Mari sejenak saya ajak anda jalan-jalan ke masa lalu.
Resepsi ijab kabul tetangga atau kerabat merupakan salah satu hal yang paling saya tunggu, alasannya merupakan itu artinya dikala malam kami -- para gadis² di desa --- akan beramai-ramai ke tempat tinggal yang punya hajatan.
Itulah moment mengakrabkan diri dengan sesama "aneuk dara gampoeng"
Banyak hal yang bisa kami lakukan. Seperti mengelap piring bersama, memotong kertas warna-warni untuk kemudian di gantungkan di tenda, sampai mempercantik beberapa meja prasmanan (menggunakan kain jarik yang dilapisi plastik)
Tak lupa beramai-ramai kami melipat serbet/tissue. Sebagian dilipat untuk dipasangkan ke sendok, dan sebagian lagi dirangkai berupa nanas atau mawar untuk di atur di 'idang' besan.
Apa gak menjemukan melipat belasan kemasan serbet?
Justru disinilah asiknya.
Kami para Aneuk Dara, akan membicarakan ragam hal malam itu. Segala informasi akan satu persatu dibagikan oleh orang-orang yang berbeda, sambil sedikit gossip dan tawa pastinya.
Tak lupa secangkir teh, kopi, atau sirup, bareng Beuleukat untuk menemani malam final pekan kami semua; para warga yang bergotong royong merencanakan keberhasilan hajatan di esok hari.
Riuh para warga dari banyak sekali jenjang usia, dengan kegiatannya masing-masing.
IBU² akan sibuk di dapur, mengolah masakan beraneka ragam santapan dalam jumlah besar.
BAPAK² bertanggung jawab untuk pemotongan daging dan nangka muda di waktu fajar, untuk mengolah masakan kuah utama khas Aceh yang berjulukan kuah Beulangong. Tak lupa nasi yang jumlahnya berdang-dang besar yang berupa tabung, dengan tutupnya yang berupa kerucut.
PEMUDA, beramai-ramai memasang tenda dan menertibkan kursi. Mereka yang hendak bertanggung jawab atas piring dan gelas kotor di hari acara.
PEMUDI, selain yang saya debut diatas, masih ada kiprah yang lain dihari H. Yakni duduk manis di meja tamu (bagi yang tak mau kiprah berat), dan duduk dibalik prasmanan (bila ingin sebaliknya)
ANAK² akan menolong hal-hal ringan serupa memindahkan tumpukan kado, atau memindahkan piring dari bawah tenda.
NENEK² merupakan penggalan mempertahankan hilir pulang kampung distribusi masakan di ruang kendali. Saya menyebutnya demikian, alasannya merupakan niscaya ada satu ruang khusus kawasan makanan. Yang dikala program usai, mereka bersiap membungkus masakan yang lebih. Biasanya dibagikan ke kerabat dekat, orang yang sudah banyak membantu, sampai lansia di lorong tersebut.
Lalu coba bandingakan dengan masa kini.
Di kota-kota besar barangkali budaya serupa sudah langka. Orang-orang yang punya fasilitas ekonomi, atau yang hidupnya ingin serba praktis, tentu tidak mau repot dengan mengorganisir hal seumpama diatas. Selagi kita banyak uang, ada katering dan gedung program yang memikirkannya.
Memang niscaya ada segi baiknya (sebagaimana saya meyakini bahwa bahwa semua pilihan ada plus-minusnya) namun kemudian risikonya ini berimbas pada bagaimana tatanan kehidupan kita ditengah masyarakat. Bagaimana kegiatan-kegiatan yang selama ini jadi sendi penguat antar warga, satu-persatu mulai tergerus zaman.
Dulu para ibu-ibu akan bersawah bersama, dikala musim tanam padi mereka akan bergantian saling membantu.
Dulu di setiap desa belum dewasa niscaya punya lapangan berkumpul; untuk bermain bareng tiap sorenya. Kelereng, galah karet, pet pet nyut, dan banyak lagi.
Satu persatu hal yang mendekatkan kita, perlahan berkurang. Padahal dahulu yang saya tahu budaya khas negara ini merupakan gotong royong. Lalu perilaku hedonism, Kapitalis, bertahap memindah budaya bangsa ini.
Kita -- yang pernah hidup di zaman peralihan -- mungkin bertanya-tanya,
Bagaimana mungkin sekarang, ada tetangga satu lorong yang tidak kenal satu sama lain?
Bagaimana mungkin ada orang yang lebih mengenali kabar selebgram, ketimbang kabar kerabat sendiri?
Bagaimana mungkin ada warga yang sudah meninggal tiga hari dalam rumah, gak ada yang tahu?
