Segala puji cuma milik Allah Subhanahu wa ta'ala shalawat dan salam mudah-mudahan tercurah terhadap junjungan kita nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam keluarga teman dekat dan para pengikutnya yang setia dan istiqamah.
Sebagai umat Islam kita mesti sanggup mengerti yang namanya takdir, umat Islam juga mesti mengimaninya sebagai bab dari suatu tanda kekuasaan Allah, yang terdapat dalam Rukun Iman yang ke 6.
Penjelasan tentang takdir ini cuma sanggup dipelajari lewat isu dari Allah, yaitu lewat Al Alquran dan Al Hadits. Menurut fatwa Islam sudah mengartikan secara sederhana bahu-membahu takdir ialah segala sesuatu yang sudah terjadi.
Ya sudahlah.. percuma saya berupaya lebih keras lagi, ini sudah takdirku…
Untuk apa menda’wahkan Islam untuk memperbaiki ummat?! kenyataan bahwa kaum muslim kini terpuruk sudah takdir yang diberikan Allah…
Semua penderitaan kita sudah tertulis di Lauh al-Mahfudz, jadi meskipun kita terus berjuang mengganti kemunkaran, tidak akan ada yang berubah!
Sudah garis tangannya si fulan untuk menjadi ustadz yang paham agama, sedangkan saya garis tangannya menjadi pengusaha, oleh alasannya yakni itu bukan urusanku untuk menyodorkan agama Islam..
Rizki itu di tangan Allah, semua sudah diputuskan sebelum kita dilahirkan di dunia, jadi jangan kuatir dengan rizki, kalau memang rizki itu milik kita, ia akan tiba meskipun kita tidak mengusahakannya…
Kegagalan saya bukanlah kesalahan saya, melainkan sudah takdir dari yang Maha Kuasa…
Kata-kata takdir acap kali mencegah insan dari melakukan yang terbaik dari dirinya, menjadi yang terbaik, dan mengganti sesuatu yang berada di depannya. Kata ini seperti menjadi legitimasi bagi seseorang untuk melakukan aktivitasnya secara minimalis dan menjadi argumentasi utamanya bagi kaum muslim untuk mengelak dan mengelak dari undangan Tuhan mereka.
Kesalahan persepsi terhadap rancangan takdir umumnya dimulai dari tidak tepatnya seseorang mengartikan ketiga hal yang berhubungan dengan Allah, yakni Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz.
Mereka yang berpandangan salah wacana rancangan takdir merasa bahwa apa yang mereka laksanakan dan yang terjadi di dunia sudah dikenali oleh Allah selaku yang Maha Tahu, sudah diharapkan Allah selaku yang Maha Berkehendak serta sudah tertulis di dalam Lauh al-Mahfudz.
Sehingga selaku manusia, makhluk yang terbatas, mereka merasa terpaksa berada dalam keadaan yang memang sudah diputuskan oleh yang Maha Kuasa. Padahal ketiga hal tersebut, yakni Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz dihentikan sekali-kali dicampuradukan dengan pembahasan takdir, alasannya yakni tidak seorangpun yang mengenali ilmu Allah, menyerupai apa Allah berkehendak atas dirinya, dan juga tidak mengenali apa yang tertulis di dalam Lauh al-Mahfudz.
Ada suatu ilustrasi yang sungguh masyhur, yakni seorang pencuri yang tertangkap dimasa pemerintahan Islam sedang jaya-jayanya. Sang pencuri ini tengah diproses oleh seorang Hakim. Lalu si pencuri berkata membela diri ”Wahai tuan hakim, sungguh tidak pantas tuan menghukum saya”, beliau melanjutkan ”karena apa yang saya laksanakan ini sesungguhnya sudah dikenali oleh Allah dan Allah membiarkannya (mengizinkannya), dan sesungguhnya Allah-lah yang berkehendak atas terjadinya pencurian ini, dan kita semua tahu, di Lauh al-Mahfudz sesungguhnya sudah tertulis semua acara kita dari mulai dilahirkan hingga kita menemui ajal, tergolong pencurian ini sesungguhnya sudah tertulis di kitab tersebut, sehingga tidak pantas tuan hakim menjatuhkan eksekusi terhadap saya, alasannya yakni perbuatan ini bukan alasannya yakni kehendak saya”.
Hakim tersebut kemudian berfikir wacana hal tersebut, sehabis usang berfikir kesannya ia mengeluarkan keputusan untuk menghukum si pencuri itu. ”Baik, masukkan beliau kedalam sel penjara!”, ujarnya. Si pencuri protes terhadap tuan hakim dengan penjelasannya yang panjang lebar tadi, yang pada dasarnya yakni pencurian itu bukan kehendaknya namun kehendak Allah, atau sudah nasibnya.
Sang hakim pun berkata dengan damai ”Sebenarnya saya tidak mau menjatuhkan eksekusi kepadamu, namun bagaimana lagi, ini juga kehendak Allah, dan di Lauh al-Mahfudz juga sudah tertulis pada hari ini dan waktu ini saya mengeluarkan eksekusi penjara bagimu!”
Ilustrasi diatas memamerkan kita kejelasan, bahwa si pencuri menjajal mencampuradukkan Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz dalam pembahasan takdir, sehingga pembahasan takdir menjadi kacau.
Dan hingga sekarangpun masih banyak kalangan atau individu yang salah mengerti rancangan takdir, sehingga termasuklah mereka kedalam kaum fatalis, yakni kaum yang menilai bahwa insan menyerupai daun yang terombang ambing di permukaan air, dengan kata lain, insan tak punya opsi untuk mengarahkan hidupnya.
