Pada awalnya cuma pada informasi ihwal "syariat Islam" yang digoreng media, saya baper sering menyaksikan warga non-Aceh menyampaikan kami sok suci, hingga disumpahi biar Tsunami lagi.
Belakangan fenomena ini tak sebatas di topik agama, bahkan di bidang hiburan kami dianggap antik lantaran tak ada Bioskop terlebih Diskotik. Kurang liburan katanya.
Belum lagi kini makin lebar dengan dianggap kami Islam garis keras. Selain tuduhan tidak nasionalis, tidak toleran, dst yang sudah lebih permulaan dilabelkan media ke kami. Kemudian saya malah biasa saja. Toh kami yang hidup disini tenang-tenang saja, kok yang repot yang diluaran sana
.
1. TIDAK TOLERANSI
Isu ini paling kerap diberi tambahan micin oleh media hingga yang banyak mengosumsinya dibentuk kejang menganggap Syariat. Seolah kami sudah menzalimi non-muslim. Seolah mereka dikekang untuk beribadah.
Toleransi bagi kami bukan sebatas cuma dalam ucapan "selamat natal". Sempit sekali menangkal toleransi cuma selaku kata ucapan selamat pelengkap bibir. Toleransi itu luas.
Contohnya keluarga saya; kami acapkali membiarkan keluarga Kristen yang sudah belasan tahun bertetangga dengan kami, menggugah musik rohani dengan pengeras bunyi dihari minggu. Bahkan Anjing peliharaan mereka kerap keluar-masuk pekarangan kami yang kala itu belum berpagar. Sandal kami hilang sebelah, ranjau dari kotorannya pun aktif walaupun tak ada perang antara kami.
Kami tak pernah menegur lantaran paham makna toleransi. Selain itu juga kami takut, lantaran ia Polisi
.
2. WARGA ACEH KURANG HIBURAN.
Oke hingga disni, mari kita tarik nafas dalam-dalam. Hempaskan dengan cantik.
Hiburan itu banyak ragamnya Gaes. Bukan semata Mall, bioskop, terlebih Club Malam. Kenapa pula itu Club mesti malam-malam.
Club siang kita banyak kok disini. Club pembatasan makanan sehat namun
Apalah arti sepetak layar diruang gelap berbayar itu, dibanding pemandangan sejauh mata menatap yang kami punya.
Toh film apapun, belum sebulan tayang disana udah sanggup kita nikmati di laptop pribadi.
Mungkin juga disebabkan lantaran jiwa bahagia memberi kami (yang sudah teruji hingga ke puncak Monas) jadi kalau pengen sekali nonton film di bioskop, kaum kelas menengah keatas biasa akan ke Medan buat sedekah ke Bioskop disana. Nah kalau kaum Missquen kayak kami? Gak sanggup sedekah ke Medan, sedekah ke Ganool aja
.
3. BUKAN PEMUJA ARTIS
Mungkin efek dinomor 2 larinya ke nomor 3.
Kami jarang kemunculan artis. Logikanya, semestinya menerima artis yang jarang dilihat akan membuat lisan yang berlebihan. Tapi rupanya tidak.
Saya acapkali menyaksikan kemunculan artis disini malah biasa saja. Tidak menyerupai di pulau sana yang kian menjadi pusat artis kian histeris pula fansnya. Pernah kemunculan artis nasional bahkan internasional, EO nya malah kerugian lantaran minim peminat
.
4. TUTUP DIACEH BUKA DI MEDAN
Apapun yang tertutup di Aceh kok terbuka Di Medan, Jakarta, dan tempat lain? Jilbab misalnya.
"Orang aceh munafik" sambar mereka.
Tugas Ulama dan Umara disini yakni mempertahankan kami mudah-mudahan jauh dari maksiat ditanah Indatu. Kaum buka-tutup itu bukan Munafik, cuma patuh peraturan. Seumpana pepatah "Dimana bumi dipijak, disitu jibab dijungkat"
Lihat saja bagaimana pesan terakhir Teuku Umar yang menggambarkan mental orang Aceh, "Beungoh singoh geutanyoe jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid". Syahid di perang dan Ngopi di Warung. Itu
Jauh sebelum Kartini merasa dibatasi ruang geraknya, disini Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Ratu Safiatuddin sudah memimpin ribuan pasukan.
Dulu Aceh memang punya banyak sekali Srikandi tangguh. Jika kini meredup, sama sekali bukan Syariat penyebabnya lantaran dari masa kesultanan Aceh, Syariat sudah berjalan.
