Memperoleh Rahmat Allah Dengan Berbuat Ihsan

Memperoleh Rahmat Allah Dengan Berbuat Ihsan

Syukur dan Ihsan

Syukur
Syukur artinya terimakasih. Orang Arab bilang "Syukron" (terimakasih). Atau konteks lengakapnya "Asykuruka syukron" (aku benar-benar berterimakasih kepadamu). Syukur yaitu memperlihatkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Allah memperlihatkan karunia kepada insan berupa kenikmatan yang tak akan pernah bisa dihitung oleh manusia. Saking banyaknya nikmat yang diberikan Allah kepada kita, apakah kita akan menjadi insan yang tidak tahu diri sehingga tidak pintar mensyukurinya? Na'udzu billah min dzaalik. Padahal, "Barang siapa bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah, maka Allah akan menambah kenikmatan kepadanya. Barang siapa kufur [tidak bersyukur] atas nikmat yang diberikan oleh-Nya, maka sesungguhnya azab Allah sangatlah pedih". Demikian Allah mengingatkan kita dalam QS. Ibrahim ayat 7 berkaitan dengan kenikmatan yang diberikan olehNya kepada para hambaNya.
Memperoleh Rahmat Allah Dengan Berbuat Ihsan Memperoleh Rahmat Allah Dengan Berbuat Ihsan

Lantas, bagaimana cara untuk bersyukur kepada Allah? Cara bersyukur kepada Allah, berdasarkan Imam Al-Ghazali ada empat cara, yaitu:
1. Bersyukur dengan hati
2. Bersyukur dengan lisan
3. Bersyukur dengan tindakan
4. Bersyukur dengan cara merawat kenikmatan

Bersyukur dengan hati yakni dengan menyadari sepenuh-penuhnya nikmat yang diperoleh yaitu semata-mata alasannya yaitu anugerah dan nikmat dari Allah. Syukur dengan ekspresi yaitu syukur dengan pengecap yaitu mengakui dengan ucapan bahwa sumber nikmat yaitu dari Allah Subhanahu wa ta'ala sambil memujiNya dengan ucapan Al-hamdulillah (segala puji bagi Allah). Syukur dengan perbuatan yaitu memakai nikmat yang diperoleh sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahannya. 

Ihsan
Kata ihsan berasal dari kata hasuna-yahsunu-hasanan/husnan yang berarti baik atau bagus, kemudian masuk wazan af'ala-yuf'ilu-if'aalan (ahsana-yuhsinu-ihsanan). Ihsan artinya memperbaiki atau berbuat baik. Itulah pengertian ihsan berdasarkan bahasa.

Sedang secara istilah ihsan artinya sebagai dalam hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu "Kamu beribadah kepada Allah seperti kau melihatNya, bila kau tidak melihatNya maka sungguh Ia melihatmu".

Jadi ihsan yaitu menyembah Allah seperti melihatNya, dan bila tidak bisa melihatNya, maka yakin bahwa Allah melihat kita/melihat perbuatan kita.

Keopada siapa kita harus berlaku ihsan? Dilihat dari objeknya (pihak-pihak yang berhak mendapat perlakuan Ihsan/baik dari kita) yaitu kita haru berlaku ihsan kepada Allah sebagai Sang Pencipta dan juga kepada seluruh makhluq ciptaanNya. Hal ini sebagaimana dalam hadits riwayat Muslim: "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat ihsan atas segala sesuatu ...".

Perintah berbuat baik (ihsan) ini kada bermakna wajib menyerupai berbuat baik kepada kedua orangtua, dan kadang bermakna sunnah (anjuran) menyerupai shdaqah sunnah dan semisalnya.

