Hukum Takbiran Pada Malam Hari Raya Dan Sehabis Shalat Wajib, Cara Takbir, Takbiran Bersama, Dan Takbiran Diiringi Bedug

Hukum Takbiran Pada Malam Hari Raya dan Setelah Shalat Wajib, Cara Takbir, Hukum Takbiran Bersama dan Takbiran Diiringi Bedug

TAKBIR HARI RAYA

Pertanyaan Dari:
Ruswanda, S. Pd., Mekarmukti, Bungbulang, Garut,
Achmad Supiani M di Pagatan dan Jeffriady di Pulau Nias

Pertanyaan:

- Bagaimana dengan takbiran yang diucapkan setelah shalat maghrib, isya, dan shubuh yang biasa dilaksanakan di masjid-masjid dan surau-surau?
- Bagaimana pula dengan takbiran serupa di hari Idul Adlha pada malam hari ke-10 Dzulhijjah dan hari-hari tasyriq (11-13 Dzulhijjah)?
- Bagaimana tuntunan lafadz takbir yang sebenarnya?
- Bolehkah mengumandangkan takbir secara beramai-ramai dengan didahului oleh seseorang (seperti imam takbir)?
- Bolehkah takbiran disertai/diiringi dengan pemukulan bedug atau bedug-bedug dengan irama tersendiri oleh para penabuhnya, dengan alasan untuk syiar agama? Saya khawatir jangan-jangan nanti dikatakan sunat oleh sementara orang.


Jawaban:

Dalam Tanfidz Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih XXIV No. Kep. 17/SK-PP/II-A/1.a/2001 tanggal 15 Februari 2001 lampiran III Tuntunan Ramadhan, antara lain menyatakan bahwa takbiran pada malam Id haditsnya lemah. Yang ada yaitu hadits Ibnu Umar yang menyatakan bahwa ia dan sobat yang lain bertakbir dari rumah ke mushalla dan hingga dengan datangnya imam. Yang kami tanyakan:

Keputuskan Muktamar Tarjih XX yang berlangsung tanggal 18 s.d. 23 Rabiul Akhir 1396 H, bertepatan dengan tanggal 18 s.d. 23 April 1976 di Kota Garut Jawa Barat, yang selanjutnya telah ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan surat Nomor: C/1-0/75/77 tertanggal 5 Shafar 1397 H bertepatan dengan tanggal 26 Januari 1977, yang berkaitan dengan waktu takbir menjelang shalat Id disebutkan: Hendaklah engkau perbanyak membaca takbir pada malam Hari Raya Fithrah semenjak mulai matahari terbenam hingga esok harinya saat shalat akan dimulai.

Demikian pula dalam Tuntunan Ramadhan yang merupakan sebagian dari Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih XXIV di Malang Jawa Timur yang telah ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, - sebagaimana yang telah disebutkan dalam pertanyaan, - disebutkan: di antara Adab dalam menyambut Hari Idul Fithri, yang pertama adalah: Memperbanyak takbir, dengan uraian: Dalam rangka menyambut Hari Idul Fithri dituntunkan biar orang (Islam) memperbanyak takbir pada malam Idul Fithri semenjak dari terbenamnya matahari hingga pagi hari saat shalat Id segera dimulai.

Dalil yang dijadikan dasar keputusan tersebut, - baik dalam Muktamar Tarjih XX maupun dalam Musyawarah Nasional Tarjih XXIV, - adalah:
Firman Allah swt:

… وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ. [البقرة (2): 185]

Artinya: “…dan supaya kau menyempurnakan bilangannya dan supaya kau agungkan kebesaran Allah atas petunjuk yang telah Dia berikan padamu dan supaya kau bersyukur.” [QS. al-Baqarah (2): 185]

