Segala puji cuma milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wassallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang senantiasa setia dan Istiqomah.
Hukum-Hukum Berkaitan Dengan Masuk Mekkah
Jika seseorang yang melaksanakan ihram sudah mendekati kota Mekkah, disunnahkan untuk mandi, hal ini menurut apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Umar gotong royong ia mandi dikala masuk kota Mekkah dan menyatakan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam melakukan hal tersebut.
Jika dia bisa masuk Mekkah dari atas, tepatnya dari arah Hijun dan keluar dari arah bawah, yakni Kadi, maka pastinya lebih utama, sebagaimana yang dilakukan oleh nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam.
Dan dikala masuk masjid, hendaknya masuk dari pintu Bani Syaibah dari arah kawasan Sa’I, lantaran Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam mengikatkan kendarannya di pintu Bani Syaibah. Seandainya masuk dari pintu lain, maka tidaklah mengapa.
Jika seseorang yang sedang melaksanakan ihram menyaksikan Baitullah Ka’bah, maka hendaknya menghentikan talbiyah, ini menurut hadist Ibnu Abbas ra :
أَنَّهُ كَانَ يُمْسِكُ عَنْ التَّلْبِيَةِ فِي الْعُمْرَةِ إِذَا اسْتَلَمَ الْحَجَرَ
“Bahwa (Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) berhenti dari bertalbiyah dalam umroh, bila hendak menjamah Hajar Aswad. (HR. Tirmidzi dan ia berkata hadits ini hasan shohih)
Dan hendaknya dia mengangkat tangan dan berdo’a :
اَللَهُمَ أَنتَ السَلاَمُ وَمِنكَ السَلاَمُ ، وَحَيِنَا رَبَنَا بِالسَلاَمِ، اَللَهُمَ زِد هَذَا البَيتَ تَعظِيمًا وَتَشرِيفًا وَتَكرِيمًا وَمَهَابَةً وَبِرًا، وَزِد مِن عَظَمَتِهِ وَشَرَفِهِ مِمَن حَجَهُ وَاعتَمَرَهُ تَعظِيمًا وَتَشرِيفًا وَتَكرِيمًا وَمَهَابَةً وَبِرًا،
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha menampilkan kesejahteraan, cuma dari-Mu lah kesejahteraan. Ya Tuhan kami, hidupkanlah kami dalam kesejahteraan. Ya Allah, tambahkanlah baitullah Ka’bah ini kebesaran, kemuliaan, keluhuran, kehormatan dan kebajikannya. Dan tambahkanlah keagungan dan kemuliannya bagi orang yang berhaji dan berumrah di sana dengan keagungan, kemuliaan, keluhuran, kehormatan dan kebajikan.”
Dan disunnahkan dikala masuk masjid, pertama kali yang dijalankan merupakan thowaf, hal ini menurut hadist Aisyah :
عن عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ أَوَّلَ شَيْءٍ بَدَأَ بِهِ حِينَ قَدِمَ مَكَّةَ أَنَّهُ تَوَضَّأَ ثُمَّ طَافَ بِالْبَيْتِ
“Dari Aisyah bahwa yang pertama kali dilakukan sesampainya ia di Makkah merupakan berwudlu, kemudian ia thawaf di Baitullah. (HR. Bukhori dan Muslim)
Thowaf merupakan penghormatan terhadap Masjidil Haram, oleh hasilnya yang dimulai pertama kali merupakan thowaf.
Ketika melaksanakan thowaf hendak dalam kondisi Mudhthobi’an, yakni menaruh bab tengah rida’ nya (kain ihram bab atas) di bawah pundaknya sebelah kanan dan menaruh kedua ujung rida’ di atas di atas pundaknya yang kiri. Hal ini menurut hadist Ya’la bin Umayyah :
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- طَافَ مُضْطَبِعًا
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa melaksanakan thowaf dalam kondisi mudhthabi’an ” (HR. Daud)
Cara menyerupai ini (al-idhthiba’ ) cuma dilakukan dikala thowaf saja. Jika selesai thowaf, kembali rida’nya dipakaikan menyerupai semula, yakni di taruh di atas kedua pundaknya, maka dia sholat dan melaksanakan sa’I dalam kondisi rida’nya di atas kedua pundaknya.
