Pernikahan adalah sunnatullah yang berlaku biasa bagi semua makhluk Nya. Al-Qur`ān menyebutkan dalam Q.S. adz-záriyat /51:49.
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kau mengingat akan kebesaran Allah.“
Islam sungguh merekomendasikan pernikahan, lantaran dengan pernikahan insan akan berkembang, sehingga kehidupan umat insan sanggup dilestarikan.
Tanpa pernikahan regenerasi akan terhenti, kehidupan insan akan terputus, dunia pun akan sepi dan tidak berarti, lantaran itu Allah Swt. mensyariatkan pernikahan sebagaimana difirmankan dalam Q.S. an-Nahl/16:72.
Artinya:
“ Allah membuat dari kau istri-istri dari jenis kau sendiri dan membuat bagimu dan istri-istri kau itu belum dewasa dan cucu-cucu dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman terhadap yang bathil dan mengingkari lezat Allah.”
Ayat tersebut menguatkan rangsangan bagi orang yang merasa belum sanggup, mudah-mudahan tidak ketakutan lantaran belum cukup biaya, lantaran dengan pernikahan yang benar dan ikhlas, Allah Swt. akan melapangkan rezeki yang bagus dan halal untuk hidup berumah tangga, sebagaimana dijanjikan Allah
Swt. dalam firman-Nya:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang- orang yang pantas (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah Swt. akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Swt. Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui.” ( Q.S. an-Nur/24:32).
Rasulullah juga banyak merekomendasikan terhadap para sampaumur yang sudah bisa untuk secepatnya menikah mudah-mudahan kondisi jiwanya lebih sehat, seumpama dalam hadis berikut.
“Wahai para pemuda! Siapa saja di antara kalian yang sudah bisa maka menikahlah, lantaran pernikahan itu lebih menundukkan persepsi dan lebih menjaga kemaluan. Jika belum bisa maka berpuasalah, lantaran berpuasa sanggup menjadi benteng (dari gejolak nafsu)”. (¦R. Al-Bukh±ri dan Muslim).
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kau mengingat akan kebesaran Allah.“
Islam sungguh merekomendasikan pernikahan, lantaran dengan pernikahan insan akan berkembang, sehingga kehidupan umat insan sanggup dilestarikan.
Tanpa pernikahan regenerasi akan terhenti, kehidupan insan akan terputus, dunia pun akan sepi dan tidak berarti, lantaran itu Allah Swt. mensyariatkan pernikahan sebagaimana difirmankan dalam Q.S. an-Nahl/16:72.
Artinya:
“ Allah membuat dari kau istri-istri dari jenis kau sendiri dan membuat bagimu dan istri-istri kau itu belum dewasa dan cucu-cucu dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman terhadap yang bathil dan mengingkari lezat Allah.”
Ayat tersebut menguatkan rangsangan bagi orang yang merasa belum sanggup, mudah-mudahan tidak ketakutan lantaran belum cukup biaya, lantaran dengan pernikahan yang benar dan ikhlas, Allah Swt. akan melapangkan rezeki yang bagus dan halal untuk hidup berumah tangga, sebagaimana dijanjikan Allah
Swt. dalam firman-Nya:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang- orang yang pantas (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah Swt. akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Swt. Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui.” ( Q.S. an-Nur/24:32).
Rasulullah juga banyak merekomendasikan terhadap para sampaumur yang sudah bisa untuk secepatnya menikah mudah-mudahan kondisi jiwanya lebih sehat, seumpama dalam hadis berikut.
“Wahai para pemuda! Siapa saja di antara kalian yang sudah bisa maka menikahlah, lantaran pernikahan itu lebih menundukkan persepsi dan lebih menjaga kemaluan. Jika belum bisa maka berpuasalah, lantaran berpuasa sanggup menjadi benteng (dari gejolak nafsu)”. (¦R. Al-Bukh±ri dan Muslim).
Secara bahasa, arti “nikah” memiliki arti “mengumpulkan, menggabungkan, atau menjodohkan”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”nikah” diartikan selaku “perjanjian antara lelaki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi) atau “pernikahan”.
Sedang menurut syari’ah, “nikah” memiliki arti janji yang menghalalkan pergaulan antara lelaki dan perempuan yang bukan mahramnya yang membuat hak dan keharusan masing-masing.
Dalam Undang-undang Pernikahan RI (UUPRI) Nomor 1 Tahun 1974, definisi atau pemahaman perkawinan atau pernikahan merupakan "ikatan lahir batin antara seorang lelaki dan perempuan selaku suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan infinit menurut Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pernikahan sama artinya dengan perkawinan. Allah Swt. berfirman:
“Dan bila kau takut tidak akan sanggup berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kau mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kau senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian bila kau takut tidak akan sanggup berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kau miliki. Yang demikian itu merupakan lebih bersahabat terhadap tidak berbuat aniaya”. (Q.S. an-Nisa/4:3).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”nikah” diartikan selaku “perjanjian antara lelaki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi) atau “pernikahan”.
