Bahaya Sekulerisme Pluralisme Dan Liberalisme

Bahaya Sekulerisme Pluralisme Dan Liberalisme Bahaya Sekulerisme Pluralisme Dan Liberalisme
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji cuma milik Allah Subhanahu wa ta'ala, Shalawat dan sallam atas junjungan kita nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang senantiasa dirahmati Allah ta'ala.

Wacana Pluralisme dan temen-temennya ini tak pernah habis menghantui dan menghancurkan kaum Muslim. Walaupun MUI sudah mengeluarkan fatwa haramnya paham sekularisme, liberalisme dan pluralisme pada tahun 2005,  tetap saja pluralisme melenggang kangkung diusung media.

Walhasil, umat Islam pun menjadi bingung, semua yang pro dan kontra dengan sepilis (sekulerisme-pluralisme-liberalisme) ini semua mengatasnamakan Islam, mana yang mesti dipercaya, yang mana yang mesti dibarengi menjadi samar. Banyak diantara kaum muslim kesudahannya yang menegaskan untuk tidak perduli. Oleh alasannya itu goresan pena ini berniat untuk menaruh suatu pengertian yang benar ihwal faham Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme.


Secularism means:

• in philosophy, the belief that life can be best lived by applying ethics, and the universe best understood, by processes of reasoning, without reference to a god or gods or other supernatural concepts.
• in society, any of a range of situations where a society less automatically assumes religious beliefs to be either widely shared or a basis for conflict in various forms, than in recent generations of the same society.

• in government, a policy of avoiding entanglement between government and religion (ranging from reducing ties to a state church to promoting secularism in society), of non-discrimination among religions (providing they don’t deny primacy of civil laws), and of guaranteeing human rights of all citizens, regardless of the creed (and, if conflicting with certain religious rules, by imposing priority of the universal human rights).
Secularism can also mean the practice of working to promote any of those three forms of secularism.


• Secara filosofi, persepsi yang menilai bahwa kehidupan sanggup dijalani paling baik dengan menggunakan etika, dan pengertian paling baik dari alam semesta, lewat proses argumentatif, tanpa merujuk terhadap dewa atau (banyak) dewa atau rancangan supernatural.

• Pada masyarakat, semua dari kisaran suasana dimana suatu penduduk lebih minim yang secara otomatis mengasumsikan keyakinan agama selaku andil besar atau dasar ketimbang dilema dalam banyak sekali bentuk ketimbang generasi belakangan di penduduk yang sama.

• Pada pemerintahan, akal yang menyingkir dari keterkaitan antara pemerintahan dan agama (berkisar dari meminimalisir keterikatan pada negara-gereja hingga mengiklankan sekularisme pada masyarakat), non-diskriminasi pada agama (memaksa mereka untuk tidak mengingkari keunggulan dari aturan sipil), dan menjamin HAM semua warganegara (dan, kalau mempunyai kendala dengan aturan agama tertentu, dengan mengutamakan aturan hak asasi universal)

Sekularisme juga bisa mempunyai arti mempraktekan atau berupaya untuk mempromosikan/menyebarkan salah satu dari tiga bentuk sekularisme diatas. 

Liberalism is a political current embracing several historical and present-day ideologies that claim defense of perorangan liberty and private property as the purpose of government. It typically favors the right to dissent from orthodox tenets or established authorities in political or religious matters. In this respect, it is sometimes held in contrast to conservatism. Since liberalism also focuses on the ability of individuals to structure their own society, it is almost always opposed to totalitarianism and collectivist ideologies, particularly communism.




Liberalisme yakni gerakan politik meliputi persepsi antik dan terbaru yang menjamin keleluasaan perorangan dan kepemilikan privat selaku tujuan dari pemerintahan. Cirinya melindungi hak untuk berbeda dari dalil/pengajaran agama atau menetapkan kewenangan dalam dilema politik atau agama. Dalam pembahasan ini, liberalisme acap kali kontras dengan konservatisme. Karena liberalisme memfokuskan terhadap kesanggupan perorangan dalam membentuk struktur masyarakat, maka nyaris senantiasa berbeda dengan totaliterisme dan ideologi kolektif (sosialis), terutama komunisme

In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation
Pluralism also implies the right of individuals to determine universal truths for themselves.



