Materi Ips Kelas 9 Indonesia Kala Demokrasi Parlementer

Pada masa Demokrasi Parlementer undang-undang yang digunakan selaku landasan aturan negara yakni Undang-Undang Dasar Sementara 1950. 

Sistem pemerintahan negara menurut Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yakni metode parlementer. 

Artinya Kabinet disusun menurut perimbangan kekuatan kepartaian dalam parlemen. Presiden cuma ialah lambang kesatuan saja. 

Dalam metode ini dewan legislatif sungguh berkuasa. 

Apabila kabinet dipandang tidak dapat mengerjakan tugas, maka dewan legislatif secepatnya membubarkannya Sistem parlementer disebut juga selaku metode Demokrasi Liberal. 

Sistem kabinet yang digunakan pada masa Demokrasi Parlementer yakni Zaken Kabinet. 

Zaken kabinet yakni sebuah kabinet yang para menterinya diseleksi atau berasal dari tokoh-tokoh yang jago di bidangnya, tanpa memikirkan latar belakang partainya. 

Masa Demokrasi Parlementer di Indonesia memiliki ciri banyaknya partai politik yang saling berebut efek untuk memegang tampuk kekuasaan. 

Hal tersebut menyebabkan seringnya pergeseran kabinet. Perhatikanlah tabel berikut!


Berdasarkan tabel di atas, sanggup kita lihat dari tahun 1950-1959 sudah terjadi tujuh kali pergeseran kabinet.

Hampir setiap tahun terjadi pergeseran kabinet. 

Jatuh bangunnya kabinet menciptakan program-program kabinet tidak sanggup dilaksanakan sebagaimana mestinya


Sistem kepartaian yang dianut pada masa ini yakni metode multi partai, yakni sebuah metode kepartaian yang memiliki banyak partai politik. 

Partai- partai tersebut antara lain yakni selaku berikut. 

Banyaknya partai politik yang berpartisipasi dalam pemerintahan menyebabkan hadirnya kompetisi antarpartai. 

Partai-partai politik yang ada condong memperjuangkan kepentingan golongan dari pada kepentingan nasional. 

Partai-partai yang ada saling bersaing, saling mencari kesalahan dan saling menjatuhkan. 

Partai-partai politik yang tidak memegang jabatan dalam kabinet dan tidak memegang peranan penting dalam dewan legislatif sering melaksanakan oposisi yang kurang sehat dan berupaya menjatuhkan partai politik yang memerintah. 

Hal inilah yang menyebabkan sering terjadinya pergeseran kabinet. 

Kabinet tidak berumur panjang sehingga program-programnya tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya dan menyebabkan stabilitas politik, sosial ekonomi serta keselamatan terganggu


Pada tahun 1955 diselenggarakan penyeleksian lazim (Pemilu) pertama di Indonesia. Pemilu pertama ini ialah tonggak demokrasi pertama di Indonesia. 

Keberhasilan penyelenggaraan Pemilu tahun 1955 mengambarkan sudah berjalannya demokrasi di golongan rakyat. Rakyat sudah menggunakan hak pilihnya untuk menegaskan wakil-wakil mereka. 

Banyak golongan yang menilai bahwa Pemilu 1955 ialah Pemilu paling demokratis yang dilaksanakan di Indonesia. 

Pada Pemilu pertama ini 39 juta rakyat Indonesia menyediakan suara. Pemilihan lazim 1955 dilaksanakan dalam 2 tahap. 

Tahap pertama dilaksanakan pada 29 September 1955 dan tahap kedua pada 15 Desember 1955. 

Pemilu tahap pertama yakni untuk menegaskan anggota dewan perwakilan rakyat yang berjumlah 250 orang. 

Perolehan bunyi terbanyak pada Pemilu ini dimenangkan oleh empat partai politik, yakni PNI, Masyumi, NU, dan PKI. 

Pemilu tahap kedua yakni untuk menegaskan anggota Dewan Konstituante yang hendak bertugas untuk menciptakan Undang-undang Dasar yang tetap, untuk mengambil alih Undang-Undang Dasar Sementara 1950. 

Anggota dewan perwakilan rakyat hasil Pemilu 1955 dilantik pada 20 Maret 1956, sedangkan pelantikan anggota Konstituante dilaksanakan pada 10 November 1956.


