Dari segi kebahasaan, kata Ihsan berasal dari kata kerja (fi’il) Hasuna-Yahsunu-Hasanan, artinya baik.
Kemudian mendapat suplemen hamzah di depannya, menjadi Ahsana-Yuhsinu-Ihsanan, artinya memperbaiki atau berbuat baik.
Menurut istilah, Ihsan kebanyakan diberi pemahaman dari kutipan percakapan Nabi Muhammad saw. dengan malaikat Jibril ketika dia menerangkan makna Ihsan, yaitu:
Artinya:
“… Rasulullah saw bersabda: ‘Kamu beribadah terhadap Allah, seakan-akan kau melihat-Nya, kalau kau tidak melihat-Nya maka sebenarnya Ia melihatmu.’…”
Jadi, Ihsan yakni menyembah Allah Swt. seakan-akan melihat-Nya, dan kalau ia tidak dapat membayangkan melihat-Nya, maka membayangkan bahwa sebenarnya Allah Swt. menyaksikan perbuatannya.
Dengan kata lain, Ihsan yakni beribadah dengan ikhlas, baik yang berupa ibadah khusus (seperti
salat dan sejenisnya) maupun ibadah lazim (aktivitas sosial).
Banyak ayat dan hadis yang mendelegasikan agar kita berbuat Ihsan.
Salah satu ayat yang mau kita diskusikan lebih lanjut terkait dengan perintah Ihsan yakni firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Baqarah/2:83 berikut:
Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil kontrak dari Bani Israil, “Janganlah kau menyembah selain Allah Swt., dan berbuat oke terhadap kedua orangtua, kerabat, bawah umur yatim, dan orang-oang miskin. Dan bertuturkatalah yang bagus terhadap manusia, laksanakanlah salat, dan tunaikanlah zakat.” Tetapi kemudian kau berpaling (mengingkari), kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kau (masih menjadi) pembangkang.”
Kemudian mendapat suplemen hamzah di depannya, menjadi Ahsana-Yuhsinu-Ihsanan, artinya memperbaiki atau berbuat baik.
Menurut istilah, Ihsan kebanyakan diberi pemahaman dari kutipan percakapan Nabi Muhammad saw. dengan malaikat Jibril ketika dia menerangkan makna Ihsan, yaitu:
Artinya:
“… Rasulullah saw bersabda: ‘Kamu beribadah terhadap Allah, seakan-akan kau melihat-Nya, kalau kau tidak melihat-Nya maka sebenarnya Ia melihatmu.’…”
Jadi, Ihsan yakni menyembah Allah Swt. seakan-akan melihat-Nya, dan kalau ia tidak dapat membayangkan melihat-Nya, maka membayangkan bahwa sebenarnya Allah Swt. menyaksikan perbuatannya.
Dengan kata lain, Ihsan yakni beribadah dengan ikhlas, baik yang berupa ibadah khusus (seperti
salat dan sejenisnya) maupun ibadah lazim (aktivitas sosial).
Banyak ayat dan hadis yang mendelegasikan agar kita berbuat Ihsan.
Salah satu ayat yang mau kita diskusikan lebih lanjut terkait dengan perintah Ihsan yakni firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Baqarah/2:83 berikut:
Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil kontrak dari Bani Israil, “Janganlah kau menyembah selain Allah Swt., dan berbuat oke terhadap kedua orangtua, kerabat, bawah umur yatim, dan orang-oang miskin. Dan bertuturkatalah yang bagus terhadap manusia, laksanakanlah salat, dan tunaikanlah zakat.” Tetapi kemudian kau berpaling (mengingkari), kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kau (masih menjadi) pembangkang.”
Dalam ayat di atas Allah Swt. mengingatkan Nabi Muhammad saw. atas janji Bani Israil yang mesti mereka penuhi, yakni bahwa mereka tidak akan menyembah sesuatu selain Allah Swt.. Setelah itu disusul dengan perintah berbuat baik terhadap orangtua, amal kebajikan tertinggi, sebab melalui
kedua orangtua itulah Allah Swt. bikin manusia.
Sesudah Allah Swt. menyebut hak kedua orangtua, disebutkan pula hak saudara (kaum keluarga), yakni berbuat kebajikan terhadap mereka.
Kemudian Allah Swt. menyebut hak orang-orang yang memerlukan bantuan, yakni anak yatim dan orang miskin.