Sedang menurut syari’ah, “nikah” memiliki arti janji yang menghalalkan pergaulan antara lelaki dan perempuan yang bukan mahramnya yang membuat hak dan keharusan masing-masing.
Dalam Undang-undang Pernikahan RI (UUPRI) Nomor 1 Tahun 1974, definisi atau pemahaman perkawinan atau pernikahan merupakan "ikatan lahir batin antara seorang lelaki dan perempuan selaku suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan infinit menurut Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pernikahan sama artinya dengan perkawinan. Allah Swt. berfirman:
“Dan bila kau takut tidak akan sanggup berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kau mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kau senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian bila kau takut tidak akan sanggup berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kau miliki. Yang demikian itu merupakan lebih bersahabat terhadap tidak berbuat aniaya”. (Q.S. an-Nisa/4:3).
Seseorang yang mau menikah mesti memiliki tujuan faktual dan mulia untuk membina keluarga sakinah dalam rumah tangga, di antaranya selaku berikut.
a. Untuk menyanggupi permintaan naluri insan yang asasi
Rasulullah saw., bersabda:
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi Muhammad saw., ia bersabda:’wanita dinikahi lantaran empat hal: lantaran hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan lantaran agamanya. Nikahilah perempuan lantaran agamanya, kalau tidak kau akan celaka" (¦R. Al-Bukh±ri dan Muslim).
b. Untuk mendapat ketenangan hidup
Allah Swt. berfirman:
Artinya:
”Dan di antara gejala (kebesaran)-Nya merupakan Dia bikin pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, mudah-mudahan kau condong dan merasa nyaman kepadanya, dan Dia membuat di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu betul-betul terdapat tandatanda
(kebesaran Allah Swt.) bagi kaum yang berpikir”. (Q.S. ar-Rum/30:21).
c. Untuk memben tengi akhlak
Rasulullah saw. bersabda: “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, lantaran nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan).
Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), lantaran shaum itu sanggup membentengi dirinya”. (¦R. al-Bukhari dan Muslim)
d. Untuk mengembangkan ibadah terhadap Allah Swt.
Rasulullah saw. bersabda:
“Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian tergolong sedekah!”. Mendengar sabda Rasulullah para sobat keheranan dan bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang suami yang bikin puas nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala?” Nabi Muhammad saw. menjawab, “Bagaimana menurut kalian bila mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa? “ Jawab para shahabat, ”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi, “Begitu pula kalau
mereka bersetubuh dengan istrinya (di wilayah yang halal), mereka akan mendapatkan pahala!”. (¦R. Muslim).
e. Untuk mendapat keturunan yang salih
Allah Swt. berfirman:
“Allah sudah membuat dari diri-diri kau itu pasangan suami istri dan membuat bagimu dari istri-istrimu itu belum dewasa dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman terhadap yang batil dan mengingkari lezat Allah?”. (Q.S. an-Nahl/16:72).
f. Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami
Dalam al-Qur'an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya talaq (perceraian), bila suami istri sudah tidak sanggup lagi menjaga keutuhan rumah tangga. Firman Allah Swt.:
“Talaq (yang sanggup dirujuki) dua kali, sehabis itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kau mengambil kembali dari sesuatu yang sudah kau berikan terhadap mereka, kecuali kalau keduanya ketakutan tidak akan sanggup menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya mengenai bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kau melanggarnya.
Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (Q.S.
al-Baqarah/2:229).
a. Untuk menyanggupi permintaan naluri insan yang asasi
Rasulullah saw., bersabda:
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi Muhammad saw., ia bersabda:’wanita dinikahi lantaran empat hal: lantaran hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan lantaran agamanya. Nikahilah perempuan lantaran agamanya, kalau tidak kau akan celaka" (¦R. Al-Bukh±ri dan Muslim).
b. Untuk mendapat ketenangan hidup
Allah Swt. berfirman:
Artinya:
”Dan di antara gejala (kebesaran)-Nya merupakan Dia bikin pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, mudah-mudahan kau condong dan merasa nyaman kepadanya, dan Dia membuat di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu betul-betul terdapat tandatanda
(kebesaran Allah Swt.) bagi kaum yang berpikir”. (Q.S. ar-Rum/30:21).
c. Untuk memben tengi akhlak
Rasulullah saw. bersabda: “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, lantaran nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan).
Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), lantaran shaum itu sanggup membentengi dirinya”. (¦R. al-Bukhari dan Muslim)
d. Untuk mengembangkan ibadah terhadap Allah Swt.
