Kemarin sempat baca status kawan, wacana cerita seorang perangkat desa-- perempuan-- dicopot sepihak oleh Pak Keuchik yang gres terpilih, dengan argumentasi yang tidak mengecewakan bikin kaget.
Ini jikalau didengar sama kaum feminis, tamatlah riwayat beliau. Padahal di Aceh, jangankan perangkat desa, kepala desanya aja udah ada beberapa yang perempuan.
Jauh sebelum itu, Cut Nyak Dhien sukses memimpin pasukan lelaki untuk berperang melawan Belanda. Ratu Safiatuddin pernah memimpin kerajaan terbesar di Aceh. Malahayati bahkan menjadi Laksamana wanita pertama di dunia. Perempuan yang sukses membunuh Cornelis de Houtman di atas geladak kapal, tak lebih dari satu jam pertempuran.
Entah bagaimana alhasil jikalau dikala itu mereka menegaskan di rumah saja.
Saya tak bermaksud membahas masalah bapak Keuchik tersebut sebenarnya, alasannya yakni telah masuk ke meja pengaduan Ombudsman. Tiga poin pelanggaran telah dikantongi forum ini, untuk menindaklanjuti masalah pemecatan sepihak tersebut.
Justru yang tiba-tiba melintas begitu saja di kepala, wacana imbas samping emansipasi buat para lelaki yang bahwasanya terdengar absurd, lucu, atau jangan-jangan mengenaskan.
Begini,
"Feminisme itu cuma ingin menguntungkan diri, bahwa wanita mesti lebih unggul dibandingkan dengan lelaki, cuma di bagian-bagian menguntungkan mereka saja."
Para feminis niscaya suka bila membahas takaran wanita yang mesti masuk tubuh legislatif atau pejabat publik. Tapi saya ragu mereka akan semangat bila membahas bagaimana jikalau wanita juga boleh diposisikan di penambangan di bawah tanah, atau jadi pekerja PLN yang benerin tiang listrik, seumpama yang didominasi laki-laki.
Padahal kan jikalau mau kesetaraan gender, ya setara aja semuanya, jangan cuma ambil enaknya aja. Lama-kelamaan justru kasihan sama kaum lelaki. Kadang kita wanita ini terlalu tamak minta diperhatikan.
Kita punya Rumah Sakit Ibu dan Anak. Mereka tidak.
Kita punya Komnas Perlindungan Perempuan, mereka tidak.
Kita punya Menteri Pemberdayaan Perempuan, mereka tidak.
Kita punya Miss Universe, mereka tidak.
Kita punya ibukota, mereka tidak. #eh
Untung mereka gak mau cari ribut sama kita. Karena jikalau yang meneriakkan kesetaraan gender itu bukan cuma perempuan, saya percaya lelaki pun minta diperhatikan.
Kita selama ini senantiasa menilai wanita yakni korban. Padahal wanita juga tak jarang jadi pelaku. Saya jadi ingat bagaimana salah satu penyanyi ganteng yang kesakitan, jawaban alat vitalnya di pegang para fans perempuan. Atau bagaimana seorang wanita di Jambi yang sukses melakukan hal tidak selayaknya pada belasan dewasa lelaki.
Saya bukan penganut paham "perempuan haram kerja diluar rumah" seumpama Pak Keuchik tersebut. Namun, jikalau feminisme terlalu kebablasan ini juga kurang asik. Bagaimanapun wanita dan lelaki tidak akan pernah sama. Kalau Sang Pencipta menghendaki demikian, untuk apa juga diciptakan perbedaan jenis kelamin? Bukankah simpel saja bagi Sang Maha Kuasa mengakibatkan kita hermafrodit aja semua.
Jadi, irit saya, jikalau dunia kita telah memaklumi dengan istri melakukan pekerjaan di kantor. Ya, mari sudah biasa juga dengan suami tinggal dirumah. Jangan disudutkan gitu, itu namanya tidak kesetaraan gender.
Saya kenal beberapa suami yang istrinya justru PNS, sementara sang kepala rumah tangga qadarullah lebih banyak stay di rumah.
Lalu kenapa juga orang-orang mesti menyudutkan "Bapak rumah tangga" selaku lelaki tak dapat diandalkan? Padahal dapat saja bawah umur terawat baik dalam penjagaannya.
Walau mungkin tatanan fitrah memang sedikit kacau, ya mau gimana ... kesetaraan gender kadung ada.
Padahal bagi saya pribadi, wanita dan lelaki tidak akan pernah dapat disamakan. Ada hal-hal yang lebih unggul dijalankan lelaki, ada yang lebih unggul dijalankan perempuan, mudah-mudahan keduanya saling melengkapi satu sama lain. Saling membutuhkan.
