Mengapa Ada Pemikiran “Lockdown” Masjid Dan Pembatalan Ibadah Berjamaah ?

Mengapa Ada Fatwa “lockdown” Masjid Dan Peniadaan Ibadah Berjamaah ? Pembaca Sekolahmuonline, berikut ada goresan pena menarik dan insyaaAllah sangat bermanfaat karya Ustadz Fathurrahman Kamal yang isinya menyikapi perihal adanya fatwa-fatwa penutupan daerah ibadah (dalam hal ini masjid) dan pembatalan acara keagamaan yang sifatnya kumpul-kumpul fisik menyerupai shalat berjama'ah yang sifatnya hanya sementara. Di tengah pandemi Corona (Covid-19) yang semakin hari tambah kian menyebar (Wal 'iyaadzu billah), bijak dalam beragama sangat dibutuhkan. Semua untuk kemaslahatan manusia. Berikut goresan pena lengkapnya:

Mengapa Ada Fatwa “lockdown” Masjid Dan Peniadaan Ibadah Berjamaah ?

“Mengerikan”, mungkin menjadi kata yang mewakili perasaan resah dan was-was sebagian besar penghuni planet bumi hari-hari ini. China, Inggris, Italia, Spanyol, Perancis, Irlandia, Elsavador, Belgia, Polandia, Argentina, Yordania, Belanda, Denmark, Malaysia, Filipina, dan Libanon merupakan deretan negera-negara yang mengeluarkan kebijakan demi menekan penyebaran virus ini, dengan lockdown atau mengunci kanal keluar masuk suatu wilayah.

Tak main-main, Kerajaan Arab Saudi bahkan melaksanakan “lockdown” terhadap Haramain : Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, dua masjid termulia di muka bumi ini. Semuanya atas anutan para ulama kredibel dan terkemuka, yang ditindaklanjuti dengan keputusan politik Kerajaan. Terakhir saya membaca berita, India “lockdown”. Anda lebih paham dari saya; wa mā adrāka ma India?. Negeri berpenduduk tak kurang dari 750 juta jiwa, kurang lebih 3 kali jumlah penduduk Indonesia. Tata kotanya ruwet, dengan problem sosial, agama, politik yang kompleks. Anda tau?, hanya dengan 7 korban meninggal dunia, India menyatakan “lockdown”!.

Jika pagi ini anda konfirmasi via wattsapp ke Pusat Informasi Covid-19 Kemkominfo Republik Indonesia; anda segera menerima jawaban “Situasi virus corona (COVID-19) 24 Maret 2020 di Indonesia: positif terserang virus, 686 orang; sembuh, 30 orang; dan meninggal dunia, 55 orang. Dan anda masih bebas ke manapun anda suka. Dahsyat!.

*Dalam suasana menyerupai ini kiprah para Ulama (otoritas keagamaan) ialah memastikan tujuan pokok dan mendasar Syari’ah (maqãshid Syari’ah)  terlaksana dengan baik : “Mewujudkan maslahat dan meniadakan kerusakan” dalam kehidupan dengan “menjaga jiwa manusia” (hifdhu-n-nafsi).* Berdasarkan Dalil-dalil Al-Qur’an, Hadits, pendapat para Ulama terkemuka, dan kaidah-kaidah Fiqhiyah diterbitkanlah anutan tata laksana ibadah umat Islam dalam situasi pandemi Covid-19 ini. Di antara konten anutan tersebut; memberlakukan “lockdown” masjid, mengganti shalat Jum’at dengan shalat Dhuhur di kediaman masing-masing, serta tidak melaksanakan acara keagamaan dengan konsentrasi massa lainnya.

Namun demikian, terdapat sementara orang berpandangan bahwa penutupan masjid dalam situasi pandemi Covod-19 kepingan dari upaya melawan perintah Allah untuk memakmurkannya. Pun pula memperlihatkan kesan merendahkan marwah masjid lantaran dituduh sebagai daerah penularan virus corona. Artinya masjid tidak bersih, tidak bersih padahal orang-orang yang meramaikannya senantiasa berwudlu'. Apakah memang demikian?

