Ajaran Islam tidak cuma mengendalikan masalah-masalah ibadah terhadap Allah Swt..
Islam juga mengendalikan hubungan insan dengan sesamanya, yang didalamnya tergolong duduk kendala kewarisan.
Nabi Muhammad saw.. menjinjing aturan waris Islam untuk merubah aturan waris jahiliyah yang sungguh dipengaruhi oleh unsur-unsur kesukuan yang menurut Islam tidak adil.
Dalam aturan waris Islam, setiap pribadi, apakah ia pria atau perempuan, berhak mempunyai harta benda dari harta peninggalan.
Mawaris merupakan serangkaian kejadian tentang pengalihan pemilikan harta benda dari seorang yang meninggal dunia terhadap seseorang yang masih hidup.
Dengan demikian, untuk terwujudnya kewarisan mesti ada tiga unsur, yaitu:
1) orang mati, yang disebut pewaris atau yang mewariskan,
2) harta milik orang yang mati atau orang yang mati meninggalkan harta waris, dan
3) satu atau beberapa orang hidup selaku keluarga dari orang yang mati, yang disebut selaku jago waris.
Ilmu mawaris merupakan ilmu yang diberikan status aturan oleh Allah Swt. selaku ilmu yang sungguh penting, lantaran ia merupakan ketentuan Allah Swt. dalam firman-Nya yang sudah terinci sedemikian rupa ihwal aturan mawaris, utamanya tentang ketentuan pembagian harta warisan (al-fµrud al-muqaddarah).
Warisan dalam bahasa Arab disebut al-mīrās merupakan bentuk masdar (infinitif ) dari kata warisa-yarisu-irsan- mīrāsan yang memiliki arti berpindahnya sesuatu dari seseorang terhadap orang lain, atau dari suatu kaum terhadap kaum lain.
Warisan menurut pemahaman di atas tidak cuma terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan harta benda saja tetapi tergolong juga yang nonharta benda.
Ayat al-Qur'an yang menyatakan demikian diantaranya terdapat dalam Q.S. an-Naml/27:16: “Dan Sulaiman sudah mewarisi Daud.”Demikian juga dalam hadis Nabi disebutkan yang artinya:
“Sesungguhnya ulama itu merupakan pewaris para Nabi.”
Adapun menurut istilah, warisan merupakan berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal terhadap jago warisnya yang masih hidup, baik yang ditiggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.
Definisi lain menyebutkan bahwa warisan merupakan perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia terhadap satu atau beberapa orang beserta akibat-akibat aturan dari maut seseorang terhadap harta kekayaan.
Ilmu mawaris biasa disebut dengan ilmu faraidh, yakni ilmu yang membicarakan segala sesuatu yang bermitra dengan harta warisan, yang meliputi masalah-masalah orang yang berhak mendapatkan warisan, kepingan masing-masing dan cara menjalankan pembagiannya, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan ketiga duduk kendala tersebut.
Islam juga mengendalikan hubungan insan dengan sesamanya, yang didalamnya tergolong duduk kendala kewarisan.
Nabi Muhammad saw.. menjinjing aturan waris Islam untuk merubah aturan waris jahiliyah yang sungguh dipengaruhi oleh unsur-unsur kesukuan yang menurut Islam tidak adil.
Dalam aturan waris Islam, setiap pribadi, apakah ia pria atau perempuan, berhak mempunyai harta benda dari harta peninggalan.
Mawaris merupakan serangkaian kejadian tentang pengalihan pemilikan harta benda dari seorang yang meninggal dunia terhadap seseorang yang masih hidup.
Dengan demikian, untuk terwujudnya kewarisan mesti ada tiga unsur, yaitu:
1) orang mati, yang disebut pewaris atau yang mewariskan,
2) harta milik orang yang mati atau orang yang mati meninggalkan harta waris, dan
3) satu atau beberapa orang hidup selaku keluarga dari orang yang mati, yang disebut selaku jago waris.
Ilmu mawaris merupakan ilmu yang diberikan status aturan oleh Allah Swt. selaku ilmu yang sungguh penting, lantaran ia merupakan ketentuan Allah Swt. dalam firman-Nya yang sudah terinci sedemikian rupa ihwal aturan mawaris, utamanya tentang ketentuan pembagian harta warisan (al-fµrud al-muqaddarah).
Warisan dalam bahasa Arab disebut al-mīrās merupakan bentuk masdar (infinitif ) dari kata warisa-yarisu-irsan- mīrāsan yang memiliki arti berpindahnya sesuatu dari seseorang terhadap orang lain, atau dari suatu kaum terhadap kaum lain.
Warisan menurut pemahaman di atas tidak cuma terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan harta benda saja tetapi tergolong juga yang nonharta benda.
Ayat al-Qur'an yang menyatakan demikian diantaranya terdapat dalam Q.S. an-Naml/27:16: “Dan Sulaiman sudah mewarisi Daud.”Demikian juga dalam hadis Nabi disebutkan yang artinya:
“Sesungguhnya ulama itu merupakan pewaris para Nabi.”
Adapun menurut istilah, warisan merupakan berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal terhadap jago warisnya yang masih hidup, baik yang ditiggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.
Definisi lain menyebutkan bahwa warisan merupakan perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia terhadap satu atau beberapa orang beserta akibat-akibat aturan dari maut seseorang terhadap harta kekayaan.
Ilmu mawaris biasa disebut dengan ilmu faraidh, yakni ilmu yang membicarakan segala sesuatu yang bermitra dengan harta warisan, yang meliputi masalah-masalah orang yang berhak mendapatkan warisan, kepingan masing-masing dan cara menjalankan pembagiannya, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan ketiga duduk kendala tersebut.