Kaum fatalis ini menilai masuknya insan kedalam nirwana ataupun kedalam neraka sesungguhnya sudah diputuskan sejak awal, dan insan tak punya kekuatan untuk mengubahnya.
Sehingga, kalau kita mengharapkan untuk berfikir efektif dan produktif, hendaknya kita dihentikan mencampuradukkan pembahasan takdir dengan Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz.
Tidak kita sangsikan bahwa Allah niscaya mengenali segala sesuatu yang terjadi pada dunia yang diciptakan-Nya, ia juga mengenali semua perbuatan hamba-Nya, baik yang sudah kita perbuat, yang sedang kita buat maupun yang mau kita perbuat.
Dan kita pun tahu bahwa apa pun yang menjadi kehendak Allah pastilah terjadi diatas paras bumi ini. Kita pun percaya bahwa semua perbuatan kita dari lahir hingga mati sesungguhnya sudah tertulis di Lauh al-Mahfudz.
Tetapi, semua itu tidak bermakna kita tidak dapat menegaskan apa yang kita perbuat. Sebagai contoh, Allah sudah mengenali dan berkehendak Anda membaca postingan ini. di Lauh al-Mahfudz pun sudah tertulis, pada tanggal ini jam sekian Anda membaca hingga pada pembahasan takdir ini.
Tetapi Anda juga ingat bahwa dikala berada di situs web ini Anda bisa menegaskan dengan bebas apakah postingan ini ataukah postingan lain yang Anda baca. Dengan kata lain, Anda memiliki opsi untuk melakukan sesuatu, menegaskan sesuatu dan menjadi sesuatu.
Kehendak bebas atau peluang menegaskan yang diberikan Allah terhadap insan inilah yang kesannya melahirkan konsekuensi logis, yakni pertanggungjawaban insan atas perbuatan-perbuatan yang diseleksi olehnya. Pertanggungjawaban ini di darul abadi kita sebut dengan prosesi hisab. Di dunia pun, sudah sewajarnya kalau kita dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipilihnya.
Pada seorang individu, selain perbuatan-perbuatan atau kejadian-kejadian yang dapat diseleksi dan berada di dalam kontrol insan untuk memilihnya, ada juga kejadian-kejadian dimana insan tak punya opsi atasnya, dan dipaksakan terjadi atas insan itu, serta sudah ditetapkan atas manusia, baik beliau suka maupun tidak, misalnya insan niscaya akan mati, perempuan memiliki kesanggupan melahirkan, lelaki mempunyai kecenderungan terhadap wanita, matahari terbit dari timur dan terbenam di barat, petaka yang terjadi dan lain-lain.
Dalam hal ini, Allah tidak memamerkan ruang terhadap insan untuk memilih, sehingga apapun yang terjadi, insan tidak perlu atau tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang terjadi, alasannya yakni hal itu tidak sanggup dipilihnya.
Di dunia pun anda tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas hal yang tidak dapat anda pilih. Misalnya, tidak seorang pun mengajukan pertanyaan terhadap Anda, kenapa anda yakni seorang pria? atau mengajukan pertanyaan terhadap Anda, mengapa matahari terbit dari timur? Mengapa insan akan mati?.
Sekali lagi, dalam hal yang tidak dapat kita pilih, kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang terjadi pada diri kita maupun orang lain.
Sederhananya adalah, kejadian-kejadian yang terjadi pada insan bisa dikelompokkan dalam dua bagian.
Bagian pertama yakni insiden yang terjadi pada diri insan yang sanggup dipilih, bab kedua yakni insiden yang terjadi pada diri insan yang tidak sanggup dipilih, atau dipaksa terjadi atasnya. Pada bab pertama, kita bisa menegaskan perbuatan atau insiden sesuai hasrat kita, alasannya yakni itulah insiden itu akan dimintai pertanggungjawaban.
Hal ini berarti, menjadi bersungguh-sungguh ataupun menjadi malas, menjadi orang yang amanah atau yang khianat, menjadi seorang pemarah atau penyabar, menaati perintah Allah atau membangkangnya yakni sesuatu yang sanggup kita pilih.
Sedangkan pada bab kedua, kita dipaksa menerima insiden itu dan tidak diberikan pilihan, inilah yang kita sebut takdir. Dan terhadap takdir atau ketetapan yang diberikan terhadap kita, baik atau burauknya itu menurut kita, maka kita wajib mengimaninya, dan percaya bahwa itu yang terbaik untuk kita yang berasal dari Allah swt.
Prakteknya dalam kehidupan sehari-hari, kalau sesuatu terjadi atas kita ataupun terhadap orang lain, dan itu tidak sanggup dipilihnya, maka kita dihentikan protes atau mengeluh secara berlebihan, serta dihentikan menyalahkan diri sendiri atas insiden itu. Karena itu semua berasal dari Allah, dzat yang maha memberi ketetapan, dan apa yang diberikan oleh-Nya niscaya baik.
Setelah pembahasan ini, kita menyadari bahwa tidak selayaknya kita menyalahkan takdir atas kejadian-kejadian yang sebetulnya bisa kita pilih. Apa yang terjadi di masa yang kemudian mungkin beberapa diantaranya tergolong dalam hal yang dapat kita pilih. Masa depan pun sesungguhnya bisa kita pilih, ingin menjadi apakah Anda?
0 Komentar untuk "Takdir Dalam Aliran Islam"