Hendaknya dia mengawali thowaf dari hajar aswad, dan disejajarkan badannya dengannya, tidak cukup melambaikan tangannya saja, tetapi mesti menghadap parasnya ke arahnya, lantaran nabi saw menghadap hajar aswad dan menyentuhnya.
Setelah itu, hendaknya dia menyentuhnya dengan tangannya dan menciumnya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Aslam ia berkata :
رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَبَّلَ الْحَجَرَ وَقَالَ لَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Aku menyaksikan 'Umar bin Al Khaththob radliallahu 'anhu mencium Al Hajar Al Aswad kemudian berkata: "Kalau bukan lantaran saya menyaksikan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam menciummu tentu saya tidak akan menciummu". ( HR Bukhari dan Muslim )
Jika sukar untuk menciumnya, lantaran berdesakan atau lantaran karena lain, maka cukup dengan menyentuhnya dengan tangannya saja, kemudian dia mencium tangannya tadi, hal ini menurut riwayat oleh Muslim dari Ibnu Abbas gotong royong Nabi saw menyentuhnya dan mencium tangannya. Jika tidak dapat juga, maka cukup menyentuhnya dengan tongkatnya, kemudian mencium tongkatnya tadi, sebagaimana dia mencium tangannya tadi. Jika hal tersebut sukar untuk dilaksanakan juga, maka cukup dia menghadap dengan parasnya dan melambaikan tangan kepadanya sambil mengucapkan takbir, sebagaimana hadit Ibnu Abbas :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَافَ بِالْبَيْتِ وَهُوَ عَلَى بَعِيرٍ كُلَّمَا أَتَى عَلَى الرُّكْنِ أَشَارَ إِلَيْهِ بِشَيْءٍ فِي يَدِهِ وَكَبَّرَ
“Dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam melaksanakan thawaf di Ka'bah Baitullah di atas untanya dan setiap kali hingga pada Hajar Aswad, ia memberi kode kepadanya dengan sesuatu yang ada di tangan beliau, kemudian bertakbir. (HR. Bukhori)
Jika dia mengucapkan : Bismillah wallahu akbar “ , dibolehkan juga, lantaran bismillah pernah diucapkan oleh beberapa sahabat.
Kemudian dia mengucapkan :
اَللَّهُمَّ إِيْمَاناً بِكَ وَتَصْدَيْقاً بِكِتَابِكَ ، وَوَفَاءً بِعَهْدِكَ ، وَاتِّبَاعاً لِسُنَّةِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ
“ Ya Allah, saya tawaf ini lantaran beriman kepada-Mu, membenarkan kitab-Mu dan menyanggupi janji-Mu dan mengikuti sunnah Nabi-Mu Muhammad saw.”
Setelah itu dia mengakibatkan ka’bah di sebelah kirinya dan mengawali thowaf, kian bersahabat dengan ka’bah, maka kian baik, sebagaimana shof pertama dalam sholat. Jika jauh dari Ka’bah, maka tidak mengapa. Tidak boleh melaksanakan thowaf di luar masjid, lantaran thowaf merupakan mengelilingi Ka’bah, maka tidak tergolong thowaf bila dilakukan di luar masjid. Jika sudah hingga rukun Yamani, maka hendaknya dia menyentuhnya dengan tangannya tanpa mesti dicium, menurut hadist :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَسْتَلِمُ إِلَّا الْحَجَرَ وَالرُّكْنَ الْيَمَانِيَ
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah mencium (rukun-rukun di Baitullah) kecuali Hajar Aswad dan rukun Yamani." (HR. Muslim)
Di dalam sunnah cuma disebutkan menyentuh, maka cukup itu saja yang dikerjakan, dan tidak disebutkan mencium rukun Yamani, maka hendaknya tidak mengerjakannya.
Dan tidak ada yang ditugaskan untuk menyentuhnya kecuali dua rukun ini saja.