Allah Swt. mendahulukan menyebut anak yatim ketimbang orang miskin sebab orang miskin sanggup berupaya sendiri, sedangkan anak yatim sebab masih kecil belum sanggup untuk itu.
Setelah mendelegasikan berbuat baik terhadap orangtua, keluarga, anak yatim, dan orang miskin, Allah Swt. mendelegasikan agar mengucapkan kata-kata yang bagus terhadap sesama manusia.
Kemudian Allah Swt. mendelegasikan terhadap Bani Israil agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat. Ruh salat itu yakni keikhlasan dan ketundukan terhadap Allah Swt.. Tanpa ruh itu salat tidak ada maknanya apa-apa.
Orang-orang Bani Israil mengabaian ruh tersebut dari dahulu hingga turun al-Qur'an, bahkan hingga sekarang.
Demikian juga dengan zakat. Kewajiban zakat bagi kaum Bani Israil juga mereka ingkari.
Hanya sedikit orang-orang yang mau mentaati perintah Allah Swt. pada masa Nabi Musa dan pada setiap zaman.
Pada selesai ayat ini Allah Swt. menyatakan, “dan kau (masih menjadi) pembangkang”.
Ini menampilkan kebiasaan orang-orang Bani Israil dalam merespons perintah Allah Swt., yakni “membangkang”, sehingga tersebarlah kemungkaran dan turunlah azab terhadap mereka.
Hadis yang terkait dengan perintah berbuat Ihsan juga banyak sekali.
Setiap hadis yang mengandung perintah berbuat baik terhadap sesama manusia, melarang berbuat kerusakan, atau perintah beribadah terhadap Allah Swt., itu semua merupakan perintah berbuat Ihsan.
Di antara hadis yang dengan tegas menyatakan agar kita berbuat I¥s±n yakni sabda Rasulullah saw. berikut:.
Artinya:
Dari Syadad bin Aus, bahwa Rasulullah saw. bersabda:“Sesungguhnya Allah sudah mengharuskan berbuat Ihsan atas segala sesuatu, maka apabila kau membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang baik, dan kalau kau menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang bagus dan hendaklah menajamkan pisaunya dan mengasyikkan binatang sembelihannya”. (HR. Muslim).
Dalam hadis di atas Rasulullah menegasan bahwa sikap dan sikap Ihsan itu ditugaskan oleh Allah Swt. dalam semua bidang kehidupan.
Pada surat al-Baqarah terdapat pola pihak-pihak yang berhak mendapat perlakuan Ihsan.
Lebih lanjut, dalam hadis ini Rasulullah saw menyediakan pola lain perihal cara berlaku Ihsan.
Jika mesti membunuh (dalam peperangan), maka mesti ditangani dengan baik, ditangani sebab Allah Swt., bukan sebab dendam atau yang lain, dan tidak pula menganiaya.
Bahkan kalau lawan menyerah, maka dihentikan dibunuh.
Kemudian pada pecahan selesai dari hadis, Rasulullah saw mengajarkan cara berlaku Ihsan terhadap binatang dengan menerangkan adab menyembelih, yakni agar pisau ditajamkan, dan binatang yang mau disembelih pun dibentuk senang, dengan menyediakan makan yang cukup.
Jika binatang saja mesti dipelakukan demikian, terlebih sesama manusia.
kedua orangtua itulah Allah Swt. bikin manusia.
Sesudah Allah Swt. menyebut hak kedua orangtua, disebutkan pula hak saudara (kaum keluarga), yakni berbuat kebajikan terhadap mereka.
Kemudian Allah Swt. menyebut hak orang-orang yang memerlukan bantuan, yakni anak yatim dan orang miskin.
Allah Swt. mendahulukan menyebut anak yatim ketimbang orang miskin sebab orang miskin sanggup berupaya sendiri, sedangkan anak yatim sebab masih kecil belum sanggup untuk itu.
Setelah mendelegasikan berbuat baik terhadap orangtua, keluarga, anak yatim, dan orang miskin, Allah Swt. mendelegasikan agar mengucapkan kata-kata yang bagus terhadap sesama manusia.
Kemudian Allah Swt. mendelegasikan terhadap Bani Israil agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat. Ruh salat itu yakni keikhlasan dan ketundukan terhadap Allah Swt.. Tanpa ruh itu salat tidak ada maknanya apa-apa.
