Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu
Tumbuh dalam Didikan Kenabian Nabi SAW
Ali bin Abi Thalib masih sepupu Nabi SAW, putra dari Abi Thalib bin Abdul Muthalib, paman yang mengasuh ia semenjak usia delapan tahun. Pamannya ini bersama Khadijah, istri ia menjadi pembela utama ia untuk mendakwahkan Islam selama tinggal di Makkah, walau Abi Thalib sendiri meninggal dalam kekafiran. Ali bin Abi Thalib lahir sepuluh tahun sebelum kenabian, tetapi telah diasuh Nabi SAW semenjak usia 6 tahun.
Sebagian riwayat menyebutkan ia orang ke dua yang memeluk Islam, yakni sesudah Khadijah, riwayat lainnya menyebutkan ia orang ke tiga, sesudah Khadijah dan putra angkat ia Zaid bin Haritsah. Bisa dikatakan ia tumbuh dan remaja dalam didikan akhlakul karimah Nabi SAW dan bimbingan wahyu. Maka tidak heran tabiat dan abjad Ali bin Abi Thalib ibarat dengan Nabi SAW. Dan secara keilmuan, ia mengalahkan sebagian besar sahabat lainnya, sehingga ia SAW pernah bersabda, "Ana madinatul ilmu, wa Ali baabuuha…"(Saya kotanya ilmu dan Ali yakni pintunya).
Apalagi, ia kemudian dinikahkan dengan putri kesayangan Nabi SAW, Fathimah az Zahra, sehingga bimbingan pembentukan kepribadian Ali bin Abi Thalib oleh Nabi SAW terus berlanjut hingga kewafatan beliau.
Jiwa Perjuangan dan Kepahlawanan Ali bin Abi Thalib
Salah satu yang populer dari Ali bin Abi Thalib yakni sifat ksatria dan kepahlawanannya. Bersama pedang kesayangannya yang diberi nama Dzul Fiqar, sebagian riwayat menyatakan pedangnya tersebut mempunyai dua ujung lancip, ia menerjuni hampir semua medanjihad tanpa sedikitpun rasa khawatir dan takut. Walau secara penampilan fisiknya Ali tidaklah kekar dan perkasa ibarat Umar bin Khaththab misalnya, tetapi dalam setiap duel dan pertempuran dengan pedangnya itu ia hampir selalu memperoleh kemenangan. Tidak berarti bahwa ia tidak pernah terluka dan terkena senjata musuh, hanya saja luka-luka yang dialaminya tidak pernah menyurutkan semangatnya. Nabi SAW seolah mengokohkan kepahlawanannya dengan sabda beliau, "Tiada pedang (yang benar-benar hebat) selain pedang Dzul Fiqar, dan tiada cowok (yang benar-benar ksatria dan gagah berani) selain Ali bin Abi Thalib…" (Laa fatan illaa aliyyun).
Ali bin Abi Thalib tidak pernah ketinggalan berjuang bersama Rasulullah SAW menerjuni medanpertempuran. Ketika perang Badar akan dimulai, tiga penunggang kuda handal dari kaum musyrik Quraisy maju menantang duel. Mereka dari satu keluarga, Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rab'iah dan Walid bin Utbah. Tampillah tiga cowok Anshar menyambut tantangan mereka, Auf bin Harits al Afra, Muawwidz bin Harits al Afra dan Abdullah bin Rawahah. Tetapi tokoh Quraisy ini menolak ketiganya, dan meminta orang terpandang dari golongan Quraisy juga. Nabi SAW memerintahkan Ubaidah bin Harits, Hamzah dan Ali bin Abi Thalib. Ali menghadapi Walid, sebagian riwayat menyatakan ia menghadapi Syaibah. Ini yakni pertempuran pertamanya, tetapi dengan gampang Ali mengalahkan lawannya, yang jauh lebih terlatih dan berpengalaman.
