Jilbab Keharusan Muslimah


 Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu  Jilbab Kewajiban Muslimah
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji cuma milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang setia dan Istiqomah.

Tidak Semua Ilmu dan Informasi Boleh Disebarluaskan

Sejumlah pihak menyodorkan terhadap penulis, bahwa sungguh disayangkan, Quraish Shihab mempublikasikan buku Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah tersebut. Di tengah-tengah maraknya gerakan jilbab dan gerakan anti-pornografi, penerbitan karya Quraish Shihab ini dipandang selaku sesuatu yang kontra-produktif. 

Seperti ditulis sebelumnya, ada ibu pelopor pengajian, yang dulunya memakai jilbab secara baik dan rapi, tetapi sehabis mendengar usulan Quraish Shihab ini, karenanya ia melepas jilbabnya. Ketika ditanya wacana perilaku yang diambilnya, dia menjawab bahwa menurut Quraish Shihab, jilbab itu tidak wajib.

Sangat ironis memang. Hal-hal menyerupai ini semestinya tidak perlu terjadi. Makanya, sungguh masuk akal jikalau para ulama, da’i dan aktivis-aktivis muslim menilai bahwa buku Quraish Shihab ini lebih banyak mengandung mudharatnya dibandingkan dengan manfaatnya. Kritik pun berdatangan silih berganti, bahkan tak sedikit yang munculnya dari teman dekat dekatnya sendiri.

Hal ini sungguh disadari oleh Quraish Shihab, sebagaimana ungkapannya sendiri dalam bukunya : "Penulis sadar bahwa tidak jarang penulis dikecam oleh sementara teman dekat sendiri alasannya yakni menyuguhkan aneka usulan keagamaan tanpa menjalankan pen-tarjihan - , yakni menetapkan mana yang lebih mempunyai pengaruh , sehingga – kata mereka – hal ini membingungkan penduduk umum. 

" Selanjutnya Quraish menulis : " Penulis menghargai juga nasihat beberapa teman dekat yang mengharap kiranya buku wacana duduk kendala jilbab itu jangan disebarluaskan, alasannya yakni cemas jangan hingga timbul kesalahpahaman dan tuduhan serta hujatan dari sementara kalangan. "

Nasehat yang diungkapkan oleh teman-teman Quraish menurut ekonomis penulis sangatlah benar adanya. Karena dalam pedoman Islam, tidak semua ilmu atau keterangan boleh disebarluaskan terhadap penduduk umum. Dalam kondisi tertentu, suatu ilmu atau suatu keterangan cuma boleh disampaikan pada orang-orang tertentu. Dalam hal ini Allah berfirman :

وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ

" Dan apabila tiba terhadap mereka suatu gunjingan wacana keselamatan ataupun ketakutan, kemudian mereka menyiarkannya. (Padahal) kalau mereka menyerahkannya terhadap Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, pastinya mereka (Rasul dan Ulil Amri tersebut) sanggup menetapkan kesimpulan ( istinbat) dari gunjingan tersebut " (Qs An Nisa : 83 )

Pada ayat di atas, Allah menegur orang-orang yang menyebarluaskan semua keterangan terhadap penduduk umum, sebelum diteliti kebenarannya, utamanya informasi-informasi yang sanggup meresahkan masyarakat. 

Selanjutnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberikan isyarat terhadap kaum muslimin bahwa informasi-informasi semacam itu sebaiknya dikembalikan terhadap Rasulullah sholallahu 'alaihi wassallam atau terhadap para pemimpin dan para ulama, agar mereka mempelajarinya, kemudian menetapkan apakah informasi-informasi tersebut sanggup disebarluaskan atau tidak. 

Ulil Amri dalam ayat di atas, sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Qurthubi yang dinukil dari Hasan Basri dan Qatadah : " Ulil Amri disini yakni pakar ilmu dan fiqh " [1]

Sangatlah indah apa yang ditulis oleh Syekh Nasir Sa'di dalam tafsirnya " Taisir Al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam Al Manan " :

Ini ialah teguran dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala terhadap hamba-hamba-Nya bahwa perbuatan mereka ini tidaklah pantas. Jika ada urusan yang penting dan berafiliasi dengan masalahat umum, serta terkait dengan keselamatan dan kebahagian orang-orang beriman atau dengan panik yang menimpa mereka, yang semestinya mereka lakukan, yakni waspada dan tidak buru-buru untuk meningkatkan keterangan tersebut. 

Akan tetapi hendaknya diserahkan terhadap Rasulullah sholallahu 'alaihi wassallam, dan terhadap para pemimpin di antara mereka yakni para pemikir, para spesialis ilmu dan penasehat, para berilmu pandai, dan orang-orang yang senantiasa berhati-hati, yakni orang-orang yang mengenali urusan-urusan tersebut dan mengenali pula maslahat dan mudharatnya. 

