Kyai Haji Ahmad Dahlan
(Ketua Muhammadiyah 1912-1922)
(Ketua Muhammadiyah 1912-1922)
Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) ialah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia ialah putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar ialah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan ialah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.
Andai saja pada tahun 1868 tidak lahir seorang bayi berjulukan Muhammad Darwisy (ada literatur yang menulis nama Darwisy saja), Kampung Kauman di sebelah barat Alun-alun Utara Yogyakarta itu boleh dibilang tak mempunyai keistimewaan lain, selain sebagai sebuah pemukiman di sekitar Masjid Besar Yogyakarta. Sejarah kemudian mencatat lain, dan Kauman pada balasannya menjadi sebuah nama besar sebagai kampung kelahiran seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia, Kiai Haji Ahmad Dahlan: Sang Penggagas lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan dengan 18 November 1912.
Muhammad Darwisy dilahirkan dari kedua orang renta yang dikenal sangat alim, yaitu KH. Abu Bakar (Imam Khatib Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (puteri H. Ibrahim, Hoofd Penghulu Yogyakarta). Muhammad Darwisy merupakan anak keempat dari tujuh saudara yang lima diantaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Tak ada yang menampik silsilah Muhammad Darwisy sebagai keturunan keduabelas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan terkemuka diantara Wali Songo, serta dikenal pula sebagai pencetus pertama penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Demikian matarantai silsilah itu: Muhammad Darwisy ialah putra K.H. Abu Bakar bin K.H. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Jatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren semenjak kecil, dan sekaligus menjadi tempatnya menimba pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), kemudian dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, menyerupai Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai efek yang besar pada Darwis. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam ketika itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan anutan Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh lantaran itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian anutan Islam dengan kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis.
Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Haji Ahmad Dahlan (suatu kebiasaan dari orang-orang Indonesia yang pulang haji, selalu mendapat nama gres sebagai pengganti nama kecilnya). Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi Khatib Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.
Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, saudara sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Di samping itu, K.H. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. K.H. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Ajengan Penghulu) Cianjur yang berjulukan Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin, Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).
Ahmad Dahlan ialah seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya. Ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri:
“Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada ancaman besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang niscaya harus engkau lewati. Mungkin engkau bisa melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seakan-akan engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).
Dari pesan itu tersirat sebuah semangat dan keyakinan yang besar ihwal kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai kehidupan darul abadi yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk kehidupan darul abadi itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan membimbing mereka pada amal dan usaha menegakkan kalimah Allah. Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan darul abadi yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat insan melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif.
Kesadaran menyerupai itulah yang menimbulkan Dahlan sangat mencicipi kemunduran ummat Islam di tanah air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban itu mustahil dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu mustahil tanpa organisasi.
Untuk membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut, Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut bantu-membantu melakukan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia.
Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya ihwal gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang berguru di OSVIA Magelang dan para calon guru yang berguru di Kweekschool Jetis Yogyakarta, lantaran ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut.
Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, lantaran mereka akan menjadi orang yang mempunyai efek luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi pandangan gres ihwal gerakan dakwah Muhammadiyah, lantaran mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh lantaran itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu’allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu’allimat (Kweekschool Putri Muhammadiyah). Dahlan mengajarkan agama Islam dan tidak lupa berbagi harapan pembaharuannya.
Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya ihwal gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang ketika itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan gampang diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapat tempat di organisasi Jam’iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melakukan harapan pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan bersedekah berdasarkan tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Perkumpulan ini berdiri pada tanggal 18 Nopember 1912. Sejak awal Dahlan telah memutuskan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapat resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan tiba bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama gres yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, lantaran sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan harapan dan usaha pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapat tubuh hukum. Permohonan itu gres dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk kawasan Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di kawasan Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi.
Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di kawasan lain menyerupai Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri Cabang Muhammadiyah. Hal ini terperinci bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka K.H. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan semoga Cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta menggunakan nama lain, contohnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Makassar, dan di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari Cabang Muhammadiyah.
Di dalam kota Yogyakarta sendiri, Ahmad Dahlan menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jamaah-jamaah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke banyak sekali kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapat sambutan yang besar dari masyarakat di banyak sekali kota di Indonesia. Ulama-ulama dari banyak sekali kawasan lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan pemberian terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin usang makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh lantaran itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Dalam bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari agresi gres untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab gres di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan.
Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur’an baru, yang berdasarkan kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan argumentasi: “Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur’an dan Hadis. Umat Islam harus kembali kepada Qur’an dan Hadis. Harus mempelajari pribadi dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir”.
Sebagai seorang demokrat dalam melakukan acara gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses penilaian kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam acara gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang ketika itu digunakan istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum).
Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam mem-bangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut :
1. K.H. Ahmad Dahlan telah memelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus berguru dan berbuat.
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak menawarkan anutan Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan bersedekah bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar kepercayaan dan Islam.
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diharapkan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa anutan Islam.
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah pecahan perempuan (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan perempuan Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan
Muhammad Darwisy dilahirkan dari kedua orang renta yang dikenal sangat alim, yaitu KH. Abu Bakar (Imam Khatib Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (puteri H. Ibrahim, Hoofd Penghulu Yogyakarta). Muhammad Darwisy merupakan anak keempat dari tujuh saudara yang lima diantaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Tak ada yang menampik silsilah Muhammad Darwisy sebagai keturunan keduabelas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan terkemuka diantara Wali Songo, serta dikenal pula sebagai pencetus pertama penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Demikian matarantai silsilah itu: Muhammad Darwisy ialah putra K.H. Abu Bakar bin K.H. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Jatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren semenjak kecil, dan sekaligus menjadi tempatnya menimba pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), kemudian dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, menyerupai Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai efek yang besar pada Darwis. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam ketika itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan anutan Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh lantaran itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian anutan Islam dengan kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis.
Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Haji Ahmad Dahlan (suatu kebiasaan dari orang-orang Indonesia yang pulang haji, selalu mendapat nama gres sebagai pengganti nama kecilnya). Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi Khatib Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.
Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, saudara sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Di samping itu, K.H. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. K.H. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Ajengan Penghulu) Cianjur yang berjulukan Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin, Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).
Ahmad Dahlan ialah seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya. Ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri:
“Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada ancaman besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang niscaya harus engkau lewati. Mungkin engkau bisa melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seakan-akan engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).
Dari pesan itu tersirat sebuah semangat dan keyakinan yang besar ihwal kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai kehidupan darul abadi yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk kehidupan darul abadi itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan membimbing mereka pada amal dan usaha menegakkan kalimah Allah. Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan darul abadi yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat insan melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif.
Kesadaran menyerupai itulah yang menimbulkan Dahlan sangat mencicipi kemunduran ummat Islam di tanah air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban itu mustahil dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu mustahil tanpa organisasi.
Untuk membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut, Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut bantu-membantu melakukan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia.
Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya ihwal gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang berguru di OSVIA Magelang dan para calon guru yang berguru di Kweekschool Jetis Yogyakarta, lantaran ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut.
Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, lantaran mereka akan menjadi orang yang mempunyai efek luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi pandangan gres ihwal gerakan dakwah Muhammadiyah, lantaran mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh lantaran itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu’allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu’allimat (Kweekschool Putri Muhammadiyah). Dahlan mengajarkan agama Islam dan tidak lupa berbagi harapan pembaharuannya.
Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya ihwal gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang ketika itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan gampang diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapat tempat di organisasi Jam’iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melakukan harapan pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan bersedekah berdasarkan tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Perkumpulan ini berdiri pada tanggal 18 Nopember 1912. Sejak awal Dahlan telah memutuskan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapat resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan tiba bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama gres yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, lantaran sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan harapan dan usaha pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapat tubuh hukum. Permohonan itu gres dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk kawasan Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di kawasan Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi.
Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di kawasan lain menyerupai Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri Cabang Muhammadiyah. Hal ini terperinci bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka K.H. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan semoga Cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta menggunakan nama lain, contohnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Makassar, dan di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari Cabang Muhammadiyah.
Di dalam kota Yogyakarta sendiri, Ahmad Dahlan menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jamaah-jamaah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke banyak sekali kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapat sambutan yang besar dari masyarakat di banyak sekali kota di Indonesia. Ulama-ulama dari banyak sekali kawasan lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan pemberian terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin usang makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh lantaran itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Dalam bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari agresi gres untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab gres di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan.
Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur’an baru, yang berdasarkan kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan argumentasi: “Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur’an dan Hadis. Umat Islam harus kembali kepada Qur’an dan Hadis. Harus mempelajari pribadi dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir”.