Pada perang Uhud, ketika pemegang panji Islam, Mush'ab bin Umair menemui syahidnya, Nabi SAW memerintahkan Ali menggantikan kedudukannya. Tangan kiri memegang panji, asisten mengerakkan pedang Dzul Fiqarnya, menghadapi serangan demi serangan yang datang. Tiba-tiba terdengar tantangan duel dari pemegang panji pasukan musyrik, yakni pahlawan Quraisy Sa’ad bin Abi Thalhah. Karena masing-masing sibuk menghadapi lawannya, tantangan tersebut tidak ada yang menanggapi, ia pun makin sesumbar, dan Ali tidak sanggup menahan dirinya lagi. Setelah mematahkan serangan lawannya, ia meloncat menghadapi orang yang sombong tersebut, ia berkata, "Akulah yang akan menghadapimu, wahai Sa'ad bin Abi Thalhah. Majulah wahai musuh Allah…!!"
Merekapun terlibat saling serang dengan pedangnya, di sela-sela dua pasukan yang bertempur rapat.Pada suatu kesempatan, Ali berhasil menebas kaki lawannya hingga jatuh tersungkur. Ketika akan menawarkan pukulan terakhir untuk membunuhnya, Sa'ad membuka auratnya dan Ali-pun berpaling dan berlalu pergi, tidak jadi membunuhnya. Ketika seorang sahabat menanyakan alasan mengapa tidak membunuhnya, ia berkata, "Ia memperlihatkan auratnya, sehingga saya malu dan kasihan kepadanya…"
Usai pertempuran, Ali dikerumuni orang-orang yang berusaha mengobati lukanya, tetapi kesulitan alasannya yakni begitu banyak luka yang dialaminya. Ketika Nabi SAW menghampiri, mereka berkata, "Wahai Rasulullah, kami merasa kesulitan, bila kami obati satu lukanya, terbukalah luka lainnya…"
Akhirnya ia turun tangan ikut membalut luka, dan dengan berkah tangan ia yang penuh mu'jizat, luka- lukanya sanggup diobati dengan mudah. Setelah itu ia bersabda, "Sesungguhnya seseorang yang mengalami semua ini alasannya yakni membela agama Allah, sungguh telah berjasa besar dan diampuni dosa-dosanya…"
Pada perang Khandaq, sekelompok kecil pasukan musyrik Quraisy berhasil menyeberangi parit, mereka ini antara lain, Amr bin Abdi Wudd, Ikrimah bin Abu Jahl dan Dhirar bin Khaththab. Segera saja Ali bin Abi Thalibdan sekelompok sahabat yang berjaga pada sisi tersebut mengepung mereka. Amr bin Abdi Wudd yakni pendekar Quraisy yang jarang memperoleh tandingan. Siapapun yang melawannya kebanyakan akan kalah. Ia melontarkan tantangan duel, dan segera saja Ali bin Abi Thalib menghadapinya. Amr bin Wudd sempat meremehkan Ali alasannya yakni secara fisik memang ia jauh lebih besar dan gagah. Setelah turun dari kudanya, ia memperlihatkan kekuatannya, ia menampar kudanya hingga roboh. Namun semua ia tidak menciptakan Ali gentar, bahkan dengan gampang Ali merobohkan dan membunuhnya. Melihat keadaan itu, anggota pasukan musyrik lainnya lari terbirit-birit hingga masuk parit untuk menyelamatkan diri.
Menjelang perang Khaibar, Nabi SAW bersabda sambil memegang bendera komando (panji peperangan), "Sesungguhnya besok saya akan menawarkan bendera ini pada seseorang, yang Allah akan menawarkan kemenangan dengan tangannya. Ia sangat menyayangi Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya"
Esoknya para sahabat berkumpul di sekitar Rasullullah SAW dan sangat berharap dialah yang akan ditunjuk Beliau untuk memegang bendera tersebut. Alasannya jelas, 'Sangat Mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya', derajad apalagi yang lebih tinggi daripada itu, dan itu diucapkan sendirioleh beliau. Pandangan Rasulullah SAW berkeliling untuk mencari seseorang, para sahabat mencoba memperlihatkan diri dengan impian akan ditunjuk beliau.Tetapi ia tidak menemukan yang dicari, maka ia bersabda, "Dimanakah Ali bin Abi Thalib?"