Sumber aturan ilmu mawaris yang paling utama merupakan al-Qur'an, kemudian As-Sunnah/hadis dan sesudah itu ijma’ para ulama serta sebagian kecil hasil ijtihad para mujtahid.
1. AlQur'an
Dalam Islam saling mewarisi diantara kaum muslimin hukumnya merupakan wajib menurut al-Qur'an dan Hadis Rasulullah.
Banyak ayat al-Qur'an yang mengisyaratkan ihwal ketentuan pembagian harta warisan ini. Di
antaranya firman Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa'/4:7:
Artinya:
“Bagi orang pria ada hak kepingan dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang perempuan ada hak kepingan (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang sudah ditetapkan”
Ayat-ayat lain ihwal mawaris terdapat dalam aneka macam surat, menyerupai dalam Q.S. an-Nisa'/4:7 hingga dengan 12 dan ayat 176, Q.S an-Nahl/16:75 dan Q.S al-Ahzab/33: ayat 4, sedangkan permasalahan yang timbul banyak dijelaskan oleh As-Sunnah, dan sebagian selaku hasil ijma’ dan ijtihad.
2. As-Sunnah
a. Hadis dari Ibnu Ma'ud berikut:
Dari Ibnu Mas’ud, katanya: Bersabda Rasulullah saw..:
“Pelajarilah al-Qur'an dan ajarkanlah ia terhadap manusia, dan pelajarilah al faraidh dan ajarkanlah ia terhadap manusia. Maka bekerjsama saya ini insan yang mau mati, dan ilmu pun akan diangkat. Hampir saja nanti akan terjadi dua orang yang bertikai ihwal pembagian harta warisan dan masalahnya; maka mereka berdua pun tidak mendapatkan seseorang yang memberi tahu pemecahan masalahnya terhadap mereka”. (H.R. Ahmad).
b. Hadis dari Abdullah bin ‘Amr, bahwa Nabi saw. bersabda:
“Ilmu itu ada tiga macam dan yang selain yang tiga macam itu selaku suplemen saja: ayat muhkamat, sunnah yang tiba dari Nabi dan faraidh yang adil”. (H.R. Abµ Daµd dan Ibnu Majah).
Berdasarkan kedua hadis di atas, maka mempelajari ilmu faraidh merupakan fardhu kifayah, artinya semua kaum muslimin akan berdosa kalau tidak ada sebagian dari mereka yang mempelajari ilmu faraidh dengan segala kesungguhan.
1. AlQur'an
Dalam Islam saling mewarisi diantara kaum muslimin hukumnya merupakan wajib menurut al-Qur'an dan Hadis Rasulullah.
Banyak ayat al-Qur'an yang mengisyaratkan ihwal ketentuan pembagian harta warisan ini. Di
antaranya firman Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa'/4:7:
Artinya:
“Bagi orang pria ada hak kepingan dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang perempuan ada hak kepingan (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang sudah ditetapkan”
Ayat-ayat lain ihwal mawaris terdapat dalam aneka macam surat, menyerupai dalam Q.S. an-Nisa'/4:7 hingga dengan 12 dan ayat 176, Q.S an-Nahl/16:75 dan Q.S al-Ahzab/33: ayat 4, sedangkan permasalahan yang timbul banyak dijelaskan oleh As-Sunnah, dan sebagian selaku hasil ijma’ dan ijtihad.
2. As-Sunnah
a. Hadis dari Ibnu Ma'ud berikut:
Dari Ibnu Mas’ud, katanya: Bersabda Rasulullah saw..:
“Pelajarilah al-Qur'an dan ajarkanlah ia terhadap manusia, dan pelajarilah al faraidh dan ajarkanlah ia terhadap manusia. Maka bekerjsama saya ini insan yang mau mati, dan ilmu pun akan diangkat. Hampir saja nanti akan terjadi dua orang yang bertikai ihwal pembagian harta warisan dan masalahnya; maka mereka berdua pun tidak mendapatkan seseorang yang memberi tahu pemecahan masalahnya terhadap mereka”. (H.R. Ahmad).
b. Hadis dari Abdullah bin ‘Amr, bahwa Nabi saw. bersabda:
“Ilmu itu ada tiga macam dan yang selain yang tiga macam itu selaku suplemen saja: ayat muhkamat, sunnah yang tiba dari Nabi dan faraidh yang adil”. (H.R. Abµ Daµd dan Ibnu Majah).
Berdasarkan kedua hadis di atas, maka mempelajari ilmu faraidh merupakan fardhu kifayah, artinya semua kaum muslimin akan berdosa kalau tidak ada sebagian dari mereka yang mempelajari ilmu faraidh dengan segala kesungguhan.
Hukum kewarisan Islam di Indonesia merujuk terhadap ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mulai pasal 171 dikelola ihwal pemahaman pewaris, harta warisan dan jago waris.
Kompilasi Hukum Islam merupakan kontrak para ulama dan sekolah tinggi tinggi menurut Inpres No. 1 Tahun 1991.
Yang masih menjadi perdebatan hangat merupakan eksistensi pasal 185 ihwal jago waris pengganti yang memang tidak dikelola dalam fiqih Islam.
Di bawah ini secara ringkas sanggup dikemukakan tabel aturan waris Islam menurut Kompilasi Hukum Islam.
Kompilasi Hukum Islam merupakan kontrak para ulama dan sekolah tinggi tinggi menurut Inpres No. 1 Tahun 1991.
Yang masih menjadi perdebatan hangat merupakan eksistensi pasal 185 ihwal jago waris pengganti yang memang tidak dikelola dalam fiqih Islam.
