Segala puji cuma milik Allah Subhanahu wa ta'ala shalawat dan salam mudah-mudahan tercurah terhadap junjungan kita nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam keluarga teman dekat dan para pengikutnya yang setia dan istiqamah.
Manusia tidak pernah terlepas dari adanya khilaf dan kesalahan, baik itu Kesalahan terhadap sesamanya apalagi terhadap Allah sang penciptanya disengaja ataupun yang tidak disengaja.
Allah yang senantiasa bermurah hati memamerkan kenikmatan-kenikmatan di dunia terkadang terlalaikan dan terabaikan bahkan beberapa insan membangkang dan mencela aturan-aturan Allah yang sudah ditetapkan dalam agama Islam.
Tak jarang pula insan yang tidak mensyukuri dan mempergunakan kenikmatan yang Allah berikan untuk kebaikan, malah justru menyalahgunakan kenikmatan tersebut untuk hal-hal negatif yang sungguh merugikan dan bisa menyakiti orang lain.
Misalnya seorang pejabat yang mempunyai kedudukan tinggi dan penghasilan yang tinggi masih saja mengkorupsi duit rakyatnya dengan banyak sekali argumentasi untuk membenarkan keserakahannya. Allah maha adil dan pastinya akan ada eksekusi yang berat untuk orang-orang yang seumpama itu.
Kelancaran rejeki diantaranya bisa diusahakan dengan berikhtiar dan berdoa serta mempertahankan keimanan kita terhadap Allah subhana hua ta’ala. Namun seringkali kita lihat manusia-manusia yang membangkang dan mengabaikan hukum Allah justru diberikan kenikmatan dan rejeki yang seakan tiada habisnya.
Ketahuilah bahwa hal tersebut yakni istidraj, yakni lezat duniawi yang Allah berikan selaku bentuk cobaan terhadap manusia-manusia yang ‘buruk’ dihadapan-Nya.
Rasullulah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:”Apabila kau menyaksikan bahawa Allah Taala memamerkan lezat terhadap hambanya yang senantiasa menghasilkan maksiat(durhaka), ketahuilah bahawa orang itu sudah diistidrajkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala.”(HR At-Tabrani, Ahmad dan Al-Baihaqi)
Tentang istidraj, berikut ini diterangkan beberapa ciri istidraj dalam Islam:
Kenikmatan Duniawi Melimpah Ruah Padahal Keimanan Terus Menurun
Ketika Allah senantiasa memamerkan kenikmatan-kenikmatan duniawi pada seseorang sedangkan keimanannya terus turun itu yakni salah satu ciri dari istidraj. Allah yang maha bermurah hati memamerkan kenikmatan duniawi tetapi dibalik itu, kenikmatan tersebut justru yakni cobaan yang sungguh berat pertanggung jawabannya di alam abadi nanti.
Selain itu, kenikmatan duniawi yang dicicipi oleh seseorang yang beriman dengan yang tidak beriman rasanya akan berbeda. Seseorang yang beriman akan senantiasa bersyukur dan mendapati ketenangan yang sungguh menentramkan dalam hidupnya akan tetapi hal tersebut tidak akan dicicipi oleh orang yang tidak beriman, mereka cuma akan merasa kurang dan gusar meskipun tengah menikmati semua fasilitas dan kebahagiaan yang Allah berikan.
Mengenai keharusan insan dalam mempertahankan keimanannya, Allah berfirman dalam surat ali Imran yang berbunyi:
قُلۡ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَمَآ أُنزِلَ عَلَيۡنَا وَمَآ أُنزِلَ عَلَىٰٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ وَإِسۡحَٰقَ وَيَعۡقُوبَ وَٱلۡأَسۡبَاطِ وَمَآ أُوتِيَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَٱلنَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمۡ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٖ مِّنۡهُمۡ وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ ٨٤
Artinya:
Katakanlah: “Kami beriman terhadap Allah dan terhadap apa yang diturunkan terhadap kami dan yang diturunkan terhadap Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya´qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan terhadap Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan cuma kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri”. (QS Ali Imran : 84).
Rejeki Terus Lancar Dan Meningkat Padahal Ibadahnya Selalu Diabaikan
Tidak siapa pun terlahir dalam kondisi yang serba berkecukupan. Sebagian orang mesti berupaya keras untuk mendapat penghasilan dan mendekatkan diri terhadap Allah biar Allah menolong melancarkan pintu rejekinya.
Namun dikala seseorang yang senantiasa meninggalkan ibadahnya secara sengaja tetapi rejekinya terus mengalir tanpa gangguan maka hal tersebut tergolong ke dalam ciri-ciri dari istidraj. Dimana kelangsungan rejeki yang didapat pastinya diikuti dengan tanggung jawab yang besar kian banyak rejeki yang didapat, kian kita mengabaikan ibadah dan perintah Allah maka akan kian berat juga dosa yang kita tanggung.
Ibnu Athaillah berkata: “Hendaklah engkau takut kalau senantiasa mendapat karunia Allah, sementara engkau tetap dalam perbuatan maksiat kepada-Nya, jangan hingga karunia itu semata-mata istidraj oleh Allah”.