Ayat Al-Quran dan Hadits Tentang Bersyukur

Ayat Al-QuranTentang Bersyukur: QS. Luqman [31]: 13-14

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) yaitu benar-benar kezaliman yang besar”. Dan Kami perintahkan kepada insan (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”

Arti Perkata QS. Luqman/31: 13-14

Arti Perkata QS. Luqman/31: 13
Memperoleh Rahmat Allah Dengan Berbuat Ihsan Memperoleh Rahmat Allah Dengan Berbuat Ihsan


Arti Perkata QS. Luqman/31: 14

Memperoleh Rahmat Allah Dengan Berbuat Ihsan Memperoleh Rahmat Allah Dengan Berbuat Ihsan

Tajwid QS. Luqman/31: 13-14

Memperoleh Rahmat Allah Dengan Berbuat Ihsan Memperoleh Rahmat Allah Dengan Berbuat Ihsan


Isi QS. Luqman/31: 13-14

Imam Baihaqi meriwayatkan dalam QS. Luqman/31: 13-14 Allah menceritakan wacana pesan tersirat Luqman kepada anaknya. Luqman yaitu anak Anqa ibnu Sadun, dan nama anaknya ialah Tsaran. Luqman merupakan hamba yang telah dianugerahi pesan yang tersirat oleh Allah. Luqman menasehati anaknya yang merupakan buah hatinya, orang yang paling dikasihinya sesuatu yang paling utama dari pengetahuannya.

Hal pertama yang dia pesankan kepada anaknya ialah hendaknya ia menyembah Allah semata, jangan mempersekutukannya dengan sesuatu pun. Kemudian Luqman memperingatkan anaknya, bahwa sesungguhnya mempersekutukan Allah yaitu benar-benar kezaliman yang besaar (QS. Luqman/31: 13).

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Al-A’masy, dari Ibrahim, dari Al-Qamah, dari Abdullah yang menceritakan bahwa ketika diturunkan firman Allah QS. Al-An’am/6: 82, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman.” Hal itu terasa berat bagi para sahabat Nabi. Karenanya mereka berkata, “Siapakah di antara kita yang tidak mencampuri imannya dengan perbuatan zalim (dosa)?.” Maka Nabi bersabda, “Bukan demikian yang dimaksud dengan zalim (pada ayat tersebut). Tidakkah kau mendengar ucapan Luqman: “Hai anakku, janganlah kau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) yaitu benar-benar kezaliman yang besar” (QS. Luqman/31: 13).

Kemudian sehabis menasehati anaknya semoga menyembah Allah semata, Luqman menasehati pula anaknya semoga berbakti kepada dua orang ibu dan bapak. Sebagaimana firmannya yang lain dalam Al-Quran Surat Al-Isra' Ayat 23

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kau jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kau berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya hingga berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kau menyampaikan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kau membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (QS. Al-Isra'/17: 23)

Di dalam Al-Quran sering sekali disebutkan secara bergandengan antara perintah menyembah Allah semata dan berbakti kepada kedua orangtua.
Dalam QS. Luqman/31: 14 Allah berfirman: 

وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ

“Dan Kami perintahkan kepada insan (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah.” Mujahid mengatakan, yang dimaksud dengan Al-Wahn ialah penderitaan mengandung anak. Menurut Qatadah, maksudnya ialah kepayahan yang berlebih-lebihan. Sedangkan berdasarkan Atha’ Al-Khurasani ialah lemah yang bertambah-tambah.

Kemudian Firman Allah Swt.:

{وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ}

dan menyapihnya dalam dua tahun. (Luqman: 14)
Yakni mengasuh dan menyusuinya setelah melahirkan selama dua tahun, menyerupai yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ}

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (Al-Baqarah: 233), hingga final ayat.

