Di sosial media ini, saya kerap sekali mendapatkan komentar miring tentang Aceh. Mulai dari yang menyampaikan munafik, sok suci, ekstrim, hingga mendoakan biar kami kena Tsunami lagi. Terlebih jika ada info aturan cambuk, itu pada banjir sumpah serapah. Seolah jika suami atau istri mereka tertangkap berair selingkuh, cuma lapang dada dieksekusi hafal surat 3 Qul saja. Jangan dicambuk.
Karena ini peristiwa langka, saya menegaskan mengscreenshoot beberapa saja. Karena, jika dulunya framing jelek rata-rata ditulis oleh yang BELUM pernah ke Aceh, maka yang saya screenshot kali ini, yakni ratifikasi dari mereka yang SUDAH pribadi ke Aceh dan menyaksikan sendiri faktanya.
***
Walau tak sepenuhnya benar yang dipaparkan oleh akun Merinding dan Islamiqpedia, namun sesungguhnya itu sudah cukup mewakili bagaimana betahnya kami di tanah sendiri, sekalipun diluaran sana entah seburuk apa yang orang pikirkan.
Sebagai penyeimbang. Saya selaku orang Aceh akan memaparkan 10 hal yang tidak ada di sini selaku pertimbangan apakah anda akan betah jika tinggal di sini.
1. Tidak ada Mixue dan McDonald's
Jangan cari salah satu produk China dan Amerika tersebut disini. Kedua gerai itu memang nyaris merata di seluruh provinsi, namun tidak demikian dengan di sudut paling barat Indonesia.
Untungnya para warga masih belum jenuh dengan Mie Aceh dan sanger. Sekalipun begitu gampang mencari warung kopi yang menjajakan keduanya disini --karena tiap kilometer sudah niscaya ada-- anehnya belum ada kata cukup untuk Mie Aceh dan Sanger. Ayam Tangkap Aceh juga jauh lebih kaya rempah ketimbang ayam bikinan bangsa kulit putih. Ketiadaan Mixue dan McDonald's bukan problem besar.
2. Tidak ada tempat hiburan. Tidak ada Mall, Bioskop & Diskotik.
Untungnya Aceh itu dikelilingi lautan. Kita punya pemandangan laut yang begitu biru, dipadukan bunyi deburan ombak, serta suguhan ikan bakar nan segar; di nyaris semua kabupaten. Apalagi daya tarik Sabang, Pulau Banyak dan Danau Laut Tawar.
Kesemua itu terlalu bermanfaat untuk ditukar dengan suatu kondisi gelap, diiringi kegaduhan musik dan bacin alkohol, menyerupai tempat berjulukan diskotik.
Aceh kurang hiburan?
Saya jadi ingat kata Koh Denis, bahwa suatu bangsa yang maju peradabannya itu umumnya alasannya orang-orang disana suka dengan keilmuan. Jadi, orang sibuk mencari tempat menuntut ilmu. Tidak pernah ada dalam sejarah negara maju, bahwa mereka maju alasannya gemar ke tempat hiburan.
Jangankan Diskotik, tempat karoke di Aceh saja cuma sanggup dijumlah dengan sebelah tangan. Itupun jika masih ada.
Universitas Syiah Kuala dikala ini acap kali masuk 10 besar kampus terbaik di Indonesia oleh banyak sekali versi. Dan UIN Ar-Raniry masuk 5 besar perguruan tinggi Tinggi Keagamaan Terbaik model Kamenag.
3. Tidak Ada Orang Kaya.
Karena konon katanya ini provinsi miskin, jadi masuk akal ya jika gak banyak orang kaya. Disini tidak terkenal menggelar resepsi glamor di hotel. Tapi selama tiga bulan maulid, sejak Rabiul Awal hingga Jumadil Awal, sanggup ditentukan warga disini kenyang dengan jamuan kenduri dari seluruh tempat.
Di Aceh juga tak biasa menyebut emas dengan satuan gram. Di sini hitungan berat yang dipakai yakni Mayam (1 Mayam = 3,3 gram). Makara dalam lafadz Ijab Qabul ijab kabul nyaris semua maharnya pakai Mayam. Kalau wanita tempat Kutaradja umumnya 10-15 mayam. Dan kawasan Sigli sanggup 2x atau 3x lipat dari itu. Walaupun dinobatkan selaku provinsi miskin, emas sebanyak itu tetap akan dipenuhi oleh laki-laki Aceh yang betul-betul menginginkan pernikahan.
