Fatwa Tarjih: Aturan Makan Ikan Hiu Dan Anjing Laut

Fatwa Tarjih: Hukum Makan Ikan Hiu dan Anjing Laut

Pertanyaan: Assalamu 'alaikum Gus Fahru. Saya bekerja sebagai nelayan. Ketika mencari ikan pernah sanggup ikan hiu (hiu anakan lah). Itu, ikan yang kalau sudah besar mengerikan. Taringya tajam. Saya pernah mendengar binatang maritim halal, tapi juga pernah mendengar dihentikan makan binatang buas bertaring. Sementara ikan hiu kan buas sekaligus bertaring. Tapi hidupnya di laut. Nah, bergotong-royong hukumnya ikan hiu itu bagaimana? Boleh dimakan atau tidak? Sekaligus ihwal aturan anjing laut. Halal atau haram? Terimakasih.
 Ketika mencari ikan pernah sanggup ikan hiu  Fatwa Tarjih: Hukum Makan Ikan Hiu dan Anjing Laut

Jawaban: Wa 'alaikumussalam wa rohmatullah wa barokatuh. Alhamdulillah, wash-sholaatu was salamu 'ala habibina al-musthofaa muhammad, wa 'alaa aalihi wshohbihi wa man waalah, amma ba'd.

Saudaraku penanya. Dalam buku Soal Jawab Agama dari Tim Fatwa Tarjih Muhammadiyah sudah dijelaskan berkaitan dengan "HUKUM MEMAKAN IKAN HIU DAN ANJING LAUT"

Mendapat Pertanyaan: Bagaimanakah aturan memakan ikan hiu dan anjing laut? Tim anutan Tarjih memberi Jawaban sebagai berikut ini:

Ikan hiu (Inggris: shark) dalam literatur bahasa Arab disebut al-qirsyu (القِرْشُ). Dalam Kamus al-Maurid, diterangkan bahwa:

اَلْقِرْشُ سَمَكٌ بَعْضُهُ كَبِيْرٌ يُخْشَى شَرُّهُ.

Artinya: “Shark (ikan hiu) yakni ikan liar yang sebagiannya berukuran besar yang ditakuti kebuasannya.”
Ikan hiu hukumnya mubah, lantaran termasuk binatang maritim yang hukumnya halal berdasarkan keumuman dalil-dalil al-Qur`an dan as-Sunnah (M. Masykur Khoir, Risalatul Hayawan, hal. 62).

Dalil al-Qur`an antara lain firman Allah SWT:

Artinya: “Dihalalkan bagimu binatang buruan maritim dan masakan (yang berasal) dari maritim sebagai masakan yang yummy bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kau dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kau akan dikumpulkan.” [QS. al-Maidah (5): 96]

Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan:

قَوْلُهُ تَعَالَى ”أحلّ لَكُمْ صَيْدُ البَحْرِ“ هَذَا حُكْمٌ بِتَحْلِيْلِ صَيْدِ البَحْرِ وَهُوَ كُلُّ مَا صُيِّدَ مِنْ حَيَاتِهِ.

Artinya: “Firman Allah ta'alaأحِلّ لَكُمْ صَيْدُ البَحْرِ  (dihalalkan bagimu binatang buruan laut) ini merupakan aturan penghalalan bagi binatang buruan laut, yaitu setiap binatang yang diburu dalam keadaan hidupnya ...” (Al-Jami' li Ahkam al-Qur`an, Imam al-Qurthubi, 6/318)

Dalil hadits, antara lain yakni sabda Nabi saw:

وَقَالَ مُسَدَّدٌ: حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الأَنْصَارِيِّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الله بْنُ الْمُغِيرَةِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي مُدْلِجٍ، أَنَّ رَجُلاً مِنْهُمْ، قَالَ: يَا رَسُولَ الله، إِنَّا نَرْكَبُ أَرْمَاثًا فِي الْبَحْرِ، فَنَحْمِلُ مَعَنَا الْمَاءَ لِلشفه، فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِمَائِنَا عَطِشْنَا، وَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِمَاءِ الْبَحْرِ، كَانَ فِي أَنْفُسِنَا مِنْهُ شَيْءٌ! فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم: هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.