Pada ilmu sosial, pluralisme yakni kerangka acara interaksi dimana suatu kalangan menampilkan rasa hormat yang bagus dan toleransi satu samalain, mereka saling mengakui dan berinteraksi tanpa pertentangan atau asimilasi.
Pluralisme juga bahwa individu-individu mempunyai hak untuk menetapkan “kebenaran universal” untuk mereka.



Dari pemaparan diatas sudah sungguh terang sekali bahwa sebenarnya sekularisme yakni cara menatap kehidupan tanpa agama (outside the religion), dalam definisi terbaru juga bisa dibilang memisahkan agama dari kehidupan publik (negara). Awal hadirnya persepsi ini yakni di saat terjadi pertentangan antara agama katolik dan para cendekiawan di eropa yang berjalan pada era pencerahan (enlightment ages) sekitar era 16 hingga era 17, yang sebelumnya dilalui oleh era gelap (dark ages) yakni sekitar era ke 5 hingga dengan era ke 15. Penyebutan era gelap ini yakni alasannya begitu tak teraturnya penduduk eropa pasca runtuhnya kekaisaran romawi (roman empire) pada tahun 410.

Keruntuhan romawi ini menyebabkan banyak sekali tuan-tuan tanah (landlords) yang mempunyai kawasan memisahkan diri menjadi suatu penduduk tertentu, yakni penduduk feodal dengan feodalisme selaku persepsi hidupnya.

Disini strata penduduk umumnya terbagi 6 yakni darah biru (landlords), ksatria (knights), rahib (clerics), serdadu (troops) cendekiawan (scholars) dan rakyat (people). Abad gelap ini juga sering disebut era agama (age of faith) dikarenakan katolik yang dilegalkan menjadi agama negara pada tahun 391 sebelum romawi runtuh.

Dikatakan era agama juga alasannya besarnya peranan rohaniwan dalam negara, tergolong melegalisir para tuan tanah untuk mengeksploitasi rakyatnya, dan fikiran tuan tanah yakni wakil dari dewa yakni biasa dalam masa ini. Gereja membentuk keyakinan untuk terus melanggengkan hubungan antara penguasa-rohaniwan ini, misalnya St. Augustine seorang uskup di kota Hippo (sekarang Annaba, Algeria) dalam bukunya City of God (413-426) menyatakan bahwa “seharusnya umat kristiani tidak perlu peduli dengan peristiwa di duia tetapi konsentrasi terhadap evakuasi (salvation) dan hidup setelah mati di dalam kota surgawi” (Rosenwain, 2005).

Doktrin-doktrin semacamnya juga diberlakukan pada sains, misalnya teori geosentris yang dikemukakan oleh gereja yang ditentang oleh Nicolaus Copernicus dengan teori heliosentrisnya kesudahannya berujung pada dianiayanya cendekiawan ini, begitu juga yang terjadi pada Galileo Galilei dengan teori bumi bulatnya. Dalam kemasyarakatan keyakinan gereja berhak menegaskan aliran mana yang sesat (heretics) dan aliran mana yang bagus menurut mereka sendiri sehingga peristiwa ini memunculkan banyak sekali protes bagi rakyat sipil dan para cendekiawan. Keadaan ini terus berlanjut hingga era ke 16.

Pada era ke 17 dan 18 terjadi era pencerahan (enlightment age) yang diawali oleh banyaknya pemikir dan cendekiawan yang menyaksikan bahwa argumentasi terjadinya era gelap yakni alasannya campur tangannya agama (katolik) dalam urusan negara, alasannya mereka menatap justru kemunduran yang sungguh besar terjadi pada masa pemerintahan agama ini.