Selain itu di Aceh juga ada tradisi Mak Meugang, dimana dua hari sebelum Ramadhan warga beramai-ramai berburu satu atau dua kilo daging sapi untuk diolah aneka kuah untuk antisipasi puasa. Dua atau tiga suguhan olahan daging sudah niscaya diusahakan ada, meski bukan orang kaya.
Dan walau dikata provinsi miskin, namun uniknya cikal bakal pesawat pertama Indonesia serta emas di puncak monas, juga atas sumbangan orang miskin disini.
4. Tidak ada Cafee/Toko yang buka dikala Magrib dan Jumat.
Disini toko-toko akan tutup semua jika Maghrib. Mungkin alasannya tradisi dahulu jika Maghrib yakni waktu sakral; untuk pergi mengaji. Makara meskipun kini belum dewasa pergi mengaji sudah sore, tradisi ini masih berumur panjang. Kalaupun ada warung kopi atau Cafee yang bandel, mereka bakal tutup di luarnya saja dan membiarkan hadirin yang belum pulang untuk tetap disana. Alias tidak mendapatkan hadirin gres selama Maghrib.
5. Tidak ada bikini.
Kalau non muslim tetap ada yang pakai You Can See atau celana pendek kok, namun jika Bikini memang gak pernah ada ceritanya sekalipun terlihat di pantai. Kecuali di Sabang barangkali, pulau eksotis itu memang jadi incaran pelancong mancanegara.
6. Tidak ada begal dan tawuran.
Tidak pernah ada, dan mudah-mudahan saja tidak akan pernah terjadi dua hal tersebut di Aceh. Bila dibandingkan kota-kota besar, tingkat kejahatan di Aceh masih sungguh jauh lebih rendah.
Inilah yang bikin kami merasa tenteram sekali hidup disini. Semiskin-miskin orang Aceh, tak ada yang tega untuk merampas harta orang dengan cara sadis.
8. Tidak ada tempat di hati kami untuk orang Jawa.
Saya kaget, hingga tahun 2023, masih saja menerima tuduhan bahwa Aceh tidak senang Jawa; hingga diperlakukan jelek disini. Begini, biar kita ringkaskan duduk perkaranya.
Pernah diperlakukan tidak manusiawi oleh pemerintah sentra (dalam hal ini aparat); dibentuk cacat seumur hidup, diperkosa, dibantai secara massal; menghasilkan Aceh dahulu melampiaskan amarahnya pada orang Jawa.
Namun itu cuma suatu masa lalu, dikala masa konflik.
Datanglah ke Aceh sekarang. Lalu lihat, betapa banyaknya orang jawa yang menegaskan menetap disini sudah puluhan tahun (mulai dikala transmigrasi) dan terus meningkat pendatang gres hingga sekarang. Kalau seandainya mendapatkan perlakuan tak baik, tentu sudah dari dahulu mereka angkat kaki.
Ada pedagang perkakas rumah tangga, es dawet, siomay, kemudian lalang di tiap desa. Saat Wong Solo sudah sepi peminat di pulau Jawa sana, nyatanya ada 5 cabang di Banda Aceh. Selain itu orang Aceh tidak sanggup menghasilkan Mie Ayam atau Mie Pangsit seenak olahan orang Jawa. Makara jangan heran, jika disini cuma di tempat yang dijual oleh orang Jawa yang ramai peminatnya.
Masih berani bilang orang Jawa jangan tiba ke Aceh?
9. Tidak ada bank lain selain Bank Syariah.
Ini masih polemik. Tapi saya pribadi tetap ingin bank syariah panjang umurnya, sehat selalu. Walaupun kemarin sempat berurusan selama beberapa hari.
10. Tidak ada kata terima kasih.
Dalam bahasa Aceh tidak ada persamaan kata yang cocok untuk kata terima kasih. Kalau ada yang menyampaikan Teurimong Geunaseh itu hanyalah terjemahan paksa. Karena lazimnya orang dulu, jika ada pemberian maupun pemberian yang bagus dari seseorang, mereka akan mengucapkan Alhamdulillah. Lalu dibumbui dengan sedikit kebanggaan atau doa, agar yang menolong mereka diberikan kesehatan, kemudahan, atau rezeki yang berlimpah.
Ya alasannya pada hakikatnya segenap lezat munculnya dari Allah, dan insan cuma wasilah, jadi syukur tetap terhadap Allah yang utama. Tanpa luput menghendaki dan membalas kebaikan dari orang yang sudah berbuat baik terhadap mereka.
***
Jadi bagaimana, kira-kira akan betah tinggal di Aceh?