Rasulullah saw. bersabda:
“Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian tergolong sedekah!”. Mendengar sabda Rasulullah para sobat keheranan dan bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang suami yang bikin puas nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala?” Nabi Muhammad saw. menjawab, “Bagaimana menurut kalian bila mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa? “ Jawab para shahabat, ”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi, “Begitu pula kalau
mereka bersetubuh dengan istrinya (di wilayah yang halal), mereka akan mendapatkan pahala!”. (¦R. Muslim).
e. Untuk mendapat keturunan yang salih
Allah Swt. berfirman:
“Allah sudah membuat dari diri-diri kau itu pasangan suami istri dan membuat bagimu dari istri-istrimu itu belum dewasa dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman terhadap yang batil dan mengingkari lezat Allah?”. (Q.S. an-Nahl/16:72).
f. Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami
Dalam al-Qur'an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya talaq (perceraian), bila suami istri sudah tidak sanggup lagi menjaga keutuhan rumah tangga. Firman Allah Swt.:
“Talaq (yang sanggup dirujuki) dua kali, sehabis itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kau mengambil kembali dari sesuatu yang sudah kau berikan terhadap mereka, kecuali kalau keduanya ketakutan tidak akan sanggup menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya mengenai bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kau melanggarnya.
Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (Q.S.
al-Baqarah/2:229).
Para ulama menyebutkan bahwa nikah ditugaskan lantaran sanggup merealisasikan maslahat, memelihara diri, kehormatan, mendapat pahala dan lain-lain.
Oleh lantaran itu, apabila pernikahan justru menenteng mudharat maka nikah pun dilarang. Karena itu aturan asal melaksanakan pernikahan merupakan mubah.
Para luar biasa fikih sependapat bahwa aturan pernikahan tidak sama penerapannya terhadap semua mukallaf, melainkan disesuaikan dengan kondisi masing-masing, baik dilihat dari kesiapan ekonomi, fisik, mental ataupun akhlak.
Karena itu aturan nikah dapat menjadi wajib, sunah, mubah, haram, dan makruh. Penjelasannya selaku berikut.
a. Wajib
Wajib yakni bagi orang yang sudah bisa baik fisik, mental, ekonomi maupun budpekerti untuk melaksanakan pernikahan, memiliki impian untuk menikah, dan bila tidak menikah, maka dikhawatirkan akan jatuh pada perbuatan maksiat, maka wajib baginya untuk menikah. Karena menjauhi zina baginya merupakan wajib dan cara menjauhi zina merupakan dengan menikah.
b.Sunnah
Sunnah, yakni bagi orang yang sudah memiliki impian untuk menikah tetapi tidak dikhawatirkan dirinya akan jatuh terhadap maksiat, sekiranya tidak menikah. Dalam kondisi seumpama ini seseorang boleh melaksanakan dan boleh tidak melaksanakan pernikahan.
Tapi melaksanakan pernikahan merupakan lebih baik ketimbang mengkhususkan diri untuk beribadah selaku bentuk perilaku taat terhadap Allah Swt..
c. Mubah
Muhah bagi yang dapat dan kondusif dari fitnah, tetapi tidak membutuhkannya atau tak punya syahwat sama sekali seumpama orang yang impoten atau lanjut usia, atau yang tidak mampu
menafkahi, sedangkan wanitanya rela dengan syarat perempuan tersebut mesti rasyidah (berakal).
Juga mubah bagi yang dapat menikah dengan tujuan cuma sekedar untuk menyanggupi hajatnya atau bersenang-senang, tanpa ada niat ingin keturunan atau melindungi diri dari yang haram.
d. Haram
Haram yakni bagi orang yang percaya bahwa dirinya tidak akan bisa melaksanakan kewajiban-kewajiban pernikahan, baik keharusan yang berhubungan dengan kekerabatan seksual maupun berhubungan dengan kewajiban-kewajiban lainnya.
Pernikahan seumpama ini mengandung ancaman bagi perempuan yang mau dijadikan istri. Sesuatu yang
membuat ancaman dihentikan dalam Islam.
Tentang hal ini Imam al-Qurtubi mengatakan, “Jika suami menyampaikan bahwa dirinya tidak dapat menafkahi istri atau memberi mahar , dan menyanggupi hak-hak istri yang wajib, atau memiliki sebuah penyakit yang menghalanginya untuk melaksanakan kekerabatan seksual, maka dia tidak boleh menikahi perempuan itu hingga dia menjelaskannya kepada kandidat istrinya.
Demikian juga wajib bagi kandidat istri menerangkan terhadap kandidat suami bila dirinya tidak dapat menampilkan hak atau memiliki sebuah penyakit yang menghalanginya untuk melaksanakan kekerabatan seksual dengannya.
e. Makruh
Makruh yakni bagi seseorang yang dapat menikah tetapi dia ketakutan akan menyakiti perempuan yang mau dinikahinya, atau menzalimi hak-hak istri dan buruknya pergaulan yang dia miliki dalam menyanggupi hak-hak manusia, atau tidak minat terhadap perempuan dan tidak menginginkan keturunan.
Oleh lantaran itu, apabila pernikahan justru menenteng mudharat maka nikah pun dilarang. Karena itu aturan asal melaksanakan pernikahan merupakan mubah.
Para luar biasa fikih sependapat bahwa aturan pernikahan tidak sama penerapannya terhadap semua mukallaf, melainkan disesuaikan dengan kondisi masing-masing, baik dilihat dari kesiapan ekonomi, fisik, mental ataupun akhlak.