Disunnahkan bagi yang berthowaf untuk mempercepat langkahnya dengan memendekkan langkah, dan inilah yang disebut dengan “ Ar-Ramlu “. Ini dilakukan pada tiga putaran pertama saja dan pada thowaf umrah dan thowaf qudum saja. Dasarnya merupakan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ مَكَّةَ وَقَدْ وَهَنَتْهُمْ حُمَّى يَثْرِبَ قَالَ الْمُشْرِكُونَ إِنَّهُ يَقْدَمُ عَلَيْكُمْ غَدًا قَوْمٌ قَدْ وَهَنَتْهُمْ الْحُمَّى وَلَقُوا مِنْهَا شِدَّةً فَجَلَسُوا مِمَّا يَلِي الْحِجْرَ وَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَرْمُلُوا ثَلَاثَةَ أَشْوَاطٍ وَيَمْشُوا مَا بَيْنَ الرُّكْنَيْنِ لِيَرَى الْمُشْرِكُونَ جَلَدَهُمْ فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ زَعَمْتُمْ أَنَّ الْحُمَّى قَدْ وَهَنَتْهُمْ هَؤُلَاءِ أَجْلَدُ مِنْ كَذَا وَكَذَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَلَمْ يَمْنَعْهُ أَنْ يَأْمُرَهُمْ أَنْ يَرْمُلُوا الْأَشْوَاطَ كُلَّهَا إِلَّا الْإِبْقَاءُ عَلَيْهِمْ
“ Dari Ibnu Abbas ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya tiba ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dalam kondisi lemah oleh penyakit demam Madinah. Lalu orang-orang musyrik Makkah berkata terhadap sesama mereka, "Esok, akan tiba ke sini sebuah kaum yang lemah lantaran mereka diserang penyakit demam yang memayahkan." Karena itu, mereka duduk di bersahabat Hijr memperhatikan kaum muslimin thawaf. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mewakilkan mereka agar berlari-lari tiga kali putaran dan berlangsung biasa empat kali putaran antara dua sujud agar kaum musyrikin menyaksikan ketangkasan mereka. Maka berkatalah kaum musyrikin terhadap sesama mereka, "Inikah orang-orang yang kau katakan lemah lantaran sakit panas, ternyata mereka lebih besar lengan berkuasa dari kalangan ini dan itu." Ibnu Abbas berkata; "Dan tidak ada yang membatasi ia untuk mewakilkan mereka berlari-lari pada semua putaran, kecuali lantaran kasih sayang ia terhadap mereka." ( HR Bukhari dan Muslim )
Hendaknya ar-Ramlu ini dilakukan seluruhnya pada tiga kali putaran pertama, dalilnya merupakan hadist Ibnu Abbas ra yang diriwayatkan dalam Bukhori dan Muslim :
أن رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَلَ مِنْ الْحَجَرِ إِلَى الْحَجَرِ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berlari-lari kecil dari Hajar Aswad ke Hajar Aswad”
Untuk wanita tidak disunnahkan untuk melaksanakan ar-Ramlu, agar tidak memberatkan bagi mereka, dan agar mereka senantiasa tertutup sehingga dilarang cepat-cepat di dalam berjalan.
Begitu juga bagi penduduk Mekkah tidak disunnahkan melaksanakan “ar-Ramlu “, lantaran ini khusus bagi para pendatang, maka hal ini tidak disunnahkan di dalam thowaf haji dan thowaf wada’ (perpisahan)
Jika sedang thowaf dia lupa melaksanakan ar Ramlu, atau tidak dapat melakukannya lantaran berdesakan, atau sejenisnya, maka tidak diusulkan untuk mengqadha’nya, karena ini hukumnya sunnah, dan sudah berlalu.
Di sunnahkan bagi yang thowaf bila dalam kondisi sejajar dengan Hajar Aswad, hendaknya menjamah dan menciumnya semampunya atau melambaikan tangannya, begitu pula dikala sejajar dengan rukun Yamani, hendaknya dia menyentuhnya bila tidak memberatkan baginya, sebagaimana hadist Ibnu Umar :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدَعُ أَنْ يَسْتَلِمَ الرُّكْنَ الْيَمَانِيَ وَالْحَجَرَ فِي كُلِّ طَوْفَةٍ
“Dari Ibnu Umar, ia berkata; Rasulullah shallAllahu wa'alaihi wa sallam tidak meninggalkan untuk mengusap rukun yamani dan hajar aswad pada setiap thawaf. (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Dan hendaknya dia mengucapkan takbir dikala sejajar dengan Hajar Aswad dan mengucapkan tahlil dan menyebut naman Allah, sebagaimana hadist Aisyah :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ لِإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ
“Dari Aisyah, ia berkata; Rasulullah shallAllahu wa'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya dijadikannya thawaf di Ka'bah, antara Shafa dan Marwah serta melempar jumrah merupakan untuk menegakkan dzikir terhadap Allah." (HR. Abu Daud)
Dibolehkan baginya untuk membaca al-Qur’an dan tidak meninggikan suaranya dikala berdo’a dan berdzikir.