Orang-orang Bani Israil mengabaian ruh tersebut dari dahulu hingga turun al-Qur'an, bahkan hingga sekarang.
Demikian juga dengan zakat. Kewajiban zakat bagi kaum Bani Israil juga mereka ingkari.
Hanya sedikit orang-orang yang mau mentaati perintah Allah Swt. pada masa Nabi Musa dan pada setiap zaman.
Pada selesai ayat ini Allah Swt. menyatakan, “dan kau (masih menjadi) pembangkang”.
Ini menampilkan kebiasaan orang-orang Bani Israil dalam merespons perintah Allah Swt., yakni “membangkang”, sehingga tersebarlah kemungkaran dan turunlah azab terhadap mereka.
Hadis yang terkait dengan perintah berbuat Ihsan juga banyak sekali.
Setiap hadis yang mengandung perintah berbuat baik terhadap sesama manusia, melarang berbuat kerusakan, atau perintah beribadah terhadap Allah Swt., itu semua merupakan perintah berbuat Ihsan.
Di antara hadis yang dengan tegas menyatakan agar kita berbuat I¥s±n yakni sabda Rasulullah saw. berikut:.
Artinya:
Dari Syadad bin Aus, bahwa Rasulullah saw. bersabda:“Sesungguhnya Allah sudah mengharuskan berbuat Ihsan atas segala sesuatu, maka apabila kau membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang baik, dan kalau kau menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang bagus dan hendaklah menajamkan pisaunya dan mengasyikkan binatang sembelihannya”. (HR. Muslim).
Dalam hadis di atas Rasulullah menegasan bahwa sikap dan sikap Ihsan itu ditugaskan oleh Allah Swt. dalam semua bidang kehidupan.
Pada surat al-Baqarah terdapat pola pihak-pihak yang berhak mendapat perlakuan Ihsan.
Lebih lanjut, dalam hadis ini Rasulullah saw menyediakan pola lain perihal cara berlaku Ihsan.
Jika mesti membunuh (dalam peperangan), maka mesti ditangani dengan baik, ditangani sebab Allah Swt., bukan sebab dendam atau yang lain, dan tidak pula menganiaya.
Bahkan kalau lawan menyerah, maka dihentikan dibunuh.
Kemudian pada pecahan selesai dari hadis, Rasulullah saw mengajarkan cara berlaku Ihsan terhadap binatang dengan menerangkan adab menyembelih, yakni agar pisau ditajamkan, dan binatang yang mau disembelih pun dibentuk senang, dengan menyediakan makan yang cukup.
Jika binatang saja mesti dipelakukan demikian, terlebih sesama manusia.
Kepada siapa kita mesti berlaku Ihsa? Dilihat dari objek nya (pihak-pihak yang berhak mendapat perlakuan baik/Ihsan dari kita), kita mesti berbuat Ihsan terhadap Allah Swt. selaku Sang Pencipta dan juga terhadap seluruh makhluk ciptaan-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah saw. berikut.
“Sesungguhnya Allah sudah mengharuskan berbuat Ihsan atas segala sesuatu…”.(HR. Muslim).
Secara lebih rinci, pihak-pihak yang berhak mendapat Ihsan merupakan selaku berikut:
1. Ihsan terhadap Allah Swt.
Yaitu berlaku Ihsan dalam menyembah/beribadah terhadap Allah Swt., baik dalam bentuk ibadah khusus yang disebut ibadah mahdah (murni, ritual), seumpama salat, puasa, dan sejenisnya, ataupun ibadah lazim yang disebut dengan ibadah gairu mahdah (ibadah sosial), seumpama belajar-mengajar,
berdagang, makan, tidur, dan semua perbuatan insan yang tidak
berlainan dengan aturan agama.
Berdasarkan hadis perihal Ihsan di atas, Ihsan terhadap Allah Swt. mengandung dua tingkatan berikut ini.
a. Beribadah terhadap Allah Swt. seakan-akan melihat-Nya. Keadaan ini merupakan tingkatan Ihsan yang paling tinggi, sebab dia berangkat dari sikap membutuhkan, harapan, dan kerinduan. Dia
menuju dan berupaya mendekatkan diri kepada-Nya.
b. Beribadah dengan sarat kepercayaan bahwa Allah Swt. melihatnya. Kondisi ini lebih rendah tingkatannya ketimbang tingkatan yang pertama, sebab sikap Ihsannya didorong dari rasa diawasi dan takut akan hukuman.