Saya juga tak paham kenapa perempuan Aceh kini tak setangguh leluhur mereka. Dulu perempuan Aceh alat tempur ditangan mereka yakni pedang hingga meriam. Sekarang alat tempur mereka menjelma Blush On, Maskara, dan kawan-kawannya.
Ternyata zaman sudah banyak berubah, sejak "cerdas" digeser oleh "cantik"
"Tangguh" digeser "unch unch"
.
Kejam sekali statement ini. Sesudah apa yang leluhur kami berikan demi negara ini pasca kemerdekaan, disebut "Daerah modal" pula. Namun dibalas dengan Darurat Militer yang sudah membunuh ribuan nyawa.
Negara ini tak jua merealisasi seruan hak spesialisasi yang sudah dijanjikan dengan air mata terhadap kami oleh Sukarno. Kemudian saat berontak dikatakan separatis.
Kini pasca pilpres sanggup pula gelar tak tau balas budi. Budi mana yang mesti kami balas? Budi Waseso, Budi Doremi, Budi Anduk?
Posisi negara kita di "Ring Fire" mutlak mengembangkan resiko kejadian dimanapun. Tak mesti Aceh, pasca Tsunami 2004 Makin banyak kejadian alam dari gelombang air laut ini di aneka macam daerah. Tak apa, mungkin memang layak kami diuji dengan kejadian alam maha dahsyat. Toh pasca kejadian alam itu Allah sudah menyediakan kado terindah yang berjulukan kedamaian setelah sekian usang bermusuhan dalam perang. Alhamdulillah ya khaaannnn?
Ini tak perlu diperpanjang, sudah terbukti.
Kami bergotong-royong cinta damai, namun bila sudah menyangkut Marwah jangan main-main. Attalarik aja hingga betah menduda.
10. GARIS KERAS
Haaaaaa... Sampai juga ke topik ini.
Masih hot gak sih?
Kami memang keras, namun untuk diri sendiri dan keluarga kami. Sebagai suatu ikhtiar melindungi diri dari segala kejelekan yang makin banyak di simpulan zaman. Dimana antara haq dan batil semakin susah dibedakan; yang mana hoax yang mana yang nyata, yang mana halal yang mana haram, yang mana kepentingan politik yang mana kepentingan agama. Terutama, membedakan yang mana perempuan yang mana waria, sungguh sungguh susah diera Lucinta Luna
Berhubung penafsiran "garis keras" hingga kini masih beraneka ragam dari model sekelas Professor hingga Processor kayak saya. Maka saya memutuskan tidak mengomentarinya dalam ranah keilmuan. Karena saya sukanya diskusikan receh-receh aja.
Semacam.... Apakah Uni Soviet itu perempuan Padang? Apakah Kangguru itu berdarah Sunda? dan apakah celana Cut-bray itu punya perempuan Aceh?
.
Demikian status panjang ini dibentuk mudah-mudahan yang suka menganggap Aceh tanpa menginjakkan kaki terlebih dahulu disini, secepatnya pesan tiket sebelum harganya naik lagi. Nanti sanggup foto kayak foto ini.
.
Iklan layanan penduduk ini disponsori oleh "Visit Indonesia 2019"
Sumber https://www.juragandesa.id
.
1. TIDAK TOLERANSI
Isu ini paling kerap diberi tambahan micin oleh media hingga yang banyak mengosumsinya dibentuk kejang menganggap Syariat. Seolah kami sudah menzalimi non-muslim. Seolah mereka dikekang untuk beribadah.
Padahal coba main ke Aceh. Kami ajak ke salah satu pusat ibu kota, Peunayong selaku sentral perdagangan. Kita lihat bagaimana etnis Tionghoa hidup makmur disini. Mereka bebas memakai rok pendek maupun YouCanSee. Sekolah Methodist pun masih exist hingga sekarang.
Toleransi bagi kami bukan sebatas cuma dalam ucapan "selamat natal". Sempit sekali menangkal toleransi cuma selaku kata ucapan selamat pelengkap bibir. Toleransi itu luas.
Contohnya keluarga saya; kami acapkali membiarkan keluarga Kristen yang sudah belasan tahun bertetangga dengan kami, menggugah musik rohani dengan pengeras bunyi dihari minggu. Bahkan Anjing peliharaan mereka kerap keluar-masuk pekarangan kami yang kala itu belum berpagar. Sandal kami hilang sebelah, ranjau dari kotorannya pun aktif walaupun tak ada perang antara kami.
Kami tak pernah menegur lantaran paham makna toleransi. Selain itu juga kami takut, lantaran ia Polisi
.
2. WARGA ACEH KURANG HIBURAN.
Oke hingga disni, mari kita tarik nafas dalam-dalam. Hempaskan dengan cantik.