Tidak diusulkan melaksanakan dzikir secara bersama-sama dan diulang-ulang dengan meninggikan suara, kecuali bagi yang memerlukan bimbingan, itupun dengan bunyi yang pelan, agar tidak mengusik orang lain yang sedang melaksanakan thowaf.
Hendaknya dikala berada antara dua rukun, Rukun Yamani dan Hajar Aswad, dia berdo’a :
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
"Ya Tuhan, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta selamatkanlah kami dari siksa neraka”
Ini sebagaimana hadist Abdullah as-Saib :
عن عَبْدَ اللَّهِ بْنَ السَّائِبِ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِيمَا بَيْنَ رُكْنَيْ بَنِي جُمَحَ وَالرُّكْنِ الْأَسْوَدِ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Dari Abdullah bin As-Saib mengabarinya, dia sudah mendengar Nabi Shallallahu'alaihiwasallam dikala berada di dua rukun yakni Bani Jumah dan Rukun Aswad membaca: "Robbanaa Aatinaa Fid Dunya Hasanah Wa Fil Aakhiroti Hasanah Waqina 'Adzaban Naar, (Ya Allah, berikan kami kebaikan di dunia dan kebaikan di darul abadi dan jagalah kami dari adzab neraka) " (HR. Ahmad)
Dan hendaknya dia memperbanyak do’a dan dzikir dengan mengucapkan :
اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا مَبْرُوْرًا وَسَعْيًا مَشْكُوْرًا وَذَنْبًا مَغْفُوْرًا رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَتَجَاوَزْ عَمَّا تَعْلَمْ إِنَّكَ أَنْتَ اْلأَعَزُّ اْلأَكْرَمُ
“ Ya Allah Ya Tuhan kami, jadikanlah haji kami ini, haji yang mabrur, sa’i yang diterima, dosa yang diampuni, Wahai Rabb kami ampunilah dan rahmatilah serta maafkanlah dari kesalahan yang Engkau pahami lantaran sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mulia dan Maha Dermawan.”
Barang siapa yang memerlukan orang yang membawanya untuk thowaf, maka dibolehkan baginya dan sah thowaf untuk dirinya dan yang membawanya secara bersamaan.
Thowaf tidak sah, kecuali kalau dia melengkapi dengan tujuh putaran. Jika kurang sedikit saja dari itu, atau tidak ada niat untuk itu, dan cuma berlangsung beberapa langkah saja, maka tidak sah thowafnya.
Dia mesti melaksanakan thowaf di belakang Hijr ( Ismail ), lantaran ia tergolong bab dari Baitullah ( Ka’bah )
Tidak dibolehkan melaksanakan thowaf kecuali dalam kondisi suci dari hadats dan najis, menurut firman Allah subhanau wata'ala :
وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“ Dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud” (Qs. Al Hajj : 26)
Perempuan yang sedang haidh dilarang melaksanakan thowaf, kecuali dalam kondisi darurat, menyerupai sulit dipercayai untuk menanti hingga bersih, lantaran tidak dapat kembali sendiri. Hal ini menurut sabda Nabi saw terhadap Aisyah ra dikala ia haid :
افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ
“Lakukanlah sebagaimana apa yang lazimnya dilakukan oleh seorang yang haji, cuma saja kau dilarang thawaf di Baitullah hingga suci kembali”.( HR Bukhari dan Muslim )
Hendaknya dia juga menutup auratnya dikala thowaf, lantaran thowaf tergolong sholat, hal ini menurut atsar Ibnu Abbas gotong royong ia berkata : “ Thowaf di Baitullah ( Ka’bah ) tergolong sholat , cuma saja kalian boleh mengatakan di dalamnya. “
Berbicara dibolehkan dalam thowaf dan tidak merusaknya menurut atsar Ibnu Abbas di atas.
Jika dia ragu dengan jumlah putaran, maka yang dijadikan standar merupakan putaran yang paling sedikit, selaku bentuk kehati-hatian dalam ibadah.