Persoalan sesungguhhya bukanlah demikian. *Jangan ada yang menuduh bahwa para ulama tidak memahami marwah dan martabat masjid. Jangan pula dipersepsi anutan para ulama sedunia, termasuk di Indonesia lemah dalil dan metode pendalilannya. Justeru sebaliknya, para Ulama terkemuka di dunia, termasuk di Indonesia memperlihatkan kepada umat bagaimana semestinya masjid berada di zona terdepan dalam mewujudkan maslahat kehidupan, dan terdepan pula dalam upaya meniadakan kerusakan atau mafsadat kehidupan secara universal. Jangan hingga masjid-masjid kita meninggalkan jejak sejarah di kemudian hari sebagai episentrum penularan virus corona ini. Dengan isyarat para ulama, masjid menjadi instrumen utama dalam menyelamatkan jiwa manusia.*

Masjid ialah daerah bersujudnya organ paling terhormat dalam susunan anatomi badan manusia. Bahkan sujud merupakan ketika terdekat seorang hamba dengan Rabb-nya. Sungguh perbuatan yang tak seyogyanya jikalau saat-saat kemesraan spiritual ini ternoda dengan rasa tak kondusif dan tak lagi nyaman bersebab was-was Covid-19 yang tak kasat mata itu. Masjid harus dijaga marwah, kesucian, dan fungsinya sebagai episentrum kemaslahatan hidup. Biarkan sajalah mal-mal, pusat-pusat perbelanjaan, pusat-pusat hiburan dan sejenisnya dicatat oleh sejarah sebagai daerah yang justeru seringkali meruntuhkan martabat kemanusiaan kita. Bahkan daerah di mana insan milenial saling memperlihatkan eksistensi diri, kekayaan, dan kelas sosial. Wajarlah, dalam pandangan kenabian, daerah tersebut menyandang predikat daerah yang paling dimurkai Allah Ta’ala (HR Muslim).

*Umat ini tak perlu menuntut biar masjid kita disamaratakan dengan mal-mal, pusat perbelanjaan, pusat-pusat hiburan tersebut; yang kemudian latah menebar status provokatif, "mengapa masjid ditutup, tapi mal dibuka lebar"?. Seraya berburuk sangka kepada para Ulama penuntun umat.*

Ada baiknya, anda bandingkan kebijaksanaan ulama terkemuka hari ini dengan catatan sejarah yang ditulis oleh Al-Imãm Al-Hãfizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalãnĩ rahimahullãh dalam kitabnya, “Badzlul Ma’un fi Fadhlith Tha’un” (450 hlm., ditahqiq oleh Ahmad ‘Ishãm ‘Abd al-Qãdir al-Kãtib, penerbit Dãr al-‘Ãshimah Riyadl). 

Pada Bab 5 perihal “Hal-hal yang disyariatkan pengamalannya sehabis mewabahnya Thã’ũn”, ia mengkritisi ritual do’a bersama yang dilakukan oleh warga Damasykus ketika dilanda wabah Tha’un pada tahun 749 H, dan menyatakannya sebagai perbuatan bid’ah. Menukil dari Al-Manbaji (w. 785), Ibnu Hajar mengisahkan kejadian masa itu; di mana masyarakat awam bersama para pembesar negeri keluar menuju tanah lapang untuk bermunajat dan istighatsah bersama, menyerupai halnya mereka menunaikan shalat Istisqã’. Al-Manbaji mengingkari perkumpulan massa ini. Dilaporkan jumlah penderita Thaún meningkat tajam sehabis program tersebut (hlm. 328-329).

