Pengertian Haji Dan Umrah Serta Keutamaannya

Pengertian Haji dan Umrah Serta Keutamaannya Pengertian Haji dan Umrah Serta Keutamaannya
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji cuma milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wassallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang senantiasa setia dan Istiqomah.

Di dalamnya terdapat delapan pembahasan :

Pembahasan Pertama : Pengertian Haji dan Umrah

Haji secara etimologi yakni berkunjung. Adapun secara terminologi yakni mendatangi Baitul Haram dengan amalan tertentu, pada waktu  tertentu.

Adapun umrah secara etimologi yakni berkunjung. Sedangkan secara terminologi yakni mendatangi Baitul Haram dengan amalan tertentu.

Pembahasan Kedua : Keutamaan Haji dan Umrah

Haji ialah syiar yang agung dan ibadah yang mulia, dengannya seorang hamba akan menemukan rahmat dan berkah yang menyebabkan setiap orang muslim sungguh rindu untuk secepatnya melaksanakannya.

Sesungguhnya haji ialah jalan menuju syurga dan membebaskan diri dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ اِلاَّ الْجَنَّةَ

“ Haji yang mabrur tidak ada jawaban baginya kecuali syurga. “ (HR. Bukhari dan Muslim)

Haji sanggup melebur dosa dan menetralisir pengaruh maksiat dan perbutan jelek, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam :

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Barang siapa yang akan berhaji, dan tidak melaksanakan senggama (diwaktu terlarang) dan tidak berbuat fasiq (maksiat), maka ia akan kembali dari dosa-dosanya seumpama di saat ia dilahirkan oleh ibunya”.  (HR Bukhari dan Muslim )

Ibadah haji sebagaimana bisa menenteng terhadap kejayaan di akhirat, begitu pula bisa menyelamatkan dari kefakiran, sebagaimana hadist Ibnu Mas’ud sebetulnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ

“Laksanakanlah haji dan umrah, lantaran keduanya meniadakan kefakiran dan dosa sebagaimana api menetralisir karat dari besi.” (HR. Tirmidzi  )

Seorang muslim kalau melaksanakan ibadah haji, maka dia sudah masuk dalam katagori jihad. Sebagaimana yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Aisyah ra bahwa ia mengajukan pertanyaan Nabi saw :

هَلْ عَلَى المَرْأةِ مِنْ جِهَادٍ, فَقَالَ عَلَيْكُنَّ جِهَادٌ لَا قِتَالَ فِيْهِ الْحَجُّ

“Apakah perempuan itu wajib berjihad ? Maka ia bersabda : “ Kalian  wajib berjihad yang tidak pakai perang, yakni haji.”

Oleh lantaran itu, saya ucapkan selamat bagi yang  sungguh rindu hatinya untuk melaksanakan ibadah haji dengan menenteng bekal, meninggalkan keluarga dan negaranya, menjadi tamu Allah Yang Maha Pengasih, seraya memakai ihram, mengucapkan talbiyah, berdiri, berdo’a, berdzikir dan beribadah.

Pembahasan Ketiga : Kewajiban Haji Dan Umrah Hanya Sekali Seumur Hidup

Haji ialah salah satu dari ibadah-ibadah faridhah yang agung dan salah satu rukunnya yang lima.  Hal itu menurut sabda Nabi saw :

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقاَمِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَالْحَجِّ

“Islam dibangun di atas lima permasalahan yakni syahadat laa ilaaha illallah dan Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan haji” ( HR Bukhari dan Muslim )

Seorang muslim wajib melaksanakan ibadah haji dan umrah sekali seumur hidup sebagaimana yang diriwayatkan Imam Muslim dari hadist Abu Hurairah berkata :

خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا. فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ. ثُمَّ قَالَ: ذَرُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوْهُ

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan kami, ia berkata: “Wahai sekalian manusia, sungguh Allah sudah mengharuskan bagi kalian haji maka berhajilah kalian!” Seseorang berkata: “Apakah setiap tahun, ya Rasulullah?” Beliau melongo sehingga orang tersebut mengulangi ucapannya tiga kali. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Kalau saya katakan ya, pasti akan wajib bagi kalian dan kalian tidak akan sanggup.” Kemudian ia berkata: “Biarkanlah apa yang saya lewati terhadap kalian. Sesungguhnya orang sebelum kalian sudah binasa lantaran mereka banyak mengajukan pertanyaan yang tidak diinginkan dan menyelisihi nabi-nabi mereka. Jika saya menyuruh sesuatu terhadap kalian maka lakukanlah sesuai dengan kesanggupan kalian. Dan bila saya melarang kalian dari s esuatu maka tinggalkanlah.”