Hidup Sukses Dan Sejahtera Padahal Selalu Bermaksiat
Ali Bin Abi Thalib r.a. berkata : “Hai anak Adam ingat dan waspadalah kalau kau lihat Tuhanmu terus menerus melimpahkan lezat atas dirimu sementara engkau terus-menerus melakukan maksiat kepadaNya”.
Istidraj sungguh terang dalam problem ini alasannya perbuatan maksiat pangkalnya yakni kehancuran dan penderitaan. Namun dikala maksiat terus dilaksanakan sedangkan kehidupan di dunianya kian berhasil dan makmur maka hal tersebut yakni kemurahan hati yang Allah berikan dalam bentuk istidraj.
Hartanya Semakin Melimpah Ruah Padahal Kikir Dan Boros
Harta yang kita miliki tidak cuma milik kita saja akan tetapi juga ada sebagian hak para fakir di dalam harta yang kita miliki tersebut, bisa dalam bentuk sedekah, zakat, dan lainnya. Semakin besar harta yang kita miliki maka kian besar pula sedekah atau zakat yang mesti kita keluarkan dan berikan terhadap orang yang membutuhkan.
Namun pada biasanya orang malah merasa bahwa harta yang ia dapatkan yakni miliknya seorang saja sehingga ia merasa terlalu sayang kalau hartanya mesti dibagi dengan orang lain meskipun dalam bentuk sedekah atau zakat sekalipun. Maka kalau Allah masih bermurah hati mempertahankan harta untuknya, itu yakni salah satu ciri cobaan dalam bentuk istidraj.
Allah subhana hua ta’ala berfirman dalam surat al-Humazah ayat 1-3 yang berbunyi:
وَيۡلٞ لِّكُلِّ هُمَزَةٖ لُّمَزَةٍ ١ ٱلَّذِي جَمَعَ مَالٗا وَعَدَّدَهُۥ ٢ يَحۡسَبُ أَنَّ مَالَهُۥٓ أَخۡلَدَهُۥ ٣
Artinya:
(1)Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela; (2) yang menghimpun harta dan menghitung-hitung; (3) ia menyangka bahwa hartanya itu sanggup mengkekalkannya. (QS. Al-Humazah : 1-3).
Jarang Terkena Musibah Sakit
Sakit yakni hal yang lumrah terjadi pada insan alasannya kesehatan dan cuaca terkadang mengalami pergantian yang cukup fluktuatif apalagi dengan aktifitas harian insan yang padat. Tentu ada masanya system imun menurun dan mengakibatkan sakit.
Namun untuk orang-orang yang sedang mendapat cobaan istidraj biasanya jarang jatuh sakit alasannya pesan tersirat dari sakit salah satunya yakni merenggangkan kita dari dosa-dosa yang kita lakukan.
Imam Syafi’I pernah menyampaikan perihal problem ini bahwa:
“setiap orang niscaya pernah mengalami sakit sebuah dikala dalam hidupnya, kalau engkau tidak pernah sakit maka tengoklah ke belakang mungkin ada yang salah dengan dirimu.”
Sombong Dan Tinggi Hati Dengan Harta Yang Bergelimang
Harta yang bergelimang sungguh berpeluang menghasilkan kita menjadi tinggi hati dan sombong, merasa lebih piawai serta lebih bisa bahkan bisa hingga menilai orang lain remeh alasannya tak mempunyai harta yang seimbang dengan apa yang kita miliki.
Rasululah shalallahu alaihi wa sallam bersabda: “Di antara gejala kesengsaraan yakni mata yang beku, hati yang kejam, dan terlalu mengejar kesenangan dunia serta orang yang terus-menerus melakukan perbuatan dosa”. (HR. Al Hakim)
Selain beberapa point tersebut, masih banyak ciri-ciri lain yang mencirikan bahwa kenikmatan yang kita miliki bisa jadi yakni istidraj. Namun begitu hal ini bukan memiliki arti Allah tidak adil dan membebaskan kita dari segala tanggung jawab dan eksekusi atas dosa yang kita lakukan.
Hanya saja Allah mempunyai rencana dan takdir lain sehingga tetap memamerkan kenikmatan-kenikmatan tersebut meskipun dimaksudkan selaku istidraj. Maka dari itu bijaklah dalam memohon dan merespon rejeki serta kenikmatan yang kita dapatkan. Jangan hingga hal tersebut justru akan mengirimkan kita terhadap panasnya neraka.
Hanya saja Allah mempunyai rencana dan takdir lain sehingga tetap memamerkan kenikmatan-kenikmatan tersebut meskipun dimaksudkan selaku istidraj. Maka dari itu bijaklah dalam memohon dan merespon rejeki serta kenikmatan yang kita dapatkan. Jangan hingga hal tersebut justru akan mengirimkan kita terhadap panasnya neraka.
Demikianlah klarifikasi perihal ciri-ciri istidraj/nikmat dunia selaku bentuk cobaan ini. Semoga goresan pena ini sanggup menyertakan khazanah keilmuan dan mengembangkan keimanan kita semua. Amin
0 Komentar untuk "Nikmat Dunia Selaku Bentuk Ujian"