Sahabat paperplane yang berbahagia... Perkembangan ilmu wawasan dari tahun ke tahun kian pesat. Pengetahuan di dunia ini tidak bersifat statis melainkan terus bertambah dinamis. Mulai dari tahapan pemikiran insan yang mitos terus bertambah hingga pemikiran yang supra rasional. Bagi orang muslim, ilmu wawasan bukan ialah langkah-langkah atau pikiran yang terpencil dan abstrak, melainkan bab yang paling dasar dari kemaujudan dan pandagan dunianya (world-view).
Oleh lantaran itu tidaklah mengherankan bila ilmu mempunyai arti yang sungguh penting, sehingga tidak terhitung banyaknya para cendikiawan dan pemikir Islam yang larut dalam upaya mencari dan membuatkan rancangan ilmu tersebut. Konseptualisasi ilmu yang mereka lakukan terlihat dari jutaan rancangan ilmu yang dikembangkan dengan tiada habisnya yang tidak lepas dari keyakinan bahwa ilmu tak lebih dari perwujudan “memahami gejala kekuasaan Tuhan” seumpama layaknya membangun peradaban dunia yang memerlukan penelusuran ilmu secara komprehensif.
Jika umat muslim tidak mau tertinggal maju dengan dunia Barat, maka sudah saatnya untuk merevitalisasi warisan intlektual Islam yang selama ini terabaikan, dengan kembali mendefinisikan ilmu dengan dasar epistemologi yang diderivasi dari wahyu. Seperti kata Anees (1991: 83), pembaruan-pembaruan pendidikan di seluruh dunia Islam di saat ini lebih dipacu untuk membangun tiruan-tiruan tonggak intelektual Barat dibandingkan dengan membentuk kembali sumber akalnya sendiri. Jika kita tidak mendefinisikan kembali rancangan persepsi dunia (world-view) Islam, maka kita cuma akan menoreh luka-luka intelektual kita sebelumnya. Umat muslim kini menyampaikan bila kita jauh tertinggal dari Barat dikarenakan perkembangan teknologi yang bersumber dari dunia Barat. Bukankah sains dan teknologi juga ialah warisan intlektual Islam? Nabi bersabda “Bahwa ilmu wawasan (hikmah) yakni perbendaharaan orang mukmin yang sudah hilang. Barang siapa menemukannya, maka ia berhak atasnya”
Indonesia, tergolong negara yang menempati posisi paling besar yang lebih banyak didominasi orangnya muslim. Akan tapi lebih banyak didominasi muslim tersebut belum menjamin tugas sosialnya dalam membuatkan konseptualisasi lmu wawasan dan agama. Pendikan islam di Indonesia baik dalam konteks nasional maupun selaku bab dari dunia Islam, kini tengah menghadapi tantangan yang lebih besar yakni bagaimana bikin negara yang aman, adil dan sejahtera dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa, yang disokong oleh warga negara yang berpengetahuan, beriman dan bertakwa. Dengan begitu pendidikan tinggi di Indonesia dituntut untuk berperan dalam merealisasikan tatanan kenegaraan demi terciptanya kedamaian dengan menurut falsafah negara. Akan tapi di saat ini, Pedidikan Islam di Indonesia belum bisa menghadapi perubahan, dan menjadi counter ideas terhadap globalisasi kebudayaan. Oleh lantaran itu referensi pengajaran maintenance learning yang selama ini dipandang terlalu bersifat adaptif dan pasif mesti secepatnya ditinggalkan. Dengan begitu, maka forum pendidikan Islam setiap di saat dituntut untuk senantiasa melakukan rekonstruksi pemikiran kependidikan dalam rangka mengantisipasi setiap pergeseran yang terjadi.