Hiburan itu banyak ragamnya Gaes. Bukan semata Mall, bioskop, terlebih Club Malam. Kenapa pula itu Club mesti malam-malam.
Club siang kita banyak kok disini. Club pembatasan makanan sehat namun
Saya akui untuk 3 tempat diatas, kami ini orang miskin.... Ya oma... Ya oma...!
Tapi laut kami kaya Ya Oma.. ya Oma....!
Insyaallah warga kami gak akan frustasi cuma lantaran gak ada bioskop. Tapi orang yang nonton bioskop justru potensial demikian. Apalagi udah cape nonton film yang durasinya sampe 3 jam tanpa jeda. Pulang-pulang malah diminta #DontSpoil.
Wisata laut kami banyak sekali. Laut lepas nan luas hadirkan riuh ombak bersahutan, pemandangan Indah nan segar, aroma ikan bakar.
Tapi laut kami kaya Ya Oma.. ya Oma....!
Insyaallah warga kami gak akan frustasi cuma lantaran gak ada bioskop. Tapi orang yang nonton bioskop justru potensial demikian. Apalagi udah cape nonton film yang durasinya sampe 3 jam tanpa jeda. Pulang-pulang malah diminta #DontSpoil.
Wisata laut kami banyak sekali. Laut lepas nan luas hadirkan riuh ombak bersahutan, pemandangan Indah nan segar, aroma ikan bakar.
Apalah arti sepetak layar diruang gelap berbayar itu, dibanding pemandangan sejauh mata menatap yang kami punya.
Toh film apapun, belum sebulan tayang disana udah sanggup kita nikmati di laptop pribadi.
Mungkin juga disebabkan lantaran jiwa bahagia memberi kami (yang sudah teruji hingga ke puncak Monas) jadi kalau pengen sekali nonton film di bioskop, kaum kelas menengah keatas biasa akan ke Medan buat sedekah ke Bioskop disana. Nah kalau kaum Missquen kayak kami? Gak sanggup sedekah ke Medan, sedekah ke Ganool aja
.
3. BUKAN PEMUJA ARTIS
Mungkin efek dinomor 2 larinya ke nomor 3.
Kami jarang kemunculan artis. Logikanya, semestinya menerima artis yang jarang dilihat akan membuat lisan yang berlebihan. Tapi rupanya tidak.
Saya acapkali menyaksikan kemunculan artis disini malah biasa saja. Tidak menyerupai di pulau sana yang kian menjadi pusat artis kian histeris pula fansnya. Pernah kemunculan artis nasional bahkan internasional, EO nya malah kerugian lantaran minim peminat
.
4. TUTUP DIACEH BUKA DI MEDAN
Apapun yang tertutup di Aceh kok terbuka Di Medan, Jakarta, dan tempat lain? Jilbab misalnya.
"Orang aceh munafik" sambar mereka.
Tugas Ulama dan Umara disini yakni mempertahankan kami mudah-mudahan jauh dari maksiat ditanah Indatu. Kaum buka-tutup itu bukan Munafik, cuma patuh peraturan. Seumpana pepatah "Dimana bumi dipijak, disitu jibab dijungkat"
Terkait keterkaitannya Aceh-Medan memang complicated, mereka saling mengasihi dengan cara rumit. Aceh hingga kini masih mengandalkan pasokan listrik, telur, tomat, hingga Teri pun dari Medan, Indomie mesti pula Soto Medan. Bahkan untuk sekedar buka jilbab pun mesti ke Medan. Kurang kaya terlebih coba
.
.
5. KETURUNAN RAJA atau PANGLIMA
Saat hari buruh hampir tidak pernah ada acara apapun disini. Tak ada pabrik besar yang memberdayakan banyak buruh di Aceh. Selain itu mental "keturunan raja" menghasilkan sebagian warga kadang lebih senang hidup pas-pasan asal santai, dibandingkan dengan banting tulang asal kaya. Lihat saja warung kopi menyesaki setiap jengkal tanahnya, banyak sekali orang menyeruput kopi beberapa jam tak habis-habis seolah tak dikejar waktu dan pekerjaan, tak terkecuali PNS.
Sumber: Facebook Safrina Syams
Lihat saja bagaimana pesan terakhir Teuku Umar yang menggambarkan mental orang Aceh, "Beungoh singoh geutanyoe jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid". Syahid di perang dan Ngopi di Warung. Itu
6. MENGEKANG PEREMPUAN.
"Kasian perempuan Aceh senantiasa dikekang, Dan dijadikan objek Syariat"
Hai Esmeralda! Jika perempuan Aceh dikekang, tak mungkin Malahayati sanggup menjadi laksama perempuan pertama didunia.
