Zakat Fitrah Selaku Pensuci Jiwa

 Segala puji cuma milik Allah Subhanahu wa ta Zakat Fitrah Sebagai Pensuci Jiwa
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji cuma milik Allah Subhanahu wa ta'ala, shalawat dan salam mudah-mudahan tercurah terhadap nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu Setia, dan Taat, serta Istiqomah terhadap Allah Subhanahu wa ta'ala.

Mengenai Zakat Fitrah ini pastinya sudah dipahami selaku epilog Amalan rangkaian ibadah bulan Ramadhan. Bisa jadi sudah banyak pembahasan seputar hal ini yang tersuguhkan untuk kaum muslimin. Namun tidak ada salahnya  jikalau diulas kembali dengan dilengkapi dalil-dalilnya. Sebagai komplemen wawasan perihal zakat fitrah.

Telah menjadi suatu keharusan atas kaum muslimin untuk mengenali hukum-hukum seputar zakat fitrah. Ini dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan atas mereka untuk menunaikan seusai melaksanakan keharusan ibadah puasa Ramadhan. Tanpa mempelajari hukum-hukum maka pelaksanaan syariat ini tidak akan sempurna. Sebaliknya dengan mempelajari maka akan tepat realisasi dari syariat tersebut.

Hikmah Zakat Fitrah

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dia berkata:

فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan zakat fitrah selaku penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang tidak bermanfaat dan kata-kata kotor serta selaku pemberian masakan untuk orang-orang miskin.”

Mengapa disebut Zakat Fitrah?


Sebutan yang terkenal di kelompok penduduk kita yakni zakat fitrah. Mengapa demikian? Karena maksud dari zakat ini yakni zakat jiwa diambil dari kata fitrah yakni asal-usul penciptaan jiwa sehingga wajib atas tiap jiwa. Semakna dengan itu Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi menerangkan bahwa ucapan para ulama “wajib fitrah” maksud wajib zakat fitrah.

Namun yang lebih terkenal di kelompok para ulama wallahu a’lam disebut زَكَاةُ الْفِطْرِ zakat fithri atau صَدَقَةُ الْفِطْرِ shadaqah fithri. Kata Fithri di sini kembali terhadap makna berbuka dari puasa Ramadhan lantaran keharusan tersebut ada sehabis selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan. Sebagian ulama seumpama Ibnu Hajar Al-’Asqalani mengambarkan bahwa istilah yang kedua ini lebih terang jikalau merujuk pada lantaran musabab dan pada sebagian penyebutan dalam sebagian riwayat.

Hukum Zakat Fitrah

Pendapat yang terkuat zakat fitrah hukumnya wajib. Ini ialah pertimbangan jumhur ulama di antara mereka yakni Abul Aliyah Atha’ dan Ibnu Sirin sebagaimana disebutkan Al-Imam Al-Bukhari. Bahkan Ibnul Mundzir sudah menukil ijma’ atas wajib fitrah meskipun tidak benar jikalau dibilang ijma’. Namun ini cukup menampilkan bahwa lebih banyak didominasi para ulama berpandangan wajib zakat fitrah.
Dasar mereka yakni hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَاْلأُنْثَى وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma dia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menfardhukan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas budak sahaya orang merdeka laki2 perempuan kecil dan besar dari kaum muslimin. Dan Nabi mengutus utk ditunaikan sebelum keluar orang2 menuju shalat ”

Dalam lafadz Al-Bukhari yg lain:

أمر النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ

“Nabi mengutus zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.”

Dari dua lafadz hadits tersebut nampak terang bagi kita bahwa Nabi menfardhukan dan mengutus sehingga aturan zakat fitrah yakni wajib.

Dalam hal ini ada pertimbangan lain yang menyatakan bahwa aturan sunnah muakkadah. Adapula yang beropini aturan yakni cuma suatu amal kebaikan yang dahulu diwajibkan tetapi kemudian keharusan itu dihapus. Pendapat ini lemah lantaran hadits yang mereka pakai selaku dasar lemah menurut Ibnu Hajar. Sebab dalam sanad ada rawi yang tidak dikenal. Demikian pula pertimbangan yang sebelum juga lemah.

