Dikala Wanita Menjadi Lawan Untuk Kaumnya Sendiri

Beberapa waktu kemudian saya sempat menyaksikan suatu Vidio yang diposting oleh seorang perempuan barat. Sangat memanjakan mata, alasannya merekam bagaimana ia bangkit pagi, memajukan sarapan, berkebun, menghasilkan kue, hingga ditutup dengan masak malam. Pengambilannya terlihat mewah dan sungguh profesional, belum lagi memang rumahnya sungguh baik dan asri, dipadukan dengan musik yang mewakili betapa hening hidup yang ia miliki.
Beberapa waktu kemudian saya sempat menyaksikan suatu Vidio yang diposting oleh seorang perempuan  Saat Perempuan Menjadi Musuh Untuk Kaumnya Sendiri

Caption yang berlangsung di setiap scene pun begitu menawan (setidaknya menurut saya). Kurang lebih di kalimat pembuka ia mengatakan, bahwa ia tak mau melakukan pekerjaan kantoran, tak pula ingin jadi boss.
Perempuan ini ingin menikmati hari dengan hal mengasyikkan (baginya), menyerupai bangkit pagi dan sarapan santai tanpa mesti terburu-buru ngantor. Menghabiskan waktu lebih banyak di rumah dengan berkebun, menjajal resep-resep masakan ringan manis baru, merajut, membaca buku, hingga menyiapkan makan malam. Hingga nanti di saat suaminya pulang, ia bisa menyambutnya di rumah, dengan suatu pelukan hangat dan berkata. "Hi darling, how was your day? Are you ready for dinner?"

Adem banget.

Sepertinya mereka belum punya anak. Soalnya gak ada scene atau caption yang menyampaikan bahwa "Aku juga ingin menikmati waktu sambil main Facebook, meskipun diruang tengah belum dewasa kita sedang baku hantam, dan mulai melemparkan beberapa barang hingga pecah."

Pokoknya menggambarkan bahwa menjadi ibu rumahtangga merupakan pekerjaan menyenangkan.
Namun di saat jalan-jalan ke kolom kementar, saat itu juga keterlenaan ini mesti secepatnya diakhiri. Ada aneka macam silang pendapat, yang menghasilkan saya mesti menyadari sesuatu; bahwa masa sudah berlangsung cukup jauh, menjinjing perempuan menjadi sosok yang berbeda. Mandiri, tangguh, bisa melaksanakan apapun yang diinginkan.

Tanpa mesti dibedakan dengan lelaki.

Tanpa mesti menggantungkan kebahagiaannya pada lelaki, sekalipun pada lelaki bergelar suami.
"Berarti kembalilah ke kurun 70an! Istri masa kemudian melaksanakan itu semua." Komen seseorang bernada mengejek.

"Kasihan sekali, lebih senang menggantungkan diri pada suami ketimbang mengeksplore kesanggupan diri."
Hingga ada juga yang lebih ekstrim, menyerupai "Tipe insan tak mandiri, lihat saja hingga kau diceraikan!"

Saya gak tau ada duduk urusan apa bule-bule itu terlihat kesal sekali dengan sosok Homemaker menyerupai artikel tersebut. Karena ada juga kok yang membela opsi hidup sang wanita. Hanya saja, saya mulai mengerti dua hal.

***
Bahwa, di saat feminisme digaungkan, itu memiliki arti para perempuan bebas memasuki ranah apapun. Tidak ada lagi perumpamaan perempuan tak boleh melaksanakan hal menyerupai lelaki lakukan. Demi aktualisasi diri, perempuan bebas memutuskan opsi untuk menjadi apapun.

Lalu mereka lupa, bahwa menjadi ibu rumah tangga merupakan juga suatu pilihan. Bahkan itu merupakan 'profesi' paling bau tanah dan sahih dalam sejarah peradaban manusia, jauh sebelum aneka profesi yang dikehendaki perempuan masa kini.

Walau dahulu saya mencar ilmu pelajaran Sejarah dalam kondisi mengantuk, namun saya masih ingat waktu diterangkan berbarengan perempuan tidak pernah dikisahkan "berburu" sejak kehidupan di bumi bermula. Lelaki yang melakukannya.