Kedua jenis Ihan inilah yang mau mengirimkan pelakunya terhadap puncak keikhlasan dalam beribadah terhadap Allah Swt., jauh dari motif riya’.
2. Ihsan terhadap sesama makhluk ciptaan Allah Swt.
Dalam Q.S al-Qassash/28:77 Allah berfirman: “…dan berbuat oke (kepada orang lain) sebagaimana Allah sudah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kau berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menggemari orang-orang yang berbuat kerusakan.” Dari banyak sekali ayat dan hadis, berbuat kebajikan (I¥s±n) terhadap sesama makhluk Allah Swt. termasuk seluruh alam raya ciptaan-Nya. Lebih kongkritnya seumpama klarifikasi berikut:
a. Ihsan terhadap kedua Orangtua.
Allah Swt. berfirman: “Dan Tuhanmu sudah mendelegasikan agar kau tidak menyembah selain Dia, dan hendaklah kau berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekalikali janganlah kau menyampaikan terhadap keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah terhadap mereka perkataan yang mulia.
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan sarat kesayangan.” dan ucapkanlah:
“Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik saya di waktu
kecil.”(Q.S.al-Isra’/17:24)
Dalam suatu hadis riwayat at-Tirmizi, dari Abdullah bin Umar, Rasulullah saw. bersabda (artinya): “Keridaan Allah berada pada keridaaan orangtua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orangtua.” (HR. at-Tirmizi).
Berbuat baik terhadap kedua orangtua merupakan dengan cara mengasihi, memelihara, dan mempertahankan mereka dengan sepenuh hati serta menyanggupi semua kesempatan mereka selama tidak bertentangan
dengan aturan Allah Swt..
Mereka sudah berkorban untuk kepentingan anak mereka ketika masih kecil dengan perhatian sarat dan belas kasihan.
Mereka mendidik dan mengorganisir semua keperluan bawah umur ketika masih lemah. Selain itu, orangtua memberian kasih sayang yang tidak ada tandingannya.
Jika demikian, apakah tidak sebaiknya orangtua mendapat perlakuan yang bagus pula selaku imbalan dari kebijaksanaan baiknya yang tulus itu? Sedangkan Allah Swt. sudah menegaskan
dalam firman-Nya, “Tidak ada jawaban untuk kebaikan kecuali kebaikan (pula)” (Q.S. ar-Rahman/55:60).
b. Ihsan terhadap Kerabat Karib.
Menjalin korelasi baik dengan karib saudara yakni bentuk Ihsan terhadap mereka, bahkan Allah Swt. menyamakan seseorang yang tentukan korelasi silaturahmi dengan perusak di tampang bumi.
Allah Swt. berfirman: “Maka apakah kiranya kalau kau berkuasa kau akan bikin kerusakan dimuka bumi dan tentukan korelasi kekeluargaan?” (Q.S. Muhammad/47:22).
Silatur ahmi merupakan kunci mendapat keri«±an Allah Swt. Sebab paling utama terputusnya korelasi seorang hamba dengan Tuhannya yakni sebab terputusnya korelasi silaturahmi.
Dalam hadis qudsi, Allah Swt. berfirman: “Aku yakni Allah, Aku yakni Rahman, dan Aku
sudah bikin rahim yang Kuberi nama pecahan dari nama-Ku. Maka, barangsiapa yang menyambungnya, akan Kusambungkan pula baginya dan barangsiapa yang memutuskannya, akan Kuputuskan hubunganKu dengannya.” (HR. at-Tirmizi).
c. Ihsan terhadap Anak Yatim.
Berbuat baik terhadap anak yatim ialah dengan cara mendidiknya dan memelihara hak-haknya. Banyak ayat dan hadis mengusulkan berbuat baik terhadap anak yatim, di antaranya yakni sabda Rasulullah saw.:
“Aku dan orang yang memelihara anak yatim di nirwana kelak akan seumpama ini…(seraya menampilkan jari telunjuk jari tengahnya).” (HR. al-Bukhari, Abu Dawud, dan at-Tirmizi).
d. Ihsan terhadap Fakir Miskin.