Begitu juga seorang muslim wajib melaksanakan ibadah umrah sekali dalam hidupnya, Allah swt berfirman :

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah lantaran Allah” (QS. Al Baqarah : 196)

Ibnu Abbas Berkata : Sesungguhnya umrah disebutkan bersama  haji di dalam kitab Allah, oleh lantaran itu, sebagaimana haji hukumnya wajib, maka umrahpun hukumnya wajib.

Pembahasan Keempat : Syarat-syarat Kewajiban Haji dan Umrah

Haji diwajibkan terhadap :

Seorang muslim, maka tidak diwajibkan terhadap orang kafir, lantaran haji ialah bentuk ibadah, sedang ibadah dihentikan dijalankan oleh orang kafir, lantaran tidak sah niatnya
Aqil (berakal)
Baligh, haji tidak diwajibkan terhadap orang asing dan orang  yang kurang waras pikirannya, begitu pula tidak diwajibkan terhadap anak kecil, sebagaimana hadist Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi saw bersabda :
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبيِ حَتَّى يبلغ وَعَنْ الْمَعْتُوهِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Pena itu diangkat dari tiga golongan: orang tidur hingga terbangun, anak kecil hingga ia baligh, dan orang asing (kurang sehat akalnya) hingga ia berakal” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasai)

Merdeka, haji tidak diwajibkan terhadap hamba sahaya selaku fasilitas baginya, lantaran dia sibuk melayani tuannya, dan lantaran haji  memerlukan harta sedangkan hamba sahaya tidak punya harta.
Mampu, haji tidak wajib bagi orang yang tidak mampu, Allah swt berfirman :

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِيْنَ

“Mengerjakan haji yakni kewajiban insan terhadap Allah, yakni (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS. Ali Imran : 97)

Jika anak kecil melaksanakan ibadah haji, maka hajinya sah, dia dan walinya akan menemukan pahala, sebagaimana di dalam hadist :

عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ امْرَأَةً رَفَعَتْ صَبِيًّا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلِهَذَا حَجٌّ قَالَ نَعَمْ وَلَكِ أَجْرٌ

"Dari Kuraib bahwasanya; Ada seorang perempuan yang sedang menggendong anaknya dan berkata, "Apakah bagi anak ini juga memiliki kewajiban haji?" ia menjawab: "Ya, dan kau juga menjadapkan ganjaran pahala." (HR. Muslim)

Adapun caranya yakni wali dari anak kecil tersebut berniat haji untuknya. Ini dijalankan di saat mengeluarkan duit ongkos haji. Maksud seorang wali mewakili niat haji untuknya yakni wali tersebut di saat mengeluarkan duit ongkos haji diniatkan untuk ibadah haji anak kecil tersebut. Kecuali kalau anak kecil itu sudah mumayiz, maka dia boleh berniat sendiri untuk melaksanakan ihram dengan izin walinya. Walaupun begitu, kewajiban ibadah haji tidak gugur darinya, maka di saat dia sudah dewasa, dia wajib melaksanakan ibadah haji lagi.

Pembahasan Kelima : Kriteria Mampu

Kemampuan dalam melaksanakan ibadah haji bisa diukur dengan hal-hal selaku berikut :

Dikatakan bisa melaksanakan ibadah haji,  lantaran badannya sehat, sebagaimana hadist Ibnu Abbas :

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ قَالَتْ: يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أَبِي أَدْرَكَتْهُ فَرِيْضَةُ الْحَجِّ شَيْخًا كَبِيْرًا لاَ يَسْتَطِيْعُ أَنْ يَسْتَوِىَ عَلَى الرَّاحِلَةِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ: حُجِّى عَنْهُ

“Bahwasanya seorang perempuan dari Khats’am berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku sudah diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji disaat dia sudah bau tanah renta, dia tidak dapat untuk tetap bertahan diatas kendaraan, apakah saya melaksanakan haji untuk mewakilinya?’ Beliau menjawab: 'Lakukankah haji untuk (mewakilinya)” ( HR Bukhari dan Muslim )

Mempunyai harta yang melampaui dari keperluan pokoknya, seumpama keperluan untuk menafkahi istri dan anak-anaknya, duit sewa rumah, modal dagangannya yang menjadi sumber penghasilannya, seumpama toko yang dari labanya dia bisa hidup dan bisa menyanggupi kebutuhannya.