Karena itu aturan nikah dapat menjadi wajib, sunah, mubah, haram, dan makruh. Penjelasannya selaku berikut.
a. Wajib
Wajib yakni bagi orang yang sudah bisa baik fisik, mental, ekonomi maupun budpekerti untuk melaksanakan pernikahan, memiliki impian untuk menikah, dan bila tidak menikah, maka dikhawatirkan akan jatuh pada perbuatan maksiat, maka wajib baginya untuk menikah. Karena menjauhi zina baginya merupakan wajib dan cara menjauhi zina merupakan dengan menikah.
b.Sunnah
Sunnah, yakni bagi orang yang sudah memiliki impian untuk menikah tetapi tidak dikhawatirkan dirinya akan jatuh terhadap maksiat, sekiranya tidak menikah. Dalam kondisi seumpama ini seseorang boleh melaksanakan dan boleh tidak melaksanakan pernikahan.
Tapi melaksanakan pernikahan merupakan lebih baik ketimbang mengkhususkan diri untuk beribadah selaku bentuk perilaku taat terhadap Allah Swt..
c. Mubah
Muhah bagi yang dapat dan kondusif dari fitnah, tetapi tidak membutuhkannya atau tak punya syahwat sama sekali seumpama orang yang impoten atau lanjut usia, atau yang tidak mampu
menafkahi, sedangkan wanitanya rela dengan syarat perempuan tersebut mesti rasyidah (berakal).
Juga mubah bagi yang dapat menikah dengan tujuan cuma sekedar untuk menyanggupi hajatnya atau bersenang-senang, tanpa ada niat ingin keturunan atau melindungi diri dari yang haram.
d. Haram
Haram yakni bagi orang yang percaya bahwa dirinya tidak akan bisa melaksanakan kewajiban-kewajiban pernikahan, baik keharusan yang berhubungan dengan kekerabatan seksual maupun berhubungan dengan kewajiban-kewajiban lainnya.
Pernikahan seumpama ini mengandung ancaman bagi perempuan yang mau dijadikan istri. Sesuatu yang
membuat ancaman dihentikan dalam Islam.
Tentang hal ini Imam al-Qurtubi mengatakan, “Jika suami menyampaikan bahwa dirinya tidak dapat menafkahi istri atau memberi mahar , dan menyanggupi hak-hak istri yang wajib, atau memiliki sebuah penyakit yang menghalanginya untuk melaksanakan kekerabatan seksual, maka dia tidak boleh menikahi perempuan itu hingga dia menjelaskannya kepada kandidat istrinya.
Demikian juga wajib bagi kandidat istri menerangkan terhadap kandidat suami bila dirinya tidak dapat menampilkan hak atau memiliki sebuah penyakit yang menghalanginya untuk melaksanakan kekerabatan seksual dengannya.
e. Makruh
Makruh yakni bagi seseorang yang dapat menikah tetapi dia ketakutan akan menyakiti perempuan yang mau dinikahinya, atau menzalimi hak-hak istri dan buruknya pergaulan yang dia miliki dalam menyanggupi hak-hak manusia, atau tidak minat terhadap perempuan dan tidak menginginkan keturunan.
Al-Qur'an sudah menerangkan mengenai orang-orang yang tidak boleh (haram) dinikahi (Q.S. an-Nisā’ /4:23-24).
Wanita yang haram dinikahi disebut juga mahram nikah. Mahram nikah bahwasanya sanggup dilihat dari pihak lelaki dan sanggup dilihat dari pihak wanita.
Dalam pembahasan secara biasa biasanya yang dibicarakan merupakan mahram nikah dari pihak wanita,
alasannya merupakan pihak lelaki yang biasanya memiliki kemauan apalagi dulu untuk mencari jodoh dengan perempuan pilihannya.
Dilihat dari kondisinya mahram terbagi terhadap dua; pertama mahram muabbad (wanita diharamkan untuk dinikahi selama-lamanya) seperti: keturunan, satu susuan, mertua perempuan, anak tiri, bila ibunya sudah dicampuri, bekas menantu perempuan, dan bekas ibu tiri.
Kedua mahram gair muabbad merupakan mahram alasannya merupakan menghimpun dua perempuan yang statusnya bersaudara, umpamanya kerabat sepersusuan abang dan adiknya.
Hal ini boleh dinikahi tetapi sehabis yang satu statusnya sudah bercerai atau mati. Yang lain dengan alasannya merupakan istri orang dan alasannya merupakan iddah. Berdasarkan ayat tersebut, mahram sanggup dibagi menjadi empat kelompok:
Wanita yang haram dinikahi disebut juga mahram nikah. Mahram nikah bahwasanya sanggup dilihat dari pihak lelaki dan sanggup dilihat dari pihak wanita.
Dalam pembahasan secara biasa biasanya yang dibicarakan merupakan mahram nikah dari pihak wanita,
alasannya merupakan pihak lelaki yang biasanya memiliki kemauan apalagi dulu untuk mencari jodoh dengan perempuan pilihannya.
Dilihat dari kondisinya mahram terbagi terhadap dua; pertama mahram muabbad (wanita diharamkan untuk dinikahi selama-lamanya) seperti: keturunan, satu susuan, mertua perempuan, anak tiri, bila ibunya sudah dicampuri, bekas menantu perempuan, dan bekas ibu tiri.