Berbuat Ihsan terhadap orang miskin merupakan dengan menyediakan pertolongan terhadap mereka khususnya pada ketika mereka mendapat kesulitan.
Rasulullah bersabda,”Orang-orang yang membantu janda dan orang miskin, seumpama orang yang berjuang di jalan Allah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
e. Ihsan Kepada Tetangga.
Ihsan terhadap tetangga bersahabat termasuk tetangga bersahabat dari saudara atau tetangga yang berada di bersahabat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh sebab nasab maupun yang berada jauh dari rumah.
Teman sejawat yakni yang berkumpul dengan kita atas dasar pekerjaan, pertemanan, sobat sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had, dan sebagainya.
Mereka semua masuk ke dalam klasifikasi tetangga.
Seorang tetangga kafir mempunyai hak selaku tetangga saja, namun tetangga muslim mempunyai dua hak, yakni selaku tetangga dan selaku muslim, sedang tetangga muslim dan saudara mempunyai tiga hak, yakni selaku tetangga, selaku muslim, dan selaku kerabat.
Rasulullah saw. bersabda: “Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman.” Para kawan dekat bertanya: “Siapakah yang tidak beriman, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Seseorang yang tidak kondusif tetangganya dari gangguannya.” (HR. al-Syaikhani).
Pada hadis yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang kenyang pada suatu malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya.”(HR. at-abrani).
f. Ihsan terhadap Tamu
Ihsan terhadap tamu, secara lazim yakni dengan menghormati dan menjamunya. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa beriman terhadap Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya.” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i).
Tamu yang tiba dari daerah yang jauh, tergolong dalam sebutan ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan jauh).
Cara berbuat Ihsan terhadap ibnu sabil dengan menyanggupi kebutuhannya, mempertahankan hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan kalau ia meminta.
g. Ihsan terhadap Karyawan/Pekerja
Kepada karyawan atau orang-orang yang terikat perjanjian kerja dengan kita, tergolong pembantu, tukang, dan sebagainya, kita ditugaskan agar mengeluarkan duit upah mereka sebelum keringat mereka
kering (segera), tidak menambah beban mereka dengan sesuatu yang mereka tidak sanggup melakukannya.
Secara lazim kita juga mesti menghormati dan menghargai profesi mereka.
h. Ihsan terhadap Sesama Manusia
Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa beriman terhadap Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata yang bagus atau diam.” (¦R. Al-Bukhari dan Muslim).
Wahai manusia, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai satu sama lain dalam pergaulan, mendelegasikan terhadap yang ma’ruf dan menangkal kemungkaran.
Menunjuki jalan kalau ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengusik mereka dengan tidak melaksanakan hal-hal sanggup mengusik serta melukai mereka.
i. Ihsan terhadap Binatang
Berbuat Ihsan terhadap binatang yakni dengan memberinya makan kalau ia lapar, mengobatinya kalau ia sakit, tidak membebaninya di luar kemampuannya, tidak menyiksanya kalau ia bekerja, dan
mengistirahatkannya kalau ia lelah.
Bahkan, pada ketika menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.
“…Maka apabila kau membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang baik, dan kalau kau menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang bagus dan hendaklah menajamkan pisaunya dan mengasyikkan binatang sembelihannya”. (¦R. Muslim).
j. Ihsan terhadap Alam Sekitar
Alam raya beserta isinya diciptakan untuk kepentingan manusia. Untuk kepentingan kelestarian hidup alam dan insan sendiri, alam mesti dimanfaatkan secara bertanggungjawab.
Allah Swt. berfirman: “…dan berbuat oke (kepada orang lain) sebagaimana Allah sudah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kau berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menggemari orang-orang yang berbuat kerusakan.”(Q.S. al-Qásas/28:77).
“Sesungguhnya Allah sudah mengharuskan berbuat Ihsan atas segala sesuatu…”.(HR. Muslim).
Secara lebih rinci, pihak-pihak yang berhak mendapat Ihsan merupakan selaku berikut:
1. Ihsan terhadap Allah Swt.
Yaitu berlaku Ihsan dalam menyembah/beribadah terhadap Allah Swt., baik dalam bentuk ibadah khusus yang disebut ibadah mahdah (murni, ritual), seumpama salat, puasa, dan sejenisnya, ataupun ibadah lazim yang disebut dengan ibadah gairu mahdah (ibadah sosial), seumpama belajar-mengajar,
berdagang, makan, tidur, dan semua perbuatan insan yang tidak
berlainan dengan aturan agama.