Tidak memiliki hutang, lantaran barang siapa yang memiliki hutang, tidaklah ada kewajiban haji baginya, lantaran mengeluarkan duit hutang ialah keperluan dasar dan ialah hak insan yang intinya mesti dipenuhi dan tidak dapat ditolerir.

Hutang yang berjangka hukumnya seumpama hutang yang jatuh tempo, lantaran yang berhutang sama-sama dibilang tidak mampu. Tetapi kalau dia yakin bisa mencari harta untuk membayarnya, seperi kredit yang dibayar secara terencana dan diiris dari honor bulanannya atau diiris dari upah kerja ketrampilan atau sejenisnya, maka hal ini tidak menghalanginya untuk melaksanakan ibadah haji sesudah sanggup izin dari orang yang dihutanginya.

Dia mesti memiliki sesuatu yang dapat mengantarkannya ke kota Mekkah, pastinya diadaptasi dengan keadaannya. Misalnya  dari kendaraan seumpama mobil, kapal, dan pesawat, atau dari  makanan,m, minuman serta kawasan tinggal yang cocok dengan keadaannya, sebagaimana hadist Anas ra, ia berkata :
قِيلَ يَا رَسُولَ اَللَّهِ, مَا اَلسَّبِيلُ ؟ قَالَ: اَلزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ

“Ada seseorang yang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah sabil (jalan) itu? ia bersabda: “Bekal dan kendaraan” (HR. Daruquthni dan dishahihkan Hakim)

Jika tidak mampu, seseorang tidak diharuskan menambah beban diri sendiri dengan memasarkan rumah, atau sawahnya yang ialah sumber mata pencahariannya, atau dari sawah itu dia menyediakan nafkah terhadap keluarganya.

Barang siapa yang tidak dapat haji lantaran antrian di dalam menemukan visa, maka dia dihukumi selaku orang yang tidak mampu, seumpama orang yang dipenjara dan sejenisnya.

Orang bau tanah dihentikan melarang anaknya untuk pergi melaksanakan ibadah haji yang wajib, menurut hadist yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan dimarfu’kan terhadap Nabi saw :

لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

"Tidak ada ketaatan terhadap makhluq dalam bermaksiat terhadap Allah 'azza wajalla." (HR. Ahmad)



Seorang anak hendaknya meminta keridhaan orang tuanya  di saat hendak melaksanakan ibadah haji. Begitu juga seorang suami dihentikan melarang istrinya untuk pergi haji, lantaran haji hukumnya wajib, sedang kedua orang bau tanah dan suami tidak punya hak untuk melarang sesuatu yang wajib, meskipun begitu mereka berdua berhak untuk melarang anak dan istrinya untuk melaksanakan ibadah haji yang sunnah.

Pembahasan  Keenam : Bersegera Melaksanakan Ibadah Haji

Barang siapa yang menemukan dirinya bisa melaksanakan ibadah haji, dan sudah tercukupi syarat-syaratnya, maka wajib baginya untuk secepatnya melaksanakan ibadah haji, dihentikan diundur-undur lagi. Allah swt berfirman :

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

”Berlomba-lombalah kalian dalam melaksanakan kebaikan” (QS. Al Baqarah : 148)

Hal itu, lantaran kewajiban itu sudah ada dipundaknya, dan sesungguhnya dia tidak mengenali barangkali di masa mendatang keberangkatan hajinya bisa saja terhalangi dengan sakit, atau jatuh miskin atau bahkan munculnya kematian. Sebagaimana dalam hadist Ibnu Abbas :

تَعَجَّلُوا إِلَى الْحَجِّ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَا يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ

“Bersegeralah melaksanakan ibadah haji ( yakni haji yang wajib) lantaran kalian tidak tahu apa yang akan di hadapinya (HR. Ahmad dan Baihaqi)

Telah diriwayatkan dari Sa’id bin Manshur dan Hasan bahwa Umar ra berkata:

