Hidup merupakan persaingan un tuk menjadi yang terbaik, dan juga untuk menjangkau prospek yang diinginkan.
Namun sayang, banyak orang terjebak pada persaingan yang cuma memperturutkan hawa nafsu duniawi dan jauh dari situasi robbani.
Kompetisi yang cuma memperturutkan hawa nafsu, umpamanya kompetensi menghimpun harta kekayaan atau memperebutkan jabatan dan kedudukan.
Semuanya kolam fatamorgana, indah menggoda, namun sebenarnya tiada. Bahkan, tak jarang dalam persaingan diiringi “suuan” buruk sangka, bukan cuma terhadap manusia, namun juga terhadap Allah Swt. Lebih merugi lagi jikalau rasa iri dan riya ikut bermain dalam persaingan tersebut.
Lalu, bagaimanakah sepantasnya persaingan bagi orang-orang yang beriman? Allah Swt. sudah menyediakan pengarahan bahkan aksentuasi terhadap orang-orang beriman untuk bersaing dalam kebaikan sebagaimana firman-Nya:
Artinya:
“Dan Kami sudah menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan menenteng kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya maka putuskanlah problem mereka menurut apa yang diturunkan Allah Swt. dan janganlah engkau mengikuti prospek mereka dengan meninggalkan kebenaran yang sudah tiba kepadamu. ntuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan hukum dan jalan yang terang. Kalau Allah Swt. menghendaki, nisaya kau dijadikan-Nya satu umat (saja), namun Allah Swt. hendak
menguji kau terhadap karunia yang sudah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya terhadap Allah Swt. kau semua kembali, kemudian diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dulu kau perselisihkan.” (Q.S. al-Maidah/5: 48)
Pada Q.S. al-Maidah/5:48 Allah Swt. menerangkan bahwa setiap kaum diberikan hukum atau syariat.
Syariat setiap kaum berbeda-beda sesuai dengan waktu dan kondisi hidupnya. Meskipun mereka berbeda-beda, yang paling penting merupakan seluruhnya beribadah dalam rangka mencari ri«a Allah Swt., atau berlomba-lomba dalam kebaikan.
Allah Swt. menyuruh para nabi dan menurunkan syariat kepadanya untuk memberi isyarat terhadap insan mudah-mudahan berlangsung pada jalan atau arah yang benar dan lurus.
Akan tetapi, sebagian dari ajaran-ajaran mereka disembunyikan atau diselewengkan. Sebagai ganti pedoman para nabi, insan menghasilkan pedoman sendiri yang bersifat khurafat dan takhayul.
Surat al-Maidah/5: 48 ini membicarakan bahwa al-Qur’an memiliki kedudukan yang sungguh tinggi.
Al-Qur’an merupakan pembenar kitab-kitab sebelumnya, juga selaku penjaga kitab-kitab tersebut. Dengan menekankan terhadap dasar-dasar pedoman para nabi terdahulu, al-Qur’an sepenuhnya memelihara keaslian pedoman itu dan menyempurnakannya.
Akhir ayat ini juga mengatakan, perbedaan syariat tersebut menyerupai layaknya perbedaan insan dalam penciptaannya, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa.
Semua perbedaan itu merupakan rahmat dan untuk saling mengenal. Ayat ini mendorong pengembangan banyak sekali macam kesanggupan yang dimiliki oleh manusia, dan bukan menjadi ajang perdebatan.
Semua orang dengan potensi dan kadar kesanggupan masing-masing, mesti berlomba-lomba dalam melaksanakan kebaikan.
Allah Swt. senantiasa menyaksikan dan mengawasi perbuatan insan dan bagi-Nya tidak ada sesuatu yang tersembunyi.
Mengapa kita ditugaskan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan?
Ada beberapa argumentasi mengapa kita ditugaskan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, antara lain selaku berikut.
Pertama, bahwa melaksanakan kebaikan tidak dapat ditunda-tunda, dan mesti secepatnya dikerjakan. Kesempatan hidup sungguh terbatas, begitu pula peluang berbuat baik belum pasti setiap di saat kita dapatkan.