Seorang sahabat menjelaskan bila Ali sedang mengeluhkan matanya yang sakit. Nabi SAW menyuruh seseorang untuk menjemputnya, dan ketika Ali telah hingga di hadapan Rasulullah SAW, ia mengusap mata Ali dengan ludah ia dan mendoakan, seketika sembuh. Sejak dikala itu Ali tidak pernah sakit mata lagi. Beliau menyerahkan panji peperangan kepada Ali. Ali berkata, "Wahai Rasulullah, saya akan memerangi mereka hingga mereka sama ibarat kita!!"
"Janganlah terburu-buru," Kata Nabi SAW, "Turunlah kepada mereka, serulah mereka kepada Islam. Demi Allah, lebih baik Allah memberi hidayah mereka melalui dirimu, daripada ghanimah berupa himar yang paling anggun sekalipun!!"
Sebagian riwayat menyebutkan, pemilihan Ali sebagai pemegang komando atau panji, sesudah dua hari sebelumnya pasukan muslim gagal merebut atau membobol benteng Na'im, benteng terluar dari Khaibar. Khaibar sendiri mempunyai delapan lapis benteng pertahanan yang besar, dan beberapa benteng kecil lainnya.
Ketika perisainya pecah pada peperangan ini, Ali menjebol pintu kota Khaibar untuk menahan serangan panah yang bertubi-tubi, sekaligus menjadikannya sebagai tameng untuk terus menyerang musuh. Usai perang, Abu Rafi dan tujuh orang lainnya mencoba membalik pintu tersebut tetapi mereka tidak kuat. Dalam peperangan ini benteng Khaibar sanggup ditaklukkan dan orang-orang Yahudi yang berniat menghabisi Islam justru terusir dari jazirah Arabia.
Begitulah, hampir tidak ada peperangan yang tidak diterjuninya, dan Ali bin Abi Thalib selalu memperlihatkan kepahlawanan dan kekesatriaannya, sekaligus kualitas akhlaknya sebagai didikan wahyu, didikan Nabi SAW. Sampai pernah diceritakan, dalam suatu pertempuran Ali sudah hampir membunuh musuhnya, tiba-tiba musuh tersebut meludahi wajahnya. Tampak tersirat kemarahan Ali, tetapi justru ia meninggalkan dan membiarkannya hidup. Sebagian anggota pasukan muslim melihatnya dengan heran menanyakan sikapnya tersebut. Ali menjawab, "Ketika saya bertempur dan akan membunuhnya, saya masih berjuang alasannya yakni agama Allah. Tetapi ketika ia meludahiku dan ada sedikit kemarahan dalam diriku, saya takut membunuhnya itu alasannya yakni (nafsu) kemarahanku yang muncul."
Sebagian Kisah Pancaran Akhlak Ali bin Abi Thalib
Salah satu bentuk didikan Nabi SAW yang jelas-jelas mencerminkan kepribadian ia pada diri Ali yakni kesederhanaan (zuhud)-nya. Beberapa orang sahabat sering melihat Ali bin Abi Thalib menangis pada malam-malamnya, sambil berbicara sendiri, "Wahai dunia, apakah engkau hendak menipuku? Apakah kau mengawasiku? Jauh sekali…jauh sekali… Godalah orang selain aku, gotong royong saya telah menceraikanmu dengan thalak tiga. Umurmu pendek, majelis-majelismu sangat hina, kemuliaan dan kedudukanmu sangat sedikit dan tidak berarti (akan habis). Alangkah sengsaranya aku, bekalku sedikit sedangkan perjalanan sangat jauh dan jalannya sangat berbahaya."
Itulah prinsip-prinsip fundamental dari etika Ali bin Abi Thalib, yang secara umum mewarnai jalan kehidupannya, termasuk ketika ia menjabat sebagai khalifah.
Bekerja pada Orang Yahudi
Suatu ketika Rasullullah SAW mengunjungi kedua cucunya, Hasan dan Husain, tetapi di sana ia hanya menjumpai putrinya, Fathimah Ketika ia bertanya perihal keberadaan kedua cucunya, Fathimah berkatakalau keduanya sedang mengikuti ayahnya, Ali bin Abi Thalib, yang sedang bekerja menimba air pada orang Yahudi alasannya yakni pada hari itu memang tidak ada persediaan kuliner bagi mereka sekeluarga.