Mungkin pak Keuchik tadi bahwasanya cuma lagi ngambek, alasannya yakni wanita makin sering merebut jatah-jatah yang menguntungkan lelaki, dan di waktu yang serupa klan mereka makin tak dapat membela diri atas nama emansipasi. Karena ujung-ujungnya wanita senantiasa menang.
Lihat aja tuh contohnya, dikala wanita dijadikan ketua DPR-RI, mic aja dapat dimatikan. Atau dikala ketua partainya perempuan, presiden aja dapat dipermalukan sama dia.
Makanya saya bilang, acapkali kaum lelaki itu bahwasanya kadang menyedihkan di tangan perempuan. Mau dilawan takut dikatakan "beraninya cuma sama perempuan!"
Seolah wanita yakni makhluk lemah. Padahal jikalau wanita lemah, kenapa obat berefek justru dibentuk untuk lelaki? Hayoo, kenapa!
Pembentukan "menteri pemberdayaan perempuan" juga seolah ingin menegaskan bahwa wanita itu perlu diberdayakan (karena tak berdaya). Nyatanya kita kuat-kuat aja kok, dapat bertahan dalam banyak sekali cobaan hidup.
Saya rasa justru kini ini yang perlu di tunjuk itu mentri pemberdayaan lelaki.
Kenapa?
Karena terlalu banyak lelaki yang makin tak berdaya. Saya rasa perlu kementerian khusus untuk kembali menyadarkan lelaki mudah-mudahan kembali gagah dan handal seumpama kodratnya. Terutama untuk mempekerjakan lagi para kaum tulang lunak, mudah-mudahan jadi kaum tulang keras.
Seperti, mengembalikan Lucinta Luna menjadi M. Fattah, atau mengedukasi pria-pria seumpama Mario --anak si pejabat pajak-- mudah-mudahan tak begitu simpel diperbudak oleh perempuan.
Lihat itu, gara-gara menuruti kemauan pacarnya. Sudahlah masuk penjara, ayahnya kehilangan jabatan, bahkan nama institusi pajak rusak gara-gara kelabilan seorang perempuan.
Bahwa wanita haram melakukan pekerjaan di luar rumah.
Ini jikalau didengar sama kaum feminis, tamatlah riwayat beliau. Padahal di Aceh, jangankan perangkat desa, kepala desanya aja udah ada beberapa yang perempuan.
Jauh sebelum itu, Cut Nyak Dhien sukses memimpin pasukan lelaki untuk berperang melawan Belanda. Ratu Safiatuddin pernah memimpin kerajaan terbesar di Aceh. Malahayati bahkan menjadi Laksamana wanita pertama di dunia. Perempuan yang sukses membunuh Cornelis de Houtman di atas geladak kapal, tak lebih dari satu jam pertempuran.
Entah bagaimana alhasil jikalau dikala itu mereka menegaskan di rumah saja.
Saya tak bermaksud membahas masalah bapak Keuchik tersebut sebenarnya, alasannya yakni telah masuk ke meja pengaduan Ombudsman. Tiga poin pelanggaran telah dikantongi forum ini, untuk menindaklanjuti masalah pemecatan sepihak tersebut.
Justru yang tiba-tiba melintas begitu saja di kepala, wacana imbas samping emansipasi buat para lelaki yang bahwasanya terdengar absurd, lucu, atau jangan-jangan mengenaskan.
Begini,
Walau saya gak suka sama Dedy Corbuzier, tetapi ada satu statementnya saya ingat yang kurang lebih begini.
"Feminisme itu cuma ingin menguntungkan diri, bahwa wanita mesti lebih unggul dibandingkan dengan lelaki, cuma di bagian-bagian menguntungkan mereka saja."
Para feminis niscaya suka bila membahas takaran wanita yang mesti masuk tubuh legislatif atau pejabat publik. Tapi saya ragu mereka akan semangat bila membahas bagaimana jikalau wanita juga boleh diposisikan di penambangan di bawah tanah, atau jadi pekerja PLN yang benerin tiang listrik, seumpama yang didominasi laki-laki.
Padahal kan jikalau mau kesetaraan gender, ya setara aja semuanya, jangan cuma ambil enaknya aja. Lama-kelamaan justru kasihan sama kaum lelaki. Kadang kita wanita ini terlalu tamak minta diperhatikan.
Kita punya Rumah Sakit Ibu dan Anak. Mereka tidak.
Kita punya Komnas Perlindungan Perempuan, mereka tidak.