Siapa yang Wajib Berzakat Fitrah?


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengambarkan dalam hadits sebelumnya bahwa keharusan tersebut dikenakan atas siapa saja besar ataupun kecil pria ataupun perempuan dan orang merdeka maupun budak hamba sahaya. Akan tetapi untuk anak kecil diwakili oleh wali dalam mengeluarkan zakat. Ibnu Hajar mengatakan: “Yang nampak dari hadits itu bahwa keharusan zakat dikenakan atas anak kecil tetapi perintah tersebut tertuju terhadap walinya. Dengan demikian keharusan tersebut ditunaikan dari harta anak kecil tersebut. Jika tidak memiliki maka menjadi keharusan yang memberi nafkah ini ialah pertimbangan jumhur ulama.”
Nafi’ mengatakan:


فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي عَنِ الصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ حَتَّى إِنْ كَانَ لِيُعْطِي عَنْ بَنِيَّ

“Dahulu Ibnu ‘Umar menunaikan zakat anak kecil dan sampaumur sehingga dia dahulu sungguh-sungguh menunaikan zakat anakku.”

Demikian pula budak hamba sahaya diwakili oleh tuannya.

Apakah selain Muslim terkena Kewajiban Zakat?


Sebagai teladan seorang anak yang kafir apakah ayah berkewajiban mengeluarkan zakatnya? Jawabnya: tidak. Karena Nabi menampilkan catatan di selesai hadits bahwa keharusan itu berlaku bagi kelompok muslimin. Walaupun dalam hal ini ada pula yang beropini tetap dikeluarkan zakatnya. Namun pertimbangan tersebut tidak besar lengan berkuasa lantaran tidak cocok dengan dzahir hadits Nabi.

Apakah Janin Wajib Dizakati?


Jawabnya: tidak. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan zakat tersebut terhadap anak sedangkan janin tidak disebut baik dari segi bahasa maupun adat. Bahkan Ibnul Mundzir menukilkan ijma’ wacana tidak diwajibkan zakat fitrah atas janin. Walaupun bantu-membantu ada juga yg beropini wajib atas janin yakni sebagian riwayat dari Al-Imam Ahmad dan pertimbangan Ibnu Hazm dengan catatan menurutnya janin sudah berumur 120 hari. Pendapat lain dari Al-Imam Ahmad yakni sunnah. Namun dua pertimbangan terakhir ini lemah lantaran tidak cocok degan hadits di atas.

Wajibkah bagi Orang yang Tidak Mampu?


Ibnul Qayyim menyampaikan bahwa: “Bila keharusan itu menempel di saat ia bisa melaksanakan kemudian sehabis itu ia tidak dapat maka keharusan tersebut tdk gugur darinya. Dan tidak menjadi keharusan jikalau ia tidak dapat semenjak keharusan itu mengenainya.”

Adapun persyaratan tidak dapat dalam hal ini mk Asy-Syaukani menjelaskan: “Barangsiapa yang tidak menemukan sisa dari masakan pokok untuk malam hari raya dan siang maka tidak berkewajiban mengeluarkan duit fitrah. Apabila ia memiliki sisa dari masakan pokok hari itu ia mesti mengeluarkan bila sisa itu meraih ukuran.”

Dalam Bentuk Apa Zakat Fitrah dikeluarkan?

Hal ini sudah diterangkan dalam hadits di atas. Dan lebih terang lagi degan riwayat berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا نُعْطِيْهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ ..

“Dari Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu ia berkata: ‘Kami menampilkan zakat fitrah di zaman Nabi sebanyak 1 sha’ dari masakan 1 sha’ kurma 1 sha’ gandum ataupun 1 sha’ kismis ”

Kata طَعَامٍ maksud yakni masakan pokok penduduk suatu negeri baik berupa gandum jagung beras atau lainnya. Yang mendukung pertimbangan ini yakni riwayat Abu Sa’id yang lain:

قَالَ كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيْدٍ وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيْرُ وَالزَّبِيْبُ وَاْلأَقِطُ وَالتَّمْرُ

“Ia mengatakan: ‘Kami mengeluarkan berupa masakan di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Idul Fitri’. Abu Sa’id menyampaikan lagi: ‘Dan masakan kami dikala itu yakni gandum kismis susu kering dan kurma’.”