Di bawah ini secara ringkas sanggup dikemukakan tabel aturan waris Islam menurut Kompilasi Hukum Islam.
Jumlah jago waris yang berhak mendapatkan harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia ada 25 orang,yaitu 15 orang dari jago waris pihak pria yang biasa disebut jago waris ashabah (yang bagiannya berupa sisa sesudah diambil oleh zawil furud) dan 10 orang dari jago waris pihak
perempuan yang biasa disebut jago waris zawil furud (yang bagiannya sudah ditentukan)
Syarat-syarat Mendapatkan Warisan
Seorang muslim berhak mendapatkan warisan apabila menyanggupi syarat-syarat selaku berikut:
1. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang untuk mendapatkan warisan.
2. Kematian orang yang diwarisi, meskipun maut tersebut menurut vonis pengadilan. Misalnya hakim menetapkan bahwa orang yang hilang itu dianggap sudah meninggal dunia.
3. Ahli waris hidup pada dikala orang yang memberi warisan meninggal dunia. Jadi, kalau seorang perempuan mengandung bayi, kemudian salah seorang anaknya meninggal dunia, maka bayi tersebut berhak mendapatkan warisan dari saudaranya yang meninggal itu, lantaran kehidupan janin sudah terwujud pada dikala maut saudaranya terjadi.
Sebab-sebab Menerima Harta Warisan
Seseorang mendapatkan harta warisan disebabkan salah satu dari beberapa alasannya merupakan selaku berikut
1. Nasab (keturunan),
Nasab yakni kerabat yakni jago waris yang berisikan bapak dari orang yang diwarisi atau anak-anaknya beserta jalur kesampingnya saudara-saudara beserta bawah umur mereka serta paman-paman dari jalur bapak beserta bawah umur mereka.
Allah Swt. berfirman dalam Q.S. an-Nisa'/4:33: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya...”
2. Pernikahan,
Pernikahan yakni janji yang sah yang menghalalkan bermitra suami isteri, meskipun suaminya belum menggaulinya serta belum berduaan dengannya.
Allah Swt. berfirman dalam Q.S. an-Nisa'/4:12: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, kalau mereka tak mempunyai anak.”
Suami istri sanggup saling mewarisi dalam talak raj’i selama dalam masa idah dan ba’in, kalau suami menalak istrinya ketika sedang sakit dan meninggal dunia lantaran sakitnya tersebut.
3. Wala’,
Wala yakni seseorang yang memerdekakan budak pria atau budak wanita. Jika budak yang dimerdekakan meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan jago waris, maka hartanya diwarisi oleh yang memerdekakannya itu.
Rasulullah saw. bersabda, yang artinya: “Wala’itu milik orang yang memerdekakannya.” (¦R.al-Bukhari dan Muslim).”
perempuan yang biasa disebut jago waris zawil furud (yang bagiannya sudah ditentukan)
Syarat-syarat Mendapatkan Warisan
Seorang muslim berhak mendapatkan warisan apabila menyanggupi syarat-syarat selaku berikut:
1. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang untuk mendapatkan warisan.
2. Kematian orang yang diwarisi, meskipun maut tersebut menurut vonis pengadilan. Misalnya hakim menetapkan bahwa orang yang hilang itu dianggap sudah meninggal dunia.
3. Ahli waris hidup pada dikala orang yang memberi warisan meninggal dunia. Jadi, kalau seorang perempuan mengandung bayi, kemudian salah seorang anaknya meninggal dunia, maka bayi tersebut berhak mendapatkan warisan dari saudaranya yang meninggal itu, lantaran kehidupan janin sudah terwujud pada dikala maut saudaranya terjadi.
Sebab-sebab Menerima Harta Warisan
Seseorang mendapatkan harta warisan disebabkan salah satu dari beberapa alasannya merupakan selaku berikut
1. Nasab (keturunan),
Nasab yakni kerabat yakni jago waris yang berisikan bapak dari orang yang diwarisi atau anak-anaknya beserta jalur kesampingnya saudara-saudara beserta bawah umur mereka serta paman-paman dari jalur bapak beserta bawah umur mereka.
Allah Swt. berfirman dalam Q.S. an-Nisa'/4:33: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya...”
2. Pernikahan,
Pernikahan yakni janji yang sah yang menghalalkan bermitra suami isteri, meskipun suaminya belum menggaulinya serta belum berduaan dengannya.
Allah Swt. berfirman dalam Q.S. an-Nisa'/4:12: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, kalau mereka tak mempunyai anak.”
Suami istri sanggup saling mewarisi dalam talak raj’i selama dalam masa idah dan ba’in, kalau suami menalak istrinya ketika sedang sakit dan meninggal dunia lantaran sakitnya tersebut.
3. Wala’,
Wala yakni seseorang yang memerdekakan budak pria atau budak wanita. Jika budak yang dimerdekakan meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan jago waris, maka hartanya diwarisi oleh yang memerdekakannya itu.
Rasulullah saw. bersabda, yang artinya: “Wala’itu milik orang yang memerdekakannya.” (¦R.al-Bukhari dan Muslim).”
Sebab-sebab yang membatasi jago waris mendapatkan kepingan warisan merupakan selaku berikut.
a. Kekafiran.
Kerabat yang muslim tidak sanggup mewarisi kerabatnya yang kafir, dan orang yang kafir tidak sanggup mewarisi kerabatnya yang muslim.
Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw. yang artinya: “Orang kafir
tidak mewarisi orang muslim dan orang muslim tidak mewarisi orang kafir.” (H.R. Bukhari dan muslim).
b. Pembunuhan.