Rasulullah SAW menjumpai Ali di kebun orang Yahudi itu, ia menimba air untuk menyiram tanaman di kebun tersebut dengan upah satu butir kurma untuk satu timba air. Hasan dan Husain sendiri sedang bermain-main di suatu ruang sementara tangannya sedang menggenggam sisa-sisa kurma. Nabi SAW berkata kepada Ali, "Wahai Ali, apa tidak sebaiknya engkau bawa pulang anak-anakmu sebelum terik matahari akan menyengat mereka?"
Ali menjawab, "Wahai Rasulullah, pagi ini kami tidak mempunyai sesuatu pun untuk dimakan, alasannya yakni itu biarkanlah kami disini hingga bisa mengumpulkan lebih banyak kurma untuk Fathimah."
Rasulullah SAW hasilnya ikut menimba air bersama Ali, hingga terkumpul beberapa butir kurma untuk bisa dibawa pulang.
Pengadilan Atas Kepemilikan Baju Besi
Ketika menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib telah kehilangan baju besinya pada perang Jamal. Suatu ketika ia berjalan-jalan di pasar, ia melihat baju besinya ada pada seorang lelaki Yahudi. Ali menuntut haknya atas baju besi itu dengan memperlihatkan ciri-cirinya, tetapi si Yahudi bertahan bahwa itu miliknya.
Ali mengajak si Yahudi menemui kadhi (hakim) untuk memperoleh keputusan yang adil. Yang menjadi kadhi yakni Shuraih, seorang muslim. Ali memberikan kepada kadhi tuntutan kepemilikannya atas baju besi yang sedang dibawa oleh si Yahudi. Ia memperlihatkan ciri-cirinya, dan membawa dua orang saksi, Hasan putranya sendiri dan hambanya yang berjulukan Qanbar.
Mendengar penuturan Ali, yang tak lain yakni Amirul Mukminin yang menjadi ‘Presiden’ kaum muslimin dikala itu, Shuraih berkata dengan tegas, "Gantikan Hasan dengan orang lain sebagai saksi, dan kesaksian Qanbar saja tidak cukup!"
"Apakah engkau menolak kesaksian Hasan?" Tanya Ali kepada Shuraih, "Padahal Rasulullah pernah bersabda Hasan dan Husain yakni penghulu cowok di surga?"
"Bukan begitu Ali," Kata Shuraih, ia sengaja tidak menyebut Amirul Mukminin, alasannya yakni begitulah kedudukannya di depan hukum, ia meneruskan, "Engkau sendiri pernah berkata bahwa tidak sah kesaksian anak untuk bapaknya."
Karena Ali tidak bisa memperlihatkan saksi lain yang menguatkan kepemilikannya atas baju besi itu, Shuraih tetapkan baju besi itu milik si Yahudi, dan Ali mendapatkan keputusan tersebut dengan lapang dada.
Si Yahudi begitu takjub dengan insiden ini. Ia-pun mengakui bila baju itu ditemukannya di tengah jalan, mungkin terjatuh dari unta milik Ali. Ia eksklusif mengucapkan syahadat, menyatakan dirinya masuk Islam, dan mengembalikan baju besinya kepada Ali. Tetapi alasannya yakni keislamannya ini, justru Ali menghadiahkan baju besi tersebut kepadanya, dan menambahkan beberapa ratus uang dirham. Lelaki ini selalu menyertai Ali sehingga ia terbunuh syahid dalam perang Shiffin.
“Engkau Bebas alasannya yakni Allah!!”
Suatu ketika Ali memanggil salah seorang budaknya, tetapi tidak ada jawaban. Sampai dua dan tiga kali ia mengulanginya tetapi belum juga datang. Maka Ali mencari keberadaan budaknya tersebut, yang ternyata tidak jauh dari daerah itu. Dengan heran Ali berkata,”Tidakkah engkau mendengar panggilanku, wahai Ghulam!!”
Dengan santai budaknya itu berkata, “Ya, saya mendengar!!”
“Mengapa engkau tidak memenuhi panggilanku??”
Jawabannya sungguh mengejutkan, budak itu berkata, “Saya sangat mengenalmu, dan saya merasa tidak bakal dihukum, alasannya yakni itu saya membiarkan saja panggilan itu!!”