Pemilu tahun 1955 sukses diselenggarakan dengan lancar, tapi ternyata tidak sanggup menyanggupi cita-cita rakyat yang mengharapkan pemerintah yang stabil. 

Para wakil rakyat terpilih cuma memperjuangkan partainya masing- masing sehingga pergeseran kabinet terus saja terjadi dan menyebabkan kondisi politik dan kemanan menjadi tidak stabil. 

Hal ini menyebakan hadirnya banyak sekali pergolakan di banyak sekali daerah. 

Dalam perkembangannya, pergolakan-pergolakan itu mengarah pada gerakan pemberontakan yang bertujuan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Berikut ini beberapa gerakan pemberontakan yang terjadi pada masa Demokrasi Parlementer 


1. Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) 

Gerakan APRA dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling. 

Gerakan ini didasari oleh adanya keyakinan rakyat akan hadirnya seorang ratu adil yang hendak menenteng mereka ke suasana kondusif dan nyaman serta memerintah dengan adil dan bijaksana. 

Tujuan gerakan APRA yakni untuk menjaga bentuk negara federal di Indonesia dan memiliki serdadu tersendiri pada negara kepingan RIS. 

Pada tanggal 23 Januan 1950, pasukan APRA menyerang Kota Bandung serta melaksanakan pembantaian dan pembunuhan terhadap anggota TNI. 

APRA tidak mau bergabung dengan Indonesia dan menegaskan tetap menjaga status quo lantaran apabila bergabung dengan Indonesia mereka akan kehilangan hak istimenya. 

Pemberontakan APRA sukses ditumpas lewat operasi militer yang dijalankan oleh Pasukan Siliwangi. 


2. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) 

Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dipimpin oleh Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil yang menolak terhadap pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Mereka ingin merdeka dan melepaskan diri dan wilayah Republik Indonesia lantaran menilai Maluku memiliki kekuatan secara ekonomi, politik, dan geografis untuk berdiri sendiri. 

Yang menjadi penyebab utama hadirnya Gerakan Republik Maluku Selatan sungguh kecil, tidak sepadan dengan tempat di Jawa. 

Pemberontakan ini sanggup dituntaskan lewat ekspedisi militer yang dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang (Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur). 


3. Pemberontakan Andi Azis 

Peristiwa pemberontakan Andi Aziz terjadi pada 5 April 1950. 

Peristiwa ini berawal dari permintaan Kapten Andi Aziz dan pasukannya terhadap pemerintah Indonesia biar cuma mereka yang dijadikan selaku pasukan kemanan untuk mengamankan suasana di Makassar. 

Pada di saat itu, di Makassar sering terjadi bentrokan antara kelompok propersatuan dengan kelompok pro-negara federal. 

Menurut Andi Azis, cuma serdadu APRIS dari KNIL yang bertanggung jawab atas keselamatan di Makassar. 

Tuntutan itu tidak dipenuhi dan pemerintah Republik Indonesia tetap menghadirkan ABRI selaku pasukan keamanan. 

Ketika ABRI sungguh-sungguh didatangkan ke Sulawesi Selatan, hal ini menyulut kekecewaan di golongan pasukan Andi Aziz. 

Pasukan Andi Aziz kemudian bereaksi dengan menduduki beberapa tempat penting di Makassar, seumpama pos- pos militer, kantor telekomunikasi, lapangan terbang, serta menahan Letkol A.J. Mokoginta yang menjabat selaku Panglima Tentara Teritorium Indonesia Timur. 

Pemerintah RI mewakilkan Andi Azis untuk menghentikan pergerakannya dan mengultimatum biar tiba ke Jakarta dalam waktu 4×24 jam untuk mempertanggungjawabkan tindakannya. 

Namun Andi Aziz ternyata telat melapor, sementara pasukannya sudah berontak. 

Andi Aziz pun secepatnya ditangkap setibanya di Jakarta dari Makasar. 

Pasukannya yang memberontak alhasil mengalah dan ditangkap oleh pasukan militer RI di bawah pimpinan Kolonel Kawilarang. 