Kedua mahram gair muabbad merupakan mahram alasannya merupakan menghimpun dua perempuan yang statusnya bersaudara, umpamanya kerabat sepersusuan abang dan adiknya.
Hal ini boleh dinikahi tetapi sehabis yang satu statusnya sudah bercerai atau mati. Yang lain dengan alasannya merupakan istri orang dan alasannya merupakan iddah. Berdasarkan ayat tersebut, mahram sanggup dibagi menjadi empat kelompok:
Para luar biasa fikih berlawanan usulan dalam menyeleksi rukun dan syarat pernikahan.
Perbedaan tersebut merupakan dalam menempatkan mana yang tergolong syarat dan mana yang tergolong rukun.
Jumhur ulama sebagaimana juga mażhab Syafi'i mengemukakan bahwa rukun nikah ada lima seumpama dibawah ini.
a. Calon suami, syarat-syaratnya selaku berikut:
b. Calon istri, syaratnya adalah:
c. Wali, yakni bapak kandung mempelai wanita, peserta wasiat atau kerabat terdekat, dan seterusnya sesuai dengan urutan ashabah perempuan tersebut, atau orang bijak dari keluarga wanita, atau pemimpin setempat, Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak ada nikah, kecuali dengan wali.”
Umar bin Khattab ra. berkata, “Wanita tidak boleh dinikahi, kecuali atas izin walinya, atau orang bijak dari keluarganya atau seorang pemimpin”.
Syarat wali adalah:
d. Dua orang saksi.
Firman Allah Swt.: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian”. (Q.S. at-Țalaq/65:2).
Syarat saksi adalah:
e. Sigah (Ijab Kabul)
Sigah yakni perkataan dari mempelai lelaki atau wakilnya di saat janji nikah. Syarat shighat adalah:
Perbedaan tersebut merupakan dalam menempatkan mana yang tergolong syarat dan mana yang tergolong rukun.
Jumhur ulama sebagaimana juga mażhab Syafi'i mengemukakan bahwa rukun nikah ada lima seumpama dibawah ini.
a. Calon suami, syarat-syaratnya selaku berikut:
- Bukan mahram si wanita, kandidat suami bukan tergolong yang haram dinikahi lantaran adanya kekerabatan nasab atau sepersusuan.
- Orang yang dikehendaki, yakni adanya keridaan dari masing-masing pihak. Dasarnya merupakan hadis dari Abu Hurairah r.a, yaitu: Dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sehingga ia diminta izinnya.” (¦R. al- Bukhari dan Muslim).
- Mu’ayyan (beridentitas jelas), mesti ada kepastian siapa identitas mempelai lelaki dengan menyebut nama atau sifatnya yang khusus.
b. Calon istri, syaratnya adalah:
- Bukan mahram si laki-laki.
- Terbebas dari hambatan nikah, misalnya, masih dalam masa iddah atau berstatus selaku istri orang.
c. Wali, yakni bapak kandung mempelai wanita, peserta wasiat atau kerabat terdekat, dan seterusnya sesuai dengan urutan ashabah perempuan tersebut, atau orang bijak dari keluarga wanita, atau pemimpin setempat, Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak ada nikah, kecuali dengan wali.”
Umar bin Khattab ra. berkata, “Wanita tidak boleh dinikahi, kecuali atas izin walinya, atau orang bijak dari keluarganya atau seorang pemimpin”.
Syarat wali adalah:
- orang yang dikehendaki, bukan orang yang dibenci,
- laki-laki, bukan perempuan atau banci,
- mahram si wanita,
- balig, bukan anak-anak,
- berakal, tidak gila,
- adil, tidak fasiq,
- tidak terhalang wali lain,
- tidak buta,
- tidak berlawanan agama,
- merdeka, bukan budak.
d. Dua orang saksi.
Firman Allah Swt.: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian”. (Q.S. at-Țalaq/65:2).
Syarat saksi adalah:
- Berjumlah dua orang, bukan budak, bukan wanita, dan bukan orang fasik.
- Tidak boleh merangkap selaku saksi meskipun menyanggupi kwalifikasi selaku saksi.
- Sunnah dalam kondisi rela dan tidak terpaksa.
e. Sigah (Ijab Kabul)
Sigah yakni perkataan dari mempelai lelaki atau wakilnya di saat janji nikah. Syarat shighat adalah:
- Tidak tergantung dengan syarat lain.
- Tidak terikat dengan waktu tertentu.
- Boleh dengan bahasa asing
- Dengan menggunakan kata “tazwij” atau “nikah”, tidak boleh dalam bentuk kinayah (sindiran), karena kinayah memerlukan niat sedang niat itu sesuatu yang abstrak.
- Qabul mesti dengan ucapan “Qabiltu nikahaha/tazwijaha” dan boleh didahulukan dari ijab.