Berdasarkan hadis perihal Ihsan di atas, Ihsan terhadap Allah Swt. mengandung dua tingkatan berikut ini.
a. Beribadah terhadap Allah Swt. seakan-akan melihat-Nya. Keadaan ini merupakan tingkatan Ihsan yang paling tinggi, sebab dia berangkat dari sikap membutuhkan, harapan, dan kerinduan. Dia
menuju dan berupaya mendekatkan diri kepada-Nya.
b. Beribadah dengan sarat kepercayaan bahwa Allah Swt. melihatnya. Kondisi ini lebih rendah tingkatannya ketimbang tingkatan yang pertama, sebab sikap Ihsannya didorong dari rasa diawasi dan takut akan hukuman.
Kedua jenis Ihan inilah yang mau mengirimkan pelakunya terhadap puncak keikhlasan dalam beribadah terhadap Allah Swt., jauh dari motif riya’.
2. Ihsan terhadap sesama makhluk ciptaan Allah Swt.
Dalam Q.S al-Qassash/28:77 Allah berfirman: “…dan berbuat oke (kepada orang lain) sebagaimana Allah sudah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kau berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menggemari orang-orang yang berbuat kerusakan.” Dari banyak sekali ayat dan hadis, berbuat kebajikan (I¥s±n) terhadap sesama makhluk Allah Swt. termasuk seluruh alam raya ciptaan-Nya. Lebih kongkritnya seumpama klarifikasi berikut:
a. Ihsan terhadap kedua Orangtua.
Allah Swt. berfirman: “Dan Tuhanmu sudah mendelegasikan agar kau tidak menyembah selain Dia, dan hendaklah kau berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekalikali janganlah kau menyampaikan terhadap keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah terhadap mereka perkataan yang mulia.
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan sarat kesayangan.” dan ucapkanlah:
“Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik saya di waktu
kecil.”(Q.S.al-Isra’/17:24)
Dalam suatu hadis riwayat at-Tirmizi, dari Abdullah bin Umar, Rasulullah saw. bersabda (artinya): “Keridaan Allah berada pada keridaaan orangtua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orangtua.” (HR. at-Tirmizi).
Berbuat baik terhadap kedua orangtua merupakan dengan cara mengasihi, memelihara, dan mempertahankan mereka dengan sepenuh hati serta menyanggupi semua kesempatan mereka selama tidak bertentangan
dengan aturan Allah Swt..
Mereka sudah berkorban untuk kepentingan anak mereka ketika masih kecil dengan perhatian sarat dan belas kasihan.
Mereka mendidik dan mengorganisir semua keperluan bawah umur ketika masih lemah. Selain itu, orangtua memberian kasih sayang yang tidak ada tandingannya.
Jika demikian, apakah tidak sebaiknya orangtua mendapat perlakuan yang bagus pula selaku imbalan dari kebijaksanaan baiknya yang tulus itu? Sedangkan Allah Swt. sudah menegaskan
dalam firman-Nya, “Tidak ada jawaban untuk kebaikan kecuali kebaikan (pula)” (Q.S. ar-Rahman/55:60).
b. Ihsan terhadap Kerabat Karib.
Menjalin korelasi baik dengan karib saudara yakni bentuk Ihsan terhadap mereka, bahkan Allah Swt. menyamakan seseorang yang tentukan korelasi silaturahmi dengan perusak di tampang bumi.
Allah Swt. berfirman: “Maka apakah kiranya kalau kau berkuasa kau akan bikin kerusakan dimuka bumi dan tentukan korelasi kekeluargaan?” (Q.S. Muhammad/47:22).
Silatur ahmi merupakan kunci mendapat keri«±an Allah Swt. Sebab paling utama terputusnya korelasi seorang hamba dengan Tuhannya yakni sebab terputusnya korelasi silaturahmi.
Dalam hadis qudsi, Allah Swt. berfirman: “Aku yakni Allah, Aku yakni Rahman, dan Aku
sudah bikin rahim yang Kuberi nama pecahan dari nama-Ku. Maka, barangsiapa yang menyambungnya, akan Kusambungkan pula baginya dan barangsiapa yang memutuskannya, akan Kuputuskan hubunganKu dengannya.” (HR. at-Tirmizi).
c. Ihsan terhadap Anak Yatim.