Kematian bisa tiba mendadak tanpa dipahami sebabnya. Oleh lantaran itu, di saat ada peluang untuk berbuat baik, jangan ditunda-tunda lagi, namun secepatnya dikerjakan
Kedua, untuk berbuat baik hendaknya saling memotivasi dan saling tolong-menolong, Oleh lantaran itu, kita perlunya berkolaborasi atau kerja sama.
Lingkungan yang bagus merupakan lingkungan yang menghasilkan kita terdorong untuk berbuat baik. Tidak sedikit seorang yang tadinya baik menjadi rusak lantaran lingkungan.
Lingkungan yang saling mendukung kebaikan akan tercipta kebiasaan berbuat baik secara istiqamah (konsisten).
Ketiga, bahwa kegesitan melaksanakan kebaikan mesti disokong dengan kesungguhan. Allah Swt. bersabda:
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kau dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan bahu-membahu dalam berbuat dosa dan permusuhan...” (Q.S. al-Maidah/5: 2)
Sudah menjadi keharusan insan untuk berupaya menyanggupi keperluan dan kepentingan dalam kehidupannya.
Seorang muslim haruslah menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan akhirat.
Tidak semata cuma berorientasi pada kehidupan alam abadi saja, melainkan juga mesti mempertimbangkan kepentingan kehidupannya di dunia.
Untuk menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat, wajiblah seorang muslim untuk bekerja.
Bekerja dalam banyak sekali bidang. Seseorang yang melakukan pekerjaan layak untuk mendapat predikat yang terpuji, menyerupai potensial, aktif, dinamis, produktif atau profesional, lantaran prestasi kerjanya.
Karena itu, mudah-mudahan insan sungguh-sungguh “hidup”, ia memerlukan ruh (spirit). Oleh lantaran itulah, al-Qur’an diturunkan selaku spirit hidup, sekaligus selaku nur (cahaya) yang tak kunjung padam agar
aktivitas hidup insan tidak tersesat.
Dalam al-Qur’an maupun hadis, didapatkan banyak literatur yang menyuruh seorang muslim untuk melakukan pekerjaan dalam rangka menyanggupi dan melengkapi keperluan duniawinya.
Salah satu perintah Allah Swt. terhadap umat- Nya untuk melakukan pekerjaan termaktub dalam Q.S. at-Taubah/9:15 berikut ini.
Artinya:
“Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan menyaksikan pekerjaanmu, begitu pula rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kau akan dikembalikan terhadap (Allah) yang maha mengenali yang mistik dan yang nyata, kemudian diberitakan-Nya terhadap kau apa yang sudah kau kerjakan.” (Q.S. at-Taubah/9: 105)
Q.S. at-Taubah/9: 15 menjelaskan, bahwa Allah Swt. menyuruh terhadap kita untuk semangat dalam melaksanakan amal saleh sebanyak-banyaknya.
Allah Swt. akan menyaksikan dan menganggap amal-amal tersebut. Pada akhirnya, seluruh insan akan dikembalikan terhadap Allah Swt. dengan menenteng amal perbuatannya masing-masing.
Mereka yang berbuat baik akan diberi pahala atas perbuatannya itu. Mereka yang berbuat jahat akan diberi siksaan atas perbuatan yang sudah mereka laksanakan selama hidup di dunia.
Sebutan lain dari ganjaran merupakan imbalan atau upah atau ompensation. Imbalan dalam desain Islam menekankan pada dua aspek, yakni dunia dan akhirat.
Q.S. at-Taubah/9: 15 juga menerangkan bahwa Allah Swt. menyuruh kita untuk bekerja, dan Allah Swt. niscaya membalas semua yang sudah kita kerjakan.
Hal yang perlu diamati dalam ayat ini merupakan penegasan Allah Swt. bahwa motivasi atau niat melakukan pekerjaan itu mesti benar.
Umat Islam disarankan mudah-mudahan tidak cuma merasa cukup dengan melaksanakan “tobat” saja, namun mesti disertai dengan usaha-usaha untuk melaksanakan perbuatan terpuji yang lainnya.
