Mengenang Nyawoeng

Beberapa waktu lalu, suatu lagu Aceh lawas berjudul Beusaree-saree, kembali hits sehabis generasi milenial me-remake lagu tersebut dengan aransement kekinian. Buka medsos, kemudian lalang terdengar bunyi Safira Amalia menyanyikan lagu ini. Bahkan orang selain Aceh juga ramai menggunakannya di Tik Tok.
 suatu lagu Aceh lawas berjudul Beusaree Mengenang Nyawoeng

"Jak keunoe rakan lôn tapula padé

Meubèk pajôh lé breuh nanggroe luwa

Asai ta meugoe tiep-tiep thôn sabé

Reuzeuki Tuhan bri akan syèdara ..."

Walau liriknya sungguh sederhana, namun permohonan di dalamnya saya rasa luar biasa: mari bertani, jangan impor lagi beras, rezeki ada Tuhan yang ngatur.

Jauh sebelum Safira terkenal dengan Beusaree-saree ini, lagu ini pertama kali saya dengar ketika gres duduk di dingklik Tsanawiyah, di album Nyawoeng. Penyanyinya justru seorang lelaki, yang dari suaranya saya sanggup pastikan penduduknya sudah tidak mengecewakan tua.

Alkisah, saya punya tiga kakak yang suka koleksi kaset dengan ketertarikan berbeda. Dulu saya dengan bebas sanggup menikmati lagu The Beatles, The Corrs, The Cranberries, Iwan Fals, Ace Of Base, Dewa 19. Namun diantara sekian banyak kaset itu, cuma ada satu kaset musisi setempat yang sanggup saya dengarkan, yaitu milik Nyawoeng.

Saya hafal nyaris semua liriknya, ketika itu. Mulai dari lirik permohonan bertani (di lagu Beusaree-saree), permohonan berjuang di jalan Allah (di lagu Prang Sabil), permohonan memuliakan tamu (Saleum), permohonan mengingat simpulan hidup (Nyawoeng). Hingga permohonan mendidik anak sejak dari ayunan (Do Da I Di).

"Berijang rayeuk muda sedang

Tajak banthu prang ta bela nanggroe

Wahai aneuk bek ta deuk le

Bedoh sare ta bela bangsa

Bek ta takot ke darah ile.

Ada pi mate poma ka rela."

Yang mana artinya:

"Cepatlah besar si kecil perkasa,

Agar sanggup menolong perang, bela negara,

Wahai anak, janganlah engkau berleha,

Bangunlah bareng membela bangsa,

Jangan takut darah yang mengalir, apabila mati pun bunda tlah rela."

Bayangin, gimana keras dan tangguhnya orang Aceh dulu, dari dalam ayunan sudah diajari perang. Lain sekarang, dari ayunan udah diajarin Pargoy
Pokoknya apabila dengar lagu-lagu di album Nyawoeng itu, rasanya sungguh-sungguh ke Acehan kita membara. Karena album itu dibentuk ketika konflik. Bahkan produsernya sendiri mengaku, bahwa album tersebut dibentuk bukan untuk sebatas seni terlebih cari keuntungan. Pak Joe Samalanga menggarap album ini, demi menguatkan warga Aceh ketika masa sulit.

Dengan memadukan kekuatan terbaru dan tradisional, seniman-seniman Aceh sungguh-sungguh mendatangkan maha karya. Walaupun lagunya terdengar riuh, namun tetap besar lengan berkuasa dalam irama rapa’i, seurune kale, nandong, dan ketangguhan vokal penyanyi Aceh. 30 ribu kopi terjual dalam enam bulan. Sebuah rekor yang menyibukkan tertandingi dalam sejarah industri musik Aceh.

Salah satu vokalis yang paling saya ingat yaitu Mukhlis. (Allahu Yarham)
Tanpa menelusuri biography tentangnya, cuma dengan mendengar logatnya dalam bernyanyi, saya sudah sanggup menebak bahwa dia orisinil Aceh Besar. Beliau konon ialah dosen Seni di Unsyiah dulunya.

Pada satu peluang Mukhlis pernah dipanggil ke Padang bareng seniman Indonesia yang lain untuk perhelatan kesenian tradisional. Hampir semua penerima tiba dengan menjinjing personel yang tidak sedikit. Lucunya, Mukhlis malah tiba sendirian.
Beberapa seniman lain mempertanyakan kenapa ia tidak hadir dengan personel lainnya. Kata Mukhlis, Aceh dengan satu orang pun sudah cukup, sebab kesenian Aceh bukan kesenian yang rumit. Pernyataannya itu menciptakan ingin tau kontestan lain. Lalu, pada malam program Mukhlis pun dipersilakan tampil. Dengan santainya, Mukhlis naik pertunjukan HANYA menjinjing suatu rapa'i.

Disitulah dia bernyanyi tanpa iringan apapun kecuali satu rapa'i dan seringkali bunyian dari tubuh. Penonton tercengang, dan kemudian bertepuk tangan karena Mukhlis memang berhasil menggiring penonton yang non-Aceh terbawa pada arus dia bermusik dan bernyanyi.

The real seniman, ya?

Sekarang rasanya susah mendapatkan seniman ideal seumpama orang-orang yang pernah berada dibalik keberhasilan album Nyawoeng. Yang gak semata menciptakan karya seni, juga menciptakn peradaban, mereka sanggup mendidik insan dengan lirik-liriknya.

Jangan ketimbang lagu Aceh yang cinta-cintaan itu, yang musiknya pinjam lagu India atau lagu Dangdut koplo, kemudian tinggal masukin lirik bahasa Aceh agar disebut lagu Aceh.

Seniman Aceh semestinya tidak cuma sanggup mengerjakan sebatas itu saja.
Kita punya alat musik sendiri, adat istiadat sendiri untuk dijadikan acuan dalam menulis lagu. Jangan latah.

Setelah Nyawoeng, saya menduga akan susah mendapatkan penggantinya. Hingga kemudian Rafly dengan Kandee nya muncul, ternyata menawan juga.

Namun sayang, sejak duduk di DPR ... kelihatannya tak terdengar lagi apabila dia mengeluarkan album baru.

Setidaknya kedatangan Bang Joel Pasè Acèh Dan Nazar Shah Alam masih menumbuhkan cita-cita saya akan kesenian Aceh. Lirik dan musik mereka masih ada bagian tradisionalnya, masih berisi permohonan akan kebaikan.

Semoga keduanya mengikuti keberhasilan Nyawoeng dalam berkarya. Satu dua lagu perihal cinta tak urusan agar tetap dilirik oleh generasi milenial, asalkan senantiasa memperlihatkan ciri khas Aceh dalam karyanya. Baik dari lirik, maupun musiknya.
Akhirul Kalam ...

Kepada para seniman Aceh yang masih bertahan, kami titipkan nasib kesenian bangsa ini. Karena apabila saya nitipnya belanjaan ... nanti kalian gak akan sanggup.

Sumber: Facebook Safrina Syams

Sumber https://www.juragandesa.id

Related : Mengenang Nyawoeng

0 Komentar untuk "Mengenang Nyawoeng"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close