Berbuat baik terhadap anak yatim ialah dengan cara mendidiknya dan memelihara hak-haknya. Banyak ayat dan hadis mengusulkan berbuat baik terhadap anak yatim, di antaranya yakni sabda Rasulullah saw.:
“Aku dan orang yang memelihara anak yatim di nirwana kelak akan seumpama ini…(seraya menampilkan jari telunjuk jari tengahnya).” (HR. al-Bukhari, Abu Dawud, dan at-Tirmizi).
d. Ihsan terhadap Fakir Miskin.
Berbuat Ihsan terhadap orang miskin merupakan dengan menyediakan pertolongan terhadap mereka khususnya pada ketika mereka mendapat kesulitan.
Rasulullah bersabda,”Orang-orang yang membantu janda dan orang miskin, seumpama orang yang berjuang di jalan Allah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
e. Ihsan Kepada Tetangga.
Ihsan terhadap tetangga bersahabat termasuk tetangga bersahabat dari saudara atau tetangga yang berada di bersahabat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh sebab nasab maupun yang berada jauh dari rumah.
Teman sejawat yakni yang berkumpul dengan kita atas dasar pekerjaan, pertemanan, sobat sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had, dan sebagainya.
Mereka semua masuk ke dalam klasifikasi tetangga.
Seorang tetangga kafir mempunyai hak selaku tetangga saja, namun tetangga muslim mempunyai dua hak, yakni selaku tetangga dan selaku muslim, sedang tetangga muslim dan saudara mempunyai tiga hak, yakni selaku tetangga, selaku muslim, dan selaku kerabat.
Rasulullah saw. bersabda: “Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman.” Para kawan dekat bertanya: “Siapakah yang tidak beriman, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Seseorang yang tidak kondusif tetangganya dari gangguannya.” (HR. al-Syaikhani).
Pada hadis yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang kenyang pada suatu malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya.”(HR. at-abrani).
f. Ihsan terhadap Tamu
Ihsan terhadap tamu, secara lazim yakni dengan menghormati dan menjamunya. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa beriman terhadap Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya.” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i).
Tamu yang tiba dari daerah yang jauh, tergolong dalam sebutan ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan jauh).
Cara berbuat Ihsan terhadap ibnu sabil dengan menyanggupi kebutuhannya, mempertahankan hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan kalau ia meminta.
g. Ihsan terhadap Karyawan/Pekerja
Kepada karyawan atau orang-orang yang terikat perjanjian kerja dengan kita, tergolong pembantu, tukang, dan sebagainya, kita ditugaskan agar mengeluarkan duit upah mereka sebelum keringat mereka
kering (segera), tidak menambah beban mereka dengan sesuatu yang mereka tidak sanggup melakukannya.
Secara lazim kita juga mesti menghormati dan menghargai profesi mereka.
h. Ihsan terhadap Sesama Manusia
Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa beriman terhadap Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata yang bagus atau diam.” (¦R. Al-Bukhari dan Muslim).
Wahai manusia, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai satu sama lain dalam pergaulan, mendelegasikan terhadap yang ma’ruf dan menangkal kemungkaran.
Menunjuki jalan kalau ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengusik mereka dengan tidak melaksanakan hal-hal sanggup mengusik serta melukai mereka.
i. Ihsan terhadap Binatang
Berbuat Ihsan terhadap binatang yakni dengan memberinya makan kalau ia lapar, mengobatinya kalau ia sakit, tidak membebaninya di luar kemampuannya, tidak menyiksanya kalau ia bekerja, dan
mengistirahatkannya kalau ia lelah.
Bahkan, pada ketika menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.
“…Maka apabila kau membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang baik, dan kalau kau menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang bagus dan hendaklah menajamkan pisaunya dan mengasyikkan binatang sembelihannya”. (¦R. Muslim).
j. Ihsan terhadap Alam Sekitar
Alam raya beserta isinya diciptakan untuk kepentingan manusia. Untuk kepentingan kelestarian hidup alam dan insan sendiri, alam mesti dimanfaatkan secara bertanggungjawab.
Allah Swt. berfirman: “…dan berbuat oke (kepada orang lain) sebagaimana Allah sudah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kau berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menggemari orang-orang yang berbuat kerusakan.”(Q.S. al-Qásas/28:77).
