Kyai Haji Ibrahim
(Ketua Muhammadiyah Periode 1923 - 1933)
Kyai Haji Ibrahim (lahir di Yogyakarta, 7 Mei 1874 – meninggal di Yogyakarta, 13 Oktober 1932 pada umur 58 tahun). Ia yaitu ketua umum Muhammadiyah yang kedua yang menggantikan KH. Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim yaitu putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sri Sultan Hamengkubuwono VII, dan ia yaitu adik kandung dari Nyai Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim yaitu ulama yang hafal Al-Quran (hafidh), mahir seni baca Al-Quran (qira'at), serta mahir dalam bahasa Arab. Pada periode kepemimpinannya, cabang-cabang Muhammadiyah banyak didirikan di banyak sekali daerah di Indonesia.
Sebelum Kyai Haji Ahmad Dahlan wafat, ia berpesan kepada para sahabatnya biar tongkat kepemimpinan Muhamadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim, adik ipar KHA. Dahlan. Mula-mula K.H. Ibrahim yang populer sebagai ulama besar menyatakan tidak sanggup memikul beban yang demikian berat itu. Namun, atas desakan sahabat-sahabatnya biar amanat pendiri Muhammadiyah sanggup dipenuhi, balasannya dia sanggup menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (Soedja‘, 1933: 232).
K.H. Ibrahim lahir di Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Ia yaitu putra K.H. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII OGRE(Soedja‘. 1933: 227), dan ia merupakan adik kandung Nyai Ahmad Dahlan.
Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja‘, 1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlangsung lama, sebab istrinya segera dipanggil menghadap Allah. Selang beberapa waktu kemudian Ibrahim menikah dengan ibu Moesinah, putri ragil dari K.H. Abdulrahman (adik kandung dari ibu Moechidah).
Ibu Moesinah (Nyai Ibrahim yang ke-2) dikaruniai usia yang cukup panjang yaitu hingga 108 tahun, dan gres meninggal pada 9 September 1998. Menurut evaluasi para sobat dan saudaranya, Ibu Moesinah Ibrahim merupakan potret perempuan zuhud, penyabar, gemar sholat malam dan gemar silaturahmi. Karena kepribadiannya itulah maka Hj. Moesinah sering dikatakan sebagai ibu pola (Suara ‘Aisyiyah. No.1/1999: 20).
Masa kecil Ibrahim dilalui dalam asuhan orang tuanya dengan diajarkan mengkaji Al-Qur’an semenjak usia 5 tahun. Ia juga dibimbing memperdalam ilmu agama oleh saudaranya sendiri (kakak tertua), yaitu KH. M. Nur. Ia menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut ilmu di Mekkah selama lebih kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902 ia pulang ke tanah air sebab ayahnya sudah lanjut usia.
K.H. Ibrahim yang selalu mengenakan jubah panjang dan sorban dikenal sebagai ulama besar dan cerdik tinggi. Setibanya di tanah air, K.H. Ibrahim mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Banyak orang berduyun-duyun untuk mengaji ke hadapan K.H. Ibrahim. Beliau termasuk seorang ulama besar yang cerdas, luas wawasannya, sangat dalam ilmunya dan disegani. Ia hafal (hafidh) Al-Quran dan mahir qira’ah (seni baca Al-Quran), serta mahir berbahasa Arab. Sebagai seorang Jawa, ia sangat dikagumi oleh banyak orang sebab keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur’an dan bahasa Arab. Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah al-’arsy atau kini disebut khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi Sumatera Barat pada tahun 1939, ia memberikan dalam bahasa Arab yang fasih.
K.H. Ibrahim juga memimpin kaum ibu supaya rajin bersedekah dan beribadah, senantiasa mengingat Allah, rajin mengerjakan perintah agama Islam dan diberi nama Adz-Dzakiraat (Soedja‘, 1933: 136). Perkumpulan Adz-Dzakiraat ini banyak menawarkan jasa kepada Muham-madiyah dan ‘Aisyiyah, contohnya banyak membantu pencarian dana untuk Kas Muhammadiyah, ‘Aisyiyah, PKU, Bagian Tabligh, dan Bagian Taman Poestaka.
Pengajian yang diasuh K.H. Ibrahim itu menggunakan metode sorogan dan weton. Pengajian dilaksanakan setiap hari, kecuali hari Jum‘at dan Selasa. Dalam menerapkan dua macam metode tersebut, digunakan waktu yang berbeda, yaitu :
1. Pada pagi hari mulai pukul 07.00 hingga 09.00 dengan cara sorogan, yaitu mengaji dengan diajar seorang demi seorang/satu persatu, terutama untuk bawah umur muda yang ada di Kauman pada dikala itu.