Jika mereka menyaksikan bahwa menyebarluaskan kendala tersebut akan menjinjing maslahat, semangat dan kebahagian bagi orang-orang yang beriman, serta sanggup membentengi mereka dari musuh-musuhnya, maka mereka menyebarluaskannya. Dan jikalau mereka menyaksikan bahwa di dalamnya ada kemudharatan atau terdapat suatu maslahat, akan tetapi mudharatnya lebih banyak dari maslahatnya, maka mereka tidak menyebarluaskannya. 

Oleh alasannya yakni itu Allah berfirman (tentunya Rasul dan Ulil Amri yang jago sanggup menetapkan kesimpulan (istinbath) dari gunjingan tersebut) yakni mereka sanggup menyimpulkannya dengan pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat mereka yang tepat, serta dengan ilmu-ilmu mereka yang terarah. 

Dan ini ialah dalil dari suatu Kaedah Etika yakni jikalau ada suatu masalah, hendaknya terselesaikan oleh orang-orang yang jago dalam bidangnya, dan diamanatkan terhadap mereka, dan mereka dihentikan sama sekali dilangkahi, alasannya yakni hal itu lebih mendekati kebenaran dan jauh dari terjerumus dalam kesalahan.  [2]

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :

كفي بالمرء إثما أن يحدث بكل ما سمع

“Cukup bagi seseorang dibilang berdosa, kalau dia menyodorkan seluruh apa yang ia dengar “ (HR Muslim)

Hal ini dikuatkan oleh Imam Bukhari yang menyebutkan dalam buku " Shahih " –nya satu belahan yang berjudul : ‘’Siapa yang mengkhususkan pengajaran suatu ilmu bagi kelompok tertentu, alasannya yakni cemas sebagian kelompok tidak sanggup memahaminya’’. Kemudian dia menukil perkataan Imam Ali r.a. : “Berbicaralah terhadap insan dengan sesuatu yang mereka ketahui, apakah kalian senang jikalau Allah dan Rasul-Nya didustakan.[3] Al Hafidh Ibnu Hajar Al Atsqalani dalam Kitab Fathu al-Barri menerangkan kendala di atas :

‘Di dalam hadist tersebut terdapat pelajaran bahwa sesuatu yang masih samar ( Al Mutasyabih) dihentikan diungkap di depan orang awam. Ini sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud : ‘’Tidaklah engkau mengatakan dengan suatu komunitas dengan sesuatu yang tidak sanggup diketahui oleh nalar mereka, kecuali akan menghasilkan fitnah bagi sebagian mereka.’’

Kemudian dia menyediakan rujukan bagaimana para ulama dahulu, menyerupai Khudzaifah dan Hasan Basri sungguh mengingkari seseorang yang menyodorkan hadits Al ‘Arayinin [4] terhadap Hajjaj Tsaqafi alasannya yakni dijadikan dalil untuk menumpahkan darah kaum muslimin cuma alasannya yakni lantaran masalah-masalah yang sepele. [5]

Kalau kita amati buku Quraish Shihab ini, sanggup kita katogorikan buku yang mutasyabih, alasannya yakni isinya tidak terang dan membingungkan umat, terlebih dia sendiri mengaku belum sanggup mengambil keputusan di dalam kendala jilbab. Kalau kebingungan sanggup menyelimuti orang sekaliber Quraish Shihab, bagaimana orang awam yang menjadi murid-muridnya. 

Dan alasannya yakni ketidakjelasan, maka sebagian kelompok menyimpulkan bahwa Quraish Shihab tidak mengharuskan jilbab, meskipun dia sendiri tidak mau mengakuinya. Inilah salah satu fitnah yang dikhawatirkan oleh para ulama terdahulu, jikalau seseorang mengatakan sesuatu yang tidak sanggup diketahui secara baik oleh orang awam.
[1] Imam al- Qurtubi, Al Jami' li Ahkam Al Qur'an, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah ) 1993 M, juz V, hlm. 188
[2] Syekh Abdurrahman Ibn Nashir As Sa'di, Taisir Al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam Al Manan, (Unaizah, Markaz Sholeh Al Tsaqafi ) Cet ke- II, 1992 M -1412 H, Juz II, hlm. 113-114
[3] Muhammad bin Ismail Bukhari, As Shahih , dicetak bareng Fathul Bari ( Kairo, Dar Ar Royan, 1986 ) Cet ke – 1 , Juz I , hal. 272
[4] Al ’Arayinin yakni para penjahat yang merampok unta-unta sedekah dan membunuh petugasnya, kemudian Rasulullah saw mewakilkan para teman dekat untuk mengejar-ngejar para pelakunya.
[5] Ibnu Hajar Al Atsaqalani , Fathul Bari ( Kairo, Dar Ar Royan, 1986 ) Cet ke – 1, Juz I, hal. 272
referensi:www.ahmadzain.com

Related : Jilbab Keharusan Muslimah

0 Komentar untuk "Jilbab Keharusan Muslimah"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close