Sebenarnya bukan kaliber kita merespon statemen seorang Professor. Apalagi Imam Besar Masjid Istiqlal di sentra Ibukota Negara, Nasaruddin Umar. Seorang yang seharusnya menawarkan keteduhan bagi bangsa yang sedang diliputi aneka macam kenestapaan.
Tapi statemen ia yang secara tidak eksklusif menuding pelajaran fikih di pondok pesantren sebagai benih radikalisme yakni serangan yang sanggup melukai para santri yang berguru di pesantren.
Tidak ada mendung tidak ada hujan. Tiba-tiba pesantren kembali menjadi objek tertuduh. Salah apalagi kaum pondok pesantren sehingga fikih yang dipelajari kembali menjadi sorotan anda wahai Pak Imam?
Pak Imam dlm isu di CNN mengusulkan pemerintah untuk mengkaji ulang pelajaran fikih di pondok pesantren kalau hendak menangkal paham radikalisme.
Mengapakah anda memandang pesantren-pesantren yang mengajarkan fiqh turast (yang antara lain membahas wacana jihad) sebagai sumber paham radikal di Indonesia? Radikalisme apa yang telah dilakukan oleh kalangan pesantren wahai Pak Imam?
Anda berasumsi bahwa fikih yang diajarkan di pesantren yakni produk kurun Perang Salib yang mengusung tiga konsep negara, yaitu darul Islam, darul Harb (negara musuh), dan darul sulh (negara yang tidak menganut Islam, tetapi bersahabat) yang kemudian bahan ini bagi anda sanggup mengakibatkan paham radikalisme?
Jadi tampaknya bahan itu bermasalah sekali sehingga dalam anggapan Pak Imam ketika ini sama sekali tidak dibutuhkan?
Wahai Pak Imam, apa kaitan materi-materi dalam fiqh itu dengan radikalisme yg anda khawatirkan? Apakah di benak anda ketika seorang santri membaca materi-materi itu, contohnya wacana Darul Harb , kemudian kemudian mereka akan menjadi radikal dan membom disana sini?
Atau ketika seorang santri diajarkan oleh Kyainya bahan wacana Darul Islam kemudian anda menerka bahwa mereka kemudian akan menjadi teroris menyerupai ISIS yang mem bom disana sini untuk yg katanya supaya berdirinya Darul Islam?
Jika menyerupai anggapannya, maka sungguh itu yakni anggapan yang bodoh. Bukan anggapan orang yang rendah hati yang seharusnya selalu berprasangka baik, melihat secara jernih dengan kacamata hati yang teduh.
Kalau boleh saya ingin menyampaikan, supaya Pak Imam tidak perlu khawatir dengan materi-materi itu, dengan bahan jihad yang dipelajari para santri di Pesantren. Materi-materi itulah yang antara lain dulu menjadi sumber wawasan para pejuang kita untuk mengusir penjajah Belanda dan Jepang sehingga pada 17 Agustus 1945 kemudian negeri kita dengan izin Allah sanggup merdeka.
Pak Imam, ketika Belanda tiba menjajah kita, anda tentu tahu bahwa zaman itu yakni kurun yang sudah jauh dengan kurun perang salib.
Jika anda berasumsi bahwa fiqh wacana Darul Harb, Darul Islam, dan Darul Sulh yang dibahas dalam potongan jihad sudah tidak relevan sehabis kurun perang salib selesai, kemudian bagaimana anda menjelaskan kebutuhan bangsa kita ketika itu terhadap bahan tersebut ?
Atauhkah mungkin, bahkan ketika para pejuang kita melawan Belanda untuk memerdekakan Nusantara dahulu materi-materi itu sudah tidak relevan?
Jika demikian, berarti Belanda dan Jepang ketika itu dalam pemahaman anda tidak layak disebut sebagai Darul Harb, sebagai negara penjajah yang harus dilawan sebagaimana mereka memerangi kita?
Atau, kalau materi-materi itu anda anggap sudah tidak relevan, berarti dalam anggapan anda bahwa semua negeri di dunia ini telah menjadi teman baik bagi umat Islam?
Jika demikian, kemudian bagaimana kita memahami contohnya status Israel yang saban hari memerangi umat Islam di Palestina?
Demikian saja Pak Imam. Sy yakin, dengan budi menyerupai itu, kalau pak imam hidup di kurun perang salib, maka ketika itu pun anda akan menganggap materi-materi itu sudah tidak relevan krn mengakibatkan radikalisme.
Lalu, kalau budi itu diikuti, maka barangkali umat Islam hanya akan menjadi budak bagi mangsa-mangsanya. Maaf Pak Imam, kami bukan budak.
Semoga goresan pena ini hingga ke meja Bapak
- Hamba yang faqir
- Teuku Zulkhairi
- Alumni sebuah pesantren di Aceh
0 Komentar untuk "Kenapa Anda Menyerang Pesantren Wahai Pak Imam ?"