Bagaimana Mengukur Bahagia?

Ada yang cukup dengar bunyi kendaraan roda dua suaminya memasuki perkarangan rumah udah bahagia, sekalipun gak bawa pulang tentengan. Karena kadang kita lupa bahwa hal yang paling bermanfaat itu merupakan nyawa.
Ada yang cukup dengar bunyi kendaraan roda dua suaminya memasuki perkarangan rumah udah ba Bagaimana Mengukur Bahagia?

Atau kalau saya, cukup rebahan sambil lihat kelakuan Netizen di kolom komentar juga bisa bikin bahagia. Orang-orang di negeri ini setidaknya punya kesanggupan survive yang unik, sebagian orang masih bisa menertawai kondisi di saat suasana makin mengenaskan dikala pemerintah kian tak waras buat keputusan.

Kalau negara mirip Swiss, dinobatkan selaku negara paling bahagia, sungguh wajar. Alamnya indah, perekonomiannya baik. Nah, kalau negara-negara mirip Indonesia atau India bisa tetap senang itu gres luar biasa.

Kemampuan bertahan hidup kita ditempa di "suhu" tinggi, menyerupai kata ... imunnya telah sungguh tahan banting, kalau memang lulus cobaan hidup jadi warga Indonesia.

Sekeren-kerennya negara orang, itu bukan negara kita. Memuja mereka berlebihan tak serta-merta bikin kita diterima jadi warga negara disana. Sementara Indonesia tetap nerima kita meskipun kita caci terus-menerus.

Kadang suka heran sama orang begitu memuja negara lain, dengan cara merendahkan negara sendiri. Pernah saya dapatkan goresan pena trend yang mencaci budaya "ikut campur" tetangga Indonesia, membandingkannya dengan negara maju yang katanya kalau lagi ngobrol suka diskusikan hal berbobot. Gak kayak orang Indonesia, yang suka tanya:

"Sudah nikah?"

"Sudah punya anak berapa?"

"Gak pengen nambah anak lagi?"

"Kemana aja, gak pernah ikut program warga?"

"Anaknya kenapa dibawa keluar mau Maghrib. Gak bagus!"

"Tetangga di ujung sana gak pernah keluar."

Menurut orang yang sering ke mancanegara tersebut, topik diatas itu tak bermutu, bila ketimbang pembahasan mengenai reksadana, isu politik, kebijakan luar negeri, dst.
Yaelah, Sanusi!

Macam gak paham aja budaya "ramah tamah" bangsa ini (kalau ada sedikit pergeseran, jangan diambil hati). Lagipula, adakalanya hal yang kita anggap "ikut campur" itu ternyata merupakan suatu bentuk kepedulian.

Masih banyak kok orang yang tanya "Udah nikah?" potongan dari upaya sensus, bila-bila ada yang minta dicarikan jodoh. Dan ditanyai "Kemana saja selama ini?" alasannya merupakan ingin tahu apakah kondisi baik-baik saja.

Daripada anggap orang lain kepo, mending positif thinking aja, beliau nanya alasannya merupakan beliau peduli kondisi kita. Jangan-jangan kitanya aja yang bawa perasaan.

Soalnya zaman kini --seiring sulit bedakan antara Haq dan yang Batil-- telah sukar juga kita bedakan mana peduli mana ikut campur. Misal, di saat ada tetangga yang bilang "Eh, anak perempuanmu tadi kulihat lagi mesra-mesraan di Cafe sama lelaki."

Mungkin akan ada yang jawab, "suka banget ikut campur urusan orang!"

Tapi kalau saya jadi orang renta si gadis yang dilaporkan, justru saya berterimakasih si tetangga mau laporkan bencana ini lebih cepat. Kaprikornus saya bisa mengerjakan langkah-langkah preventif lebih dini, sebelum anak terperosok lebih jauh.
***

Kembali ke topik kebahagiaan. Sebenarnya, apakah warga negara ini bantu-membantu cukup bahagia?

Orang-orang yang kelihatan "susah" di Indonesia sekalipun, punya tolok ukur senang sendiri yang menyibukkan BPS analisa.