Para kaum protestan pun menulis bahwa periode era gelap yakni periode katolik yang terkorupsi sehingga tidaklah murni lagi. Puncaknya terjadi pada masa renaissance (kelahiran kembali) dimana para pemikiran para cendekiawan dan rakyat biasa melawan terhadap tuan tanah dan rahib, alasannya dinilai selama era gelap agama dengan hak suci mereka (divine rights) sudah menjadi sesuatu yang melegitimasi eksploitasi terhadap mereka oleh tuan tanah, dan menuntut agar agama tidak lagi dihubungkan dengan negara (sekular). Disinilah sekularisme lahir.

Setelah itu, para pemikir kemudian mengubah nilai-nilai serta standar-standar yang ada pada penduduk agar jangan hingga mengambil kembali agama untuk dipraktekkan dalam masyarakat. Ide-ide derivat sekularisme inilah yang kesudahannya mengejewantah dalam pemikiran lainnya yakni liberalisme, pluralisme, kapitalisme dan kesudahannya demokrasi.

Sama menyerupai Liberalisme, pemikiran ini pun dibangun atas dasar pemisahan agama dari negara. Para pemikir menyerupai John Locke (1632-1704)dan Baron de Montesquieu menyerukan hak dasar insan yakni “life, liberty and property” selaku suatu yang sungguh diperlukan dalam bikin suatu pemerintahan dan hidup yang stabil, sehingga tidak terjadi lagi eksploitasi insan oleh insan yang lain, raja bukanlah figur suci yang mempunyai hak yang lebih di mata aturan dan lain-lain, serta dan pemikir menyerupai Voltaire dan Immanuel Kant yang sungguh vokal terhadap pengekangan keleluasaan atas nama dewa oleh agama.

Inilah yang kesudahannya mendasari demokrasi, yakni metode pemerintahan yang berkedaulatan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Mereka menegaskan sendiri pemerintahan mereka, bikin sendiri aturan untuk mereka taati sendiri. Kedua persepsi ini (liberalisme dan demokrasi) oleh Adam Smith dan David Ricardo dituangkan dalam bentuk keleluasaan ekonomi dimana laba paling besar akan diperoleh apabila setiap individu dijamin haknya secara sarat oleh pemerintah untuk mempunyai sesuatu, tanpa atau dengan campur tangan yang seminimal mungkin dari pemerintah yang di sekarang ini kita kenal dengan metode ekonomi kapitalisme. Didalam metode pergaulan nilai-nilai ini kesudahannya menyamar menjadi budaya individualisme serta hedonisme.

Di dalam metode politik meningkat menjadi opportunisme dan didalam pendidikan menjadi materialisme. Intinya yakni bahwa setiap orang dilahirkan bebas (liberty) dan cuma ia yang berhak menegaskan jalan hidupnya tanpa campur tangan atau dipengaruhi orang lain.

Dalam hal kehidupan beragama, pluralisme atau sinkretisme yakni turunan dari sekularisme, dimana persepsi ini menyatakan pluralitas (beragamnya) manusia, pertimbangan atau agama yakni suatu fakta yang tidak sanggup ditawar-tawar lagi sehingga agar tidak memunculkan pertentangan dan dilema di dalam kehidupan bermasyarakat, maka dihentikan ada manipulasi nilai-nilai kebenaran oleh suatu kelompok, agama atau individu manapun. Kebenaran itu relatif dari mana kita memandang. Dengan kata lain semua agama yakni sama.

Walhasil, sanggup kita simpulkan bahwa sebenarnya kehadiran sekularisme ini sendiri yakni dikarenakan oleh pemikir dan cendekiawan serta rakyat jelata yang dikecewakan oleh metode pemerintahan agama (katolik), dan pemikiran derivatnya yakni liberalisme dan pluralisme, tergolong kapitalisme dan demokrasi yakni produk yang sengaja disiapkan untuk menjadi tameng agar penduduk eropa tidak lagi terjerumus pada tertekan berat masa lalu, bersatunya negara dan agama.

Berbeda dengan Islam, sejarah sudah menunjukan bahwa kejayaan islam justru tercapai di saat Islam tidak cuma ditempatkan selaku agama ritual tetapi juga selaku aturan hidup yang mengendalikan seluruh faktor dalam kehidupan. Menarik kalau mengutip pernyataan Michael H. Hart, dalam kata pengirim bukunya yang berjudul 100 Tokoh paling Berpengaruh di Dunia, bahwa ia menempatkan Muhammad Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam.

