Disclaimer :
Tulisan ini cuma bimbingan bagi mereka yang ingin santai, tidak sesuai dipakai buat mereka punya sasaran pencapaian berhasil demi menunjukan kapasitas diri pada dunia.
• • • • •
"Buktikan terhadap dunia, jikalau kau bisa."
"Buktikan terhadap orang yang mencurigai kau selama ini, bahwa kau hebat."
"Balas dendam terbaik merupakan dengan menunjukan ke orang-orang yang merendahkan kau selama ini, bahwa kau sanggup lebih berhasil darinya."
Keywordnya nyaris semua sama: Buktikan.
Saat kita punya sesuatu yang mematik semangat untuk melakukan pekerjaan keras, bergotong-royong sudah nilai plus. Karena itu artinya kita punya argumentasi kuat, kenapa mesti sukses. Hingga perjuangan yang dikeluarkan sanggup lebih maksimal, kemudian hasil jadi lebih optimal.
Setidaknya itu jauh lebih baik dibandingkan dengan saya, yang sudah umur 34 belum pernah menerima argumentasi apapun, kenapa saya mesti "sukses" dengan standard kebanyakan.
Mungkin dikarenakan motto orang-orang 'malas' menyerupai kami adalah, "Kalau orang lain sanggup sukses, kenapa mesti saya?"
***
Membuktikan kapasitas diri itu perlu, tetapi dikala ingin menunjukan kapasitas diri didepan orang lain, ini kelak akan menjadi bumerang dikala reaksi orang malah rampung menyakitkan.
Bagi saya pribadi, orang lain cuma boleh 'menghantui' saya pada dua hal saja: kesalahan saya padanya, dan hutang yang belum terbayarkan.
Kalau kata-kata menyakitkan, merendahkan, dari orang lain, tak asik rasanya jikalau dibiarkan menghantui hidup. Hingga kelak merasa perlu menunjukan padanya.
Emangnya siapa dia? Sampai omongannnya kita pertimbangkan betul.
Saya pernah sanggup kata bijak, bahwa yang semestinya kita pertimbangkan merupakan BUKAN bagaimana menjadi lebih baik dari orang lain, MELAINKAN bagaimana menjadi lebih baik dari kemarin.
Jadi kalaupun ingin berbincang kapasitas diri, cukuplah alasannya ingin menaikkan passion atau potensi yang sudah dianugrahkan Tuhan pada kita. Ingin membahagiakan diri sendiri, dengan berupaya memperbaiki kondisi ekonomi.
Jangan alasannya ingin didikte oleh kalimat orang lain, yang pernah merendahkan kita.
Karena di saat orang gak suka, sekalipun kita berhasil nanti, ada aja celahnya bagi ia untuk menerima kejelekan kita. Sekalipun keberhasilan sudah dalam genggaman orang yang pernah direndahkannya.
Belajarlah dari kasus, Indra Kenz, Doni Salmanan, dan Juragan 99.
Bagaimana flexing (pamer kekayaan) yang mereka laksanakan selaku langkah menunjukan diri ke orang-orang, bahwa ia sukses, malah rampung pahit.
Kalau ingin kaya, ya alasannya ingin makmur saja. Jangan alasannya ingin menunjukan ke orang lain. Itu artinya hidup anda masih didekte oleh persepsi orang.
Saya ingat ada seorang selebgram yang juga Flexing. Saat ia terlihat bagus menyerupai boneka, netizen memaki jikalau itu alasannya over kosmetik doang. Lalu ia berusah menunjukan dengan posting muka bare face.
Saat ia memamerkan pola hidup jetset, netizen memaki lagi katanya cuma modal pinjaman, atau barang KW. Trus ia coba buktikan lagi dengan posting dikala beli tas branded harga mahal.
Setelah berupaya menunjukan kemudian netizen bilang lagi lagi, jikalau orang menyerupai ia bisanya buang-buang yang doang, padahal banyak orang membutuhkan. Gak ada empati, jarang sedekah.
Nah, setelahnya ia malah posting foto lagi bagi-bagi duit ke cleaning service.
Duh, kecapekan banget jadi orang kaya dan bagus jikalau semua pengen dibuktikan pada khalayak ramai.
Padahal tanpa flexing pun, orang kaya tetap kaya. Kalau semua mesti dibuktikan, masak iya mesti habisin waktu buat ladeni perkataan orang doang. Yakin gak capek?
Kecuali untuk marketing, mungkin itu diluar pembahasan ini. Tapi, tetap saja, flexing itu bukan cara yang ahsan dalam dalam bermuamalah.
Mari hidup bahagia, tanpa perlu dipengaruhi orang lain. Kalau kaya ya kaya saja, jangan mesti semua dibuktikan. Belajarlah dari Tukang Parkir, sebanyak apapun mobilnya, ia tak suka pamer, alasannya tau jikalau itu semua cuma titipan.
Tulisan ini cuma bimbingan bagi mereka yang ingin santai, tidak sesuai dipakai buat mereka punya sasaran pencapaian berhasil demi menunjukan kapasitas diri pada dunia.