لَقَدْ هَمَمْتُ أنْ أبْعَثَ رِجَالاً إلَى هذِهِ الأَمْصَارِ فَيَنْظُرُوْا كُلَّ مَنْ كَانَ لَهُ جَدَّةٌ وَلَمْ يَحُجَّ لِيَضْرِبُوْا عَلَيْهِمُ الْجِزْيَةَ مَا هُمْ بِمُسْلِمِيْنَ مَاهُمْ بِمُسْلِمِيْنَ

“Aku bertekad mewakilkan beberapa orang menuju wilayah-wilayah untuk meneliti siapa yang memiliki kecukupan harta tetapi tidak menunaikan ibadah haji mudah-mudahan diwajibkan atas mereka mengeluarkan duit jizyah. Mereka bukanlah umat Islam ! mereka bukanlah umat Islam !”

Tidaklah layak seseorang yang memiliki kemampuan, untuk mengundur-undur pelaksanakan ibadah haji, lantaran kalau dia masih muda dan terus-menerus dalam maksiat, maka hal ini ialah bisikan syetan yang menghalanginya untuk berbuat kebaikan. Dan sudah dijelaskan di atas tentang kewajiban seseorang untuk secepatnya melaksanakan ibadah haji. Dan sepantasnya orang yang sudah melaksankan ibadah haji, baik di saat masih kecil, atau sudah tua, untuk senantiasa berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk.

Adapun syarat haji bagi perempuan  yakni adanya muhrim kalau memang jaraknya di atas 80 km dari Mekkah. Adapun yang dimaksud muhrim yakni suami atau pria yang haram untuk menikahinya selama-lamanya, lantaran kekerabatan nasab (darah) atau lantaran alasannya lain yang mubah, kalau memang pria tersebut baligh dan berakal. Hal itu menurut hadist Abu Hurairah sebetulnya nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda  :

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

“Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman terhadap Allah dan hari simpulan untuk safar sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bareng mahramnya.” (HR Bukhari dan Muslim )

Jika perempuan melaksanakan ibadah haji tanpa muhrim, maka hajinya tetap sah, tetapi dia berdosa lantaran melanggar larangan. Jika dia pergi  haji bareng rombongan perempuan dan kondusif dari fitnah, maka mereka itu diangap muhrimnya.

Adapun  perempuan yang tinggal di Mekkah dan sekitarnya yang jaraknya dengan Mekkah tidak lebih dari jarak dibolehkannya sholat qashar, maka muhrim bukanlah syarat didalam melaksanakan ibadah haji.

Pembahasan Ketujuh : Hukum Orang Yang Tidak Mampu Haji dan Menjadi Wakil Untuknya

Barangsiapa yang tidak dapat melaksanakan haji sendiri, lantaran sakit atau sudah lanjut usia, sehingga kesusahan untuk menaiki kendaran atau kesusahan berpindah-pindah dari satu kawasan ke tempat  lainnya dalam ibadah haji, maka dia boleh mencari orang yang dapat mewakilinya,  kalau hal itu dapat dilakukannya. Sebagaimana hadist Ibnu Abbas :

أنّ اِمْرَأَةٌ مَنْ خَثْعَمَ قَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ, إِنَّ فَرِيضَةَ اَللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي اَلْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا, لَا يَثْبُتُ عَلَى اَلرَّاحِلَةِ, أَفَأَحُجُّ عَنْهُ? قَالَ: نَعَمْ

“Sesungguhnya seorang perempuan dari Kats’am berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya haji yang diwajibkan Allah atas hamba-Nya itu turun di saat ayahku sudah bau tanah bangka, tidak dapat duduk di atas kendaraan. Bolehkah saya berhaji untuknya? Beliau menjawab: “Ya Boleh.” ( HR Bukhari dan Muslim )

Dan disyaratkan bagi yang mewakili haji, bahwa dia sudah pernah melaksanakan ibadah haji. Hal ini sesuai dengan hadist :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ مَنْ شُبْرُمَةُ قَالَ أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي قَالَ حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ لَا قَالَ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ

“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shalla Allahu 'alaihi wa sallam mendengar seseorang mengucapkan; Labbaika 'An Syubrumah (ya Allah, saya menyanggupi seruan-Mu untuk Syubrumah), ia bertanya: "Siapakah Syubrumah tersebut?" Dia menjawab; saudaraku! Atau kerabatku! Beliau bertanya: "Apakah engkau sudah melaksanakan haji untuk dirimu sendiri?" Dia menjawab; belum! Beliau berkata: "Laksanakan haji untuk dirimu, kemudian berhajilah untuk Syubrumah." (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan hadist ini dishahihkan Ibnu Hibban)

Yang mewakili hendaknya berangkat dari kota kawasan tinggal orang yang diwakilinya, seorang pria boleh mewakili perempuan dan sebaliknya perempuan boleh mewakili laki-laki.