Di segi lain zakat fitrah berniat untuk menggembirakan para fakir dan miskin. Sehingga seandai diberi sesuatu yang bukan dari masakan pokok maka tujuan itu menjadi kurang tepat sasaran.

Inilah pertimbangan yang besar lengan berkuasa yg diseleksi oleh lebih banyak didominasi para ulama. Di antara Malik Asy-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad Ibnu Taimiyyah Ibnul Mundzir Ibnul Qayyim Ibnu Baz dan aliran Al-Lajnah Ad-Da`imah. Juga ada pertimbangan lain yakni zakat fitrah diwujudkan cuma dalam bentuk masakan yang disebutkan dalam hadits Nabi. Ini yakni salah satu pertimbangan Al-Imam Ahmad. Namun pertimbangan ini lemah.

Bolehkah Mengeluarkan dalam Bentuk Uang?

Terdapat perbedaan pertimbangan di kelompok ulama dalam hal ini.

Pendapat pertama: 

Tidak boleh mengeluarkan dalam bentuk uang. Ini yakni pertimbangan Malik Asy-Syafi’i Ahmad dan Dawud. Alasan syariat sudah menyebutkan apa yang mesti dikeluarkan sehingga dihentikan menyelisihinya. Zakat sendiri juga tidak lepas dari nilai ibadah maka yang seumpama ini bentuk mesti mengikuti perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selain itu jikalau dgn duit mk akan membuka potensi untuk memutuskan sendiri harganya. Sehingga menjadi lebih selamat jikalau menyelaraskan degan apa yang disebut dalam hadits.

An-Nawawi mengatakan: “Ucapan-ucapan Asy-Syafi’i sepakat bahwa dihentikan mengeluarkan zakat dengan nilai.”

Abu Dawud mengatakan: “Aku mendengar Al-Imam Ahmad ditanya: ‘Bolehkah saya memberi duit dirham yakni dalam zakat fitrah?’ Beliau menjawab: ‘Saya khawatir tidak syah menyelisihi Sunnah Rasulullah’.”

Ibnu Qudamah mengatakan: “Yang terlihat dari madzhab Ahmad bahwa dihentikan mengeluarkan duit pada zakat.”

Pendapat ini pula yang diseleksi oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan

Pendapat kedua: 

Boleh mengeluarkan dalam bentuk duit yg senilai dengn apa yang wajib dia keluarkan dari zakat dan tidak ada beda antara keduanya. Ini yakni pertimbangan Abu Hanifah. Pendapat pertama itulah yang kuat.

Atas dasar itu bila seorang muzakki memberi duit pada amil maka amil diperbolehkan menemukan jikalau posisi selaku wakil dari muzakki. Selanjut amil tersebut membelikan beras misalnya untuk muzakki dan menyalurkan terhadap fuqara dalam bentuk beras bukan uang.

Namun sebagian ulama mengijinkan mengubah harta zakat dalam bentuk duit dalam keadaan tertentu tidak secara mutlak. Yaitu di saat yang demikian itu lebih bermaslahat bagi orang-orang fakir dan lebih membuat lebih gampang bagi orang kaya.

Ini ialah opsi Ibnu Taimiyyah. Beliau rahimahullahu mengatakan: “Boleh mengeluarkan duit dalam zakat bila ada keperluan dan maslahat. Contoh seseorang memasarkan hasil kebun atau tanamannya. Jika ia mengeluarkan zakat 1/10 dari duit dirham maka syah. Ia tdk perlu berbelanja korma atau gandum apalagi dulu. Al-Imam Ahmad sudah menyebutkan kebolehannya.”