Hadits riwayat Ibnu Umar ra:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ إِذاَ غَداَ إِلىَ الْمُصَلَّى يَوْمَ اْلعِيْدِ كَبَّرَ فَرَفَعَ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيْرِ، وَفِيْ رِوَايَةٍ كاَنَ يَغْدُوْ إِلى الْمُصَلَّى يَوْمِ اْلفِطْرِ إِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى يَوْمَ اْلعَيْدِ ثُمَّ يُكَبِّرُ بِالْمُصَلَّى حَتَّى إِذَا جَلَسَ اْلإِمَامُ تَرَكَ التَّكْبِيْرَ. [رواه الشافعي في مسنده جـ 1 : 153، حديث رقم 444 و 445]

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia apabila pergi ke tanah lapang di pagi hari Id, ia bertakbir dengan mengeraskan bunyi takbirnya. Dalam riwayat lain (dikatakan): Beliau apabila pergi ke kawasan shalat pada pagi hari Idul Fitri saat matahari terbit, ia bertakbir hingga hingga ke kawasan shalat pada hari Id, kemudian di kawasan shalat itu ia bertakbir pula, sehingga apabila imam telah duduk, ia berhenti bertakbir. [HR. asy-Syafii dalam al-Musnad, I:153, hadis no. 444 dan 445]

Dari dua dalil yang telah disebutkan di atas, sanggup kami kemukakan bahwa keputusan yang berisi proposal untuk memperbanyak takbir dalam rangka menyambut Hari Idul Fithri yang dimulai semenjak terbenamnya matahari pada malam Idul Fithri yaitu dengan memperhatikan perintah Allah dalam Surah al-Baqarah ayat 185, yaitu untuk bertakbir setelah tepat bilangan puasa Ramadhan. Memang dalam ayat tersebut tidak secara tegas dinyatakan bahwa takbir dimulai setelah matahari terbenam, sebagai tanda telah sempurnanya puasa Ramadhan. Namun berdasarkan janji para ulama sebagaimana disebutkan oleh Ali Hasballah dalam Kitab Ushuulut-Tasyriiil Islamiy halaman 187 atau berdasarkan pendapat yang rajih (yang lebih kuat) sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhailiy dalam Ushuulul-Fiqhil-Islamiy Juz I halaman 231-232, bahwa apabila ada perintah yang tidak disertai dengan ketegasan waktunya, maka dibolehkan untuk menyegarakan sebagaimana boleh pula untuk mengakhirkan pelaksanaan perintah tersebut, namun menyegerakan yaitu lebih utama dan lebih berhati-hati. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah swt:\

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ 
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ. [آل عمران (3): 133]

Artinya: “Dan bersegeralah kau kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada nirwana yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” [QS. Ali Imran (3): 133]

... فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ... [المآئدة (5): 48]

Artinya: “… maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan… .” [QS. al-Maidah (5): 48]

Dengan hujjah (argumentasi) di atas, kiranya sanggup difahami Keputusan Muktamar Tarjih XX dan Musyawarah Nasional Tarjih XXIV yang antara lain menganjurkan biar memperbanyak takbir semenjak terbenamnya matahari pada malam Idul Fithri.

Terhadap hadits Ibnu Umar, sanggup dipegangi sebagai berakhirnya waktu takbir dalam menyambut Idul Fithri, yakni saat shalat Id segera akan dimulai.

Dalam Muktamar Tarjih XX sebagaimana yang telah disebutkan di atas, juga diputuskan bahwa takbir pada Hari Raya Adlha mulai setelah shalat Shubuh pada hari Arafah hingga simpulan hari Tasyriq. Keputusan ini didasarkan dalil-dalil:

وَلِمَا ذَكَرَهُ اْلبُخَارِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَ ابْنِ عُمَرَ تَعْلِيْقًا أَنَّهَا كَانَا يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوْقِ أَيَّامَ اْلعَشْرِ يُكَبِّرَانِ وَ يُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيْرِهِمَا.

Artinya: Beralasan pada yang diriwayatkan imam al-Bukhari dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar (tanpa sanad) bahwa keduanya pergi ke pasar pada hari kesepuluh sambil membaca takbir dan orang-orang mengikuti takbir mereka.