2. Pada waktu sore hari sehabis Ashar hingga kurang lebih pukul 17.00 dengan cara weton, yaitu mengajar mengaji dengan cara Kyai membaca sedang santri-santrinya mendengarkan dengan memegang kitabnya masing-masing.
Semenjak kepemimpinan K.H. Ibrahim, kemajuan Muhammadiyah begitu pesat. Muhammadiyah berkembang di seluruh Indonesia, dan meresap di seluruh Jawa dan Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta, menyerupai Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Solo, Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang. Dengan berpindah-pindahnya daerah kongres tersebut, maka Muhammadiyah sanggup meluas ke seluruh wilayah Indonesia.
Menurut catatan K.H. AR. Fachruddin (1991), pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim, kegiatan-kegiatan yang sanggup dikatakan menonjol, penting dan patut dicatat adalah: tahun 1924, K.H. Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang bertujuan membiayai sekolah untuk bawah umur miskin. Pada tahun 1925, ia juga mengadakan khitanan massal. Disamping itu, ia juga mengadakan perbaikan tubuh perkawinan untuk menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga secara gencar disebarluaskan ke luar Jawa (AR Fachruddin, 1991).
Pada periode kepemimpinan K.H. Ibrahim, Muhammadiyah semenjak tahun 1928 mengirim putra-putri lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah (Mu‘allimin, Mu‘allimat, Tabligh School, Normaalschool) ke seluruh pelosok tanah air, yang kemudian di kenal dengan ‘anak panah Muhammadiyah’ (AR Fachruddin, 1991).
Pada Kongres Muhammadiyah di Solo tahun 1929, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My, yaitu tubuh perjuangan penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernaung di bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan gambar Ahmad Dahlan sebab pada dikala itu ada tanda-tanda mengkultuskan beliau. Sementara dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar tahun 1932 diputuskan supaya Muhammadiyah menerbitkan surat kabar (dagblaad). Untuk pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di kemudian hari dinamakan Adil.
K.H. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam sepuluh kali Kongres Muhammadiyah. Selama periode kepemimpinannya, ia lebih banyak menawarkan kebebasan gerak bagi angkatan muda untuk mengekspresikan aktivitasnya dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Di samping itu, ia juga berhasil membimbing gerakan Aisyiyah untuk semakin maju, tertib, dan kuat. Ia juga berhasil meningkatkan kualitas takmirul masajid (pengelolaan masjid-masjid), serta berhasil pula dalam mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat.
Dalam masa kepemimpinannya, Muhammadiyah pernah mengalami fitnah dari pihak-pihak yang tidak suka akan kemajuan Muhammadiyah. Muhammadiyah dan pengurus besarnya dianggap sebagai kaki tangan Politieke Economische Bond (PEB), sebuah organisasi yang dibuat oleh persatuan pabrik gula yang dimiliki Belanda. Tujuan PEB ialah untuk mengatur koordinasi dan kerjasama antar-pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam produksi, pemasaran dan juga dalam aspek sosial-budaya yang ada hubungannya dengan politik-ekonomi pabrik gula.
PEB mendirikan perkumpulan dengan nama Jam’iyatul Hasanah yang bertujuan untuk menghimpun guru-guru agama dan membiayai mereka untuk mengajarkan agama Islam kepada buruh-buruh di pabrik gula. Dengan demikian, fitnahan terhadap Pengurus Besar Muhammadiyah semakin besar sebab Pengurus Besar Muhammadiyah dianggap telah bekerja-sama dan mendapatkan dana dari PEB yang merupakan kaki-tangan Belanda. Namun fitnahan tersebut sanggup diatasi dengan keterbukaan dalam kepemimpinan K.H. Ibrahim dengan mengundang para utusan dari Cabang-cabang Muhammadiyah untuk menilik keuangan dan notulensi rapat di Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogyakarta, dan terbukti fitnahan tersebut tidak benar.
Pada periode kepemimpinan K.H. Ibrahim telah diselenggarakan sepuluh kali Rapat Tahunan Muhammadiyah. Mulai tahun 1926, istilah Rapat Tahunan Muhammadiyah diganti menjadi Kongres Muhammadiyah, mengambil daerah di Surabaya sebagai Kongres Muhammadiyah ke-5.
K.H. Ibrahim wafat dalam usia yang masih sangat muda, 46 tahun, pada awal tahun 1934, setelah menderita sakit agak lama. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat, bahkan pada Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan K.H. Ibrahim) Cabang-cabang Muhammadiyah telah bangun hampir di seluruh tanah air.
Sumber:
- http://m.muhammadiyah.or.id/id/content-157-det-kyai-haji-ibrahim.html
- https://id.wikipedia.org/wiki/Kyai_Haji_Ibrahim
0 Komentar untuk "Kyai Haji Ibrahim (Ketua Muhammadiyah Masa 1923 - 1933)"