Tidak boleh berhenti di dalam thowaf antara putaran satu dengan yang lainnya, tetapi dibolehkan berhenti sebentar saja, sebagaimana dalam sholat, setelah dikumandangkan iqamat, maka mesti secepatnya dilaksanakan sholat, atau dalam sholat jenazah, dikala mayit sudah dihadirkan, maka mesti secepatnya disholatkan. Jika batal wudhu-nya dalam kondisi thowaf, maka dia mesti berwudhu lagi, dan mengawali thowaf dari permulaan putaran dimana dia batal wudhu-nya.
Jika dia selesai melaksanakan thowaf, disunnahkan untuk melaksanakan sholat dua reka’at di belakang maqam Ibrahim dengn membaca surat Al Kafirun dan al Ikhlas. Hal ini menurut apa yang diriwayatkan Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam setelah selesai melaksanakan thowaf ia pergi menuju Maqam Ibrahim seraya membaca firman Allah :
) وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى (
"Jadikanlah maqam Ibrahim selaku kawasan shalat." (Al Baqarah: 125).
Lalu ia mengakibatkan maqam itu terletak diantara beliau dengan Baitullah Ka’bah. Kemudian ia melaksanakan sholat dan membaca pada dua reka’at : "Qul Huwallahu Ahad " dan: "Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruun."
Sholat dua rekaat thowaf ini, boleh dilakukan dimana saja dari Masjidil Haram, bahkan dibolehkan juga dilakukan di luar masjid, lantaran Umar ra, menjalankan sholat dua reka’at thowaf di Dzi Thowa (yaitu di luar Masjidil Haram).
Barang siapa yang meninggalkan sholat dua reka’at thowaf atau lupa, maka thowafnya tetap sah, tetapi dia sudah meninggalkan sunnah.
Jika dia sudah melaksanakan dua rekaat thowaf, maka hendaknya dia pergi ke rukun yang ada Hajar Aswadnya dan menyentuhnya, lantaran Nabi saw melaksanakan hal itu sebagaimana di dalam hadist Jabir, sebelum keluar menuju Shofa.
Kemudian hendaknya dia pergi ke Shofa, bila sudah bersahabat dengannya, diusulkan membaca :
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللّهِ
Sesungguhnya Shafa dan Marwa tergolong syiar-syiar Allah
Kemudian menyampaikan : Kami mengawali dengan apa yang dimulai Allah. Setelah itu, naik ke atas bukit Shofa, hingga bisa menyaksikan Baitullah Ka’bah, kemudian menghadap kepadanya, dan bertakbir serta bertahlil, serta mengucapkan :
اَللهُ اَكْبَرُ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشِرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ, لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ أنجز وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ, وَهَزَمَ اْلاَ حْزَابَ وَحْدَهُ
“Allah Maha Besar, Tiada Tuhan kecuali Allah, Dzat yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kepunyaan-Nyalah segala kekuasaan dan segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada Tuhan kecuali Allah, Dzat yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, Allah menetapi pada janji-Nya, membantu hamba-Nya, serta bisa (memporak porandakan) pasukan Ahzab dengan sendiri”.
Kemudian berdo’a dan kembali membaca dzikir lagi, kemudian berdo’a lagi, kemudian membaca dzikir lagi yang ketiga kalinya, kemudian berdo’a lagi, menurut hadist Jabir dikala mengambarkan perbuatan Nabi saw yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam shahihnya gotong royong ia melaksanakan hal tersebut.