Berangkat dari pengertian ayat ini Ibnu Abbas dan para imam lainnya menyimpulkan bahwa masa penyusuan yang paling minim ialah enam bulan, alasannya yaitu dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:

{وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا}

Mengandungnya hingga menyapihnya yaitu tiga puluh bulan. (Al-Ahqaf: 15)
Dan sesungguhnya Allah Swt. menyebutkan jerih payah ibu dan penderitaannya dalam mendidik dan mengasuh anaknya, yang risikonya ia selalu berjaga sepanjang siang dan malamnya. Hal itu tiada lain untuk mengingatkan anak akan kebaikan ibunya terhadap dia, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا}

Dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik saya waktu kecil.” (Al-Isra: 24)
Karena itulah dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:

{أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ}

Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Luqman: 14)

Yakni sesungguhnya Aku akan membalasmu bila kau bersyukur dengan pahala yang berlimpah.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abu Syaibah dan Mahmud ibnu Gailan. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Sa'id ibnu Wahb yang menceritakan bahwa Mu'az ibnu Jabal tiba kepada kami sebagai utusan Nabi Saw. Lalu ia bangun dan memuji kepada Allah, selanjutnya ia mengatakan: Sesungguhnya saya yaitu utusan Rasulullah Saw. kepada kalian (untuk menyampaikan), "Hendaklah kalian menyembah Allah dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Hendaklah kalian taat kepadaku, saya tidak akan henti-hentinya menganjurkan kalian berbuat kebaikan. Dan sesungguhnya kembali (kita) hanya kepada Allah, kemudian adakalanya ke nirwana atau ke neraka sebagai daerah tinggal yang tidak akan beranjak lagi darinya, lagi abadi tiada janjkematian lagi.  

a. Hadits wacana Syukur Nikmat

وعن أبي هريرة رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ  قال: قال رسولُ اللَّه ﷺ: انْظُرُوا إِلَى مَنْ هو أَسفَل مِنْكُمْ وَلا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوقَكُم؛ فهُوَ أَجْدَرُ أَن لا تَزْدَرُوا نعمةَ اللَّه عَلَيْكُمْ متفقٌ عَلَيْهِ

“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam duduk masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam duduk masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (Muttafaq ‘alaihi/HR. Bukhari dan Muslim)

Betapa banyak orang yang terkesima dengan kilauan harta orang lain. Tidak pernah merasa cukup dengan harta yang ia miliki. Jika sudah mendapat suatu bahan dunia, dia ingin terus mendapat yang lebih. Jika gres mendapat motor, dia ingin mendapat kendaraan beroda empat kijang. Jika sudah mempunyai kendaraan beroda empat kijang, dia ingin mendapat kendaraan beroda empat sedan. Dan seterusnya hingga pesawat pun dia inginkan. Itulah tabiat insan yang tidak pernah puas.

Sikap seorang muslim yang benar, hendaklah dia selalu melihat orang di bawahnya dalam duduk masalah harta dan dunia. Betapa banyak orang di bawah kita berada di bawah garis kemiskinan, untuk makan sehari-hari saja mesti mencari utang sana-sini, dan masih banyak di antara mereka keadaan ekonominya jauh di bawah kita. Seharusnya seorang muslim memperhatikan petuah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini. 

Suatu dikala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan nasehat kepada Abu Dzar. Abu Dzar berkata, “Kekasihku yakni Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah tujuh masalah padaku, (di antaranya): [1] Beliau memerintahkanku semoga menyayangi orang miskin dan akrab dengan mereka, [2] ia memerintahkanku semoga melihat orang yang berada di bawahku (dalam duduk masalah harta dan dunia), juga supaya saya tidak memperhatikan orang yang berada di atasku. …” (HR. Ahmad)

Dengan mempunyai sifat yang mulia ini yaitu selalu memandang orang di bawahnya dalam duduk masalah dunia, seseorang akan merealisasikan syukur dengan sebenarnya.