Beliau juga menyampaikan dalam Majmu’ Fatawa : “Yang besar lengan berkuasa dalam dilema ini bahwa mengeluarkan duit tanpa keperluan dan tanpa maslahat yang besar lengan berkuasa maka dihentikan …. Karena jikalau diperbolehkan mengeluarkan duit secara mutlak maka bisa jadi si pemilik akan mencari jenis-jenis yang jelek. Bisa jadi pula dalam penentuan harga terjadi sesuatu yang merugikan… Adapun mengeluarkan duit lantaran keperluan dan maslahat atau utk keadilan maka tidak mengapa….”

Pendapat ini diseleksi oleh Asy-Syaikh Al-Albani sebagaimana disebutkan dalam kitab Tamamul Minnah.

Yang perlu diamati di saat memutuskan pertimbangan ini mesti sungguh diamati segi maslahat yang disebutkan tadi dan dihentikan asal pilih dalam memutuskan sehingga berakibat menggampangkan dilema ini.

Ukuran yang Dikeluarkan


Dari hadits-hadits yang sebelumnya terang sekali bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan ukuran zakat fitrah yakni 1 sha’. Tapi berapa 1 sha’ itu?

Satu sha’ sama dgn 4 mud. Sedangkan 1 mud sama denga 1 cakupan dua telapak tangan yang berskala sedang.

Berapa bila diukur degan kilogram ? Tentu yang demikian ini tidak dapat tepat dan cuma bisa diukur degan perkiraan. Oleh lantaran para ulama sekarangpun berlainan pertimbangan di saat mengukur degan kilogram.

Dewan Fatwa Saudi Arabia atau Al-Lajnah Ad-Da`imah yg diketuai Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz wakil Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi dan anggota Abdullah bin Ghudayyan memperkirakan 3 kg.

Adapun Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin beropini sekitar 2040 kg.

Tentang Al-Bur atau Al-Hinthah

Ada perbedaan pertimbangan wacana ukuran yang dikeluarkan dari jenis hinthah . Sebagian shahabat beropini tetap 1 sha’ sementara yg lain beropini ½ sha’.

Nampak pertimbangan kedua itu yang lebih besar lengan berkuasa menurut riwayat:

عَنْ هِشَامِ بنِ عُرْوَةَ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ أَسْمَاءَ بنِتَ أَبِى بَكْرٍ أَخْبَرَتْهُ: أَنَّهَا كَانَتْ تُخْرِجُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَهْلِهَا الْحُرِّ مِنْهُمْ وَالْمَمْلُوْكِ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ أَوْ صَاعاً مِنْ تَمْرٍ بِالْمُدِّ أوْ بِالصَّاعِ الَّذِي يَـتَبَايَعوْنَ بِهِ

“Dari Hisyam bin Urwah dari ayah bahwa Asma’ binti Abu Bakar dahulu di zaman Nabi dia mengeluarkan untuk keluarga yang merdeka atau yang sahaya dua mud hinthah atau satu sha’ kurma dengan ukuran mud atau sha’ yang mereka gunakan untuk jual beli.”

Ini ialah pertimbangan Abu Hanifah dan yang diseleksi oleh Ibnu Taimiyyah Ibnul Qayyim dan di masa sekarang Al-Albani.

Waktu Mengeluarkannya

Menurut sebagian ulama bahwa jatuh keharusan fitrah itu dgn selesai bulan Ramadhan. Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambarkan bahwa waktu pengeluaran zakat fitrah itu sebelum shalat sebagaimana dlm hadits yg lalu.

وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

“Dan Nabi mengutus biar dilaksanakan sebelum orang-orang keluar menuju shalat.”

Dengan demikian zakat tersebut mesti tersalurkan terhadap yang berhak sebelum shalat. Sehingga maksud dari zakat fitrah tersebut terwujud yakni untuk mencukupi mereka di hari itu.