Bagi Ali, seorang budak dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, khususnya untuk merambah jalan akhirat, bila sikapnya ibarat itu justru akan mengotori hati saja. Karena itu ia berkata, “Engkau bebas alasannya yakni Allah, engkau saya merdekakan!!”
Karena Ali Memuliakan Seorang Lanjut Usia
Suatu ketika di shalat jamaah subuh, tiba-tiba Nabi SAW ruku’ dalam waktu cukup lama. Bukan alasannya yakni apa, tetapi malaikat Jibril tiba dan menggelar salah satu sayapnya di punggung ia sehingga ia tidak bisa bangkit. Setelah Jibril pergi barulah ia bisa i’tidal dan meneruskan shalat hingga selesai. Usai shalat para sahabat terheran-heran, dan salah satunya bertanya, “Apa yang terjadi, wahai Rasulullah, sehingga engkau memperpanjang ruku begitu usang yang sebelumnya belum pernah engaku lakukan??”
Nabi SAW menceritakan perihal malaikat Jibril yang menahan ia dalam ruku. Sahabat itu bertanya lagi, “Mengapa bisa ibarat itu??”
Nabi SAW bersabda, “Aku tidak tahu!!”
Tidak berapa usang Jibril tiba lagi dan berkata, “Wahai Muhammad, Ali tergesa-gesa untuk ikut berjamaah, tetapi di depannya ada seorang lelaki bau tanah nashrani yang berjalan sangat pelan. Ali tidak mau mendahuluinya alasannya yakni sangat memuliakan lelaki bau tanah itu!! Karena itu Allah memerintahkan saya untuk menahanmu dalam ruku,agar Ali sanggup ikut jamaah!!”
Nabi SAW tampak terkagum-kagum dengan klarifikasi Jibril tersebut, tetapi Jibril meneruskan, “Yang lebih mengagumkan lagi, Allah memerintahkan malaikat Mikail untuk menahan perputaran matahari dengan sayapnya, sehingga waktu subuh tidak habis alasannya yakni menunggu Ali hadir!!”
Nabi SAW memanggil Ali. Ketika Nabi SAW meng-konfirmasi hal itu, Ali berkata dengan tenangnya seakan-akan tidak ada sesuatu yang absurd terjadi, “Benar, ya Rasulullah, lelaki bau tanah itu sangat pelan jalannya dan saya tidak suka untuk mendahuluinya alasannya yakni memuliakannya. Tetapi ternyata ia tidak tiba untuk shalat, untungnya engkau masih dalam keadaan ruku’ sehingga saya tidak tertinggal shalat jamaah bersamamu!!”
Nabi SAW hanya tersenyum, dan menceritakan duduk permasalahannya kepada para sahabat. Setelah itu ia bersabda, “Inilah derajad orang yang memuliakan seorang lanjut usia, walau ia bukan seorang muslim!!”
Ali di Jalan Zakaria dan Fathimah di Jalan Maryam
Suatu ketika Ali bertanya kepada istrinya, “Wahai Fathimah, ada kuliner untuk kusantap hari ini?”
Fathimah berkata, “Tidak ada, saya berpagi hari dalam keadaan tidak ada kuliner untukmu, begitu juga untukku dan kedua anak kita!!”
“Tidakkah engkau menyuruhku untuk untuk mencari makanan?” Tanya Ali.
“Aku malu kepada Allah untuk meminta kepadamu yang engkau tidak memilikinya!!”
Kemudian Ali keluar rumah, ia yakin dan khusnudzon kepada Allah dan meminjam uang satu dinar untuk membeli kuliner bagi keluarganya. Tetapi belum sempat membelanjakan uang satu dinar itu, ia melihat sahabat Nabi SAW lainnya, Miqdad al Aswad, sedang berjalan sendirian di padangpasir yang panas. Ali menghampirinya dan berkata, “Wahai Miqdad, apa yang menggelisahkanmu??”
Miqdad berkata, “Wahai Abul Hasan, janganlah mengganggu aku, janganlah menanyakan kepadaku sesuatu yang di belakangku (peristiwa yang menimpa sebelumnya)!!”
Ali berkata lagi, “Wahai Miqdad, tidak seharusnya engkau menyembunyikan keadaanmu dari aku!!”