Al-Munawi –rahimahullah- mengatakan, “Jika seseorang melihat orang di atasnya (dalam duduk masalah harta dan dunia), dia akan menganggap kecil nikmat Allah yang ada pada dirinya dan dia selalu ingin mendapat yang lebih. Cara mengobati penyakit semacam ini, hendaklah seseorang melihat orang yang berada di bawahnya (dalam duduk masalah harta dan dunia). Dengan melaksanakan semcam ini, seseorang akan ridho dan bersyukur, juga rasa tamaknya (terhadap harta dan dunia) akan berkurang. Jika seseorang sering memandang orang yang berada di atasnya, dia akan mengingkari dan tidak puas terhadap nikmat Allah yang diberikan padanya. Namun, bila dia mengalihkan pandangannya kepada orang di bawahnya, hal ini akan membuatnya ridho dan bersyukur atas nikmat Allah padanya.”

Al Ghozali –rahimahullah- mengatakan, “Setan selamanya akan memalingkan pandangan insan pada orang yang berada di atasnya dalam duduk masalah dunia. Setan akan membisik-bisikkan padanya: ‘Kenapa engkau menjadi kurang semangat dalam mencari dan mempunyai harta supaya engkau sanggup bergaya hidup mewah[?]’ Namun dalam duduk masalah agama dan akhirat, setan akan memalingkan wajahnya kepada orang yang berada di bawahnya (yang jauh dari agama). Setan akan membisik-bisikkan, ‘Kenapa dirimu merasa rendah dan hina di hadapan Allah[?]” Si fulan itu masih lebih berilmu darimu’.”

Itulah yang akan menciptakan seseorang tidak memandang remeh nikmat Allah alasannya yaitu dia selalu memandang orang di bawahnya dalam duduk masalah harta dan dunia. Ketika dia melihat juragan minyak yang mempunyai rumah glamor dalam hatinya mungkin terbetik, “Rumahku masih kalah dari rumah juragan minyak itu.” Namun ketika dia memandang pada orang lain di bawahnya, dia berkata, “Ternyata rumah tetangga dibanding dengan rumahku, masih lebih cantik rumahku.” Dengan dia memandang orang di bawahnya, dia tidak akan menganggap remeh nikmat yang Allah berikan. Bahkan dia akan mensyukuri nikmat tersebut alasannya yaitu dia melihat masih banyak orang yang tertinggal jauh darinya.

Berbeda dengan orang yang satu ini. Ketika dia melihat saudaranya mempunyai motor gres yang bagus, dia merasa motornya masih sangat tertinggal jauh dari temannya tersebut. Akhirnya yang ada pada dirinya yaitu kurang mensyukuri nikmat, menganggap bahwa nikmat tersebut masih sedikit, bahkan selalu ada hasad (dengki) yang berakibat dia akan memusuhi dan membenci temannya tadi. Padahal masih banyak orang di bawah dirinya yang mempunyai motor dengan kualitas yang jauh lebih rendah. Inilah cara pandang yang keliru. Namun inilah yang banyak menimpa kebanyakan orang dikala ini.

Dalam duduk masalah agama, berkebalikan dengan duduk masalah bahan dan dunia. Hendaklah seseorang dalam duduk masalah agama dan darul abadi selalu memandang orang yang berada di atasnya. Haruslah seseorang memandang bahwa amalan sholeh yang dia lakukan masih kalah jauhnya dibanding para Nabi, shidiqin, syuhada’ dan orang-orang sholeh. Para salafush sholeh sangat bersemangat sekali dalam kebaikan, dalam amalan shalat, puasa, sedekah, membaca Al Qur’an, menuntut ilmu dan amalan lainnya. Haruslah setiap orang mempunyai cara pandang semacam ini dalam duduk masalah agama, ketaatan, pendekatan diri pada Allah,  juga dalam meraih pahala dan surga. Sikap yang benar, hendaklah seseorang berusaha melaksanakan kebaikan sebagaimana yang salafush sholeh lakukan. Inilah yang dinamakan berlomba-lomba dalam kebaikan.

Dalam duduk masalah berlomba-lomba untuk meraih kenikmatan surga, Allah Ta’ala berfirman,

Allah Ta’ala juga berfirman,

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا

“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. Al Ma’idah: 48)
Inilah yang dilakukan oleh para salafush sholeh, mereka selalu berlomba-lomba dalam kebaikan sebagaimana sanggup dilihat dari perkataan mereka berikut ini yang disebutkan oleh Ibnu Rojab –rahimahullah-. Berikut sebagian perkatan mereka.