Jika pembunuhan dijalankan dengan sengaja, maka pembunuh tersebut tidak sanggup mewarisi yang dibunuhnya, menurut hadis Nabi saw.: “Pembunuh tidak berhak mendapatkan apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.” (HR. Ibnu Abdil Bar)
c. Perbudakan.
Seorang budak tidak sanggup mewarisi ataupun diwarisi, baik budak secara utuh ataupun sebagiannya, umpamanya kalau seorang majikan menggauli budaknya hingga melahirkan anak, maka ibu dari anak majikan tersebut tidak sanggup diwarisi ataupun mewarisi.
Demikian juga mukatab (budak yang dalam proses pemerdekaan dirinya dengan cara mengeluarkan duit sejumlah duit terhadap pemiliknya), lantaran mereka semua tercakup dalam perbudakan.
Namun demikian, sebagian ulama mengecualikan budak yang cuma sebagiannya sanggup mewarisi dan diwarisi sesuai dengan tingkat kemerdekaan yang dimilikinya, menurut suatu hadis Rasulullah saw.,yang artinya: “Ia (seorang budak yang merdeka sebagiannya) berhak mewarisi dan diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya.”
d. Perzinaan.
Seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak sanggup diwarisi dan mewarisi bapaknya. Ia cuma sanggup mewarisi dan diwarisi ibunya, menurut hadis Rasulullah saw.:
“Anak itu dinisbatkan terhadap si empunya daerah tidur, dan pezina terhalang (dari hubungan nasab.” (¦R. al-Bukhari dan Muslim).
e. Li’an.
Anak suami isteri yang menjalankan li’an tidak sanggup mewarisi dan diwarisi bapak yang tidak mengakuinya selaku anaknya. Hal ini diqiyaskan dengan anak dari hasil perzinaan.
a. Kekafiran.
Kerabat yang muslim tidak sanggup mewarisi kerabatnya yang kafir, dan orang yang kafir tidak sanggup mewarisi kerabatnya yang muslim.
Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw. yang artinya: “Orang kafir
tidak mewarisi orang muslim dan orang muslim tidak mewarisi orang kafir.” (H.R. Bukhari dan muslim).
b. Pembunuhan.
Jika pembunuhan dijalankan dengan sengaja, maka pembunuh tersebut tidak sanggup mewarisi yang dibunuhnya, menurut hadis Nabi saw.: “Pembunuh tidak berhak mendapatkan apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.” (HR. Ibnu Abdil Bar)
c. Perbudakan.
Seorang budak tidak sanggup mewarisi ataupun diwarisi, baik budak secara utuh ataupun sebagiannya, umpamanya kalau seorang majikan menggauli budaknya hingga melahirkan anak, maka ibu dari anak majikan tersebut tidak sanggup diwarisi ataupun mewarisi.
Demikian juga mukatab (budak yang dalam proses pemerdekaan dirinya dengan cara mengeluarkan duit sejumlah duit terhadap pemiliknya), lantaran mereka semua tercakup dalam perbudakan.
Namun demikian, sebagian ulama mengecualikan budak yang cuma sebagiannya sanggup mewarisi dan diwarisi sesuai dengan tingkat kemerdekaan yang dimilikinya, menurut suatu hadis Rasulullah saw.,yang artinya: “Ia (seorang budak yang merdeka sebagiannya) berhak mewarisi dan diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya.”
d. Perzinaan.
Seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak sanggup diwarisi dan mewarisi bapaknya. Ia cuma sanggup mewarisi dan diwarisi ibunya, menurut hadis Rasulullah saw.:
“Anak itu dinisbatkan terhadap si empunya daerah tidur, dan pezina terhalang (dari hubungan nasab.” (¦R. al-Bukhari dan Muslim).
e. Li’an.
Anak suami isteri yang menjalankan li’an tidak sanggup mewarisi dan diwarisi bapak yang tidak mengakuinya selaku anaknya. Hal ini diqiyaskan dengan anak dari hasil perzinaan.
Pembagian harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia merupakan hal yang terakhir dilakukan.
Ada beberapa hal yang mesti dijalankan sebelum harta warisan dibagikan. Selain pengurusan jenazah, wasiat dan hutang si mayatlah yang mesti apalagi dulu ditunaikan.
Dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang memastikan bahwa pembagian harta warisan dilaksanakan sesudah penunaian wasiat dan utang si mayit, menyerupai yang terdapat dalam Q.S. an-Nisa'/4:11.
Artinya:
“Allah mensyari’atkan bagimu ihwal (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan kalau anak itu seluruhnya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; kalau anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, kalau yang meninggal itu mempunyai anak; kalau orang yang meninggal tak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; kalau yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya”.(Q.S. an-Nisa'/4:11).
Ada beberapa hal yang mesti dijalankan sebelum harta warisan dibagikan. Selain pengurusan jenazah, wasiat dan hutang si mayatlah yang mesti apalagi dulu ditunaikan.
Dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang memastikan bahwa pembagian harta warisan dilaksanakan sesudah penunaian wasiat dan utang si mayit, menyerupai yang terdapat dalam Q.S. an-Nisa'/4:11.
Artinya:
“Allah mensyari’atkan bagimu ihwal (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan kalau anak itu seluruhnya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; kalau anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, kalau yang meninggal itu mempunyai anak; kalau orang yang meninggal tak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; kalau yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya”.(Q.S. an-Nisa'/4:11).
Ahli waris yang memperoleh kadar pembagian harta warisan sudah dikelola oleh Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa'/4 dengan pembagian berisikan enam kelompok, klarifikasi sebagaimana di bawah ini.