Hai Esmeralda! Jika perempuan Aceh dikekang, tak mungkin Malahayati sanggup menjadi laksama perempuan pertama didunia.
Jauh sebelum Kartini merasa dibatasi ruang geraknya, disini Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Ratu Safiatuddin sudah memimpin ribuan pasukan.
Dulu Aceh memang punya banyak sekali Srikandi tangguh. Jika kini meredup, sama sekali bukan Syariat penyebabnya lantaran dari masa kesultanan Aceh, Syariat sudah berjalan.
Saya juga tak paham kenapa perempuan Aceh kini tak setangguh leluhur mereka. Dulu perempuan Aceh alat tempur ditangan mereka yakni pedang hingga meriam. Sekarang alat tempur mereka menjelma Blush On, Maskara, dan kawan-kawannya.
Ternyata zaman sudah banyak berubah, sejak "cerdas" digeser oleh "cantik"
"Tangguh" digeser "unch unch"
.
7. TIDAK NASIONALIS
Kejam sekali statement ini. Sesudah apa yang leluhur kami berikan demi negara ini pasca kemerdekaan, disebut "Daerah modal" pula. Namun dibalas dengan Darurat Militer yang sudah membunuh ribuan nyawa.
Negara ini tak jua merealisasi seruan hak spesialisasi yang sudah dijanjikan dengan air mata terhadap kami oleh Sukarno. Kemudian saat berontak dikatakan separatis.
Kini pasca pilpres sanggup pula gelar tak tau balas budi. Budi mana yang mesti kami balas? Budi Waseso, Budi Doremi, Budi Anduk?
8. TSUNAMI.
"Emang layak dikasih Tsunami" ucap Netijen yang melabeli kami sombong, angkuh, ekstrim endebre endebre.
Posisi negara kita di "Ring Fire" mutlak mengembangkan resiko kejadian dimanapun. Tak mesti Aceh, pasca Tsunami 2004 Makin banyak kejadian alam dari gelombang air laut ini di aneka macam daerah. Tak apa, mungkin memang layak kami diuji dengan kejadian alam maha dahsyat. Toh pasca kejadian alam itu Allah sudah menyediakan kado terindah yang berjulukan kedamaian setelah sekian usang bermusuhan dalam perang. Alhamdulillah ya khaaannnn?
9. SUKA PERANG.
Ini tak perlu diperpanjang, sudah terbukti.
Kami bergotong-royong cinta damai, namun bila sudah menyangkut Marwah jangan main-main. Attalarik aja hingga betah menduda.
10. GARIS KERAS
Haaaaaa... Sampai juga ke topik ini.
Masih hot gak sih?
Kami memang keras, namun untuk diri sendiri dan keluarga kami. Sebagai suatu ikhtiar melindungi diri dari segala kejelekan yang makin banyak di simpulan zaman. Dimana antara haq dan batil semakin susah dibedakan; yang mana hoax yang mana yang nyata, yang mana halal yang mana haram, yang mana kepentingan politik yang mana kepentingan agama. Terutama, membedakan yang mana perempuan yang mana waria, sungguh sungguh susah diera Lucinta Luna
Konon Ghirah terhadap agama menghasilkan kami diklasifikasikan "Islam Garis Keras".
Saya menamainya "Islam Garis Barat" Karena gelarnya diberikan ke Jawa Barat, Sumatra Barat, dan Provinsi (paling) Barat.
Saya menamainya "Islam Garis Barat" Karena gelarnya diberikan ke Jawa Barat, Sumatra Barat, dan Provinsi (paling) Barat.
Berhubung penafsiran "garis keras" hingga kini masih beraneka ragam dari model sekelas Professor hingga Processor kayak saya. Maka saya memutuskan tidak mengomentarinya dalam ranah keilmuan. Karena saya sukanya diskusikan receh-receh aja.
Semacam.... Apakah Uni Soviet itu perempuan Padang? Apakah Kangguru itu berdarah Sunda? dan apakah celana Cut-bray itu punya perempuan Aceh?
.
Demikian status panjang ini dibentuk mudah-mudahan yang suka menganggap Aceh tanpa menginjakkan kaki terlebih dahulu disini, secepatnya pesan tiket sebelum harganya naik lagi. Nanti sanggup foto kayak foto ini.
.
Iklan layanan penduduk ini disponsori oleh "Visit Indonesia 2019"
Sumber: Facebook Safrina Syams
0 Komentar untuk "10 Hal Yang Perlu Dikenali Wacana Aceh"