya tinggi lazimnya bisa menanggulangi tekanan-tekanan dan memiliki kesempatan lebih besar untuk berhasil.
Sementara itu, pikiran terkait dengan bagaimana memusatkan energi. Banyak orang berasumsi mengakhiri sejumlah pekerjaan secara serentak (multitasking) merupakan cara untuk menanggulangi kekurangan waktu.
Sayangnya, mereka kurang menyadari bahwa yang terjadi justru sebaliknya. Multitasking mengonsumsi waktu lebih banyak sebab penggunaan energi secara bercabang pada dikala yang bersamaan.
Nah, yang keempat, yang mungkin sering kita lupakan merupakan spirit selaku dimensi energi yang terkait dengan makna dan tujuan. Namun, di momentum letih, lazimnya kita berpikir wacana ‘apa makna dan tujuan kita bekerja’ dan di dikala seumpama itu tiba-tiba kita merasa mendapatkan kembali energi positif, bisa konsentrasi dengan lebih baik.
Kemampuan kita dalam mengurus energi kemanusiaan ini tubuh, emosi, pikiran, dan spirit akan membuahkan hasil kerja yang lebih ahli daripada yang didapat dari kerepotan mengurus waktu.
Lagi pula, masing-masing dimensi energi ini sanggup dilatih, dikembangkan, dan diperbaharui secara terstruktur melalui aktivitas-aktivitas tertentu
0 Komentar untuk "Mengurus Empat Dimensi Energi"