1. Mendapat kepingan ½
2. Mendapat ¼
3. Mendapat 1/8
Yang berhak mendapatkan kepingan 1/8 merupakan istri, kalau suami mempunyai anak atau cucu pria atau perempuan dari anak lakilaki. Jika suami mempunyai istri lebih dari satu, maka
1/8 itu dibagi rata di antara semua istri.
4. Mendapat 2/3
5. Mendapat 1/3
6) Mendapat 1/6
1. Mendapat kepingan ½
- Suami, kalau istri yang meninggal tidak ada anak laki-laki, cucu perempuan atau pria dari anak laki-laki.
- Anak perempuan, kalau tidak ada kerabat pria atau kerabat perempuan.
- Cucu perempun, kalau sendirian; tidak ada cucu pria dari anak laki-laki
- Saudara perempuan sekandung kalau sendirian; tidak ada kerabat laki-laki, tidak ada bapak, tidak ada anak atau tidak ada cucu dari anak laki-laki.
- Saudara perempuan sebapak sendirian; tidak ada kerabat lakilaki, tidak ada bapak atau cucu pria dari anak laki-laki.
2. Mendapat ¼
- Suami, kalau istri yang meninggal tak mempunyai anak pria atau cucu pria atau perempuan dari anak laki-laki.
- Istri, kalau suami yang meninggal tak mempunyai anak pria atau cucu pria atau perempuan dari anak laki-laki.
3. Mendapat 1/8
Yang berhak mendapatkan kepingan 1/8 merupakan istri, kalau suami mempunyai anak atau cucu pria atau perempuan dari anak lakilaki. Jika suami mempunyai istri lebih dari satu, maka
1/8 itu dibagi rata di antara semua istri.
4. Mendapat 2/3
- Dua anak perempuan atau lebih, kalau tidak ada anak laki-laki.
- Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, kalau tidak ada anak pria atau perempuan sekandung.
- Dua saudar a perempuan sekandung atau lebih, kalau tidak ada kerabat perempuan sebapak atau tidak ada anak pria atau perempuan sekandung atau sebapak.
- Dua kerabat perempuan sebapak atau lebih, kalau tidak ada kerabat perempuan sekandung, atau tidak ada anak pria atau perempuan sekandung atau sebapak.
5. Mendapat 1/3
- Ibu, kalau yang meninggal dunia tak mempunyai anak laki-laki, cucu perempuan atau pria dari anak laki-laki, tak mempunyai dua kerabat atau lebih baik pria atau perempuan.
- Dua kerabat seibu atau lebih, baik pria atau perempuan, kalau yang meninggal tak mempunyai bapak, kakek, anak laki-laki, cucu pria atau perempuan dari anak laki-laki.
- Kakek, kalau bareng dua orang kerabat kandung laki-laki, atau empat kerabat kandung perempuan, atau seorang kerabat kandung pria dan dua orang kerabat kandung perempuan.
6) Mendapat 1/6
- Ibu, kalau yang meninggal dunia mempunyai anak pria atau cucu laki-laki, kerabat pria atau perempuan lebih dari dua yang sekandung atau sebapak atau seibu.
- Nenek, kalau yang meninggal tak mempunyai ibu dan cuma ia yang mewarisinya. Jika neneknya lebih dari satu, maka bagiannya dibagi rata.
- Bapak secara mutlak mendapat 1/6, baik orang yang meninggal mempunyai anak atau tidak.
- Kakek, kalau tidak ada bapak.
- Saudara seibu, baik pria atau perempuan, kalau yang meninggal dunia tak mempunyai bapak, kakek, anak laki-laki,cucu perempuan atau pria dari anak laki-laki.
- Cucu perempuan dari anak laki-laki, kalau bareng dengan anak perempuan tunggal; tidak ada kerabat laki-laki, tidak ada anak pria paman dari bapak.
- Saudara perempuan sebapak, kalau ada satu kerabat perempuan sekandung, tak mempunyai kerabat pria sebapak, tidak ada ibu, tidak ada kakek, tidak ada anak laki-laki
Ahli waris asabah merupakan perolehan kepingan dari harta warisan yang tidak ditetapkan bagiannya dalam furud yang enam (1/2, 1/4, 1/3, 2/3, 1/6, 1/8), tetapi mengambil sisa warisan sesudah ashabul furud mengambil bagiannya.
Ahli waris ashabah sanggup mendapatkan seluruh harta warisan kalau ia sendirian, atau mendapatkan sisa warisan kalau ada jago waris lainnya, atau tidak mendapatkan apa-apa kalau harta warisan tidak tersisa, menurut sabda Rasulullah saw.:
“Berikanlah warisan itu terhadap yang berhak menerimanya, sedang sisanya berikan terhadap (ahli waris) pria yang lebih berhak (menerimanya).”(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Bila salah seorang di antara jago waris didapati seorang diri, maka berhak mendapatkan semua harta warisan, tetapi bila bareng ashabul furµd, ia mendapatkan sisa kepingan dari mereka.
Dan bila harta warisan habis terbagi oleh ashabul furµd, maka ia tidak mendapatkan apa-apa dari harta warisan tersebut.
Berikut ini merupakan beberapa pola kasus.
Ahli waris ‘asabah mengambil seluruh harta warisan, kalau ia sendiri atau tidak ada jago waris lain.
Ahli waris ‘asabah mengambil sisa warisan sesudah jago waris furud
1) Saudara perempuan sekandung satu orang atau lebih berada bareng dengan anak perempuan satu atau lebih atau bareng putri dari anak pria satu atau lebih atau bareng dengan keduanya.
2) Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih bareng dengan anak perempuan satu atau lebih atau bareng putri dari anak pria satu atau lebih atau bareng dengan keduanya.