Artinya: “Musaddad berkata: Yahya telah menceriterakan kepada kami dari Yahya bin Said al-Anshari, Abdullah bin Mughirah telah menceriterakan kepada kami dari seseorang yang berasal dari Bani Mudlij, bahwa seorang diantara mereka bertanya: Wahai Rasulullah, sungguh kami mengendarai kapal di laut, kemudian kami membawa air untuk kami minum (agar tidak haus), Jika kami memakai air tersebut untuk wudhu, maka kami mengalami kehausan. Dan kalau kami memakai air maritim (untuk berwudhu), maka kami mencicipi sesuatu (yang menciptakan ragu)! Lalu Nabi saw bersabda: "Dia [laut] itu suci airnya dan halal bangkainya." [HR. Malik, Ashhabus-Sunan, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain, lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 9/169; Shahih Ibnu Hibban, no. 1423; al-Mustadrak 'ala Ash-Shahihain, no. 491]

Dalam kitab Aunul-Ma'bud dijelaskan, hadits di atas menawarkan beberapa hukum, di antaranya:

أنّ جَمِيْعَ حَيَوَانَاتِ الْبَحْرِ أي مَا لا يَعِيشُ إلا بِالْبَحْرِ حَلالٌ

Artinya: "Semua hewan-hewan laut, yaitu binatang yang tidak sanggup hidup kecuali di laut, yakni halal." (Muhammad Syamsul-Haq al-Azhim Abadiy Abu ath-Thayyib, Aunul-Ma'bud, Juz 1/107)

Jadi, semua binatang maritim yakni halal berdasarkan keumuman dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah, termasuk juga dalam hal ini yakni ikan hiu.

Memang ada sebagian ulama Syafi'iyah yang mengharamkan ikan hiu, lantaran ikan hiu dianggap binatang buas yang menyerang dengan taringnya (ya'duw bi-naabihi). (Abul 'Ala` al-Mubarakfuri, Tuhfatul-Ahwadzi, 1/189; Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 9/169; Ibrahim bin Muhammad, Manarus-Sabiil, 2/368). Pendapat ini nampaknya didasarkan pada hadits yang mengharamkan memakan setiap binatang yang bertaring:

وَحَدَّثَنِى هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الأَيْلِىُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنَا عَمْرٌو - يَعْنِى ابْنَ الْحَارِثِ - أَنَّ ابْنَ شِهَابٍ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِى إِدْرِيسَ الْخَوْلاَنِىِّ عَنْ أَبِى ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ

Artinya: “Telah menceriterakan kepada kami Harun bin Said Al-Aili, telah menceriterakan kepada kami Ibnu Wahab, telah memberitakan kepada kami Amr—yaitu Ibnu Harits—bahwa Ibnu Syihab telah berkata kepadanya dari Abu Idris al-Khaulani dari Abu Tsalabah al-Khusyani bahwa, Nabi saw telah melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring.” [Shahih Muslim, Bab Haramnya Memakan Binatang Buas yang Bertaring, Juz 6, hal. 60]

Namun, al-Muhib ath-Thabari memfatwakan bahwa ikan hiu yakni halal, mengikuti anutan Ibnul-Atsir dalam kitabnya an-Nihayah. Menurut Syaikh al-Khathib asy-Syarbini pengarang kitab Mughni al-Muhtaj pendapat yang menghalalkan ini yakni zhahir (jelas). (asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, 4/298). Pengarang kitab Manarus-Sabiil mengatakan, pendapat yang lebih masyhur, ikan hiu itu mubah. (Ibrahim bin Muhammad; Manarus-Sabiil, 2/368).

Yang lebih rajih berdasarkan kami, yakni pendapat yang menyatakan bahwa ikan hiu itu mubah, berdasarkan keumuman dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah yang telah disebutkan di atas. Adapun dalil hadits dari Abu Tsala'bah al-Khusyani di atas yang dipakai oleh ulama yang mengharamkan ikan hiu, tidak sanggup diterima, lantaran hadits tersebut hanya berlaku untuk binatang bertaring dari hewan-hewan darat (hayawan al-barr), tidak meliputi binatang bertaring dari hewan-hewan maritim (hayawan al-bahr). Hal ini alasannya yakni sudah ada dalil-dalil yang menghalalkan binatang maritim secara umum.