وَ ذَكَرَ اْلبَغَوِى وَ اْلبَيْهَقِى ذَلِكَ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ مَعَ شِدَّةِ تَحَرِيَّةِ لِلسُّنَّةِ 
يُكَبِّرُ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى اْلمُصَلَّى.

Artinya: Hal yang demikian disebutkan juga oleh al-Baghawi dan al-Baihaqi: Adalah Ibnu Umar itu sebagai orang yang selalu memperhatikan tuntunan (Nabi saw.), dia membaca takbir dari rumahnya hingga ke kawasan shalat.

وَ حَدِيْثِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ وَلاَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ (رواه أحمد وكذا ابن أبي الدنيا و البيهقى في الشعب و الطبرانى في الكبير عن ابن عباس)
وَ أَصَحُّهُ عَنِ الصَّحَابَةِ قَوْلُ عَلِيٍّ وَ ابْنِ مَسْعُوْدٍ إِنَّهُ مِنْ صُبْحِ يَوْمِ عَرَفَةَ إِلَى آخِرِ أَيَّامِ مِنَى (أخرجه ابن منذر و غيره)

Artinya: Beralasan hadits Ibnu Umar menyatakan: Rasulullah saw. bersabda: Tiada hari yang lebih besar bagi Allah dan tiada malam pada hari-hari itu yang lebih disukai oleh Allah dari pada hari-hari sepuluh itu. Oleh karenanya selama itu hendaklah kau perbanyak membaca tahlil (لا إله إلاّ الله), takbir (الله أكبر), dan tahmid (الحمد لله).” [HR. Ahmad dan Ibnu Abi ad-Dunya, dan al-Baihaqi di dalam asy-Syaab, dan ath-Thabrani di dalam al-Kabir dari Ibnu Abbas]

Adapun yang terkuat di antara yang diberitakan perihal hal itu dari para sobat ialah perkataan Ali dan Ibnu Masud (yang mengatakan) bahwa itu yaitu mulai dari shubuh Arafah hingga hari-hari Mina yang terakhir. [Ditakhrijkan oleh Ibnul-Mundzir dan lain-lainnya]

وَ لِمَا رَوَاهُ اْلبَيْهَقِى وَالدَّارُقُطْنِى أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى اْلعَصْرِ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ، وَاْلحَاكِمُ أَيْضًا مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْ قَطْرَ ابْنِ خَلِيْفَةَ عَنْ أَبِي اْلفَضْلِ عَنْ عَلِيٍّ وَعَمَّار قَالَ: وَهُوَ صَحِيْحٌ. وَصَحَّ مِنْ فِعْلِ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَ ابْنِ مَسْعُوْدٍ.

Artinya: Dan beralasan pada riwayat al-Baihaqi dan ad-Daruquthni (yang mengatakan): bahwa Nabi saw. membaca takbir setelah dhalat shubuh pada hari Arafah hingga Ashar hari Tasyriq terakhir.

Diriwayatkan juga oleh al-Hakim dari jalan lain dari Qathur ibnu Khalifah dari Abi Fadlah, dari Ali dan Ammar, al-Hakim berkata: riwayat tersebut shahih lagi dibenarkan oleh perbuatan Umar, Ali, Ibnu Abbas, dan Ibnu Masud.

Lafadz Takbir sebagaimana diputuskan dalam Muktamar Tarjih XX, adalah:

اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ

Berdasarkan dalil:

عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: كَبِّرُوْا، اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَ جَاءَ عَنْ عُمَرَ وَابْنِ مَسْعُوْدٍ: اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ اْلحَمْدُ.