Adapun landasan aturan adanya asabah ma’al gair merupakan hadis Rasulullah saw. bahwa Abu Musa al-Asy’ari ditanya ihwal hak waris anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak lakilaki,
dan kerabat peremuan sekandung atau seayah.
Abu Musa menjawab: “Bagian anak perempuan separo dan kerabat perempuan separo.”(H.R. Al-Bukhari).
2. ASABAH BISSABAB (KARENA SEBAB)
Yang tergolong 'asabah bissabab (karena sebab) merupakan orang-orang yang membebaskan budak, baik pria atau perempuan.
Dari klarifikasi ihwal pembagian harta warisan di atas, kalau semua jago waris itu ada atau berkumpul, maka ada tiga keadaan yang mesti diperhatikan, menyerupai berikut ini.
a) Jika semua jago waris pria berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan hanyalah 3 orang yaitu: ayah, anak-laki-laki dan suami, dengan pembagian ayah 1/6, suami 1/4 dan sisanya
merupakan anak pria (‘‘asabah).
b) Jika semua jago waris perempuan berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan merupakan 5 orang yaitu: istri 1/8, ibu 1/6, anak perempuan ½, dan sisanya kerabat perempuan sekandung selaku ‘asabah.
c) Jika terkumpul semua jago waris pria dan perempuan, maka yang berhak mendapatkan warisan merupakan lima orang yaitu: ibu, bapak, anak laki-laki, anak perempuan, suami/istri dengan
pembagian selaku berikut:
1) Jika pada jago waris tersebut terdapat istri, maka kepingan ayah 1/6, ibu 1/6, istri 1/8, dan sisanya anak pria dan perempuan selaku ‘asabah dengan ketentuan anak pria dua kali lipat
anak perempuan.
2) Jika pada jago waris tersebut terdapat suami, maka kepingan ayah 1/6, ibu 1/6, suami ¼ dan sisanya anak pria dan perempuan selaku ‘asabah dengan ketentuan anak pria dua kali lipat anak perempuan.
Ahli waris ashabah sanggup mendapatkan seluruh harta warisan kalau ia sendirian, atau mendapatkan sisa warisan kalau ada jago waris lainnya, atau tidak mendapatkan apa-apa kalau harta warisan tidak tersisa, menurut sabda Rasulullah saw.:
“Berikanlah warisan itu terhadap yang berhak menerimanya, sedang sisanya berikan terhadap (ahli waris) pria yang lebih berhak (menerimanya).”(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Bila salah seorang di antara jago waris didapati seorang diri, maka berhak mendapatkan semua harta warisan, tetapi bila bareng ashabul furµd, ia mendapatkan sisa kepingan dari mereka.
Dan bila harta warisan habis terbagi oleh ashabul furµd, maka ia tidak mendapatkan apa-apa dari harta warisan tersebut.
Berikut ini merupakan beberapa pola kasus.
Ahli waris ‘asabah mengambil seluruh harta warisan, kalau ia sendiri atau tidak ada jago waris lain.
Jika harta warisan tidak tersisa, jago waris ‘a£abah tidak mendapatkan apa-apa
Ahli waris ‘a£abah terbagi menjadi dua, yaitu:
1. ASABAH BINNASAB
Asabah binnasab (hubungan nasab), terbagi menjadi 3 kepingan yaitu:
a. Asabah bi an-nafsi,
Asabah bi an-nafsi yakni semua jago waris pria (kecuali suami, kerabat pria seibu, dan mu’tiq yang memerdekakan budak), mereka adalah:
1) Anak laki-laki
2) Putra dari anak pria seterusnya ke bawah
3) Ayah
4) Kakek ke atas
5) Saudara pria sekandung
6) Saudara pria seayah
7) Anak kerabat pria sekandung dan seterusnya ke bawah
8) Anak kerabat pria seayah
9) Paman sekandung
10) Paman seayah
11) Anak pria paman sekandung dan seterusnya ke bawah
12) Anak pria paman seayah dan seterusnya ke bawah
Untuk lebih mengerti derajat kekuatan hak waris ‘aSabah bi an-nafsi, maka kedua belas jago waris di atas sanggup dikelompokkan menjadi empat arah yaitu:
1) Arah anak, meliputi seluruh anak pria keturunan anak-laki-laki, mulai cucu, cicit dan seterusnya.
2) Arah bapak, meliputi ayah, kakek dan seterusnya dari pihak laki-laki, umpamanya ayah dari bapak, ayah dari kakek, dan seterusnya.
3) Arah kerabat laki-laki, meliputi kerabat kandung laki-laki, kerabat pria seayah, tergolong keturunan mereka, tetapi cuma yang laki-laki. Adapun kerabat pria seibu tidak termasuk, lantaran tergolong a£habul furud.
4) Arah paman, meliputi paman kandung dan paman seayah, tergolong keturunan mereka dan seterusnya.
Apabila dalam pembagian harta warisan terdapat beberapa jago waris a£abah bi an-nafsi, maka pengunggulannya dilihat dari sisi arah.
Arah anak lebih didahulukan dari yang lain. Jika anak tidak ada, maka cucu pria dari keturunan pria dan seterusnya.
Apabila dalam pembagian harta warisan terdapat beberapa jago waris a£abah bi an-nafsi, sedangkan mereka berada dalam satu arah, maka pengunggulannya dilihat dari derajat kedekatannya terhadap pewaris, umpamanya seseorang wafat meninggalkan anak serta cucu keturunan anak laki-laki.
Maka hak waris secara ‘ashabah diberikan terhadap anak, sementara cucu tidak mendapatkan bagian
apapun dari warisan tersebut.