Meskipun itu bukan isu tentang kerabat atau tetangga kita. Meskipun adakalanya, itu gak ada keuntungannya untuk kita ketahui.
***
Lama kelamaan budaya setempat kita terkait resepsi memang digeser oleh sesuatu 'asing' yang kita sendiri membiarkannya demikian. Lihat saja dari dari prosesi engagement, pre wedding, bridal shower, bridesmaid, groomsmen, baby boom, dan banyak perumpamaan lain lagi.
Dulu begitu asingnya kita dengan perumpamaan itu.
Namun sekarang?
Banyak orang lebih bahagia dengan hal berbau barat, ketimbang melestarikan budaya Endatu.
Tak ada salahnya memang dengan mengadopsi budaya barat sejauh diadaptasi dengan kearifan lokal. "Dont be so serious" kata mereka, "ini cuma Untuk senang-senang."
Tapi apakah caranya dengan menelantarkan budaya kita sendiri?
Pastikan dulu, sebelum menegaskan mengerjakan prosesi barat itu semua, tanya hati kita masing-masing ... apa keuntungannya untuk kehidupan berbudaya, bersosial, dan beragama?
Closing statement:
Besyukurlah jikalau kita meski tinggal di kota, namun masih dapat mencicipi harmoni bertetangga, masih dapat mencicipi asiknya menolong mereka menggelar hajatan. Walaupun itu cuma sekedar mengaduk kuah, atau mengupas bawang.
Atau syukur-syukur kalau anda tinggal di desa dimana budaya bergotong royongnya tetap lestari sampai kini.
Seperti di salah satu sudut di Aceh Besar yang saya lihat semingguan lalu, di seputaran Cot Keueung.
Melihat bagaimana belum belakangan ini dengan sungguh gesit, berlangsung antara kursi tamu yang sempit, sambil mengangkat piring kotor, menghasilkan saya merasa mesti mendokumentasikan ini.
Karena bukan tak mungkin belasan tahun lagi, panorama seperti ini sudah punah ....
Rentang itu itu umur saya belasan sampai permulaan dua puluhan. Masa remaja, dikala lagi asik-asiknya menghabiskan masa muda.
Resepsi ijab kabul tetangga atau kerabat merupakan salah satu hal yang paling saya tunggu, alasannya merupakan itu artinya dikala malam kami -- para gadis² di desa --- akan beramai-ramai ke tempat tinggal yang punya hajatan.
Itulah moment mengakrabkan diri dengan sesama "aneuk dara gampoeng"
Banyak hal yang bisa kami lakukan. Seperti mengelap piring bersama, memotong kertas warna-warni untuk kemudian di gantungkan di tenda, sampai mempercantik beberapa meja prasmanan (menggunakan kain jarik yang dilapisi plastik)
Tak lupa beramai-ramai kami melipat serbet/tissue. Sebagian dilipat untuk dipasangkan ke sendok, dan sebagian lagi dirangkai berupa nanas atau mawar untuk di atur di 'idang' besan.
Apa gak menjemukan melipat belasan kemasan serbet?
Justru disinilah asiknya.
Kami para Aneuk Dara, akan membicarakan ragam hal malam itu. Segala informasi akan satu persatu dibagikan oleh orang-orang yang berbeda, sambil sedikit gossip dan tawa pastinya.
Tak lupa secangkir teh, kopi, atau sirup, bareng Beuleukat untuk menemani malam final pekan kami semua; para warga yang bergotong royong merencanakan keberhasilan hajatan di esok hari.
Riuh para warga dari banyak sekali jenjang usia, dengan kegiatannya masing-masing.
IBU² akan sibuk di dapur, mengolah masakan beraneka ragam santapan dalam jumlah besar.
BAPAK² bertanggung jawab untuk pemotongan daging dan nangka muda di waktu fajar, untuk mengolah masakan kuah utama khas Aceh yang berjulukan kuah Beulangong. Tak lupa nasi yang jumlahnya berdang-dang besar yang berupa tabung, dengan tutupnya yang berupa kerucut.
PEMUDA, beramai-ramai memasang tenda dan menertibkan kursi. Mereka yang hendak bertanggung jawab atas piring dan gelas kotor di hari acara.
PEMUDI, selain yang saya debut diatas, masih ada kiprah yang lain dihari H. Yakni duduk manis di meja tamu (bagi yang tak mau kiprah berat), dan duduk dibalik prasmanan (bila ingin sebaliknya)
ANAK² akan menolong hal-hal ringan serupa memindahkan tumpukan kado, atau memindahkan piring dari bawah tenda.
