Tentang Buku

Jauh-jauh hari, seorang sobat sudah mengingatkan saya jikalau zaman kini mencetak buku bukanlah permasalahan istimewa.
 seorang sobat sudah mengingatkan saya jikalau zaman kini mencetak buku bukanlah permasalahan Tentang Buku

Saya sadari betul hal ini, sebab dengan terlalu banyak timbul penerbitan yang mempermudah self publishing bagi siapapun yang ingin mencetak buku. Jika dahulu cuma menanti dipinang penerbit, kini kita sanggup cetak sendiri. Makanya jangan heran jikalau ISBN kita sudah kena tegur forum buku international. Buku yang dicetak banyak, minat beli (apalagi baca) sungguh jomplang.

Seiring dengan hadirnya terlalu banyak platform kepenulisan, para penulis lebih senang menjajal peruntungan disana. Karena "menulis buku untuk diposting", pasti tak seribet "menulis buku untuk dicetak".

Bila parameternya uang, maka menulis di Platform terperinci lebih menciptakan dibandingkan dengan mencetak buku (tentu saja pengecualian berlaku untuk penulis populer).

Dari permulaan saya motivasi saya cetak buku semata-mata cuma ingin "punya buku sendiri". Rasanya mengaku hobbi menulis --tapi gak punya buku sendiri-- rasanya memang belum sah.

Niat permulaan cuma cetak 10 eks, gak nyangka yang mesan udah 60an orang. Saya kemudian istighfar.
Bukan apa, yang lazim baca status saya pasti paham saya ini punya mengidap semacam penyakit malas. Membayangkan mesti kemasan paket, nulis alamat, suara tang-ting notif di HP, bawa ke kurir, sudah bikin saya kecapekan duluan. Belum lagi yang neror suruh kasih quote plus tanda tangan. Ya Tuhan ... tega sekali mereka mengerjai saya.

Bukunya memang sudah habis, tinggal dua eks di rumah. Sudah ada yang punya semua, cuma saja belum sempat diambil. Namun hingga hari ini masih ada saja yang nanya buku masih ada apa enggak. Beberapa orang minta saya cetak ulang, namun .... ah, cukup dahulu rasanya. Entah, bila nanti berubah pikiran.

Di grup Aliyah saya juga "diserang", segerembolan bapak-bapak sebab gak mau jual buku ke mereka. Saya sadar, buku ini gak cocok untuk bapak-bapak yang profesinya hakim, polisi, guru agama, terlebih dai. Buku saya itu genrenya Roman Comedy, makanya jikalau ustadz beli saya kaget. Saya takut mereka ternoda, bacaaannya

"Santai kali jualan buku." protes si Nani Dahlia, suruh cetak ulang. Sampai saya dituduh gak pengen uang.
Justru sebab saya tahu dari permulaan ini untungnya tak seberapa, makanya saya masih mikir cetak lagi. Kalau motivasi saya ikut parade menulis cuma semata ingin punya buku sendiri, semestinya saya sudah selesai.

Tentang cerita para pembeli --yang nantinya merangkap jadi pembaca-- juga macam-macam saja gayanya.

Ada seorang kawan sejak 20 tahun lalu, yang saya tahu niscaya beliau dia tak suka membaca fiksi. Medsos pun beliau tak punya. Kaget, di saat tiba-tiba ikut PO.

Saat menyerahkan buku kepadanya, dengan dahi berkerut saya tanya kenapa pesan buku (kalau kemungkinan besar cuma akan jadi pajangan). Jawabannya malah buat saya terharu.
"Senang aja lihat nama mitra sendiri, tertulis di buku ini. Safrina ..." ucapnya sambil mengusap nama saya di cover buku, kemudian ngakak.

Akhirnya saya gres sadar, yang mesan buku itu memang pada biasanya sobat sekolah, saudara, hingga tetangga. Serame apapun jempol orang absurd yang saya temukan di grup literasi Facebook, nyatanya tetap orang-orang terdekat yang supportnya paling terasa.

Ada juga kakak leting yang membuatkan pemberitahuan bahwa ia tak dipersiapkan segelas airpun di saat jemput buku ke tempat tinggal saya. Padahal jauh-jauh beliau tiba dari Meulaboh.

Ini orang padahal kendaraan beroda empat aja gak dimatikan mesinnya, di saat saya memaksa mampir dulu. Dia memang suka cari gara-gara. Kayaknya takut duduk bareng suami saya, takut ditanya-tanya kemudian saling curhat, kenapa sanggup gak kurus-kurus, padahal sehabis berumah tangga nyatanya beban hidup semakin berat.

Sepertinya berat beban hidup berbanding lurus dengan berat badan.

Ada juga sobat kuliah yang transfer dua kali harga buku, terpaksa saya kembalikan. Karena rasa-rasanya, mengambil harta jomblo sama mengerikannya dengan mengambil harta anak yatim.

Semoga sobat saya cepat berjumpa dengan tulang rusuknya. Amin.
Ada juga yang kirim bukti transfer Rp. 88.888 dengan pemberitahuan terlampir: "Qe masih hutang quote sama aku."

Ada yang gak mau order dengan pengantaran dari percetakan eksklusif (di Jawa Barat) padahal yang bersangkutan tinggal di Bogor. Seharusnya kan mudah-mudahan ekonomis ongkir?
Alasannya cuma sebab pengen ukiran tangan saya dulu, dari Aceh.
Duh, mental "cari murah" dalam jiwa saya bergejolak luar biasa. Pengen saya marahi, gak mungkin, istri orang.

Ada juga bu Doktor yang kita suruh banyak baca dan nulis journal, mudah-mudahan cepat naik pangkat di kampus. Malah baca buku non akademik ini, tamat dalam sehari.

Ada lagi antara yang jual buku dan dan beli buku; penduduknya sekufu. Yang satu kayak gak niat jual buku, yang satu lagi kayak gak niat ambil buku, padahal udah transaksi
Dan banyak costumer angel yang lain yang tidak sanggup saya sebutkan satu persatu. Buat kalian semua ... saya ucapkan terima kasih banyak.

Terima kasih sudah menerima buku perdana ini apa adanya, dengan segenap kekurangannya.
Sebenarnya jikalau dikira ribet, benar kayak para pendahulu bilang, cetak buku itu ribet. Mikirin Cover, layout, editing, biaya, ekspedisi, dsb.

Tapi lihat respon pembaca menyerupai screenshot terlampir, agaknya cukup terbayarkan. Setidaknya sudah beberapa orang yang mengaku tamat dalam sehari (walaupun bukunya begitu sederhana). Bahkan enam diantaranya baca dari part pertama, kelar sehari.

Mendapati legalisasi begini saja, saya sudah cukup senang.

Sumber: Facebook Safrina Syams

Sumber https://www.juragandesa.id

Related : Tentang Buku

0 Komentar untuk "Tentang Buku"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close