Artinya: Diriwayatkan dari Salman, ia berkata: bertakbirlah dengan Allaahu akbar, Allaahu akbar kabiiraa. Dan diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Masud: Allaahu akbar, Allaahu akbar, laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar, Allaahu akbar wa lillaahil-hamd. [HR. Abdul Razzaaq, dengan sanad shahih]

Tentang mengumandangkan takbir dengan komando oleh seseorang atau dengan imam takbir, pernah kami berikan jawabannya dan telah dimuat dalam Buku Tanya Jawab Agama Jilid II halaman 111-112 yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah. Dalam buku tersebut antara lain kami sebutkan bahwa dalam perintah bertakbir tidak diterangkan apakah dengan komando atau imam takbir, ataukah sendiri-sendiri, atau bahu-membahu tanpa komando imam takbir. Kami beropini bahwa takbir yang dilakukan dengan dituntun akan menciptakan lebih kompak.

Dalam hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam asy-Syafii sebagaimana telah kami kemukakan di atas, disebutkan bahwa ia mengeraskan (menyaringkan) suaranya dalam bertakbir. Dapat diperkirakan bahwa dengan bunyi yang keras atau yang nyaring itu, akan lebih mengakibatkan syiar fatwa Islam, - khususnya dengan pelaksanaan shalat Id. Namun dalam pada itu, hendaklah difahami bahwa sesungguhnya yang tidak kalah penting dalam bertakbir itu yaitu sebagai perwujudan atau mulut kesadaran terhadap keagungan asma Allah dan kenisbian insan  di hadapan-Nya serta sebagai tanda syukur atas petunjuk dan nikmat yang diberikan oleh-Nya. Oleh alasannya yaitu itu dalam bertakbir, harus dilakukan dengan sekuat mungkin berusaha untuk menghayati makna yang terkandung dalam lafadz-lafadz takbir itu, sehingga sanggup besar lengan berkuasa ke dalam jiwa untuk semakin meningkat ketaqwaannya.

Berkait dengan bertakbir yang diiringi irama bunyi pukulan bedug atau bunyi alat-alat musik yang lain dengan alasan syiar, kiranya sanggup kami kemukakan sebagai berikut:

Irama bunyi bedug atau alat musik yang lain, sesungguhnya yaitu bertujuan untuk memperindah pendengaran, dengan impian sanggup menarik orang untuk mendengarkan atau mengikuti bunyi yang diiringi oleh bunyi alat musik tersebut, alasannya yaitu merasa bahagia dan terhibur dengan irama alat musik tersebut. Jika demikian, maka tidak menutup kemungkinan bahwa takbir yang diiringi dengan irama / bunyi bedug atau alat musik yang lain, akan bisa mengajak orang untuk ikut mendengarkan atau bahkan ikut pula bertakbir.

Tetapi dalam pada itu, tidak menutup kemungkinan pula keikutsertaan orang dalam bertakbir telah diwarnai untuk mencari hiburan, bahkan mungkin lebih lebih banyak didominasi daripada tujuan untuk menghayati dan meresapi makna yang terkandung dalam lafadz-lafadz takbir sebagai sebuah ibadah. Setidak-tidaknya kepada pemain musiknya akan lebih terkonsentrasi kepada menjaga keselarasan irama musik dengan bunyi takbir yang dikumandangkan.

Jika yang diperkirakan ini menjadi sebuah kenyataan, dan kalau dalam masyarakat sosialisasi takbir sebagai ibadah semakin menipis, maka terjadinya pergeseran nilai dalam bertakbir bukan merupakan suatu hal yang mustahil, - takbir berubah dari nilai ritual (ibadah) menjadi sebuah hiburan yang profan (duniawi). Oleh alasannya yaitu itu, atas dasar dalil سَدُّ الذَّرِيْعَةِ (menutup jalan terjadinya kerusakan), kami cenderung bertakbir dilakukan secara khusyu tanpa diiringi irama musik apapun.

0 Komentar untuk "Hukum Takbiran Pada Malam Hari Raya Dan Sehabis Shalat Wajib, Cara Takbir, Takbiran Bersama, Dan Takbiran Diiringi Bedug"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close