NENEK² merupakan penggalan mempertahankan hilir pulang kampung distribusi masakan di ruang kendali. Saya menyebutnya demikian, alasannya merupakan niscaya ada satu ruang khusus kawasan makanan. Yang dikala program usai, mereka bersiap membungkus masakan yang lebih. Biasanya dibagikan ke kerabat dekat, orang yang sudah banyak membantu, sampai lansia di lorong tersebut.
Lalu coba bandingakan dengan masa kini.
Di kota-kota besar barangkali budaya serupa sudah langka. Orang-orang yang punya fasilitas ekonomi, atau yang hidupnya ingin serba praktis, tentu tidak mau repot dengan mengorganisir hal seumpama diatas. Selagi kita banyak uang, ada katering dan gedung program yang memikirkannya.
Memang niscaya ada segi baiknya (sebagaimana saya meyakini bahwa bahwa semua pilihan ada plus-minusnya) namun kemudian risikonya ini berimbas pada bagaimana tatanan kehidupan kita ditengah masyarakat. Bagaimana kegiatan-kegiatan yang selama ini jadi sendi penguat antar warga, satu-persatu mulai tergerus zaman.
Dulu para ibu-ibu akan bersawah bersama, dikala musim tanam padi mereka akan bergantian saling membantu.
Dulu di setiap desa belum dewasa niscaya punya lapangan berkumpul; untuk bermain bareng tiap sorenya. Kelereng, galah karet, pet pet nyut, dan banyak lagi.
Satu persatu hal yang mendekatkan kita, perlahan berkurang. Padahal dahulu yang saya tahu budaya khas negara ini merupakan gotong royong. Lalu perilaku hedonism, Kapitalis, bertahap memindah budaya bangsa ini.
Kita -- yang pernah hidup di zaman peralihan -- mungkin bertanya-tanya,
Bagaimana mungkin sekarang, ada tetangga satu lorong yang tidak kenal satu sama lain?
Bagaimana mungkin ada orang yang lebih mengenali kabar selebgram, ketimbang kabar kerabat sendiri?
Bagaimana mungkin ada warga yang sudah meninggal tiga hari dalam rumah, gak ada yang tahu?
Mungkin, dapat jadi ini salah satu faktornya. Bahwa budaya bersosialisasi antar warga, antar saudara, sudah tergerus masa. Berganti kala digital, yang cuma menghidangkan isu yang trending di layar ponsel cerdas kita.
Meskipun itu bukan isu tentang kerabat atau tetangga kita. Meskipun adakalanya, itu gak ada keuntungannya untuk kita ketahui.
***
Lama kelamaan budaya setempat kita terkait resepsi memang digeser oleh sesuatu 'asing' yang kita sendiri membiarkannya demikian. Lihat saja dari dari prosesi engagement, pre wedding, bridal shower, bridesmaid, groomsmen, baby boom, dan banyak perumpamaan lain lagi.
Dulu begitu asingnya kita dengan perumpamaan itu.
Namun sekarang?
Banyak orang lebih bahagia dengan hal berbau barat, ketimbang melestarikan budaya Endatu.
Tak ada salahnya memang dengan mengadopsi budaya barat sejauh diadaptasi dengan kearifan lokal. "Dont be so serious" kata mereka, "ini cuma Untuk senang-senang."
Tapi apakah caranya dengan menelantarkan budaya kita sendiri?
Pastikan dulu, sebelum menegaskan mengerjakan prosesi barat itu semua, tanya hati kita masing-masing ... apa keuntungannya untuk kehidupan berbudaya, bersosial, dan beragama?
Closing statement:
Besyukurlah jikalau kita meski tinggal di kota, namun masih dapat mencicipi harmoni bertetangga, masih dapat mencicipi asiknya menolong mereka menggelar hajatan. Walaupun itu cuma sekedar mengaduk kuah, atau mengupas bawang.
Atau syukur-syukur kalau anda tinggal di desa dimana budaya bergotong royongnya tetap lestari sampai kini.
Seperti di salah satu sudut di Aceh Besar yang saya lihat semingguan lalu, di seputaran Cot Keueung.
Melihat bagaimana belum belakangan ini dengan sungguh gesit, berlangsung antara kursi tamu yang sempit, sambil mengangkat piring kotor, menghasilkan saya merasa mesti mendokumentasikan ini.
Karena bukan tak mungkin belasan tahun lagi, panorama seperti ini sudah punah ....
Sumber: Facebook Safrina Syams
Sumber https://www.juragandesa.id
0 Komentar untuk "Bagaimana Abad Sudah Memindah Hal Berharga, Dibalik Suatu Pesta"