Al Hasan Al Bashri mengatakan,

إذا رأيت الرجل ينافسك في الدنيا فنافسه في الآخرة

“Apabila engkau melihat seseorang mengunggulimu dalam duduk masalah dunia, maka unggulilah dia dalam duduk masalah akhirat.”

Wahib bin Al Warid mengatakan,

إن استطعت أن لا يسبقك إلى الله أحد فافعل

“Jika kau bisa untuk mengungguli seseorang dalam perlombaan menggapai ridho Allah, lakukanlah.” 

Sebagian salaf mengatakan,

لو أن رجلا سمع بأحد أطوع لله منه كان ينبغي له أن يحزنه ذلك

“Seandainya seseorang mendengar ada orang lain yang lebih taat pada Allah dari dirinya, sudah selayaknya dia murung alasannya yaitu dia telah diungguli dalam masalah ketaatan.” (Latho-if Ma’arif, hal. 268)

Namun berbeda dengan kebiasaan orang dikala ini. Dalam duduk masalah amalan dan pahala malah mereka membiarkan saudaranya mendahuluinya. Contoh gampangnya yaitu dalam mencari shaf pertama. “Monggo pak, bapak aja yang di depan”, kata sebagian orang yang menyuruh saudaranya menduduki shaf pertama. Padahal shaf pertama yaitu sebaik-baik shaf bagi pria dan mempunyai keutamaan yang luar biasa. Seandainya seseorang mengetahui keutamaannya, tentu dia akan saling berundi dengan saudaranya untuk memperebutkan shaf pertama dalam shalat, bukan malah menyerahkan shaf yang utama tersebut pada orang lain.

Kekayaan Paling Hakiki yaitu Kekayaan Hati

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita melihat kepada orang yang berada di bawah kita dalam duduk masalah dunia semoga kita menjadi orang yang bersyukur dan qana’ah yaitu selalu merasa cukup dengan nikmat yang Allah berikan, juga tidak hasad (dengki) dan tidak iri pada orang lain. Karena ketahuilah bahwa kekayaan yang hakiki yaitu kekayaan hati yaitu hati yang selalu merasa cukup dengan karunia yang diberikan oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) yaitu hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab “Kekayaan (yang hakiki) yaitu kekayaan hati (hati yang selalu merasa cukup).”

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

“Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim)

Seandainya seseorang mengetahui kenikmatan yang seperti dia mendapat dunia seluruhnya, tentu betul-betul dia akan mensyukurinya dan selalu merasa qona’ah (berkecukupan). Kenikmatan tersebut yaitu kenikmatan memperoleh masakan untuk hari yang dia jalani dikala ini, kenikmatan daerah tinggal dan kenikmatan kesehatan badan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 “Barangsiapa di antara kalian merasa kondusif di daerah tinggalnya, diberikan kesehatan badan, dan diberi masakan untuk hari itu, maka seperti dia telah mempunyai dunia seluruhnya.” (HR. Tirmidzi. Syaikh Al Albani menyampaikan bahwa hadits ini hasan)

Oleh alasannya yaitu itu, banyak berdo’alah pada Allah semoga selalu diberi kecukupan. Do’a yang selalu dipanjatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu do’a:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

“Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, saya meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina) (HR. Muslim)

An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina yaitu hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.” (Syarh Muslim, 17/41)

Ayat Al-Quran dan Hadits wacana Berbuat Baik Terhadap Manusia

Untuk bahan lanjutan silahkan buka link: Ayat Al-Quran dan Hadits Tentang Berbuat Baik atau Ihsan

Related : Memperoleh Rahmat Allah Dengan Berbuat Ihsan

0 Komentar untuk "Memperoleh Rahmat Allah Dengan Berbuat Ihsan"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close