Jelaskan Watak Dan Tata Cara Dalam Menyodorkan Nasehat

Orang yang hendak kita nasihati yakni insan yang memiliki beraneka ragam adat, budaya, kecenderungan, pengetahuan, dan latar belakang sosial lainnya. 

Semua itu menghasilkan insan menjadi makhluk unik yang mesti didekati dengan cara yang berbeda-beda juga. 

Oleh lantaran itu, untuk mengoptimalkan hasil dakwah dan meminimalisasi imbas buruknya, perlu diamati budpekerti berikut ini. 


1. Disampaikan dengan cara santun dan lemah lembut; 

Dalam banyak ayat Allah Swt. mengajarkan kita bagaimana menyodorkan dakwah atau pesan tersirat terhadap orang lain dengan cara santun dan lemah lembut, di antaranya dalam ayat berikut. 

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…” (Q.S. Ali 'Imran/3:159

Ayat di atas menandakan bahwa dalam memamerkan pesan tersirat janganlah kita berlaku kasar, egois, sok tahu, merasa paling benar, terlebih memojokkan, mereka niscaya tidak akan bersimpati terhadap kita bahkan tidak mau lagi menggubris pesan tersirat kita. 

Lebih lanjut terkait dengan seni administrasi dakwah, simaklah ayat berikut! 

“Serulah (manusia) terhadap jalan Tuhanmu dengan pesan yang tersirat dan pelajaran yang bagus dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengenali wacana siapa yang kesasar dari jalan-nya dan Dialah yang lebih mengenali orang-orang yang memperoleh petunjuk” (Q.S. An-NAhl/16:125)

Dalam ayat di atas terdapat beberapa budpekerti bertausiyah atau berdakwah, menyerupai yang disebutkan di bawah ini.

  • Disampaikan dengan pesan yang tersirat (bijak); 
  • Jika ber bentuk pesan tersirat lisan, hendaknya disampaikan dengan cara yang baik; 
  • Jika mesti bertukar argumen (debat, diskusi, atau dialog), hendaknya dijalankan dengan cara terbaik; 
  • Menghar gai perbedaan. Ketika kita bertukar argumen dengan orang yang kita nasihati, lalu tidak terjadi titik temu, hargai usulan mereka, dan tidak semestinya kita memaksa mereka untuk tunduk terhadap usulan dan permohonan kita. 

Dakwah yakni mengajak dengan cara santun, bukan memaksa, lantaran Rasulullah pun tidak boleh memaksa,”Kamu bukanlah seorang pemaksa bagi mereka” (Q.S. al- Ghasyiyah/88:22). 


2. Memperhatikan tingkat pendidikan. 

Tingkat pendidikan dan kesanggupan berpikir objek dakwah mesti menjadi pertimbangan dalam menyodorkan dakwah billisan, Rasulullah bersabda: “Berbicaralah dengan insan sesuai dengan kadar nalar (daya pikir) mereka”(H.R. Dailami). 


3. Menggunakan bahasa yang sesuai. 

Bahasa yang digunakan hendaknya bahasa yang sanggup dimengerti dan sesuai dengan tingkat intelektual objek dakwah. 

Ketika mengatakan di hadapan golongan penduduk awam, gunakan bahasa yang berlainan dengan yang digunakan untuk berceramah di hadapan kaum terpelajar, dan sebaliknya. 


4. Memperhatikan budaya. 

Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Pepatah itu dikehendaki dalam dunia dakwah. 

Seorang dai yang tidak menghargai budaya setempat, bukan saja sukar memperoleh simpati, namun bisa jadi tak punya peluang berdakwah lagi dikala penduduk tersinggung dan merasa tidak dihargai budayanya. 

Menghargai budaya bukan mempunyai arti melebur ke dalam kesesatan yang ada dalam suatu masyarakat, akan namun berdakwah dengan pintar dan cermat dalam menegaskan pendekatan dan cara. 

Mengubah budaya yang mengandung kemungkaran mesti tetap dilakukan, namun lagi-lagi yakni “cara” yang digunakan mesti diperhitungkan masak-masak. 

Di sinilah para dai dituntut untuk memiliki pengetahuan seluas-luasnya agar bisa merespon setiap permasalahan dengan santun dan bijak. 


5. Memper hatikan tingkat sosial-ekonomi. 

Kondisi ekonomi penduduk sasaran kita berdakwah merupakan hal yang mesti diamati oleh para dai. 

