Memaknai Kenduri Kebangsaan

 Di mata saya perhelatan akbar itu bukan suatu pesta Memaknai Kenduri Kebangsaan

Saya di luar hingar bingar "pesta besar" itu. Di mata saya perhelatan akbar itu bukan suatu pesta. Bukan kesibukan lambong-lambong keupiyah pejabat lazimnya kenduri politik yang digelar di Aceh. Kenduri Kebangsaan yakni ajang merajut cinta. wilayah berjumpa mata, menjalin rasa untuk mendapatkan satu hal : rindu!

Islam senantiasa mengingatkan bahwa silaturahmi akan menenteng keberkahan. Pertemuan akan meninggalkan ingatan.

Kita semua tahu, Pak Surya Paloh, Pak Jokowi, pada Pemilu 2019, bonyok di Aceh. Melalui fitnah-fitnah keji, mereka sukses dibenci oleh secara lazim dikuasai orang di negeri ini. Bahkan, harkat dan martabat keduanya, dinista senista-nistanya di negeri ini. Berbagai lakap ditempelkan: Penista agama, PKI, anti Islam, dan sebagainya.

Kenduri kebangsaan yakni bukti nyata, kalau orang-orang yang pernah dinista di tanah ini. Mereka yang dibenci hingga ke dalam kepercayaan iman, menjenguk Aceh. Pak SP tetap mau meluahkan hati untuk negerinya. Pulang selaku putra bangsa. Pulang selaku aneuk agam tertua.

11 menteri dihadirkan ke Aceh, yakni janji bahwa Ir. Joko Widodo yakni Presiden RI untuk semua golongan, semua suku, semua entitas politik. Ia pertanda diri kalau apa yang pernah dituding kepadanya, sekarang kembali pulang terhadap si penuding. Benar, Jokowi bukan yang terbaik. Tapi bukan pula yang paling buruk. Khusus untuk Aceh, dialah satu-satunya Presiden RI yang meletakkan perhatian besar. Sesuatu yang dahulu kita tuntut pada presiden lain, justru ia yang tiba memberi. Pemberian yang oleh sebagian kita menyebutnya selaku rasa terima kasih atas jasa di masa lalu. Bila itu yakni balas budi, mengapa bukan orang yang kita puji, yang melakukannya?

Pak SP, pasti tak perlu lagi saya jelaskan panjang lebar jasanya untuk Aceh. Sudah beberapa dekade ia menjadi king maker di Indonesia. Salah satu tokok penentu jalannya arah bangsa ini. Anak Aceh yang dapat menyaingi pendahulunya yang diriwayatkan bisa berkomunikasi hingga ke ujung dunia. SP yakni kawah candradimuka, di tengah orang lain yang mengaku diri tokoh, namun senantiasa menjadi provokator di gampognya sendiri.

Saya teringat kata seorang politisi yang saya lihat masih memiliki cahaya cinta di hatinya untuk negeri ini. Bahwa Aceh mesti ditautkan dalam kesamaan rindu. Harus dipertemukan dalam persepsi mata. Karena seluruhnya diawali dari mata turun ke hati dan lahirlah kasih sayang.

Sesekali, bercerminlah. Kita mesti bercermin. Ketika orang lain mengulurkan tangannya untuk kita, bukan alasannya kita sangatlah spesial. Tapi alasannya mereka mengasihi kita. Mereka menyayangi kita. Berhentilah menjadi katak di bawah tempurung. Jadilah rajawali yang dapat melayang tinggi, sehingga bisa mendapatkan kelemahan diri.

kenduri Kebangsaan di Sukma Bangsa, Bireuen, yakni wahana untuk menautkan cinta yang sempat retak. Mereka tahu apa yang sudah kita lakukan. Tapi, bilapun luka tidak akan sembuh, namun setidaknya mereka sudah mengobrol satu bukti, bahwa tidak semenit pun mereka punya waktu untuk membenci. Betapa luasnya samudera maaf di hati mereka.

Saya percaya, Kenduri Kebangsaan bukan sekedar ajang makan kuah beulangong. Tapi "rekonsiliasi" hati antara H. Surya Paloh, Presiden Jokowi dan rakyat Aceh. Rekonsiliasi yang mesti kita manfaatkan selaku saat-saat datangnya banyak sekali kesibukan untuk perkembangan Aceh di segala sektor. Aceh masih memerlukan banyak infrastruktur besar. Semoga setelah Kenduri Kebangsaan, Aceh akan kembali masuk dalam PSN hingga lima tahun ke depan.

Penulis: Muhajir Juli

Related : Memaknai Kenduri Kebangsaan

0 Komentar untuk "Memaknai Kenduri Kebangsaan"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close