Sebagai seorang demokrat dalam melakukan acara gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses penilaian kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam acara gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang ketika itu digunakan istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum).
Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam mem-bangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut :
1. K.H. Ahmad Dahlan telah memelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus berguru dan berbuat.
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak menawarkan anutan Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan bersedekah bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar kepercayaan dan Islam.
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diharapkan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa anutan Islam.
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah pecahan perempuan (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan perempuan Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan
Nama kecil KH. Ahmad Dahlan ialah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pencetus penyebaran agama Islam di Jawa.[1] Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).[2]
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, menyerupai Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.[1] Di samping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putra dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang berjulukan Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.[3] [4]
KH. Ahmad Dahlan meninggal pada tahun 1923 dan dimakamkan di pemakaman KarangKajen, Yogyakarta [5] [6].
Pengalaman Organisasi
Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya ihwal gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang ketika itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan gampang diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapat tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melakukan harapan pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan bersedekah berdasarkan tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup berdasarkan tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan semenjak awal Dahlan telah memutuskan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapat resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan tiba bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama gres yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, lantaran sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta bergaul dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan priyayi, dan majemuk tuduhan lain. Saat itu Ahmad Dahlan sempat mengajar agama Islam di sekolah OSVIA Magelang, yang merupakan sekolah khusus Belanda untuk belum dewasa priyayi. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun ia berteguh hati untuk melanjutkan harapan dan usaha pembaruan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapat tubuh hukum. Permohonan itu gres dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk kawasan Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di kawasan Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di kawasan lain menyerupai Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini terperinci bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan semoga cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta menggunakan nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah[7] di Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Berbagai perkumpulan dan jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, di antaranya ialah Ikhwanul-Muslimin,[8] Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.[9]
Dahlan juga dekat dan berdialog dengan tokoh agama lain menyerupai Pastur van Lith pada 1914-1918. Van Lith ialah pastur pertama yang diajak obrolan oleh Dahlan. Pastur van Lith di Muntilan yang merupakan tokoh di kalangan keagamaan Katolik. Pada ketika itu Kiai Dahlan tidak ragu-ragu masuk gereja dengan pakaian hajinya.[10]
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke banyak sekali kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapat sambutan yang besar dari masyarakat di banyak sekali kota di Indonesia. Ulama-ulama dari banyak sekali kawasan lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan pemberian terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin usang makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh lantaran itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melakukan acara gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses penilaian kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam acara gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang ketika itu digunakan istilah AIgemeene Vergadering (persidangan umum).
Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus berguru dan berbuat;
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak menawarkan anutan Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan bersedekah bagi masyarakat dan umat, dengan dasar kepercayaan dan Islam;
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diharapkan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa anutan Islam; dan
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah pecahan perempuan (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan perempuan Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
=========
Catatan Kaki:
1. Kutojo dan Safwan, 1991
2. Yunus Salam, 1968: 6
3. Yunus Salam, 1968: 9
4. Wahyudi, Jarot (2002). Burhanuddin, Jajat, ed. Nyai Ahmad Dahlan: Penggerak Perempuan Muhammadiyah. Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. pp. 39–67. ISBN 978-979-686-644-1.
5. Syoedja', Muhammad (1993). Cerita Tentang Kiyai Haji Ahmad Dahlan Catatan Haji Muhammad Syoedja'. Jakarta: Rhineka Cipta.
6. Sartono. "KH. A Dahlan, Wong Agung Dengan Makam Sederhana". Diakses tanggal 1 February 2015.
7. Bukan Ahmadiyyah yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Lihat: Mubarok, Aceng Husni (2010), Menziarahi Batu Nisan Tajdid: Refleksi Jelang Seabad Muhammadiyah, dalam "Satu Abad Muhammadiyah: Mengkaji Ulang Arah Pembaharuan", Dawam Rahardjo, dkk.
8. Ini bukan Ikhwanul Muslimun Hasan al-Banna.
9. Kutojo dan Safwan, 1991: 33
10. Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, Haedar Nashir, 2010
Sumber:
http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-156-det-kh-ahmad-dahlan.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Dahlan
http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-156-det-kh-ahmad-dahlan.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Dahlan
0 Komentar untuk "Kyai Haji Ahmad Dahlan (Ketua Muhammadiyah 1912-1922)"