Jika yang berhalangan tadi kemudian menjadi mampu, maka tidak wajib baginya melaksanakan ibadah haji lagi, lantaran dia sudah melaksanakan apa–apa yang ditugaskan kepadanya, sehingga tidak diwajibkan mengulanginya.

Yang mewakilinya berhak mengambil ongkos haji darinya, dan kalau dia mengambil lebih dari ongkos yang diperlukan maka hal itu dibolehkan.

Adapun kalau dia sudah mati, maka tidak apa-apa seorang wakil menghajikannya secara cuma-cuma tanpa seijinnya. 

Pembahasan Kedelapan : Adab-adab Haji

Selayaknya bagi yang melaksanakan ibadah haji, untuk memperhatikan adab-adab di bawah ini :

Mengikhlaskan niat di dalam ibadah haji.

Seyogyanya bagi yang ingin melaksankan ibadah haji, sebelum meninggalkan rumahnya, untuk mendatangkan niat bahwa dia keluar melaksanakan ibadah haji cuma lantaran Allah semata, dengan mengharap pahala dari-Nya, bukan mengharap untuk diberi gelar pak haji, atau mudah-mudahan orang sekitarnya menyaksikan bahwa dirinya pergi haji dan pergi ke Mekkah, sebagaimana hadist Umat sebetulnya nabi shallallahu ‘alahi wassalam bersabda :

 إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

"Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya lantaran dunia yang ingin digapainya atau lantaran seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya yakni terhadap apa dia diniatkan" (HR Bukhari dan Muslim )

Artinya barang siapa yang hajinya diniatkan lantaran Allah dan sungguh-sungguh dilaksanakan karena-Nya, maka akan menemukan pahala di segi Allah.

Mempelajari hukum-hukum tentang haji
Seyogyanya bagi yang ingin pergi haji untuk mempelajari hukum-hukum terkait dengan haji dan serta mengikuti nabi dalam melaksanakan ibadah haji secara keseluruhan, baik perkataan dan perbuatannya. Hal itu sesuai dengan hadist Jabir sebetulnya nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

لِتَأْخُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ

“Hendaknya kalian mengambil manasik haji kalian dariku” (HR. Muslim)

Ini bisa terealisasi dengan mempelajari hukum-hukum terkait dengan haji serta membaca buku yang lebih terperinci. Kemudian memperbanyak di dalam menela’ahnya sehingga dia bisa melaksanakan ibadah haji ini dengan lebih tepat dan lebih sesuai dengan sunnah. Begitu juga hendaknya dia menghadiri kajian-kajian yang membahas tentang haji, sehingga dari kajian-kajian tersebut akan dikenali hukum-hukum haji dan metode pelaksanaannya.

Hendaknya dalam perjalanan hajinya dia mencari  orang-orang yang mulia, memiliki sopan-santun dan berakhlaq baik, yakni dengan cara menegaskan travel yang sudah tenar profesional, melaksanakan kewajibannya,  menolong orang-orang yang ikut dengannya untuk bisa melaksanakan ibadah haji dengan sebaik-baiknya.

Hendaknya mencari seorang penuntut ilmu untuk menyertai rombongan haji, lantaran amalan-amalan haji tidak cukup cuma berbekal wawasan saja, tetapi perlu ada seorang ulama yang berupaya mengamalkan sunnah dan mengenali tentang hukum-hukum haji. Jika tidak ditemukan seorang ulama atau penuntut ilmu, maka paling tidak ada orang yang pernah melaksankan haji yang berupaya untuk menyempurnakan ibadah haji ini.

Menghindari dari para penganggur dan orang-orang yang suka bermain-main. Yaitu orang-orang yang kalau bergaul dengan mereka akan memunculkan terjatuh di dalam maksiat, membuang-buang waktu dan banyak ngobrol.