Kita punya Menteri Pemberdayaan Perempuan, mereka tidak.
Kita punya Miss Universe, mereka tidak.
Kita punya ibukota, mereka tidak. #eh
Untung mereka gak mau cari ribut sama kita. Karena jikalau yang meneriakkan kesetaraan gender itu bukan cuma perempuan, saya percaya lelaki pun minta diperhatikan.
Kita selama ini senantiasa menilai wanita yakni korban. Padahal wanita juga tak jarang jadi pelaku. Saya jadi ingat bagaimana salah satu penyanyi ganteng yang kesakitan, jawaban alat vitalnya di pegang para fans perempuan. Atau bagaimana seorang wanita di Jambi yang sukses melakukan hal tidak selayaknya pada belasan dewasa lelaki.
Saya bukan penganut paham "perempuan haram kerja diluar rumah" seumpama Pak Keuchik tersebut. Namun, jikalau feminisme terlalu kebablasan ini juga kurang asik. Bagaimanapun wanita dan lelaki tidak akan pernah sama. Kalau Sang Pencipta menghendaki demikian, untuk apa juga diciptakan perbedaan jenis kelamin? Bukankah simpel saja bagi Sang Maha Kuasa mengakibatkan kita hermafrodit aja semua.
Jadi, irit saya, jikalau dunia kita telah memaklumi dengan istri melakukan pekerjaan di kantor. Ya, mari sudah biasa juga dengan suami tinggal dirumah. Jangan disudutkan gitu, itu namanya tidak kesetaraan gender.
Saya kenal beberapa suami yang istrinya justru PNS, sementara sang kepala rumah tangga qadarullah lebih banyak stay di rumah.
Lalu kenapa juga orang-orang mesti menyudutkan "Bapak rumah tangga" selaku lelaki tak dapat diandalkan? Padahal dapat saja bawah umur terawat baik dalam penjagaannya.
Walau mungkin tatanan fitrah memang sedikit kacau, ya mau gimana ... kesetaraan gender kadung ada.
Padahal bagi saya pribadi, wanita dan lelaki tidak akan pernah dapat disamakan. Ada hal-hal yang lebih unggul dijalankan lelaki, ada yang lebih unggul dijalankan perempuan, mudah-mudahan keduanya saling melengkapi satu sama lain. Saling membutuhkan.
Mungkin pak Keuchik tadi bahwasanya cuma lagi ngambek, alasannya yakni wanita makin sering merebut jatah-jatah yang menguntungkan lelaki, dan di waktu yang serupa klan mereka makin tak dapat membela diri atas nama emansipasi. Karena ujung-ujungnya wanita senantiasa menang.
Lihat aja tuh contohnya, dikala wanita dijadikan ketua DPR-RI, mic aja dapat dimatikan. Atau dikala ketua partainya perempuan, presiden aja dapat dipermalukan sama dia.
Makanya saya bilang, acapkali kaum lelaki itu bahwasanya kadang menyedihkan di tangan perempuan. Mau dilawan takut dikatakan "beraninya cuma sama perempuan!"
Seolah wanita yakni makhluk lemah. Padahal jikalau wanita lemah, kenapa obat berefek justru dibentuk untuk lelaki? Hayoo, kenapa!
Pembentukan "menteri pemberdayaan perempuan" juga seolah ingin menegaskan bahwa wanita itu perlu diberdayakan (karena tak berdaya). Nyatanya kita kuat-kuat aja kok, dapat bertahan dalam banyak sekali cobaan hidup.
Saya rasa justru kini ini yang perlu di tunjuk itu mentri pemberdayaan lelaki.
Kenapa?
Karena terlalu banyak lelaki yang makin tak berdaya. Saya rasa perlu kementerian khusus untuk kembali menyadarkan lelaki mudah-mudahan kembali gagah dan handal seumpama kodratnya. Terutama untuk mempekerjakan lagi para kaum tulang lunak, mudah-mudahan jadi kaum tulang keras.
Seperti, mengembalikan Lucinta Luna menjadi M. Fattah, atau mengedukasi pria-pria seumpama Mario --anak si pejabat pajak-- mudah-mudahan tak begitu simpel diperbudak oleh perempuan.
Lihat itu, gara-gara menuruti kemauan pacarnya. Sudahlah masuk penjara, ayahnya kehilangan jabatan, bahkan nama institusi pajak rusak gara-gara kelabilan seorang perempuan.
Sumber: Facebook Safrina Syams
Sumber https://www.juragandesa.id
0 Komentar untuk "Tentang Kaum Laki-Laki Yang Malang"