Di antara pernikahan yang tidak sah dan dihentikan oleh Rasulullah saw. merupakan selaku berikut.
a. Pernikahan Mut`ah,
Pernikahan Mut'ah yakni pernikahan yang dibatasi untuk rentang waktu tertentu, baik sebentar ataupun lama. Dasarnya merupakan hadis berikut:
“Bahwa Rasulullah saw. melarang pernikahan mut’ah serta daging keledai kampung (jinak) pada dikala Perang Khaibar. (¦R. Muslim).
b. Pernikahan syighar,
Pernikahan syighar, yaitu pernikahan dengan standar tukar barang tanpa sokongan mahar. Dasarnya merupakan hadis berikut:
“Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang nikah syighar. Adapun nikah syighar yakni seorang bapak menikahkan seseorang dengan putrinya dengan syarat bahwa seseorang itu mesti menikahkan dirinya dengan putrinya, tanpa mahar di antara keduanya.” (¦R. Muslim)
c. Pernikahan muhallil,
Pernikahan muhallil yakni pernikahan seorang perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya yang jadinya diharamkan untuk rujuk kepadanya, kemudian perempuan itu dinikahi lelaki lain dengan tujuan untuk menghalalkan dinikahi lagi oleh mantan suaminya. Abdullah bin
Mas’ud berkata: “Rasulullah saw. melaknat muhallil dan muhallal lahu”.(HR. at-Tirmiżi)
d. Pernikahan orang yang ihram,
Pernikahan orang yang ihram yakni pernikahan orang yang sedang melaksanakan ihram haji atau 'umrah serta belum memasuki waktu tahallul.
Rasulullah saw. bersabda:
“Orang yang sedang melaksanakan ihram tidak boleh menikah dan menikahkan.” (¦R. Muslim)
e. Pernikahan dalam masa iddah,
Pernikahan dalam masa iddah yakni pernikahan di mana seorang lelaki menikah dengan seorang
perempuan yang sedang dalam masa iddah, baik lantaran perceraian ataupun lantaran meninggal dunia.
Allah Swt.berfirman:
“Dan janganlah kau ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya”. ( Q.S. al-Baqarah/2:235)
f. Pernikahan tanpa wali,
Pernikahan tanpa wali yakni pernikahan yang dilaksanakan seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa seizin walinya. Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali.”
g. Pernikahan dengan perempuan kafir selain wanita-wanita luar biasa kitab,
menurut firman Allah Swt.:
“Dan janganlah kau menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin lebih baik dari perempuan musyrik, meskipun dia menawan hatimu. (Q.S. al-Baqarah/2:221)
h. Menikahi mahram,
Menikahi mahram baik mahram untuk selamanya, mahram lantaran pernikahan atau lantaran sepersusuan.
a. Pernikahan Mut`ah,
Pernikahan Mut'ah yakni pernikahan yang dibatasi untuk rentang waktu tertentu, baik sebentar ataupun lama. Dasarnya merupakan hadis berikut:
“Bahwa Rasulullah saw. melarang pernikahan mut’ah serta daging keledai kampung (jinak) pada dikala Perang Khaibar. (¦R. Muslim).
b. Pernikahan syighar,
Pernikahan syighar, yaitu pernikahan dengan standar tukar barang tanpa sokongan mahar. Dasarnya merupakan hadis berikut:
“Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang nikah syighar. Adapun nikah syighar yakni seorang bapak menikahkan seseorang dengan putrinya dengan syarat bahwa seseorang itu mesti menikahkan dirinya dengan putrinya, tanpa mahar di antara keduanya.” (¦R. Muslim)
c. Pernikahan muhallil,
Pernikahan muhallil yakni pernikahan seorang perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya yang jadinya diharamkan untuk rujuk kepadanya, kemudian perempuan itu dinikahi lelaki lain dengan tujuan untuk menghalalkan dinikahi lagi oleh mantan suaminya. Abdullah bin
Mas’ud berkata: “Rasulullah saw. melaknat muhallil dan muhallal lahu”.(HR. at-Tirmiżi)
d. Pernikahan orang yang ihram,
Pernikahan orang yang ihram yakni pernikahan orang yang sedang melaksanakan ihram haji atau 'umrah serta belum memasuki waktu tahallul.
Rasulullah saw. bersabda:
“Orang yang sedang melaksanakan ihram tidak boleh menikah dan menikahkan.” (¦R. Muslim)
e. Pernikahan dalam masa iddah,
Pernikahan dalam masa iddah yakni pernikahan di mana seorang lelaki menikah dengan seorang
perempuan yang sedang dalam masa iddah, baik lantaran perceraian ataupun lantaran meninggal dunia.
Allah Swt.berfirman:
“Dan janganlah kau ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya”. ( Q.S. al-Baqarah/2:235)
f. Pernikahan tanpa wali,
Pernikahan tanpa wali yakni pernikahan yang dilaksanakan seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa seizin walinya. Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali.”
g. Pernikahan dengan perempuan kafir selain wanita-wanita luar biasa kitab,
menurut firman Allah Swt.:
“Dan janganlah kau menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin lebih baik dari perempuan musyrik, meskipun dia menawan hatimu. (Q.S. al-Baqarah/2:221)
h. Menikahi mahram,
Menikahi mahram baik mahram untuk selamanya, mahram lantaran pernikahan atau lantaran sepersusuan.