Menghindari dari luar biasa bid’ah dan khurafat yang sering memalingkan dari beribadah dan berdo’a terhadap Allah terhadap berdo’a terhadap selain-Nya serta lebih menegaskan untuk mencari bangunan–bangunan dari peninggalan bersejarah untuk mengusap-usapnya dan mengusap-usap Ka’bah serta Maqam Ibrahim yang sering memunculkan pertengkaran, padahal mestinya mereka menunaikan ibadah haji ini dengan baik

Hendaknya berupaya untuk irit di dalam membeli dan jangan berlebih-lebihan serta menambah beban diri di dalam hidupmu dan dalam perjalanan hajimu. Serta jangan berbangga-bangga dengan kehidupan yang serba hedonis di dalam melaksanakan ibadah haji.

Jauhilah hal-hal yang melengahkan, seumpama menonton chanel-chanel Televisi yang berisi hiburan-hiburan, atau menyimak musik dan hal-hal lain yang tergolong katagori maksiat.

Berusaha untuk menerapkan akhlaq yang bagus selama perjalanan, dan selama pelaksanaan ibadah haji, serta berupaya untuk melawan hawa nafsu untuk merealisasikan hal itu, sehingga temanmu menjadi rela untuk bersamamu. Dan hendaknya anda dapat bersabar untuk menjauhi dari permusuhan dan pertikaian yang sering timbul pada di saat melaksanakan perjalanan dan pada di saat terjadinya desak-desakan.

Selalu berdzikir dengan dzikir pagi dan petang, dan berdo’a di saat keluar rumah dan di saat hendak melaksanakan perjalanan. Hendaknya dia berdo’a di saat keluar rumah, sebagaimana di dalam hadist Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam kalau keluar rumah ia berdo’a :
بِسْمِ اللهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ. َاللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ، أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَزِلَّ، أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ، أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ، أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ.

“Dengan nama Allah. Aku bertawakkal kepadaNya dan tiada daya dan upaya kecuali lantaran pinjaman Allah. Ya Allah sesungguhnya saya berlindung kepadaMu jangan hingga saya sesat atau disesatkan, berbuat kesalahan atau disalahi, menganiaya atau dianiaya, berbuat terbelakang atau dibodohi”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dengan sanad shahih)

Kemudian dilanjutkan dengan do’a safar :

بسم الله الحمد لله سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ. وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِيْ سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى، اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيْفَةُ فِي اْلأَهْلِ، اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوْءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَاْلأَهْلِ. وَإِذَا رَجَعَ قَالَهُنَّ وَزَادَ فِيْهِنَّ: آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ.

“Dengan menyebut nama Allah, segala puji bagi Allah, Maha Suci Tuhan yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedang sebelumnya kami tidak mampu. Dan sesungguhnya kami akan kembali terhadap Tuhan kami (di hari Kiamat). Ya Allah! Sesungguhnya kami memohon kebaikan dan taqwa dalam bepergian ini, kami mohon perbuatan yang meridhakanMu. Ya Allah! Permudahlah perjalanan kami ini, dan dekatkan jaraknya bagi kami. Ya Allah! Engkaulah teman dekat dalam bepergian dan yang mengurusi keluarga(ku). Ya Allah! Sesungguhnya saya berlindung kepada-Mu dari kecapekan dalam bepergian, panorama yang mengenaskan dan pergantian yang jelek dalam harta dan keluarga.” Apabila kembali, doa di atas dibaca, dan ditambah: “Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan senantiasa memuji terhadap Tuhan kami.” (HR. Muslim dari hadist Ibnu Umar)

Jika jalan sedang menanjak hendaknya dia mengucapkan : “ Allahu Akbar ” , kalau dia menuruni lembah  atau kawasan yang rendah, hendaknya mengucapkan : “ Subhanallah “ , ini menurut hadist Jabir : 

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنَّا إِذَا صَعِدْنَا كَبَّرْنَا وَإِذَا نَزَلْنَا سَبَّحْنَا

“Dari Jabir bin 'Abdullah radhiyallahu 'anhuma berkata: "Apabila kami berlangsung mendaki (naik), kami bertakbir dan apabila menuruni jalan kami bertasbih” (HR. Bukhari)

 Hendaknya dia jangan lupa untuk senantiasa berdzikir di saat berpindah-pindah tempat, dan untuk senantiasa mengulangi hafalan al Qur’annya dan untuk senantiasa melaksanakan sholat witir meskipun sedang berada di atas kendaran atau di atas pesawat terbang, lantaran sholat nafilah boleh dijalankan oleh muafir di atas kendaraannya.