Namun demikian syariat menampilkan fleksibilitas terhadap kita dalam penunaian zakat di mana pelaksanaan terhadap amil zakat sanggup dimajukan 2 atau 3 hari sebelum Id menurut riwayat berikut ini:

كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يُعْطِيْهَا الَّذِيْنَ يَقْبَلُوْنَهَا وَكَانُوا يُعْطُوْنَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

Ibn Umar radliallahu ‘anhu, bahwa dia mengeluarkan duit zakat fitrah terhadap panitia peserta zakat fitrah. Mereka (para sahabat) menyerahkan zakat fitrah sehari atau dua hari sebelum hari raya. (HR. Bukhari secara muallaq, pemberitahuan hadis no. 1511)

Dalam riwayat lain dari Nafi – murid Ibn Umar-, bahwa dia ditanya: Kapan Ibn Umar mengeluarkan duit zakat fitrah? Beliau menjawab,

إِذَا قَعَدَ الْعَامِلُ، قُلْتُ: مَتَى كَانَ الْعَامِلُ يَقْعُدُ؟ قَالَ: قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

Jika panitia zakat sudah duduk (siap menemukan zakat). Beliau ditanya lagi: Kapan panitia siap? Nafi’ menjawab: sehari atau dua hari sebelum hari raya. (HR. Ibn Khuzaimah 2397 dan sanadnya dishahihkan Al-Albani)

Dalam riwayat Malik dari Nafi’:

أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ

“Bahwasa Abdullah bin Umar menyerahkan zakat fitrah terhadap petugas yang zakat dikumpulkan terhadap 2 atau 3 hari sebelum Idul Fitri.”

Sehingga dihentikan mendahulukan lebih singkat dari pada itu meskipun ada juga yang beropini itu boleh. Pendapat pertama itulah yang benar krarena demikianlah praktek para shahabat.

Bolehkan Mengeluarkan Zakat Fitrah Setelah Shalat Id?

Hal ini sudah diterangkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan zakat fitrah selaku penyuci bagi orang yg berpuasa dari perbuatan yang tidak bermanfaat dan kata-kata kotor serta selaku pemberian masakan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa menunaikan sebelum shalat maka itu zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikan sehabis shalat maka itu cuma sekedar sedekah dari sedekah-sedekah yang ada.”

Ibnul Qayyim mengatakan: “Konsekuensi dari dua hadits tersebut yakni dihentikan menangguhkan penunaian zakat hingga sehabis Shalat Id; dan bahwa keharusan zakat itu gugur dengan selesai shalat. Inilah pertimbangan yang benar lantaran tiada yang menentang dua hadits ini dan tidak ada pula yang meniadakan serta tidak ada ijma’ yang membatasi untuk beropini dengan kandungan dua hadits itu. Dan dahulu guru kami menguatkan pertimbangan ini serta membelanya.” Atas dasar itu maka jangan hingga zakat fitrah diserahkan ke tangan fakir sehabis Shalat Id kecuali bila si fakir mewakilkan terhadap yang lain untuk menerimanya.

Sasaran Zakat Fitrah


Yang kami maksud di sini yakni mashraf atau sasaran penyaluran zakat. Ada perbedaan pertimbangan di kelompok ulama dalam hal ini. Sebagian ulama menyampaikan sasaran penyaluran yakni orang fakir miskin secara khusus.

Sebagian lagi menyampaikan sasaran penyaluran yakni sebagaimana zakat yang lain yakni delapan golongan sebagaimana tertera dalam surat At-Taubah 60. Ini ialah pertimbangan Asy-Syafi’i satu riwayat dari Ahmad dan yang diseleksi oleh Ibnu Qudamah . Dari dua pertimbangan yang ada nampak yang besar lengan berkuasa yakni pertimbangan yang pertama. Dengan dasar hadits Nabi:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ

Dari Ibnu Abbas dia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan zakat fitrah selaku penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang tidak bermanfaat dan kata-kata kotor serta selaku pemberian masakan bagi orang-orang miskin.”

Ini ialah pertimbangan yang diseleksi oleh Ibnu Taimiyyah Ibnul Qayyim Asy-Syaukani dlm buku As-Sailul Jarrar3 dan di zaman ini Asy Syaikh Al-Albani dan difatwakan Asy-Syaikh Ibnu Baz Ibnu Utsaimin dan lain-lain.

Ibnul Qayyim mengatakan: “Di antara isyarat dia Shallallahu ‘alaihi wa sallam zakat ini dikhususkan bagi orang-orang miskin dan tidak membagikan terhadap delapan golongan secomot-secomot. Beliau tidak pula mengutus untuk itu serta tidak seorangpun dari kelompok shahabat yang melakukannya. Demikian pula orang-orang yang sehabis mereka.”