Perbuatan-perbuatan terpuji itu menyerupai menunaikan zakat, menolong orang-orang yang memerlukan pertolongan, menyegerakan untuk melaksanakan alat, saling menasihati kawan dalam hal kebenaran dan kesabaran, dan masih banyak lagi.
Semua itu dilakukan atas dasar taat dan patuh terhadap perintah Allah Swt. dan percaya bahwa Allah Swt. niscaya menyaksikan itu.
Ayat ini pun berisi perayaan bahwa perbuatan mereka itu pun nantinya akan diperlihatkan kelak di hari kiamat.
Dengan demikian, akan terlihatlah kebajikan dan kejahatan yang mereka laksanakan sesuai amal perbuatannya.
Bahkan, di dunia ini pun sudah sering kita saksikan, bagaimana citra orang-orang yang berbuat jahat menyerupai pencuri, penipu, koruptor, dan lain sebagainya.
Banyaknya info wacana korupsi, dan bagaimana seorang koruptor dipertontonkan di ruang publik.
Ini mengambarkan bahwa di dunia pun perbuatan kita sudah bisa dipertontonkan. Apalagi kelak di alam abadi yang niscaya sungguh faktual dan tidak dapat ditutup-tutupi.
Bekerjalah dengan sungguh-sungguh dan maksimal. Bekerjalah sesuai dengan hukum Allah Swt. dan rasul-Nya. Kalau pekerjaan itu tidak baik dan tidak benar, jauhilah!
Jangan hingga di kemudian hari gres menyesal. Sungguh tidak ada artinya.
Artinya: “Dari Miqdam ra. dari Nabi saw. dia bersabda: “Tidak seorang pun yang makan lebih baik dibandingkan dengan makan hasil bisnisnya sendiri. Sungguh Nabi Daud as. makan hasil usahanya.” (H.R. Bukhari)
Perilaku mulia (ketaatan) yang perlu dilestarikan merupakan menyerupai berikut.
1. Selalu menaati perintah Allah Swt. dan rasul-Nya, serta meninggalkan larangan-Nya, baik di waktu lapang maupun di waktu sempit.
2. Merasa menyesal dan takut apabila melaksanakan sikap yang dihentikan oleh Allah dan rasul-Nya.
3. Menaati dan menjunjung tinggi aturan-aturan yang sudah disepakati, baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
4. Menaati pemimpin selagi perintahnya sesuai dengan tuntunan dan syariat agama.
5. Menolak dengan cara yang bagus apabila pemimpin mengajak terhadap kemaksiatan.
Perilaku mulia (kompetisi dalam kebaikan) yang perlu dilestarikan merupakan menyerupai berikut.
1. Meyakini bahwa hidup itu usaha dan di dalam usaha ada kompetisi.
2. Berkolaborasi dalam melaksanakan persaingan mudah-mudahan pekerjaan menjadi ringan, mudah, dan hasilnya maksimal.
3. Dalam berkolaborasi, seluruhnya diniatkan ibadah, dan semata-mata mengharap rida Allah Swt.
4. Selalu menyaksikan sesatu dari segi positif, tidak memperbesar problem perbedaan, namun mencari titik persamaan.
5. Ketika mendapat keberhasilan, tidak tinggi hati; di saat mendapat kekalahan, ia senantiasa sportif dan berserah diri terhadap Allah Swt. (tawakkal).
Perilaku mulia (etos kerja) yang perlu dilestarikan merupakan menyerupai berikut.
1. Meyakini bahwa dengan kerja keras, niscaya ia akan mendapat sesuatu yang diharapkan (“man jada wa jada” - Siapa yang giat, niscaya dapat).
2. Melakukan sesuatu dengan prinsip: “Mulai dari diri sendiri, mulai dari yang terkecil, dan mulai dari sekarang.”
3. Pantang mengalah dalam melaksanakan sebuah pekerjaan.
Mustahdi dan Mustakim. 2017. Pendidikan Agama Islam. Pusat Perbukuan Kemendikbud.
0 Komentar untuk "Materi Pai Xi Penggalan 6 Sikap Taat, Persaingan Dalam Kebaikan Dan Etos Kerja"