Jadi, dengan mengamalkan dalil-dalil umum yang menghalalkan binatang laut, menghasilkan aturan halalnya ikan hiu. Sedangkan hadits dari Abu Tsa'labah al-Khusyani di atas juga tetap diamalkan, meskipun dengan membatasi keberlakuannya hanya untuk binatang darat yang bertaring, tidak meliputi binatang maritim yang bertaring. Dengan demikian, semua dalil diamalkan.

Adapun pendapat yang mengharamkan ikan hiu, berarti mengamalkan hadits Abu Tsa'labah al-Khusyani di atas secara umum, sampai meliputi pengharaman ikan hiu. Di sini terjadi pengabaian (al-ihmaal) terhadap dalil-dalil yang menghalalkan semua binatang laut. Dengan demikian, tidak semua dalil diamalkan, tapi hanya satu sisi, yaitu dalil yang mengharamkan binatang buas bertaring secara umum. Sementara sisi lainnya, yaitu dalil yang membolehkan semua binatang laut, tidak diamalkan.

Berdasarkan hal itu, Majelis Tarjih dan Tajdid beropini bahwa pendapat yang menghalalkan ikan hiu yakni lebih besar lengan berkuasa (rajih), lantaran berarti telah mengamalkan semua dalil yang ada, sebagaimana dijelaskan di atas.

Mengenai anjing laut, perlu diketahui lebih dahulu bahwa ada dua pendapat yang saling berlawanan ihwal apakah mamalia ini termasuk binatang darat (hayawanul-barr) ataukah binatang maritim (hayawanul-bahr). Yusuf al-Qaradawi dalam Halal Haram dalam Islam mengkategorikan anjing maritim sebagai binatang laut. Sementara dalam rubrik Konsultasi Agama: Hukum Binatang yang Hidup di Dua Alam di situs Voice of Islam (http://www.voa-islam.net/), anjing maritim digolongkan ke dalam kategori lebih mayoritas sebagai binatang darat. Sekalipun demikian, jumhur ulama bersepakat ihwal bolehnya memakan daging anjing laut. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil nash yang menjelaskan mengenai keharamannya, dan oleh lantaran itu berlaku aturan asalnya yaitu boleh.

Pengikut Hambali termasuk yang memasukkan anjing maritim ke dalam kategori binatang laut. Namun mereka berpendapat, lantaran anjing maritim merupakan binatang yang berbeda dengan binatang maritim pada umumnya, alasannya yakni anjing maritim mempunyai darah yang mengalir dan sering hidup di darat, maka mereka mensyaratkan semoga ia disembelih lebih dahulu. (Lihat al-Mughni, Jilid 11, hal: 83). Oleh lantaran itu, ia tidak halal dimakan apabila mati tanpa disembelih terlebih dahulu, berbeda dengan beberapa jenis ikan, ikan paus dan semacamnya dari spesies binatang maritim yang tidak hidup kecuali di air. Apalagi bagi yang beropini bahwa anjing maritim termasuk binatang darat (meskipun mempunyai kemampuan bertahan sangat usang di dalam air dan berenang dengan sangat baik), maka syarat harus disembelih yakni mutlak sebagaimana binatang darat sembelihan yang lain.
Jumhur ulama cenderung tidak mensyaratkan anjing maritim harus disembelih terlebih dahulu, alasannya yakni hal ini termasuk kasus yang umum dengan berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Yahya bin Said al-Anshari, sebagaimana yang telah dicantumkan sebelumnya. (Lihat Syarah Bulughul-Maram asy-Syaikh Athiyyah Muhammad Salim, Juz 2, hal: 5).

Namun berbeda dengan jumhur ulama, berdasarkan keterangan-keterangan di atas, kami menyimpulkan bahwa anjing maritim halal dimakan, tetapi dengan syarat harus disembelih terlebih dahulu. Wallahu alam bish-shawab. *putm)

Saudaraku penanya yang insyaaAllah dimuliakan Allah. Demikian balasan yang sanggup saya berikan. Semoga bermanfaat. Wa billaahit taufiiq wal hidaayah, wa maa taufiiqiy illaa billaah. Wa aakhiru da'watiy, anilhamdu lillaahi robbil 'aalamiin.

Related : Fatwa Tarjih: Aturan Makan Ikan Hiu Dan Anjing Laut

0 Komentar untuk "Fatwa Tarjih: Aturan Makan Ikan Hiu Dan Anjing Laut"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close