Beberapa kali, Departemen Penerangan, Departemen Kesehatan--melalui forum di bawahnya-- menggelar layar tancap di kampung saya, Teupin Mane, Juli, Bireuen-- dahulu Kecamatan Jeumpa, Aceh Utara. Seingat saya, layar tancap tersebut pernah digelar di jalan usang di lorong wilayah aku tinggal. Juga di lapangan voli di pinggir sungai.
Sekitar pukul 17.00 WIB, panitia pelaksana berkeliling kampung menggunakan Chevrolet pick up untuk memberitakan penyelenggaraan layar tancap. Mereka dengan menggunakan loudspeaker yang sering kami sebut toa, mengabarkan terhadap penduduk di sepanjang jalan Gayo, agar beramai-ramai berkunjung ke wilayah digelarnya layar tancap.
Saya tidak ingat dengan tepat, tahun-tahun tersebut. Bila tidak salah menghitung, layar tancap yang digelar gratis oleh pemerintah, lebih dari tiga kali. Setiap tahun sekali.
Setelah kumandang azan salat Isya selesai, panitia mulai menggugah proyektor yang ditembakkan ke layar putih besar. Kerumunan warga dari aneka macam gampong sudah dimulai setelah habis Magrib. Beberapa warga tempatan dan pedagang keliling mempergunakan momen tersebut untuk berdagang kacang rebus, teh manis, jagung rebus, tebu dan makanan ringan yang lain yang mudah didapatkan sehari-hari. Ibu aku pernah mempergunakan momen tersebut. Menjual tebu manis yang diiris-iris dan ditusuk dengan lidi kelapa.
Penyelenggaraan layar tancap oleh departemen ialah bab dari kegiatan sosialisasi tertentu. Baik sosialisasi ideologi bangsa, sosialisasi kesehatan dan sebagainya. Saya masih ingat ihwal sosialiasi kesehatan pentingnya mempertahankan kebersihan diri dan lingkungan. Di sana, lewat film layanan masyarakat, panitia memutar film berdurasi setengah jam ihwal seorang bocah laki-laki SD yang malas mandi pagi--Kebiasaan aku saat masih kecil--, serta tidak acuh pada kebersihan badan dan lingkungan. Bocah itu jadinya jatuh sakit. Ia gres menyadari pentingnya mempertahankan kebersihan setelah mesti dirawat di sentra kesehatan masyarakat.
Film sosialisasi tersebut, bukanlah tujuan warga tiba ke sana. Warga ingin menonton film "serius" lainnya. Setelah film sosialisasi selesai diputar, panitia pun memutar sinema Indonesia. Malam itu yang diputar yakni Saur Sepuh. Arya kamandanu, Arya Dwipangga, Nariratih. Itulah tokoh yang masih aku ingat. Saur Sepuh tidak ajaib di indera pendengaran kami. Radio swasta di Bireuen ikut memberitakan sandiwaranya setiap siang, secara serial.
Kehebatan film pasti pada visual cum audio. Kami sanggup menyaksikan dengan mata bagaimana pendekar-pendekar di kisah itu saling perdagangan serangan.
Ada satu adegan yang diblurkan oleh panitia, saat Nariratih terpengaruhi rayuan Arya Dwipangga--abangnya Kamandanu-- sehingga mereka memadu cinta di suatu candi. Kamandanu yang tiba kemudian, menyaksikan perselingkuhan tersebut. Ia kecewa dan menegaskan pergi menemui guru silatnya di suatu goa. Jalan kisah selanjutnya, Anda pasti sudah tahu.
Walau sudah diblur, kami--para bocah yang masih sungguh-sungguh bau kencur dan duduk di barisan paling depan, akan secara otomatis merasa aib dan menunduk. Entah mengapa kami menunduk? Padahal tidak ada yang memperhatikan kami.
Para cowok bersuit-suit. Dara-dara akan terlihat canggung di bawah temaramnya malam. Desahan Nariratih setelah kesengsem syair-syair Dwipangga, menghasilkan situasi menjadi lain.
Tapi itu tidak berjalan lama. Itu satu-satunya "materi dewasa" yang tidak seutuhnya erotis di film itu. Selebihnya yakni kisah Kamandanu yang kecewa dan bermetamorfosis satria yang kelak mewarisi Pedang Nagapuspa yang dibawa oleh imigran dari Tiongkok.
*
Hiburan ialah sesuatu yang langka, kala itu. Maka tidak heran, di setiap isu terkini panen, ragam orang tiba ke kampung kami, dengan aneka hiburan. Mulai dari meukat ubat yang diberi komplemen sulap kecil-kecilan--kami menyebutnya akrobat, sampai even layar tancap selama beberapa malam. Film yang diputar umumnya sinema silat Indonesia. Baik yang dibintangi oleh Berry Prima, maupun pemain drama laga lainnya.
Sesekali juga digelar sirkus yang oleh orang kampung kami menyebutkannya syarikoh. Untuk menonton sirkus dan layar tancap swasta, mesti berbelanja karcis. Seringkali dengan karcis dua lembar yang dibeli oleh orang dewasa--entah siapa itu, memamerkan peluang bagi lima bocah di belakang mereka untuk sanggup masuk. Dengan bahagia hati mereka akan menyampaikan bahwa bocah-bocah di belakang yakni adik atau kemenakan mereka.
Ini jalur yang sering aku gunakan. Juga oleh teman-teman lainnya. Penjaga karcis pasti paham kalau kami bukan adik atau kemenakan pembeli tiket. Itulah kebaikan hati. Membiarkan yang layak dan tak memamerkan peluang terhadap yang tidak pantas.
Semakin ke sini, layar tancap kian memudar. Hiburan isu terkini panen mulai diisi oleh pementasan keyboard dengan biduan lokal, baik biduan yang sudah menelurkan album, maupun biduan amatir yang disebut artis keyboard.
Lagu-lagu yang dinyanyikan oleh artis keyboard yakni lagu yang kerap diputar di TVRI. Salah satu artis setempat yang pernah manggung di lapangan sepakbola di wilayah kami yakni A. Bakar Ar. Armawati. Ar. Mereka menyanyikan lagu-lagu setempat yang liriknya berbahasa Aceh namun iramanya dijiplak dari lagu dangdut Jakarta dan India.
*
Saya berkesempatan menonton di bioskop saat sudah beranjak remaja tanggung. Pertama kali menonton diajak oleh sepupu. Pernah juga dibawa oleh abang. Kami menonton film Barry Prima.
Ketika eskalasi pertentangan kian meninggi, satu persatu bioskop di Bireuen, tutup. Bahkan ada yang dibakar.
Penulis: Muhajir Juli
0 Komentar untuk "Sensasi Layar Tancap, Hiburan Jadul Yang Laku Elok"