Do’a-do’a lain yang diusulkan untuk dibaca merupakan :
اللَّهُمَّ اعْصِمْنِي بِدِينِكَ وَطَوَاعِيَتِكَ وَطَوَاعِيَةِ رَسُولِكَ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنِي حُدُودَكَ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِمَّنْ يُحِبُّكَ وَيُحِبُّ مَلَائِكَتِكَ وَأَنْبِيَائِكَ وَرُسُلِكَ وَعِبَادِكَ الصَّالِحِينَ، اللَّهُمَّ حَبِّبْنِي إِلَيْكَ وَإِلَى مَلَائِكَتِكَ وَرُسُلِكَ وَإِلَى عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ، اللَّهُمَّ يَسِّرْنِي لِلْيُسْرَى وَجَنَّبْنِي الْعُسْرَى، وَاغْفِرْ لِي فِي الْآخِرَةِ وَالْأُولَى، وَاجْعَلْنِي مِنْ أَئِمَّةِ الْمُتَّقِينَ وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ، وَاغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ قُلْتَ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ وَإِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ، اللَّهُمَّ إِذْ هَدَيْتَنِي لِلْإِسْلَامِ فَلَا تَنْزَعْنِي مِنْهُ وَلَا تَنْزَعْهُ مِنِّي حَتَّى تَتَوَفَّانِي عَلَى الْإِسْلَامِ، اللَّهُمَّ لَا تُقَدِّمْنِي لِلْعَذَابِ، وَلَا تُؤَخِّرْنِي لِسُوءِ الْفِتَنِ
“ Ya Allah lindungilah saya dengan memegang teguh agama-Mu dan mentaati-Mu dan mentaati rasul-Mu. Ya Allah jauhkanlah diriku dari melanggar larangan-larangan-Mu, Ya Allah jadikanlah diriku ini tergolong orang-orang yang mencinta-Mu dan menyayangi malaikat-malaikat-Mu, nabi-nabi-Mu, para utusan-Mu, serta hamba-hamba-Mu yang sholeh. Ya Allah berikanlah kepadaku agar bisa mencinta-Mu, dan menyayangi malaikat-malaikat-Mu, para utusan-Mu, serta hamba-hamba-Mu yang sholeh. Ya Allah mudahkan diriku untuk meraih segala kemudahan, dan jauhkan diriku dari hal-hal yang sulit,dan ampunilah diriku di akherat dan di dunia, dan jadikanlah diriku tergolong kalangan para pemimpin orang-orang yang bertaqwa, dan jadikanlah diriku termaasuk orang-orang yang mewarisi syurga Na’im, dan ampunilah segala kesalahanku pada hari pembalasan. Ya Allah Engkau sudah berfirman dan firman-Mu merupakan benar : “ Berdo’alah kepada-Ku, tentu Aku akan mengabulkan do’amu“, dan sesungguhnya Engkau tidak menyelisihi janji. Ya Allah bila Engkau sudah menampilkan kepadaku hidayah Islam, maka Engkau cabut hidayah tersebut hingga Engkau matikan saya dalam kondisi Islam. Ya Allah janganlah Engkau percepatkan kematianku cuma untuk disiksa dan janganlah Engkau tangguhkan diriku untuk ditimpakan ujian–ujian yang jelek. “
Mendaki ke atas bukit Shofa merupakan sunnah, bila tidak dilakukannya, maka sa’i-nya tetap sah
Kemudian dia turun dari Shofa, dan berlangsung menyerupai biasa sambil berdzikir dan berdo’a terhadap Allah. Dan diantara do’a yang dibaca para teman dekat merupakan :
رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَتَجَاوَزْ عَمَّا تَعْلَمْ إِنَّكَ أَنْتَ اْلأَعَزُّ اْلأَكْرَمُ
“ Wahai Rabb kami ampunilah dan rahmatilah serta maafkanlah dari kesalahan yang Engkau pahami lantaran sesungguhnya Engkaulah Yang maha Mulia dan Yang Maha Dermawan.”
Ini menurut hadist :
إِنَّمَا جُعِلَ رَمْيُ الْجِمَارِ وَالسَّعْيُ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ لِإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ
"Sesungguhnya disyari'atkannya melempar jumrah dan sa'i dari Shafa ke Marwah untuk berdzikir terhadap Allah." ( HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Nasai dari hadist Aisyah )
Sehingga ia berada di rambu-rambu yang berwarna hijau, maka dari situ hendaknya dia berlangsung cepat diantara dua rambu-rambu hijau, kemudian setelah itu kembali berlangsung menyerupai biasa lagi. Sebagaimana yang terdapat dalam hadist Ummu Walad Syaibah :
عَنْ أُمِّ وَلَدٍ لِشَيْبَةَ قَالَتْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْعَى بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَهُوَ يَقُولُ لَا يُقْطَعُ الْأَبْطَحُ إِلَّا شَدًّا
“Dari Ummu Walad Syaibah, ia berkata; "Aku menyaksikan Rasulullah melaksanakan sa'i antara Shafa dan Marwah, dan ia bersabda: tidaklah melalui al Abthah ( kawasan antara rambu-rambu yang berwarna hijau ) kecuali dengan berlari.”
