Tak Mau Jadi Petani : Prestasi Atau Ironi? Oleh Putri Dam’Un Nabila, S-1 Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang

Sahabat Edukasi yang berbahagia… Sebuah pernyataan mengungkapkan kalau Indonesia makin krisis dengan profesi seorang petani. Mindset enggan masih menjadi argumentasi mempunyai pengaruh dibalik semua dilema yang kini tengah dihadapi, disaat keperluan pangan menjadi sektor yang krusial dan sungguh diperlukan seluruh lapisan masyarakat. Kehidupan penduduk akan bergantung pada hasil komoditas pertanian khususnya materi pangan berupa beras. Ditambah dengan suasana kini pandemi Covid-19 yang masih pada tahapan simpulan penuntasan, pertanianlah yang tetap mendongkrak ekonomi negara ini.

Pentingnya pertanian dalam kehidupan insan di tunjukkan dengan meningkatnya undangan pangan, sungguh perlu dijalankan upaya kenaikan buatan agar sanggup menyanggupi makin meningkatnya kenaikan undangan akhir meningkatnya populasi manusia. Sektor pertanian di sebagian besar negara meningkat ialah sektor yang terpenting untuk perekonomian dunia. Namun yang terjadi yaitu dengan konsistensi adanya kenaikan populasi, buatan pangan condong menurun alasannya terabaikannya sektor ini. (Ajao, dkk., 2005)

Petani hanyalah mereka yang telah memasuki fase senja, di tengah regenerasi yang masih kelabu. BPS mencatat mulai agustus 2019 penduduk yang melakukan pekerjaan selaku petani mengalami penurunan sungguh signifikan. Sebuah kenyataan dalam negeri (yang katanya) agraris justru makin ironis. Sebuah indikasi kalau pertanian dianggap telah tidak menguntungkan lagi bagi seorang petani. Selain tidak prospektif dari sisi pendapatan juga sungguh berbanding dengan beratnya pekerjaan dan status sosial yang senantiasa dianggap rendah. Gairah untuk melanjutkan profesi ini makin tergerus disaat tatanan negeri telah mutakhir dengan banyak sekali teknologi. Pemerintah terdengar kencang bercita- cita merealisasikan indonesia selaku lumbung padi dunia, lantas kalau minat menjadi petani saja makin tidak ada apakah ini membanggakan? Ironis. Kondisi kemakmuran petani mencakup memprihatinkan disaat kenaikan buatan tak seimbang dengan kemakmuran yang diterima.


Mekanisasi seolah tiba menjadi kunci, tetapi tak sepenuhnya memamerkan solusi. Pembangunan industri seolah menguasai negeri tanpa terkendali, pemerintah condong abai akan hal ini. Disaat minat dan rasa enggan menjadi petani makin mengakar, di sisi lain penggusuran lahan pertanian pun kian gencar dilakukan. Tentu hal ini akan makin bikin minat pada profesi petani terus merosot. Sektor industri di sekarang ini makin melaju pesat mengalahkan sektor pertanian, untuk itu diperlukan gerakan transformasi guna mendorong tata cara pertanian konvensional, baik sisi input maupun ongkos proses produksi. Teknologi perlahan mulai digunakan, didatangkan dari penjuru mancanegara biar mempermudah petani dalam mengurus proses produksi.

Sebuah upaya untuk menangani kesungguhan perihal regenerasi petani tentu tak lepas dari tata cara pada pendidikan, dengan tujuan bikin generasi dengan loyalitas serta integritas yang mempunyai pengaruh untuk mengembangkan sektor pertanian dengan lapang dada tanpa adanya unsur paksaan. Jenjang pendidikan mulai dari menegah ke atas hingga akademi tinggi kini ada untuk menjadi fasilitator penanaman mindset akan urgensi sektor pertanian. Mahasiswa Lulusan pertanian diperlukan bisa dan mau menekuni eksklusif dengan bekal background pendidikan yang dimiliki demi keberlanjutan ketahanan pangan. Hal yang mungkin dijalankan oleh mahasiswa yaitu mengadakan lembaga diskusi dengan tujuan untuk memperbesar pengetahuan serta memupuk rasa menyayangi sektor pertanian. Saat hal tersebut direalisasikan dengan berkala dalam rentang waktu panjang, pasti akan menguatkan mindset generasi muda untuk tidak gampang goyah disaat pihak yang menyudutkan atau bahkan menilai rendah di saat ia menekuni sektor pertanian. Kemudian pemerintah diperlukan untuk memamerkan kenaikan adanya jalan masuk maupun fasilitas prasarana, kepastian penghasilan dengan kebijakan yang bagus serta pembenahan dunia pendidikan yang lebih mengarah pada pekerjaan sektor industri .

Krisis akan tetap menjadi krisis tatkala tak ada suatu kesadaran yang tertanam mempunyai pengaruh di dalam diri setiap generasi. Branding profesi petani sungguh perlu di optimalkan setidaknya tidak ada lagi pikiran kalau petani hanyalah pekerjaan rendah yang sungguh tidak setara. Mindset sejak kecil pada biasanya orang, telah tertanam kalau profesi yaitu seluruh yang ada, kecuali petani. Mereka senantiasa menilai petani tak ada layak untuk dibanggakan, yang terbesit hanyalah kotor, miskin dan susah. Saatnya berjuang untuk negeri ini, hilangkan kata enggan biar dirimu memamerkan peran.

Penulis : Putri Dam’un Nabila, Email : putridnabila@gmail.com Prodi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang. Nomor Hp : 082223434152

Ingin karya tulis Anda terpublikasi di situs web di sini.

0 Komentar untuk "Tak Mau Jadi Petani : Prestasi Atau Ironi? Oleh Putri Dam’Un Nabila, S-1 Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close