Namun anehnya, belakangan sempat rame artikel di Instagram tentang betapa nyamannya Aceh. Gak cuma di satu akun berita.
Karena ini peristiwa langka, saya menegaskan mengscreenshoot beberapa saja. Karena, jika dulunya framing jelek rata-rata ditulis oleh yang BELUM pernah ke Aceh, maka yang saya screenshot kali ini, yakni ratifikasi dari mereka yang SUDAH pribadi ke Aceh dan menyaksikan sendiri faktanya.
***
Walau tak sepenuhnya benar yang dipaparkan oleh akun Merinding dan Islamiqpedia, namun sesungguhnya itu sudah cukup mewakili bagaimana betahnya kami di tanah sendiri, sekalipun diluaran sana entah seburuk apa yang orang pikirkan.
Sebagai penyeimbang. Saya selaku orang Aceh akan memaparkan 10 hal yang tidak ada di sini selaku pertimbangan apakah anda akan betah jika tinggal di sini.
1. Tidak ada Mixue dan McDonald's
Jangan cari salah satu produk China dan Amerika tersebut disini. Kedua gerai itu memang nyaris merata di seluruh provinsi, namun tidak demikian dengan di sudut paling barat Indonesia.
Untungnya para warga masih belum jenuh dengan Mie Aceh dan sanger. Sekalipun begitu gampang mencari warung kopi yang menjajakan keduanya disini --karena tiap kilometer sudah niscaya ada-- anehnya belum ada kata cukup untuk Mie Aceh dan Sanger. Ayam Tangkap Aceh juga jauh lebih kaya rempah ketimbang ayam bikinan bangsa kulit putih. Ketiadaan Mixue dan McDonald's bukan problem besar.
2. Tidak ada tempat hiburan. Tidak ada Mall, Bioskop & Diskotik.
Untungnya Aceh itu dikelilingi lautan. Kita punya pemandangan laut yang begitu biru, dipadukan bunyi deburan ombak, serta suguhan ikan bakar nan segar; di nyaris semua kabupaten. Apalagi daya tarik Sabang, Pulau Banyak dan Danau Laut Tawar.
Kesemua itu terlalu bermanfaat untuk ditukar dengan suatu kondisi gelap, diiringi kegaduhan musik dan bacin alkohol, menyerupai tempat berjulukan diskotik.
Aceh kurang hiburan?
Saya jadi ingat kata Koh Denis, bahwa suatu bangsa yang maju peradabannya itu umumnya alasannya orang-orang disana suka dengan keilmuan. Jadi, orang sibuk mencari tempat menuntut ilmu. Tidak pernah ada dalam sejarah negara maju, bahwa mereka maju alasannya gemar ke tempat hiburan.
Jangankan Diskotik, tempat karoke di Aceh saja cuma sanggup dijumlah dengan sebelah tangan. Itupun jika masih ada.
Universitas Syiah Kuala dikala ini acap kali masuk 10 besar kampus terbaik di Indonesia oleh banyak sekali versi. Dan UIN Ar-Raniry masuk 5 besar perguruan tinggi Tinggi Keagamaan Terbaik model Kamenag.
3. Tidak Ada Orang Kaya.
Karena konon katanya ini provinsi miskin, jadi masuk akal ya jika gak banyak orang kaya. Disini tidak terkenal menggelar resepsi glamor di hotel. Tapi selama tiga bulan maulid, sejak Rabiul Awal hingga Jumadil Awal, sanggup ditentukan warga disini kenyang dengan jamuan kenduri dari seluruh tempat.
Di Aceh juga tak biasa menyebut emas dengan satuan gram. Di sini hitungan berat yang dipakai yakni Mayam (1 Mayam = 3,3 gram). Makara dalam lafadz Ijab Qabul ijab kabul nyaris semua maharnya pakai Mayam. Kalau wanita tempat Kutaradja umumnya 10-15 mayam. Dan kawasan Sigli sanggup 2x atau 3x lipat dari itu. Walaupun dinobatkan selaku provinsi miskin, emas sebanyak itu tetap akan dipenuhi oleh laki-laki Aceh yang betul-betul menginginkan pernikahan.
Selain itu di Aceh juga ada tradisi Mak Meugang, dimana dua hari sebelum Ramadhan warga beramai-ramai berburu satu atau dua kilo daging sapi untuk diolah aneka kuah untuk antisipasi puasa. Dua atau tiga suguhan olahan daging sudah niscaya diusahakan ada, meski bukan orang kaya.