Sehingga dia hingga pada bukit Marwah, dan naik ke atasnya dan menghadap kiblat serta bertakbir dan bertahlil dan mengucapkan menyerupai yang diucapkan di bukit Shofa.
Pergi dan pulang dari Sofa dan Marwah dijumlah sekali sa’I, dimulai dari Shofa dan diakhiri di Marwah. Disunnahkan di dalam sa’I ini dalam kondisi suci, tetapi hal itu tidak wajib. Oleh hasilnya sa’i-nya orang yang tidak bersuci, yang terkena najis atau sedang haid merupakan sah. Hendaknya sa’inya dilakukan secara berurutan dan terus menerus. Jika berhenti dan istirahat sejenak atau sejenisnya, sa’i-nya tetap sah.
Sa’I ini dilakukan setelah menjalankan thowaf umrah atau thowaf qudum ( thowaf kedatangan ), atau thowaf haji, meskipun terlambat, maka tidak apa-apa. Tetapi dilarang sama sekali dilakukan sebelum thowaf, lantaran sa’I mengikuti thowaf.
Perempuan menyerupai pria dalam melaksanakan sa’I, kecuali dia tidak melaksanakan jalan cepat antara dua rambu-rambu yang berwarna hijau dan tidak naik ke atas Shofa dan Marwah.
Sa’I bisa bisa dilakukan di atas kawasan sa’I, yakni di tingkat pertama atau kedua dari Masjidil Haram dengan syarat mesti termasuk seluruh kawasan sa’I, lantaran ruang hampa masuk dalam katagori bangunan yang tetap.
Jika seorang berhaji tamattu’ sudah selesai melaksanakan thowaf dan sa’I, maka dia secepatnya mencukur rambutnya dan sudah selesailah ibadah umrahnya. Hal ini menurut apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma gotong royong ia berkata :
تَمَتَّعَ النَّاسُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَلَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ قَالَ لِلنَّاسِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ أَهْدَى فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ مِنْ شَيْءٍ
حَرُمَ مِنْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَجَّهُ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَهْدَى فَلْيَطُفْ بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَلْيُقَصِّرْ وَلْيَحْلِلْ
“ Banyak teman dekat yang melaksanakan ibadah haji tamattu’ ( yakni dengan ihram umrah yang dilanjutkan hingga haji ) bersama-sama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Setibanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di Makkah, ia bersabda terhadap orang banyak: "Barangsiapa yang menjinjing binatang kurban, dia belum boleh bertahallul (mengerjakan sesuatu yang sudah diharamkan selama ihram ) hingga menyelesaikan selesai hajinya. Dan siapa yang tidak menjinjing binatang kurban, hendaklah secepatnya melaksanakan thawaf di Baitullah, kemudian melaksanakan sa'i antara Shafa dan Marwa, setelah itu ia boleh bercukur dan tahallul.” ( HR Muslim )
Demikian juga seseorang yang melaksanakan umrah saja tanpa melaksanakan haji tamattu’, maka dia sudah bertahalul secara sarat setelah menggundul kepalanya, atau sekedar mencukur rambutnya, meskipun dia menjinjing binatang kurban, lantaran nabi shallallahu ‘alaihi wassalam pernah melaksanakan umrah, kemudian menyembelih binatang kurbannya di Marwah, kemudian dia bertahalul.
Adapun yang berhaji qiran dan ifrad, maka setelah thowaf dan sa’I dia tetap dalam kondisi ihram, hingga munculnya waktu haji, dan bertahalul setelah itu, kecuali kalau dia kepingin untuk pindah terhadap haji tamattu’, maka dia boleh mencukur rambutnya dan bertahalul, sebagaiman perintah nabi saw terhadap para sahabatnya.
Jika dia menjinjing binatang kurban, maka dia dilarang bertahalul, lantaran nabi shallallahu ‘alaihi wassalam ketika mewakilkan para sahabatnya untuk bertahalul, ia sendiri tidak tahalul, dan bersabda :
لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الْهَدْيَ وَلَحَلَلْتُ
"Jika saya bisa mengulang kembali apa yang sudah lewat, tentu tidak kutuntun binatang korban ini, dan saya bertahallul. “
0 Komentar untuk "Hukum-Hukum Berhubungan Dengan Masuk Mekkah"