• • • • •
Memperhatikan bagaimana orang mengawali bisnis, saya acapkali mendapat kalimat motivasi selaku berikut.
"Buktikan terhadap dunia, jikalau kau bisa."
"Buktikan terhadap orang yang mencurigai kau selama ini, bahwa kau hebat."
"Balas dendam terbaik merupakan dengan menunjukan ke orang-orang yang merendahkan kau selama ini, bahwa kau sanggup lebih berhasil darinya."
Keywordnya nyaris semua sama: Buktikan.
Saat kita punya sesuatu yang mematik semangat untuk melakukan pekerjaan keras, bergotong-royong sudah nilai plus. Karena itu artinya kita punya argumentasi kuat, kenapa mesti sukses. Hingga perjuangan yang dikeluarkan sanggup lebih maksimal, kemudian hasil jadi lebih optimal.
Setidaknya itu jauh lebih baik dibandingkan dengan saya, yang sudah umur 34 belum pernah menerima argumentasi apapun, kenapa saya mesti "sukses" dengan standard kebanyakan.
Mungkin dikarenakan motto orang-orang 'malas' menyerupai kami adalah, "Kalau orang lain sanggup sukses, kenapa mesti saya?"
***
Membuktikan kapasitas diri itu perlu, tetapi dikala ingin menunjukan kapasitas diri didepan orang lain, ini kelak akan menjadi bumerang dikala reaksi orang malah rampung menyakitkan.
Bagi saya pribadi, orang lain cuma boleh 'menghantui' saya pada dua hal saja: kesalahan saya padanya, dan hutang yang belum terbayarkan.
Kalau kata-kata menyakitkan, merendahkan, dari orang lain, tak asik rasanya jikalau dibiarkan menghantui hidup. Hingga kelak merasa perlu menunjukan padanya.
Emangnya siapa dia? Sampai omongannnya kita pertimbangkan betul.
Saya pernah sanggup kata bijak, bahwa yang semestinya kita pertimbangkan merupakan BUKAN bagaimana menjadi lebih baik dari orang lain, MELAINKAN bagaimana menjadi lebih baik dari kemarin.
Jadi kalaupun ingin berbincang kapasitas diri, cukuplah alasannya ingin menaikkan passion atau potensi yang sudah dianugrahkan Tuhan pada kita. Ingin membahagiakan diri sendiri, dengan berupaya memperbaiki kondisi ekonomi.
Jangan alasannya ingin didikte oleh kalimat orang lain, yang pernah merendahkan kita.
Karena di saat orang gak suka, sekalipun kita berhasil nanti, ada aja celahnya bagi ia untuk menerima kejelekan kita. Sekalipun keberhasilan sudah dalam genggaman orang yang pernah direndahkannya.
Belajarlah dari kasus, Indra Kenz, Doni Salmanan, dan Juragan 99.
Bagaimana flexing (pamer kekayaan) yang mereka laksanakan selaku langkah menunjukan diri ke orang-orang, bahwa ia sukses, malah rampung pahit.
Kalau ingin kaya, ya alasannya ingin makmur saja. Jangan alasannya ingin menunjukan ke orang lain. Itu artinya hidup anda masih didekte oleh persepsi orang.
Saya ingat ada seorang selebgram yang juga Flexing. Saat ia terlihat bagus menyerupai boneka, netizen memaki jikalau itu alasannya over kosmetik doang. Lalu ia berusah menunjukan dengan posting muka bare face.
Saat ia memamerkan pola hidup jetset, netizen memaki lagi katanya cuma modal pinjaman, atau barang KW. Trus ia coba buktikan lagi dengan posting dikala beli tas branded harga mahal.
Setelah berupaya menunjukan kemudian netizen bilang lagi lagi, jikalau orang menyerupai ia bisanya buang-buang yang doang, padahal banyak orang membutuhkan. Gak ada empati, jarang sedekah.
Nah, setelahnya ia malah posting foto lagi bagi-bagi duit ke cleaning service.
Duh, kecapekan banget jadi orang kaya dan bagus jikalau semua pengen dibuktikan pada khalayak ramai.
Padahal tanpa flexing pun, orang kaya tetap kaya. Kalau semua mesti dibuktikan, masak iya mesti habisin waktu buat ladeni perkataan orang doang. Yakin gak capek?
Kecuali untuk marketing, mungkin itu diluar pembahasan ini. Tapi, tetap saja, flexing itu bukan cara yang ahsan dalam dalam bermuamalah.
Mari hidup bahagia, tanpa perlu dipengaruhi orang lain. Kalau kaya ya kaya saja, jangan mesti semua dibuktikan. Belajarlah dari Tukang Parkir, sebanyak apapun mobilnya, ia tak suka pamer, alasannya tau jikalau itu semua cuma titipan.
Sumber: Facebook Safrina Syams
Sumber https://www.juragandesa.id
0 Komentar untuk "Tidak Ada Yang Perlu Dibuktikan"