“Kebaikan akan berbalas kebaikan”, yakni kontrak Allah dalam al-Qur'an. Berbuat Ihsan yakni permintaan kehidupan kolektif.
Karena tidak ada insan yang sanggup hidup sendiri, maka Allah memunculkan saling berbuat baik selaku suatu keniscayaan.
Berbuat baik (Ihsan) terhadap siapa pun, akan menjadi stimulus terjadinya “balasan” dari kebaikan yang dilakukan.
Demikianlah, Allah Swt. Membuat sunah (aturan) bagi alam ini, ada jasa ada balas. Semua insan diberi “nurani” untuk berterima kasih dan kesempatan untuk membalas kebijaksanaan baik.
Karena tidak ada insan yang sanggup hidup sendiri, maka Allah memunculkan saling berbuat baik selaku suatu keniscayaan.
Berbuat baik (Ihsan) terhadap siapa pun, akan menjadi stimulus terjadinya “balasan” dari kebaikan yang dilakukan.
Demikianlah, Allah Swt. Membuat sunah (aturan) bagi alam ini, ada jasa ada balas. Semua insan diberi “nurani” untuk berterima kasih dan kesempatan untuk membalas kebijaksanaan baik.
Sikap dan sikap terpuji yang mesti dikembangkan terait dengan Ihsan merupakan semua perbuatan baik terhadap Allah Swt. dan terhadap sesama makhluk ciptaanNya.
Secara ringkas sikap tersebut ialah:
1. Melakukan ibadah ritual (salat, zikir, dan sebagainya) dengan sarat kekhusyukan dan keikhlasan;
2. Birrul walidain (berbuat baik terhadap kedua orangtua), dengan mengikuti semua keinginannya kalau memungkinkan, dengan syarat tidak berlainan dengan aturan Allah Swt.;
3. Menjalin korelasi baik dengan kerabat;
4. Menyantuni anak yatim dan fakir miskin;
5. Berbuat baik terhadap tetangga;
6. Berbuat baik terhadap sobat sejawat;
7. Berbuat baik terhadap tamu dengan menyediakan jamuan dan penginapan sebatas kemampuan;
8. Berbuat baik terhadap karyawan/pembantu dengan membayarkan upah sesuai perjanjian;
9. Membalas semua kebaikan dengan yang lebih baik;
10. Membalas kejaha tan dengan kebaikan, bukan dengan kejahatan serupa;
11. Berlaku baik terhadap binatang, dengan memelihara atau memperlakukannya dengan baik. Jika menyembelih ataupun membunuh, lakukan dengan adab yang bagus dan tidak ada unsur penganiayaan;
12. Menjaga kelestarian lingkungan, baik daratan maupun lautan dan tidak melaksanakan langkah-langkah yang merusak.
Secara ringkas sikap tersebut ialah:
1. Melakukan ibadah ritual (salat, zikir, dan sebagainya) dengan sarat kekhusyukan dan keikhlasan;
2. Birrul walidain (berbuat baik terhadap kedua orangtua), dengan mengikuti semua keinginannya kalau memungkinkan, dengan syarat tidak berlainan dengan aturan Allah Swt.;
3. Menjalin korelasi baik dengan kerabat;
4. Menyantuni anak yatim dan fakir miskin;
5. Berbuat baik terhadap tetangga;
6. Berbuat baik terhadap sobat sejawat;
7. Berbuat baik terhadap tamu dengan menyediakan jamuan dan penginapan sebatas kemampuan;
8. Berbuat baik terhadap karyawan/pembantu dengan membayarkan upah sesuai perjanjian;
9. Membalas semua kebaikan dengan yang lebih baik;
10. Membalas kejaha tan dengan kebaikan, bukan dengan kejahatan serupa;
11. Berlaku baik terhadap binatang, dengan memelihara atau memperlakukannya dengan baik. Jika menyembelih ataupun membunuh, lakukan dengan adab yang bagus dan tidak ada unsur penganiayaan;
12. Menjaga kelestarian lingkungan, baik daratan maupun lautan dan tidak melaksanakan langkah-langkah yang merusak.
TULISANNN
0 Komentar untuk "Materi Pai Xii Pecahan 6 Menjangkau Kasih Allah Swt Dengan Ihsan"