Hendaknya dia menenteng bekal lebih kalau dia tergolong orang yang mampu, sehingga bisa menolong temannya dan berbuat baik kepadanya, sebagaimana di dalam hadist :
والله فِيْ عَوْنِ العَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أخِيْهِ

"Sesungguhnya Allah senantiasa menolong hambaNya, selama hamba tersebut menolong saudaranya" (HR. Muslim dari hadist Abu Hurairah )

Hendaknya dia berzakat terhadap orang-orang yang memerlukan dan orang-orang yang kekurangan bekal perjalanan.

Hendaknya dia menyebabkan bekal haji dari hartanya yang terbaik , lantaran sesungguhnya Allah yakni baik dan tidaklah menemukan kecuali yang bagus juga.

Hendaknya dia senantiasa mempertahankan kewajiban-kewajiban syari’ah. Seorang musafir mesti tetap mempertahankan sholat dan bersuci serta kewajiban-kewajiban yang lain, dan jangan bermalas-malas untuk melaksanakan itu semua tepat pada waktunya.
Dia hendaknya meng-qashar sholat dan menjama’nya kalau hal itu dibutuhkan, lantaran dia sedang melaksanakan perjalanan atau sedang istirahat, maka memerlukan untuk menjama’ sholatnya lantaran kecapaian atau mengantuk.

Hal ini menurut hadist bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

السَّفَرُ قِطْعًةُ مِنَ العَذَابِ يَمْنَعُ اَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ فَاِذَاقَضَى اَحَدُكُمْ نهمته مِنْ سَفَرِهِ فَلْيُعَجِّلْ اِلَى اَهْلِهِ ‎

“Bepergian itu yakni sepotong dari adzab, (karena) ia membatasi seseorang ketimbang kau tentang makanannya, minumannya dan tidurnya. (Oleh lantaran itu) apabila salah seorang dari kau sudah menyelesaikan keperluannya dari kepergiannya, hendaklah ia secepatnya kembali terhadap keluarganya” (HR. Muslim dari hadist Abu Hurairah)

Jika dalam perjalanan pulang dia melalui jalan yang menanjak hendaknya mengucapkan :

اَللهُ اَكْبَرُ, اَللهُ اَكْبَرُ, اَللهُ اَكْبَرُ, لاَاِلهَ اِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشِرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ, ايِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ, صَدَقَ اللهُ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ, وَهَزَمَ اْلاَ حْزَابَ وَحْدَهُ

“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tiada Tuhan kecuali Allah, dzat yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kepunyaan-Nyalah segala kekuasaan dan segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Kami kembali bertaubat serta kami menyembah terhadap Tuhan kami , seraya kami memuji-Mu. Allah menetapi pada janji-Nya, menolong hamba-Nya, serta bisa (memporak porandakan) pasukan Ahzab dengan sendiri”.

Sesungguhnya Nabi saw mengucapkan do’a tersebut dalam perjalanan pulang dari haji atau jihad, sebagaimana dalam hadist Ibnu Umar yang disebutkan Imam Malik dalam kitab al Muwattha’ dalam riwayat Muhammad bin Hasan.

Hendaknya dia jangan mengejutkan keluarganya pada waktu malam, tetapi memberi tahu apalagi dulu tentang waktu kedatangannya, atau hendaknya dia tiba pada waktu pagi atau sore saja. Bersabda Nabi shallallahu ‘alahi wassalam :

كَيْ تَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ وَتَسْتَحِدَّ الْمُغِيبَةُ

“Berilah peluang terhadap keluarga kalian untuk berkemas-kemas dan berhias (untuk menyambut kemunculan kalian)." (Hr Bukhari dan Muslim dari hadist Jabir)

Dan hendaknya dia menuju masjid apalagi dulu kalau sudah sampai, untuk melaksanakan sholat dua reka’at. Karena sesungguhnya perbuatan ini ialah sunnah nabi  yang pertama kali ia kerjakan di saat hingga di kotanya.

Related : Pengertian Haji Dan Umrah Serta Keutamaannya

0 Komentar untuk "Pengertian Haji Dan Umrah Serta Keutamaannya"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close