4. Pemberontakan PRRI dan Permesta 

Pemberontakan PRRI/Permesta terjadi di Sulawesi yang disebabkan oleh adanya relasi yang kurang serasi antara pemerintah sentra dan pemerintah daerah. 

Hal itu dikarenakan jatah keuangan yang diberikan oleh pemerintah sentra tidak sesual budget yang diusulkan. 

Hal tersebut memunculkan efek ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat. Selanjutnya dibikin gerakan dewan yaitu, 

a). Dewan Banteng di Sumatera Barat dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein. 

b). Dewan Gajah di Sumatera Utara dipimpin oleh Letkol Simbolon. 

c). Dewan Garuda di Sumatera Selatan Letkol Barlian 

d). Dewan Manguhi di Sulawesi Utara dipimpin oleh Letkol Ventje Sumual 


Puncak pemberontakan ini terjadi pada tanggal 10 Februari 1958, Ketua Dewan Banteng mengeluarkan ultimatum terhadap pemerintah pusat. 

Isi ultimatum tersebut yakni menyatakan bahwa Kabinet Djuanda mesti mengundurkan diri dalam waktu 5 x 24 jam. 

Setelah menerima ultimatum tersebut, pemerintah sentra bertindak tegas dengan cara memberhentikan Letkol Achmad Husein secara tidak hormat. 

Oleh lantaran ultimatumnya ditolak pemerintah, pada 15 Februari 1958, Letkol. 

Ahmad Husein memberitahu berdirinya PRRI kemudian dibarengi oleh pengumuman Permesta pada 17 Februari 1958 di Sulawesi. 

Untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta, pemerintah melancarkan operasi militer. Pada 29 Mei 1961, Ahmad Husein dan tokoh-tokoh PRRI lainya alhasil menyerah.


Konferensi Asia Afrika diselenggarakan pada tanggal 18-24 April 1955 di Bandung. Konferensi ini didatangi oleh 23 negara.

Sidang berjalan selama satu ahad dan menciptakan sepuluh prinsip yang dipahami dengan Dasasila Bandung.

Penyelenggaraan KAA menenteng laba bagi Indonesia, pamor Indonesia selaku negara yang gres merdeka naik lantaran kemampuannya menyelenggarakan pertemuan tingkat internasional.

Keuntungan yang lain yakni donasi bagi pembebasan Irian Barat yang di saat itu masih diduduki Belanda.

Konferensi Asia Afrika juga besar lengan berkuasa terhadap dunia internasional. 

Setelah berakhirnya KAA, berberapa negara di Asia dan Afrika mulai memperjuangkan nasibnya untuk meraih kemerdekaan dan kedudukan selaku negara berdaulat penuh.

Selain itu, KAA menjadi permulaan lahirnya organisasi Gerakan Non-Blok.


Sebelum Deklarasi Djuanda, Indonesia masih menggunakan peraturan kolonial terkait dengan batas wilayah.

Dalam peraturan itu disebutkan bahwa bahari teritorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis rendah dari pada pulau-pulau dan kepingan pulau yang ialah kepingan dari wilayah daratan Indonesia.

Batas 3 mil ini menyebabkan adanya laut-laut bebas yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia.

Hal ini menyebabkan kapal-kapal abnormal bebas mengarungi lautan tersebut tanpa hambatan. Kondisi ini akan menyusahkan Indonesia dalam melaksanakan pengawasan wilayah Indonesia.

Melihat kondisi inilah kemudian pemerintahan Kabinet Djuanda mendeklarasikan aturan teritorial. Deklarasi tersebut kemudian dipahami selaku Deklarasi Djuanda.

Penetapan Deklarasi Djuanda dijalankan dalam Konvensi Hukum Laut PBB ke II Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982).

Pengakuan atas Deklarasi Djuanda menyebabkan luas wilayah Republik Indonesia meluas sampai 2,5 kali lipat  dari 2.027.087 km2 menjadi 5.193.250 km2.


TULISAN

TULISAN

TULISAN

TULISAN

TULISAN

TULISAN

TULISAN

TULISAN

TULISAN

Related : Materi Ips Kelas 9 Indonesia Kala Demokrasi Parlementer

0 Komentar untuk "Materi Ips Kelas 9 Indonesia Kala Demokrasi Parlementer"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close