Adapun dasar aturan didahulukannya anak dari pada ibu bapak merupakan firman Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa' /4:11, yaitu:
“Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, kalau yang meninggal itu mempunyai anak.”
b. Asabah bil Ghair
Ahli waris asabah bil ghair ada empat (4), seluruhnya dari kalangan wanita. Dinamakan ashabah bil ghair merupakan lantaran hak asabah keempat perempuan itu bukanlah lantaran kedekatan kekerabatan
mereka dengan pewaris, tetapi lantaran adanya ‘asabah lain (asabah bin nafsih).
Adapun jago waris a£abah bil ghair yaitu:
1) Anak perempuan sanggup menjadi asabah bila bareng dengan kerabat laki-lakinya.
2) Cucu perempuan keturunan anak pria sanggup menjadi ‘ashabah bila bareng dengan kerabat laki-lakinya atau anak pria pamannya (cucu pria dari anak laki-laki), baik yang sederajat dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.
3) Saudara kandung perempuan akan menjadi asabah bila bareng dengan kerabat kandung laki-laki.
4) Saudar a perempuan seayah akan menjadi asabah bila bareng dengan kerabat laki-laki. Dalam keadaan menyerupai ini kepingan pria dua kali lipat kepingan perempuan.
Mereka mendapatkan kepingan sisa harta yang sudah dibagi, kalau harta sudah habis terbagi, maka gugurlah hak waris bagi mereka.
c. Asabah Ma'al Gair
Orang yang tergolong ‘a£abah ma’al gair ada dua, yakni menyerupai berikut ini.1) Saudara perempuan sekandung satu orang atau lebih berada bareng dengan anak perempuan satu atau lebih atau bareng putri dari anak pria satu atau lebih atau bareng dengan keduanya.
2) Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih bareng dengan anak perempuan satu atau lebih atau bareng putri dari anak pria satu atau lebih atau bareng dengan keduanya.
Adapun landasan aturan adanya asabah ma’al gair merupakan hadis Rasulullah saw. bahwa Abu Musa al-Asy’ari ditanya ihwal hak waris anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak lakilaki,
dan kerabat peremuan sekandung atau seayah.
Abu Musa menjawab: “Bagian anak perempuan separo dan kerabat perempuan separo.”(H.R. Al-Bukhari).
2. ASABAH BISSABAB (KARENA SEBAB)
Yang tergolong 'asabah bissabab (karena sebab) merupakan orang-orang yang membebaskan budak, baik pria atau perempuan.
Dari klarifikasi ihwal pembagian harta warisan di atas, kalau semua jago waris itu ada atau berkumpul, maka ada tiga keadaan yang mesti diperhatikan, menyerupai berikut ini.
a) Jika semua jago waris pria berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan hanyalah 3 orang yaitu: ayah, anak-laki-laki dan suami, dengan pembagian ayah 1/6, suami 1/4 dan sisanya
merupakan anak pria (‘‘asabah).
b) Jika semua jago waris perempuan berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan merupakan 5 orang yaitu: istri 1/8, ibu 1/6, anak perempuan ½, dan sisanya kerabat perempuan sekandung selaku ‘asabah.
c) Jika terkumpul semua jago waris pria dan perempuan, maka yang berhak mendapatkan warisan merupakan lima orang yaitu: ibu, bapak, anak laki-laki, anak perempuan, suami/istri dengan
pembagian selaku berikut:
1) Jika pada jago waris tersebut terdapat istri, maka kepingan ayah 1/6, ibu 1/6, istri 1/8, dan sisanya anak pria dan perempuan selaku ‘asabah dengan ketentuan anak pria dua kali lipat
anak perempuan.
2) Jika pada jago waris tersebut terdapat suami, maka kepingan ayah 1/6, ibu 1/6, suami ¼ dan sisanya anak pria dan perempuan selaku ‘asabah dengan ketentuan anak pria dua kali lipat anak perempuan.
Di bawah ini diberikan contoh-contoh kendala (masalah) dan pembagian warisan menurut syariat Islam.
1. Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp.180.000.000 Ahli warisnya berisikan istri, ibu dan 2 anak laki-laki.
Maka balasannya adalah:
Bagian istri 1/6, ibu 1/8 dan dua anak laki-laki, ashabah. Asal masalahnya dari 1/6 dan 1/8 (KPK=Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 6 dan 8) merupakan 24.
Maka pembagiannya adalah:
Istri : 1/6 x 24 x Rp. 180.000.000 = Rp. 30.000.000,
Ibu : 1/8 x 24 x Rp. 180.000.000 = Rp. 22.500.000,
Dua anak pria : 24 – (4+3 ) x Rp. 180.000.000 = Rp.127.500.000,
Masing-masing anak pria : Rp. 127.500.000,- : 2 = Rp.63.750.000,-
2. Penghitungan dengan menggunakan ‘aul.
Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp. 42.000.000. Ahli warisnya berisikan suami dan 2 kerabat perempuan sekandung.
Maka balasannya adalah:
Bagian suami 1/2 dan kepingan dua kerabat perempuan sekandung 2/3. Asal masalahnya dari 1/2 dan 2/3 (KPK= Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 2 dan 3) merupakan 6, sementara pembilangnya merupakan 7, maka terjadi 7/6.
Untuk penghitungan dalam kendala ini mesti menggunakan ‘aul yakni dengan menyamakan penyebut dengan pembilangnya. (aulnya:1), sehingga masing-masing kepingan menjadi:
Suami:3/7 x Rp. 42.000.000=Rp.18.000.000,
Dua kerabat perempuan sekandung : 4/7 x Rp. 42.000.000=Rp.24.000.000,-
3. Penghitungan dengan menggunakan rad.
Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar 120.000.000. Ahli warisnya berisikan ibu dan seorang anak perempuan.