Dan walau dikata provinsi miskin, namun uniknya cikal bakal pesawat pertama Indonesia serta emas di puncak monas, juga atas sumbangan orang miskin disini.
4. Tidak ada Cafee/Toko yang buka dikala Magrib dan Jumat.
Disini toko-toko akan tutup semua jika Maghrib. Mungkin alasannya tradisi dahulu jika Maghrib yakni waktu sakral; untuk pergi mengaji. Makara meskipun kini belum dewasa pergi mengaji sudah sore, tradisi ini masih berumur panjang. Kalaupun ada warung kopi atau Cafee yang bandel, mereka bakal tutup di luarnya saja dan membiarkan hadirin yang belum pulang untuk tetap disana. Alias tidak mendapatkan hadirin gres selama Maghrib.
5. Tidak ada bikini.
Kalau non muslim tetap ada yang pakai You Can See atau celana pendek kok, namun jika Bikini memang gak pernah ada ceritanya sekalipun terlihat di pantai. Kecuali di Sabang barangkali, pulau eksotis itu memang jadi incaran pelancong mancanegara.
6. Tidak ada begal dan tawuran.
Tidak pernah ada, dan mudah-mudahan saja tidak akan pernah terjadi dua hal tersebut di Aceh. Bila dibandingkan kota-kota besar, tingkat kejahatan di Aceh masih sungguh jauh lebih rendah.
Inilah yang bikin kami merasa tenteram sekali hidup disini. Semiskin-miskin orang Aceh, tak ada yang tega untuk merampas harta orang dengan cara sadis.
8. Tidak ada tempat di hati kami untuk orang Jawa.
Saya kaget, hingga tahun 2023, masih saja menerima tuduhan bahwa Aceh tidak senang Jawa; hingga diperlakukan jelek disini. Begini, biar kita ringkaskan duduk perkaranya.
Pernah diperlakukan tidak manusiawi oleh pemerintah sentra (dalam hal ini aparat); dibentuk cacat seumur hidup, diperkosa, dibantai secara massal; menghasilkan Aceh dahulu melampiaskan amarahnya pada orang Jawa.
Namun itu cuma suatu masa lalu, dikala masa konflik.
Datanglah ke Aceh sekarang. Lalu lihat, betapa banyaknya orang jawa yang menegaskan menetap disini sudah puluhan tahun (mulai dikala transmigrasi) dan terus meningkat pendatang gres hingga sekarang. Kalau seandainya mendapatkan perlakuan tak baik, tentu sudah dari dahulu mereka angkat kaki.
Ada pedagang perkakas rumah tangga, es dawet, siomay, kemudian lalang di tiap desa. Saat Wong Solo sudah sepi peminat di pulau Jawa sana, nyatanya ada 5 cabang di Banda Aceh. Selain itu orang Aceh tidak sanggup menghasilkan Mie Ayam atau Mie Pangsit seenak olahan orang Jawa. Makara jangan heran, jika disini cuma di tempat yang dijual oleh orang Jawa yang ramai peminatnya.
Masih berani bilang orang Jawa jangan tiba ke Aceh?
Orang Jawa memang gak ada dihati. Tapi sudah ke jantung, lambung, darah semuanya. Wong makanannya semua udah dilahap sama orang disini hingga jadi darah.
9. Tidak ada bank lain selain Bank Syariah.
Ini masih polemik. Tapi saya pribadi tetap ingin bank syariah panjang umurnya, sehat selalu. Walaupun kemarin sempat berurusan selama beberapa hari.
10. Tidak ada kata terima kasih.
Dalam bahasa Aceh tidak ada persamaan kata yang cocok untuk kata terima kasih. Kalau ada yang menyampaikan Teurimong Geunaseh itu hanyalah terjemahan paksa. Karena lazimnya orang dulu, jika ada pemberian maupun pemberian yang bagus dari seseorang, mereka akan mengucapkan Alhamdulillah. Lalu dibumbui dengan sedikit kebanggaan atau doa, agar yang menolong mereka diberikan kesehatan, kemudahan, atau rezeki yang berlimpah.
Ya alasannya pada hakikatnya segenap lezat munculnya dari Allah, dan insan cuma wasilah, jadi syukur tetap terhadap Allah yang utama. Tanpa luput menghendaki dan membalas kebaikan dari orang yang sudah berbuat baik terhadap mereka.
***
Jadi bagaimana, kira-kira akan betah tinggal di Aceh?
Sumber: Facebook Safrina Syams
Sumber https://www.juragandesa.id
0 Komentar untuk "Sepuluh Hal Yang Tidak Ada Di Aceh"