Ibnu Hajar rahimahullāh melanjutkan, ketika penyakit Tha’un mulai mewabah di Mesir pada 27 Rabi’ul Akhir 833 H, jumlah penderita yang wafat tidak hingga 40 orang. Sebulan kemudian, pada tanggal 4 Jumadal Ula, sehabis adanya permintaan berpuasa tiga hari, masyarakat berbondong menuju tanah lapang untuk berkumpul dan berdo’a bersama; jumlah angka kematian melonjak luar biasa. Bahkan dilaporkan lebih dari 1000 orang yang wafat setiap harinya, dan terus bertambah!.

Terjadi pula polemik di antara para ulama dalam menyikapi kejadian ini. Ibnu Hajar rahimahullah menentukan untuk berdiam diri di rumahnya, dan tidak mengikuti perkumpulan massa tersebut (hlm. 329-330). Artinya, dalam bahasa kita hari ini ia menentukan “lockdown” atau “social/phisycal distancing”.

Dalam kitab ensiklopedi sejarahnya yang bertajuk “Inba' al-Ghumar bi Abna' al-'Umr”,  Ibnu Hajar al-'Asqalani mencatat kejadian wabah penyakit yang melanda Makkah pada tahun 827 H, dan menelan korban meninggal dunia 40 orang setiap harinya, hingga berjumlah 1700 jiwa. Pada masa tersebut masjid-masjid di Makkah al-Mukarramah termasuk Masjidil Haram ditutup. Di antara lantaran mengapa kaum muslimun tidak mendatangi masjid lantaran kekhawatiran terjadinya penularan penyakit.

Jauh sebelumnya, Ibnu ‘Idzãrĩ al-Marakisyĩ (w. 695), dalam kitabnya “al-Bayãn al-Mughrib fĩ Akhbãr mulũk al-Andalus wa-l-Maghrib” menulis bahwa pada tahun  395 H telah terjadi wabah penyakit yang sangat dahsyat di negeri Tunis. Harga-harga melompat tinggi, krisis materi masakan pokok, masyarakat sibuk dengan urusan penyakit dan kematian. Bahkan masjid-masjid di kota Qayrawan kosong, tak didatangi umat. Sementara di Andalusia, sebagaimana dicatat oleh Imam Al-Dzahabi dalam kitabnya Tãrikh al-Islãm; pada tahun 448 H telah terjadi kekeringan yang sangat dahsyat dan wabah penyakit, sehingga banyak orang meninggal dunia, khususnya di kota Sevilla, berikut masjid-masjid ditutup. Disebutnya pula dalam kitab “Siar A’lãm al-Nubalã’, bahwa pada tahun yang sama hal yang sama terjadi pula di Cordoba; masjid-masjid ditutup. Tahun tersebut dikenal dengan “Ãm al-Jũ’ al-Kabĩr” (Tahun Kelaparan yang Besar).

Catatan-catatan sejarah yang saya nukil di atas sekedar permintaan biar kita tidak “kuper historis”, kemudian hanya dengan beberapa status yang berseliweran di sosial media dengan mudahnya kita merendahkan anutan para Ulama yang kredibel, bukan saja di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Satu lagi, tak perlu reaktif menuntut persamaan antara masjid dan mal atau sejenisnya, lantaran seorang muslim yang cerdas tentu mempunyai kebijaksanaan yang sehat : jikalau masjid saja “lockdown”, apalagi mall dan pasar !. Kecuali untuk sedekar memenuhi hajat dasar sandang, pangan, dan papan. Wallãhu A’lamu bish-shawãb.

======
Sumber:
FP FB Fathurrahman Kamal

Mengapa Ada Fatwa “lockdown” Masjid Dan Peniadaan Ibadah Berjamaah ?

Oleh: Faturrahman Kamal (Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah)

Related : Mengapa Ada Pemikiran “Lockdown” Masjid Dan Pembatalan Ibadah Berjamaah ?

0 Komentar untuk "Mengapa Ada Pemikiran “Lockdown” Masjid Dan Pembatalan Ibadah Berjamaah ?"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close