Maka balasannya adalah:
Bagian ibu 1/6 dan kepingan satu anak perempuan merupakan 1/2. Asal masalahnya dari 1/6 dan 1/2 (KPK dari bilangan penyebut 6 dan 2) merupakan 6.
Maka kepingan masing-masing merupakan 1/6 dan 3/6.
Dalam hal ini masih tersisa harta waris sebanyak 2/6. Untuk penghitungan dalam kendala ini mesti menggunakan rad, yakni membagikan kembali harta waris yang tersisa terhadap jago warisnya.
Jika dilihat bagian ibu 1/6 dan satu anak perempuan 3/6, maka perbandingannya merupakan 1:3, maka 1/6 + 3/6 = 4/6, dijadikan 4/4 dengan perbandingan 1:3, maka balasannya adalah:
Ibu: 1/4 x Rp. 120.000.000,- = 30.000.000,
Satu anak perempuan: 3/4 x Rp120.000.000,- = 90.000.000,-
1. Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp.180.000.000 Ahli warisnya berisikan istri, ibu dan 2 anak laki-laki.
Maka balasannya adalah:
Bagian istri 1/6, ibu 1/8 dan dua anak laki-laki, ashabah. Asal masalahnya dari 1/6 dan 1/8 (KPK=Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 6 dan 8) merupakan 24.
Maka pembagiannya adalah:
Istri : 1/6 x 24 x Rp. 180.000.000 = Rp. 30.000.000,
Ibu : 1/8 x 24 x Rp. 180.000.000 = Rp. 22.500.000,
Dua anak pria : 24 – (4+3 ) x Rp. 180.000.000 = Rp.127.500.000,
Masing-masing anak pria : Rp. 127.500.000,- : 2 = Rp.63.750.000,-
2. Penghitungan dengan menggunakan ‘aul.
Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp. 42.000.000. Ahli warisnya berisikan suami dan 2 kerabat perempuan sekandung.
Maka balasannya adalah:
Bagian suami 1/2 dan kepingan dua kerabat perempuan sekandung 2/3. Asal masalahnya dari 1/2 dan 2/3 (KPK= Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 2 dan 3) merupakan 6, sementara pembilangnya merupakan 7, maka terjadi 7/6.
Untuk penghitungan dalam kendala ini mesti menggunakan ‘aul yakni dengan menyamakan penyebut dengan pembilangnya. (aulnya:1), sehingga masing-masing kepingan menjadi:
Suami:3/7 x Rp. 42.000.000=Rp.18.000.000,
Dua kerabat perempuan sekandung : 4/7 x Rp. 42.000.000=Rp.24.000.000,-
3. Penghitungan dengan menggunakan rad.
Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar 120.000.000. Ahli warisnya berisikan ibu dan seorang anak perempuan.
Maka balasannya adalah:
Bagian ibu 1/6 dan kepingan satu anak perempuan merupakan 1/2. Asal masalahnya dari 1/6 dan 1/2 (KPK dari bilangan penyebut 6 dan 2) merupakan 6.
Maka kepingan masing-masing merupakan 1/6 dan 3/6.
Dalam hal ini masih tersisa harta waris sebanyak 2/6. Untuk penghitungan dalam kendala ini mesti menggunakan rad, yakni membagikan kembali harta waris yang tersisa terhadap jago warisnya.
Jika dilihat bagian ibu 1/6 dan satu anak perempuan 3/6, maka perbandingannya merupakan 1:3, maka 1/6 + 3/6 = 4/6, dijadikan 4/4 dengan perbandingan 1:3, maka balasannya adalah:
Ibu: 1/4 x Rp. 120.000.000,- = 30.000.000,
Satu anak perempuan: 3/4 x Rp120.000.000,- = 90.000.000,-
Hukum waris Islam ini memberi jalan keluar yang adil untuk semua jago waris. Berikut ini, beberapa faedah yang sanggup dirasakan, yaitu:
1. Terciptanya kenyamanan hidup dan situasi kekeluargaan yang harmonis.
Syariah merupakan sumber aturan tertinggi yang mesti ditaati. Orang yang paling durhaka merupakan orang yang menantang aturan syariah.
Syariah itu sendiri diturunkan untuk kebaikan umat Islam dan memberi jalan keluar yang paling cocok dengan huruf dan tabiat dari masing-masing manusia. Syariah menjadi aturan tertinggi yang mesti ditaati, dan diterima dengan ikhlas.
2. Manciptakan keadilan dan menangkal pertentangan pertikaian.
Keadilan yang sudah diterapkan, menangkal hadirnya aneka macam pertentangan dalam keluarga yang sanggup berujung pada kejadian pertumpahan darah. Meski dalam praktiknya, senantiasa saja timbul penentangan yang bersumber dari logika pikiran.
1. Terciptanya kenyamanan hidup dan situasi kekeluargaan yang harmonis.
Syariah merupakan sumber aturan tertinggi yang mesti ditaati. Orang yang paling durhaka merupakan orang yang menantang aturan syariah.
Syariah itu sendiri diturunkan untuk kebaikan umat Islam dan memberi jalan keluar yang paling cocok dengan huruf dan tabiat dari masing-masing manusia. Syariah menjadi aturan tertinggi yang mesti ditaati, dan diterima dengan ikhlas.
2. Manciptakan keadilan dan menangkal pertentangan pertikaian.
Keadilan yang sudah diterapkan, menangkal hadirnya aneka macam pertentangan dalam keluarga yang sanggup berujung pada kejadian pertumpahan darah. Meski dalam praktiknya, senantiasa saja timbul penentangan yang bersumber dari logika pikiran.
0 Komentar untuk "Materi Pai Xii Serpihan 8 Menjangkau Berkah Dengan Mawaris"