Menjadi tokoh nomor satu yakni alasannya Muhammad mempunyai kekuasaan spritual dan politis yang tidak dipisahkan satu sama lain. Sejarah tidak dapat berbohong bahwa era keemasan umat muslim (Islamic golden age) pada di saat kekhilafahan abbasiyyah dan permulaan kekhilafahan utsmaniyyah (750 M – 1500 M) sudah menyatukan lebih dari 1/3 dunia, kekuasaan membentang dari sebagian eropa (andalusia/spanyol) hingga dataran balkan yang kekuatan bahari maupun daratnya ditakuti di dunia.

Juga tertulis dengan tinta emas dalam sejarah peradaban insan karya besar pemikir dan saintis muslim menyerupai al-Khawarizmi dengan teori matematikanya, al-Kindi dengan pemikirannya, Ibnu Sina dengan ilmu kedokteran dan kesusasteraannya yang sudah menulis Asas Pengobatan (Canons of Medicine) serta ilmu optik, Ibnu Khaldun dengan sejarahnya dan Ibnu Rusyd dengan fikihnya.

Pada pendidikan pun tak kalah hebatnya Imam Ad Damsyiqi sudah menceritakan suatu riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab menampilkan honor pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas) (sekitar 5 juta rupiah dengan kurs sekarang). Atau pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dimana tidaka ada warga negara yang miskin sehingga zakat bagi orang miskin tidak dibagikan.

Semua citra tersebut yakni fakta yang terjadi di saat Islam dan kehidupan tidak dipisahkan. Ini alasannya Islam yakni suatu metode hidup, suatu ideologi yang tidak dapat dipraktekkan secara sebagian. Ia juga tidak dapat dicangkokkan dengan ideologi lain semacam sekularisme dan sosialisme, dikarenakan Islam yakni metode hidup yang khas. Dan untuk menerapkan Islam yang kaaffah maka sebenarnya diperlukan suatu institusi yang mesti ada untuk menjamin terlaksananya semua aturan-aturan Islam, institusi inipun haruslah khas yang terpancar dari Islam, tidak yang lain, yakni Daulah 

Khilafah Islamiyyah.

Oleh alasannya itu, selaku seorang yang berupaya untuk menjalankan semua aturan yang sudah dibebankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala terhadap kita, hendaknya kita tidak mengambil pandangan-pandangan yang tidak berasal dari Islam maupun memperjuangkannya, terlebih persepsi itu sudah terbukti mudharatnya bagi kehidupan kita, agar kita sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan kita di alam abadi nanti

Barangsiapa mencari agama (diin) selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan ia di alam abadi tergolong orang-orang yang rugi(TQS ali-Imran [3]: 85)
Aturan-aturan Islam dalam dilema publik (negara) sejatinya justru mesti dikembalikan lagi terhadap umat muslim, semua muslim di dunia ini mesti faham bahwa sesunggunya akar permasalahan yang menyebabkan bangkitnya barat dan terpuruknya Islam yakni satu: sekular (memisahkan agama dari negara).

Apakah aturan Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik ketimbang (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maaidah [5]: 50)

Akhirul kalam, kita mesti sungguh-sungguh berhati-hati terhadap pemikiran orang-orang yang berniat ingin menjauhkan kita dari Islam, sunnah rasul-Nya dan aturan-aturan (syari’at-Nya), walaupun acap kali penganut sekularisme ini ”kelihatan” berdalil ataupun rasional, tetapi kesudahannya kita diajak untuk mengikuti terhadap nilai-nilai kufur. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala melindungi kita dari hal-hal yang menyerupai itu.
wallahua’lam bi ash-shawab

Related : Bahaya Sekulerisme Pluralisme Dan Liberalisme

0 Komentar untuk "Bahaya Sekulerisme Pluralisme Dan Liberalisme"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close