Di dalam negara RI, segala sesuatu yang bersangkut paut dengan penduduk, mesti mendapat legalitas pemerintah dan tercatat secara resmi, seumpama halnya kelahiran, kematian, dan perkawinan.
Dalam rangka tertib aturan dan tertib administrasi, maka tatacara pelaksanaan pernikahan mesti mengikuti mekanisme sebagaimana dikontrol dalam Peraturan Pemerintah mengenai Pelaksanaan
Undang-undang No. 1 Thn 1974.
Adapun pencatatan Pernikahan sebagaimana termaktub dalam BAB II pasal 2 merupakan dilaksanakan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang berada di wilayah masing-masing.
Karena itu Pegawai Pencatat Nikah memiliki kedudukan yang amat penting dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yakni dikontrol dalam Undang-undang No. 32 tahun 1954, bahkan hingga kini PPN merupakan satu-satunya pejabat yang berwenang untuk mencatat perkawinan
yang dilaksanakan menurut aturan Islam di wilayahnya.
Artinya, siapapun yang ingin melangsungkan perkawinan menurut aturan Islam, berada di
bawah pengawasan PPN.
Dalam rangka tertib aturan dan tertib administrasi, maka tatacara pelaksanaan pernikahan mesti mengikuti mekanisme sebagaimana dikontrol dalam Peraturan Pemerintah mengenai Pelaksanaan
Undang-undang No. 1 Thn 1974.
Adapun pencatatan Pernikahan sebagaimana termaktub dalam BAB II pasal 2 merupakan dilaksanakan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang berada di wilayah masing-masing.
Karena itu Pegawai Pencatat Nikah memiliki kedudukan yang amat penting dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yakni dikontrol dalam Undang-undang No. 32 tahun 1954, bahkan hingga kini PPN merupakan satu-satunya pejabat yang berwenang untuk mencatat perkawinan
yang dilaksanakan menurut aturan Islam di wilayahnya.
Artinya, siapapun yang ingin melangsungkan perkawinan menurut aturan Islam, berada di
bawah pengawasan PPN.
Dengan berlangsungnya janji pernikahan, maka memberi konsekuensi adanya hak dan keharusan suami istri, yang meliputi 3 hal, yaitu: keharusan bareng timbal balik antara suami dan istri, keharusan suami terhadap istri dan keharusan istri terhadap suami.
1. Kewajiban timbal balik antara suami dan istri, yakni selaku berikut.
a. Saling menikmati kekerabatan fisik antara suami istri, tergolong kekerabatan seksual di antara mereka.
b. Timbulnya kekerabatan mahram di antara mereka berdua, sehingga istri diharamkan menikah dengan ayah suami dan seterusnya hingga garis ke atas, juga dengan anak dari suami dan seterusnya hingga garis ke bawah, meskipun sehabis mereka bercerai. Demikian sebaliknya
berlaku pula bagi suami.
c. Berlakunya aturan pewarisan antara keduanya.
d. Dihubungkannya nasab anak mereka dengan suami (dengan syarat kelahiran paling sedikit 6 bulan sejak berlangsungnya ijab kabul dan dukhul/berhubungan suami isteri).
e. Berlangsungnya kekerabatan baik antara keduanya dengan berupaya melaksanakan pergaulan secara bijaksana, rukun, hening dan harmonis;
f. Menjaga performa lahiriah dalam rangka merawat keutuhan cinta dan kasih sayang di antara keduanya.
2. Kewajiban suami terhadap istri
a. Mahar.
Memberikan mahar merupakan wajib hukumnya, maka mażhab Maliki memasukkan mahar ke dalam rukun nikah, sementara para fuqaha lain memasukkan mahar ke dalam syarat sahnya nikah, dengan argumentasi bahwa pembayaran mahar boleh ditangguhkan.
b. Nafkah, yaitu sokongan nafkah untuk istri demi menyanggupi keperluan berupa makanan, pakaian, perumahan (termasuk perabotnya), pembantu rumah tangga dan sebagainya, sesuai dengan keperluan dan kebiasaan yang berlaku pada penduduk sekitar pada umumnya.
c. Memimpin rumah tangga.
d. Membimbing dan mendidik
.
3. Kewajiban Istri terhadap Suami
a. Taat terhadap suami.
Istri yang setia terhadap suaminya memiliki arti sudah mengimbangi keharusan suaminya kepadanya. Ketaatan istri terhadap suami cuma dalam hal kebaikan.
Jika suami meminta istri untuk melaksanakan sesuatu yang berlawanan dengan syariat Allah Swt., maka istri mesti menolaknya. Tidak ada ketaatan terhadap insan dalam kemaksiatan terhadap Allah
Swt..
b. Menjaga diri dan kehormatan keluarga.
Menjaga kehormatan diri dan rumah tangga, merupakan mereka yang taat terhadap Allah Swt. dan suami, dan memelihara kehormatan diri mereka bilamana suami tidak ada di rumah. Istri wajib menjaga harta dan kehormatan suami, jadinya istri tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami.
c. Merawat dan mendidik anak.