Mungkin kita mesti menuntut ilmu dari gunjingan mengenai seorang nenek pedagang sayur yang sungguh senang kesannya bisa berqurban sapi. Dia bikin tolok ukur bahagianya dengan meningkatkan terhadap sesama.

Tentang penyapu jalan raya, yang begitu senang bisa naik haji sehabis menabung puluhan tahun. Padahal rumahnya hanyalah suatu gubuk reot yang yang dibikin dari kayu yang mulai lapuk.

Jenis kebahagiaan warga kita tidak sedikit yang mencengangkan mirip ini.

Saat kebijakan negara ini sama sekali tak bisa dipercaya lagi untuk membahagiakan warganya, syukurlah bila sebagian kita punya cara sendiri membahagiakan diri sendiri.
Gak ada negara yang sempurna, itu yang perlu diingat.

Sekeren-kerennya Jepang atau Korea mereka tekanan hidup di wilayah kerja, tinggi. Bunuh diri merupakan hal biasa, sekalipun oleh orang artis terkemuka dan kaya raya. Bahkan di Jepang punya hutan sendiri yang telah dianggap wilayah menuntaskan hidup.

Di Indonesia kita masih banyak orang yang memunculkan anak selaku salah satu sumber kebahagiaan. Di negara maju sana pada biasanya orang tak lagi menilai ijab kabul (apalagi punya anak) selaku hal penting dalam hidup. Hingga di saat kendala besar datang, mereka tak lagi punya seseorang untuk menjadi argumentasi mudah-mudahan bertahan.

Sekeren-kerennya orang Selandia Baru, konon kata Tantowi Yahya --yang pernah jadi Duta Besarnya-- warga disana tak seunik orang kita.

"Selandia Baru itu semua sempurna, alamnya, rakyatnya, manajemen pemerintahnya namun ada satu yang tidak dapat mengalahkan Indonesia," ucapnya.

"Kebiasaan itu merupakan multi-tasking atau mengerjakan beberapa pekerjaan dalam waktu yang bersamaan. Mereka kalau telah mengerjakan pekerjaan terus kita tiba kita ganggu (untuk mengerjakan pekerjaan lain), mereka marah," tambahnya.

Lha kita, negera ini multi tasking benar!

Lihat aja itu orang-orang di pemerintahan sekarang. Pak Luhut itu, kan, menteri paling multitasking se alam semesta. Lagi ngurusin hal ini, masih sempat-sempatnya urusin hal lainnya. Jabatannya rangkap banyak.

Eh, kemana ini telah pembahasannnya.

Oke, pada dasarnya begini.

Sekalipun di survey ini memunculkan nama Aceh di kolom provinsi tidak bahagia. Tapi percayalah, saya sungguh senang dan betah tinggal di Aceh. Gak akan mau juga, disuruh pindah.

Setidaknya kasus, perampokan, pembegalan, mabuk-mabukan di jalanan, tawuran, dan kriminal yang lain (yang biasa saya lihat gunjingan nasional) sungguh jarang terjadi disini. Tanah ini kondusif sentosa; setidaknya bila dibandingkan pada biasanya kota besar.

Walau tidak memiliki bioskop, ataupun mall, Alhamdulillah kami tetap tau cara mengasyikkan diri kemana. Tanah ini dikelilingi pantai yang indah, makanannya enak-enak, penduduknya asik-asik. Kebiasaan "santai" di warung kopi, juga bantu-membantu telah menerangkan seberapa ringan beban hidup kami.

Atau jikalau butuh hiburan yang sedikit kekinian, biasa orang Aceh akan main ke Medan. Berbagi rezeki untuk pelaku rekreasi disana.

Jadi saya cuma mau bilang, bahwa saya orang Aceh, dan saya bahagia.

Sumber: Facebook Safrina Syams

Sumber https://www.juragandesa.id

Related : Bagaimana Mengukur Bahagia?

0 Komentar untuk "Bagaimana Mengukur Bahagia?"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close