Atas dasar itu tidak diperkenankan menyalurkan zakat fitrah untuk pembangunan masjid sekolah atau sejenisnya. Demikian difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah.

Definisi Fakir

Para ulama banyak membicarakan hal ini. Terlebih kata fakir ini sering bersanding degan kata miskin yang memiliki arti masing-masing punya pemahaman tersendiri. Pembahasan dilema ini cukup panjang dan memerlukan pembahasan khusus. Namun di sini kami akan sebutkan secara ringkas pertimbangan yang nampak lebih kuat:

Al-Qurthubi dlm Tafsir- menerangkan bahwa para ulama berlainan pertimbangan dalam hal perbedaan antara fakir dan miskin hingga sembilan pendapat.

Di antara bahwa fakir lebih memerlukan dari pada miskin. Ini yakni pertimbangan Asy-Syafi’i dan jumhur sebagaimana dalam Fathul Bari.

Di antara argumentasi yakni lantaran Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih dahulu menyebut fakir dari pada miskin dalam surat At-Taubah: 60.

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا

“Sesungguh zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir orang-orang miskin pengurus-pengurus zakat…”

Tentu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dari yang terpenting. Juga dalam surat Al-Kahfi: 79 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


أَمَّا السَّفِيْنَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا

“Adapun perahu itu yakni kepunyaan orang-orang miskin yang melakukan pekerjaan di maritim dan saya berniat menghancurkan perahu itu lantaran di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera…”

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut mereka miskin padahal mereka memiliki kapal. Kaprikornus baik fakir maupun miskin sama-sama tidak memiliki kecukupan meskipun fakir lebih kelemahan dari miskin.

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menerangkan dalam Tafsir : “Fakir yakni orang yang tidak memiliki apa-apa atau punya sedikit kecukupan tetapi kurang dari setengahnya. Sedangkan miskin yakni yang menemukan setengah kecukupan atau lebih tetapi tidak memadai.”

Berapakah yang Diberikan terhadap Mereka?

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menyampaikan : “Maka mereka diberi seukuran yang menghasilkan hilang kefakiran dan kemiskinan mereka.”

Maka diupayakan jangan hingga tiap orang miskin diberi kurang dari ukuran zakat fitrah itu sendiri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Pendapat yang paling lemah yakni pertimbangan yang menyampaikan wajib atas tiap muslim untuk membayarkan zakat fitrah terhadap 12 18 24 32 atau 28 orang atau semacam itu. Karena ini menyelisihi apa yang dijalankan kaum muslimin dahulu di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam para khalifah serta seluruh shahabatnya. Tidak seorang muslimpun melaksanakan yang demikian di masa mereka. Bahkan dahulu tiap muslim mengeluarkan duit fitrah sendiri dan fitrah keluarga terhadap satu orang muslim.

Seandai mereka menyaksikan ada yang membagi satu sha’ untuk sekian belas jiwa di mana tiap orang diberi satu genggam pasti mereka mengingkari itu dagan sekeras-kerasnya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan kadar yang ditugaskan yakni satu sha’ kurma gandum atau dari bur ½ atau 1 sha’ sesuai kadar yang cukup untuk satu orang miskin. Dan dia jadikan ini selaku masakan mereka di hari raya yang mereka terpenuhi degan itu. Jika satu orang cuma memperoleh satu genggam maka ia tidak menemukan faedah dan tidak selaras degan tujuannya.”

Bagaimana Hukum Mendirikan Semacam Badan Amil Zakat?

Telah diajukan suatu pertanyaan terhadap Al-Lajnah Ad-Da`imah wacana suatu organisasi yang berjulukan Jum’iyyatul Bir di Jeddah Saudi Arabia yang mengurus anak yatim dan sumbangan terhadap keluarga yang memerlukan menemukan zakat dan menyalurkan terhadap orang-orang yang membutuhkan.

Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab: “Organisasi tersebut wajib untuk menyalurkan zakat fitrah terhadap orang-orang yang berhak sebelum diselenggarakan Shalat Id dihentikan menangguhkan dari waktu itu. Karena Nabi mengutus untuk disampaikan terhadap orang-orang fakir sebelum Shalat Id. Organisasi itu kedudukan selaku wakil dari muzakki dan organisasi tersebut tidak diperkenankan untuk menemukan zakat fitrah kecuali seukuran yang ia bisa untuk menyalurkan terhadap orang-orang fakir sebelum Shalat Id. Dan dihentikan pula mengeluarkan duit zakat fitrah dalam bentuk duit lantaran dalil-dalil syar’i menampilkan wajib mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk masakan juga dihentikan berpaling dari dalil syar’i terhadap pertimbangan seseorang manusia.

Apabila muzakki membayarkan terhadap organisasi itu dalam bentuk duit untuk dibelikan masakan untuk orang-orang fakir maka itu wajib dilaksanakan sebelum Shalat Id dan dihentikan bagi organisasi itu untuk mengeluarkan dalam bentuk uang.”

Akan tetapi pada asal zakat fitrah eksklusif diberikan oleh muzakki terhadap yang berhak. Bila ia menampilkan terhadap tubuh amil zakat maka mesti diamati minimal dua hal:

1. Mereka sungguh-sungguh orang yang mengenali aturan sehingga tahu seluk-beluk aturan zakat dan yang berhak menerimanya.

2. Mereka yakni orang yang amanah sungguh-sungguh menyodorkan terhadap yang berhak sesuai degan aturan syar’i.

Hal ini kami tegaskan lantaran di masa ini banyak orang yang tidak tahu aturan lebih-lebih tak sedikit yang tidak amanah. Ada yang mengambil tanpa hak dan ada yang menyalurkan tidak tepat sasaran. Justru zakat itu dikembangkan atau untuk kemakmuran organisasi/partainya. Atau kadang kala dia menangguhkan yang memiliki arti menangguhkan pemberian terhadap orang yang sungguh memerlukan meskipun kadang kala melegitimasi perbuatan mereka degan alasan-alasan ‘syar’i’ yang dibuat-buat.

Bolehkah Zakat Dikembangkan oleh Badan Amil Zakat?

Pertanyaan wacana ini sudah diajukan terhadap Al-Lajnah Ad-Da`imah jawabnya:

Tidak boleh bagi wakil dari organisasi tersebut untuk membuatkan harta zakat. Yang wajib dijalankan yakni menyalurkan ke tempat-tempat yang syar’i yang sudah disebut dalam nash sehabis mengevaluasi penyaluran terhadap orang-orang yang berhak. Karena tujuan zakat yakni menyanggupi keperluan orang-orang fakir dan melunasi hutang orang-orang yang berhutang. Sementara pengembangan harta zakat bisa jadi justru membuat hilang maslahat ini atau menangguhkan dalam waktu yang usang dari orang-orang yang berhak menerimanya.

Tempat Ditunaikan Zakat Fitrah

Sebuah pertanyaan ditujukan terhadap Al-Lajnah Ad-Da`imah: “Apakah saya boleh menunaikan zakat untuk keluarga saya di mana saya puasa Ramadhan di kepingan timur sementara keluarga saya di kepingan utara?”

Jawab: Zakat fitrah itu dikeluarkan di tempat seseorang berada. Namun jikalau wakil atau wali mengeluarkan di wilayah tempat yang bersangkutan tidak ada di sana maka diperbolehkan.

Wallahu a’lam bish-shawab.
Sebagai rujukan:
1 Yang dimaksud yakni amil zakat bukan fakir miskin. Lihat Fathul Bari dan Al-Irwa` .
2 Sebelum dia juga menyebutkan hadits lain yang semakna.
3 Lain hal dlm buku Ad-Darari di situ dia beropini seumpama Asy-Syafi’i.

Sumber: www.asysyariah.com

Related : Zakat Fitrah Selaku Pensuci Jiwa

0 Komentar untuk "Zakat Fitrah Selaku Pensuci Jiwa"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close