Pada masa sekarang ini, penduduk kita sering berasumsi bahwa “agama” dan “ilmu” ialah entitas yang berbeda. Keduanya diangaap memilki kawasan masing masing baik dari sisi objek formal-material, standar kebenaran, metode penelitiannya bahkan hingga pada penyelenggaraan institusinya. Fakta tersebut sudah dikenali dengan adanya pemisahan departmen dalam tata cara pemerintahan di Indonesia, departemen agama dan departmen pendidikan. Hal tersebut berakibat pada rendahnya mutu pendidikan Islam. Jika kita menyaksikan sejarah kependidikan Islam, Ia sudah terbelah menjadi dua wajah paradigma, paradigma integralistik-ensiklopedik di satu pihak dan paradigma spesifik-paternalistik di pihak lain. Paradigma pengembangan keilmuan yang integralistik-ensiklopedik ditokohi oleh ilmuwan Muslim, seumpama Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun, sementara yang spesifik-paternalistik diwakili oleh andal hadis dan andal fiqh. Keterpisahan secara diametral antara keduanya (dikotomis) ini juga berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan kehancuran dunia Islam di saat itu. Maka dari sejarah tersebut, bisa kita mengambil kesimpulan bahwa ilmu dan agama tidak dapat dipisahkan, lantaran satu sama lain saling berhubungan serta ialah satu kesatuan yang dikehendaki oleh semua umat muslim di dunia dalam megembangkan dan mengembangkan pendidikan Islam untuk membangun peradaban selanjutnya. Oleh lantaran itu, kita mesti mengawali dan menerima gerakan rapproachment (kesediaan untuk saling mendapatkan eksistensi lainnya dengan lapang dada) antara dua kubu keilmuan yang dianggap selaku suatu keniscayaan. Gerakan ini juga disebut dengan reintegrasi epistemologi.
Jadi Persoalannya bukan “ilmu agama” dan “non agama”, tapi lebih terhadap kepentingan untuk apa ilmu tersebut digunakan. Kita selaku umat muslim mesti punya prioritas untuk menguasai ilmu yang berhubungan pribadi dengan ibadah mahdhoh seumpama sholat, puasa, zakat, haji dan seterusnya, ilmu tersebut sering di sebut selaku ilmu fiqh, ilmu ketuhanan dan keimanan disebut ilmu tauhid atau ilmu kalam. Dan bila ilmu tersebut bisa diketahui secara kritis, terlihat akan sungguh berhubungan antara ilmu agama dengan ilmu lazim seumpama ilmu sosial, humaniora dan ilmu alam. Karena semua tata cara peribadatan (‘ibadah/worship) di dalam Islam mengandung pedoman yang tidak lepas dari korelasi antara Allah SWT selaku pencipta (al-khaliq) dan insan atau alam (al-makhluq). Hubungan ini disebut dengan Hablun min Allah wa hablun min al-nas. Disini menyampaikan bahwa rukun keyakinan lebih berorientasi pada korelasi vertikal, insan dengan Allah SWT, sedangkan rukun Islam lebih berorientasi pada korelasi horizontal antara insan dengan insan ataupun alam semesta.
Dalam Islam, perkembangan Ilmu juga mesti menurut perbaikan dan kelancaran hidup manusia. Oleh lantaran itu ilmu mesti senantiasa berada dalam kendali iman. Kini kita selaku umat muslim mesti berpikir mengenai kelancaran perkembangan ilmu, selaku proses yang menggambarkan acara insan dan penduduk ilmiah yang sibuk dengan kesibukan penelitian, eksperimentasi, ekspidisi dan seterusnya untuk mendapatkan sesuatu yang baru. Formulasi yang sudah diwariskan para pendahulu kita mesti kita kembangkan dan diaktualisasikan. Dan Islam senantiasa menekankan kita untuk menuntut ilmu terus menerus sepanjang hidup (life long-education) seumpama yang disebut dalam kata nasihat uthlub al-'Ilma min al-mahdi ila 'l-lahdi, carilah ilmu dari buaian hingga ke liang kubur.
Dikirim oleh : Baiq Wahyu Diniyati H (ayudiniyati1205@gmail.com) - Mahasiswi Fakultas Tarbiyah/PBA Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan. dan kini saya ialah Staf pengajar di TMI Putri Al-Amien Prenduan Sumenep Madura - Komplek Pondok TMI Putri Al-Amien Prenduan Sumenep Madura 69564.
Ingin karya tulis Anda terpublikasi di situs web di sini.
0 Komentar untuk "Rekonstruksi Pendidikan Islam, Integritas Ilmu Dan Agama Oleh Baiq Wahyu Diniyati H"