Jika secara ekonomi mereka tergolong dalam klasifikasi mustahiq(orang yang berhak menemukan zakat) lantaran miskin, jangan didominasi bahan wacana keharusan zakat, namun motivasi bagaimana biar zakat yang diterima sanggup produktif dan berikutnya tidak lagi menjadi mustahiq, namun menjadi muzakk³ (orang yang mengeluarkan zakat) lantaran sudah berdikari secara ekonomi. 


6. Memeperhatikan usia objek dakwah. 

Saling mencintai dan saling menghormati berlaku dalam segala urusan, terlebih dalam urusan dakwah. 

Pada prinsipnya siapa saja punya potensi untuk menemukan pesan tersirat dan dakwah kita, namun budpekerti kita dalam menasihati orangtua tidak dapat disamakan dengan menasihati sobat sebaya atau orang yang lebih muda. 

Jika ini tidak diperhatikan, orangtua yang kita harap mendukung dakwah kita dalam suatu kampung misalnya, justru akan menjadi persoalan lantaran mereka tersinggung dangan cara kita. 


7. Yakin dan Optimis. 

Seorang dai mesti percaya bahwa yang disampaikan yakni pesan tersirat yang bersumber dari Yang Maha Benar, walaupun disampaikan sesuai dengan yang dipahaminya, dan sarat harap bahwa kebenaran yang disampaikan nantinya akan tegak mengambil alih kebatilan. 

Firman Allah Swt.:

 .. (apa yang sudah kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang tiba dari Tuhanmu, lantaran itu janganlah kau tergolong orang yang ragu-ragu. (Q.S. Ali 'Imran/3:60). Dan k atakanlah: “yang benar sudah tiba dan yang bathil sudah lenyap” Sesungguhnya yang batil itu yakni sesuatu yang niscaya lenyap. (Q.S. alIsra/17:81). 


8. Menjalin kerja sama. 

Dak wah yakni kerja besar yang sulit dipercayai dipanggul sendiri oleh seorang dai atau banyak orang secara berdikari dan terlepas dari yang lain. 

Di antara sesama dai perlu ada jaringan dakwah yang terorganisasi dengan baik. 

Bukan cuma sesama dai, kolaborasi juga perlu dijalin dengan pemerintah selaku pemegang kekuasaan, dan juga dengan semua lapisan masyarakat. 

Mereka mesti pundak membahu dan saling menopang dalam menjalankan misi mulia ini, menegakkan “amar ma’ruf nahi munkar”. Barangkali inilah salah satu perwujudan dari perintah Allah Swt. berikut: 

…Dan tolong-menolonglah kau dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan berbarengan dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kau terhadap Allah, bergotong-royong Allah amat berat siksaNya. (Q.S. al-Maidah /4:2). 


9. Konsekuen dengan perkataan (keteladanan). 

Apa yang kita katakan semestinya sama dengan apa yang kita lakukan. Dengan keteladanan kita berharap orang yang kita nasihati mau mengikuti dengan suka rela. 

Jika kita belum sanggup melaksanakan kebaikan menyerupai yang kita katakan, jangan lalu berhenti berdakwah, namun jadikan nasihatnasihat yang kita sampaikan itu selaku pemicu dan motivasi biar kita secepatnya sanggup menjadi pola yang bagus bagi objek dakwah. 

Singkatnya, kebenaran memang mesti tetap disampaikan meski itu pahit, namun para dai wajib berbekal diri dengan pengetahuan seluas-luasnya, baik terkait dengan bahan dakwah maupun dengan metodenya. 

Karena cuma dai yang berwawasan luas saja yang sanggup menatap perbedaan selaku sesuatu yang biasa dan menyikapinya dengan wajar. 

Dai yang merasa paling benar dan tukang paksa tidak akan memperoleh kawasan di hati umat, lantaran berlawanan dengan fitrah manusia, yakni bahwa semua insan ingin dianggap keberadaannya dan dihargai. 

Di segi lain, dai juga mesti berupaya konsekuen dengan perkataannya, sehingga sanggup menjadi teladan yang bagus bagi umat. 

Dalam segala hal, Rasulullah saw.adalah teladan yang paripurna. Mari kita teladani beliau!

Related : Jelaskan Watak Dan Tata Cara Dalam Menyodorkan Nasehat

0 Komentar untuk "Jelaskan Watak Dan Tata Cara Dalam Menyodorkan Nasehat"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close