Walaupun hak dan keharusan merawat dan mendidik anak itu merupakan hak dan keharusan suami, tetapi istripun memiliki hak dan keharusan merawat dan mendidik anak secara bersama.
Terlebih istri itu kebanyakan lebih bersahabat dengan anak, lantaran dia lebih banyak tinggal di rumah bareng anaknya. Maju mundurnya pendidikan yang diperoleh anak banyak diputuskan oleh perhatian ibu
1. Kewajiban timbal balik antara suami dan istri, yakni selaku berikut.
a. Saling menikmati kekerabatan fisik antara suami istri, tergolong kekerabatan seksual di antara mereka.
b. Timbulnya kekerabatan mahram di antara mereka berdua, sehingga istri diharamkan menikah dengan ayah suami dan seterusnya hingga garis ke atas, juga dengan anak dari suami dan seterusnya hingga garis ke bawah, meskipun sehabis mereka bercerai. Demikian sebaliknya
berlaku pula bagi suami.
c. Berlakunya aturan pewarisan antara keduanya.
d. Dihubungkannya nasab anak mereka dengan suami (dengan syarat kelahiran paling sedikit 6 bulan sejak berlangsungnya ijab kabul dan dukhul/berhubungan suami isteri).
e. Berlangsungnya kekerabatan baik antara keduanya dengan berupaya melaksanakan pergaulan secara bijaksana, rukun, hening dan harmonis;
f. Menjaga performa lahiriah dalam rangka merawat keutuhan cinta dan kasih sayang di antara keduanya.
2. Kewajiban suami terhadap istri
a. Mahar.
Memberikan mahar merupakan wajib hukumnya, maka mażhab Maliki memasukkan mahar ke dalam rukun nikah, sementara para fuqaha lain memasukkan mahar ke dalam syarat sahnya nikah, dengan argumentasi bahwa pembayaran mahar boleh ditangguhkan.
b. Nafkah, yaitu sokongan nafkah untuk istri demi menyanggupi keperluan berupa makanan, pakaian, perumahan (termasuk perabotnya), pembantu rumah tangga dan sebagainya, sesuai dengan keperluan dan kebiasaan yang berlaku pada penduduk sekitar pada umumnya.
c. Memimpin rumah tangga.
d. Membimbing dan mendidik
.
3. Kewajiban Istri terhadap Suami
a. Taat terhadap suami.
Istri yang setia terhadap suaminya memiliki arti sudah mengimbangi keharusan suaminya kepadanya. Ketaatan istri terhadap suami cuma dalam hal kebaikan.
Jika suami meminta istri untuk melaksanakan sesuatu yang berlawanan dengan syariat Allah Swt., maka istri mesti menolaknya. Tidak ada ketaatan terhadap insan dalam kemaksiatan terhadap Allah
Swt..
b. Menjaga diri dan kehormatan keluarga.
Menjaga kehormatan diri dan rumah tangga, merupakan mereka yang taat terhadap Allah Swt. dan suami, dan memelihara kehormatan diri mereka bilamana suami tidak ada di rumah. Istri wajib menjaga harta dan kehormatan suami, jadinya istri tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami.
c. Merawat dan mendidik anak.
Walaupun hak dan keharusan merawat dan mendidik anak itu merupakan hak dan keharusan suami, tetapi istripun memiliki hak dan keharusan merawat dan mendidik anak secara bersama.
Terlebih istri itu kebanyakan lebih bersahabat dengan anak, lantaran dia lebih banyak tinggal di rumah bareng anaknya. Maju mundurnya pendidikan yang diperoleh anak banyak diputuskan oleh perhatian ibu
Nikah disyariatkan Allah Swt. lewat al-Qur'ān dan sunah Rasul-Nya, seumpama dalam uraian di atas, mengandung pesan yang tersirat yang sungguh besar untuk keberlangsungan hidup manusia, di antaranya selaku berikut.
1. Ter ciptanya kekerabatan antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram, dalam ikatan suci yang halal dan diridai Allah Swt.
2. Mendapatkan keturunan yang sah dari hasil pernikahan.
3. Terpeliharanya kehormatan suami istri dari perbuatan zina.
4. Terjalinnya kolaborasi antara suami dan istri dalam mendidik anak dan menjaga kehidupannya.
5. Terjalinnya silaturahim antarkeluarga besar pihak suami dan pihak istri.
1. Ter ciptanya kekerabatan antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram, dalam ikatan suci yang halal dan diridai Allah Swt.
2. Mendapatkan keturunan yang sah dari hasil pernikahan.
3. Terpeliharanya kehormatan suami istri dari perbuatan zina.
4. Terjalinnya kolaborasi antara suami dan istri dalam mendidik anak dan menjaga kehidupannya.
5. Terjalinnya silaturahim antarkeluarga besar pihak suami dan pihak istri.
0 Komentar untuk "Materi Pai Xii Kepingan 7 Indahnya Membangun Mahligai Rumah Tangga"