Mohon jangan salah menawan kesimpulan, saya bukan ingin menggiring opini bahwa perempuan tak boleh bekerja. Saya cuma tidak ingin di saat perempuan ada yang memutuskan jadi ibu rumah tangga, itu mulai dipandang hal buruk. Seperti komentar-komentar menyerupai artikel bule itu.

Jika tujuan pergerakan feminisme merupakan memberi ruang selebar mungkin pada perempuan untuk memutuskan ingin menjadi apa, dimanapun. Lalu mengapa opsi untuk menjadi ibu rumah tangga menjadi tidak menawan untuk diperjuangkan?

Ya, meskipun kesetaraan gender itu baik, pada kesudahannya memang ada hal-hal baik yang lain justru tergerus diakibatkan kesetaraan gender itu sendiri. Seperti halnya di saat semua profesi yang identik dengan lelaki bisa dijalankan oleh wanita, maka priapun mulai melaksanakan profesi yang identik dijalankan wanita. Penata Rias Wajah, contohnya. Ini tak lagi sesuai fitrah menurut saya.
Hal kedua yang saya pelajari merupakan ...

Pada pada biasanya hal, lawan kaum perempuan ternyata bukanlah lelaki. Melainkan perempuan itu sendiri.

Yang paling lazim merupakan pada dongeng orang ke tiga dalam rusaknya ijab kabul seseorang. Rata-rata pemicunya merupakan pelakor, dimana terlalu banyak para perempuan yang tega merusak rumah tangga perempuan lainnya, demi memperebutkan lelaki.

Di dongeng yang lain saya pernah sanggup jawaban sejenis quote atau apalah gitu dari unek-unek para perempuan.
"Enaknya menjadi lelaki merupakan bebas memakai baju yang itu-itu saja, gak ada yang ngata-ngatain. Sementara perempuan tidak dapat mencicipi hal ini."

Terus dijawab dibawahnya oleh statement lelaki "Kami tak pernah mengata-ngatai perempuan. Justru perempuan sendiri yang melakukannya untuk kaum mereka sendiri."

Makjleb gak itu?

Atau di urusan terakhir.

Saya ingat pada suatu akun selebgram transgender tanah air, ada seorang perempuan (Netizen X) yang kontra dengan opsi transpuan itu di kolom komentar. Kemudian seorang perempuan yang lain (Netizen Y) malah belain si transgender sambil meledek alat vital yang si netizen Y katanya jauh lebih bagus ketimbang punya si transpuan.

"Masih bagusan punya dia, gak kayak punya lo, kayak ban pecah."

Duh, itu perempuan, malah rendahin kaumnya sendiri demi belain lelaki. Sadarkah dia, pada urusan transgender, yang paling dirugikan merupakan kaum kita sendiri?

Sudahlah lelaki populasinya kian berkurang, mesti dikurangi lagi alasannya sebagian mereka memutuskan jadi transgender. Dan segi lain, semua ranah kita sudah direbut mereka. Olahraga cabang perempuan mulai dibarengi oleh transgender, lomba keelokan juga. Bahkan kini, untuk menjadi seorang istri, tak lagi mesti perempuan asli.

Coba lihat saja, kian banyak jumlah lelaki menikahi lelaki.

Bukankah perempuan paling dirugikan akan hal ini?
 
Dah lah, gak sanggup kita pikir kaum perempuan ini. Masak iya, ada gitu, perempuan tak mendukung kaumnya sendiri.

Memang benar kata orang, gak usah cari urusan sama perempuan. Mending cari urusan sama lelaki.
Seperti saya yang kesudahannya memutuskan sering cari urusan sama suami (saja) ketimbang ke sesama perempuan yang dapat ribet urusannya.

Soalnya jikalau cari urusan sama suami, nanti saya bisa unggulkan jurus ngambek, selaku senjata pamungkas. Lalu ujung-ujungnya di saat masa rekonsiliasi, saya diajak makan keluar.

Sumber: Facebook Safrina Syams

Sumber https://www.juragandesa.id

Related : Dikala Wanita Menjadi Lawan Untuk Kaumnya Sendiri

0 Komentar untuk "Dikala Wanita Menjadi Lawan Untuk Kaumnya Sendiri"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close