“Baiklah bila engkau memang memaksa, demi Dzat yang memuliakan Muhammad dengan kenabian, tidak ada yang menggelisahkan saya dalam perjalanan ini, kecuali alasannya yakni saya meninggalkan keluargaku dalam keadaan kelaparan. Ketika saya mendengar tangisan mereka, bumi serasa tidak bisa memikulku, saya pergi dengan tidak mempunyai muka (sangat malu)!!”
Miqdad enggan menceritakan keadaannya alasannya yakni ia sangat mengenal Ali. Keadaan Ali tidaklah lebih baik daripada dirinya, apalagi ia seorang yang sangat perasa dan pemurah. Dan hasil dari ceritanya itu eksklusif tampak. Ali mengucurkan air mata hingga membasahi jenggotnya. Dengan terbata ia berkata, “Aku bersumpah dengan Dzat yang engkau bersumpah dengan-Nya, tidaklah menggelisahkanku kecuali ibarat yang menggelisahkan engkau juga, untuk itu saya telah meminjam uang satu dinar, ini untukmu saja, ambillah!! Aku dahulukan engkau daripada diriku sendiri!!”
Miqdad mendapatkan uang itu dengan gembira, dan Ali berlalu pergi ke Masjid untuk shalat zhuhur alasannya yakni waktunya hampir menjelang. Ia tetap tinggal di masjid hingga shalat ashar dan maghrib. Usai shalat mangrib, tiba-tiba Nabi SAW menghampirinya dan berkata, “Wahai Abul Hasan, apakah kau punya kuliner untuk kita makan malam??”
Pada masa Nabi SAW, ia lebih sering mengerjakan shalat jamaah isya’ pada selesai waktu, yakni menjelang tengah malam. Karena itu sesudah shalat magrib biasanya para sahabat pulang dahulu. Ali tersentak kaget mendengar pertanyaan beliau, ia tidak bisa berkata apa-apa alasannya yakni malu kepada Nabi SAW. Karena ia membisu saja, ia bersabda lagi, “Jika kau berkata ‘tidak’ maka saya akan pergi. Jika engkau berkata ‘ya’ maka saya akan pergi bersamamu!!”
“Baiklah, ya Rasulullah, marilah ke rumah saya!!”
Mereka berjalan beriringan ke rumah Ali, dan Fathimah eksklusif menyambut ketika mengetahui kedatangan Rasulullah SAW, dan mengucap salam. Beliau menjawab salam putri tercintanya itu sambil mengusap kepalanya, kemudian bersabda, “Bagaimana engkau malam ini? Sudah siapkah makan malam untuk kita? Semoga Allah mengampunimu, dan Dia telah melakukannya!!”
Fathimah mengambil mangkuk besar berisi makanan, yang beberapa waktu sebelumnya tiba-tiba saja telah berada di rumahnya tanpa tahu siapa yang membawakannya. Ali mencium aroma kuliner yang sangat lezat, yang belum pernah rasanya ia menemukan kuliner ibarat itu. Ia memandang tajam kepada istrinya, sebuah pertanyaan keras dan kemarahan bercampur dalam pandangannya itu. Fathimah berkata, “Subkhanallah, alangkah tajamnya pandanganmu!! Apakah saya telah berbuat kesalahan sehingga engkau tampak begitu murka?”
Ali berkata, “Apakah ada dosa yang lebih besar daripada yang engkau perbuat hari ini? Tadi pada saya menjumpaimu dan engkau bersumpah tidak mempunyai kuliner apapun, bahkan sudah dua hari lamanya!!”
Fathimah menengadah ke langit sambil berkata, “Tuhanku Maha Tahu, bahwa saya tidaklah berkata kecuali kebenaran semata!!”
Nabi SAW tersenyum melihat pertengkaran kecil tersebut. Sambil meletakkan tangan di bahu Ali dan mengguncang-guncangkannya, ia bersabda, “Wahai Ali, inilah pahala dinarmu, inilah jawaban dinarmu. Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendakinya!!”
Sesaat kemudian Nabi SAW menangis penuh haru, dan bersabda, “Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah mengeluarkan kalian berdua di dunia ini, yang telah memperjalankan engkau, wahai Ali di jalan (Nabi) Zakaria, dan memperjalankan engkau, wahai Fathimah di jalan Maryam!!”
0 Komentar untuk "Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu"