Adanya sekolah unggul membuktikan bahwa pemerintah belum bisa mengerjakan sila kelima Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kalau sila itu dijunjung tinggi, maka seluruh sekolah merupakan forum pendidikan unggul.
Ketidakadilan melahirkan kelas sosial. Kelompok miskin dianggap beban pembangunan dan layak menerima pelayanan kelas III. Murah, minim mutu serta minim perlindungan. Termasuk dalam hal pendidikan formal.
Anak-anak kampung merupakan bawah umur bodoh? Saya kerap mendengarnya. Benar, mereka tertinggal dalam banyak hal. Tapi apakah mereka bodoh? Tidak ada insan yang bodoh. Hanya saja, di sekolah yang minim fasilitas, dengan SDM guru apa adanya, bawah umur cuma dinilai berilmu jikalau bisa menguasai matematika, bahasa, IPA dan IPS. Selebihnya, akan dianggap bodoh. Anak-anak yang minim gizi, capek sebab setelah bangkit pagi masih mesti melakukan pekerjaan sebelum berangkat ke sekolah, dengan bacaan yang terbatas, dan setelah pulang sekolah masih mesti melakukan pekerjaan hingga sore dan malam mesti mengaji, pasti daya serapnya tidak sepadan dengan bawah umur yang berak pun bisa sembari bermain gadget.
Orang miskin tidak boleh protes. Tabu untuk menyodorkan aspirasi. Mereka mesti rela ditipu, mesti terima diperas dan mesti patuh pada aturan. Bila melawan, akan dihina: "Udah miskin, masih saja sok!
Bila berperkara hukum, orang miskin kerap kalah. Bila tidak ada potensi untuk dikalahkan, akan dipaksa berdamai.
Maka jangan heran banyak orang miskin tak masuk data selaku peserta PKH, tak menerima jatah beasiswa. Karena orang miskin, yang dihimpun cuma angka saja. Selebihnya, segenap pemberian negara dimanipulasi menjadi jatah orang berada. Maka jangan heran jikalau ramai-ramai mereka mundur dari PKH setelah sanya stiker dhuafa. Saya percaya lebih banyak didominasi dari mereka, sejak permulaan memang tak layak menerima PKH.
Penulis: Muhajir Juli
0 Komentar untuk "Sekolah Unggulan Dan Orang Miskin"