Cerpen
Oleh: Ismi Marnizar
Paradigma yang memicu janji nikah yakni suatu persyaratan pencapaian berhasil dan senang seseorang, membuatku tidak gampang menjalani hidup selaku perempuan lajang yang sudah berusia matang. Aku mesti bisa membangun benteng pertahanan menghadapi aneka macam cemoohan meski berbeda dengan hati berkali-kali.
Melihat teman dekat seangkatan satu persatu menggendong bayi seolah menjadi teror tersendiri. Belum lagi desakan Ibu dan kerabat erat yang terus menerus menekan batinku memasuki usia ke 33 tahun ini. Siapa yang tak mau menikah? Membangun rumah tangga sarat berkah dan menjadi fasilitas ke akhirah? Namun, semua itu tidaklah mudah.
Kata mereka saya terlalu pemilih. Bukankah memutuskan jodoh memang mesti selektif? Karena pasangan bukanlah teman dekat sehari dua hari. Ia yakni pertaruhan hidup hingga mati. Untuk apa menikah muda, ayah dan ibu bangga, kemudian malah bercerai dan hidup nelangsa? Perceraian ayah dan ibu di saat usiaku masih belia dahulu juga menjadi trauma hati yang lestari hingga di saat ini.
Aku menjadi enggan menyanggupi usul pernikahan. Ya, kata "kapan" yang senantiasa mengusik pikiran. Beban "kapan" sepuluh kali lebih berat dicicipi oleh perempuan ketimbang laki-laki. Kata "kapan" bagi perempuan juga dikaitkan dengan kesanggupan usia reproduksi yang terbatas. Tidak seumpama pria yang dapat berproduksi sepanjang hayatnya.
"Kamu sudah tua. Semakin hari makin tak terlihat cantik. Semakin banyak gadis-gadis muda yang beranjak dewasa. Seiring waktu tidak akan ada lagi pria yang mau sama kamu."
Kata-kata Ibu sungguh menyakitkan. Seharusnya ibu mendukung dan menghiburku, bukan malah memperbesar beban. Tetapi mungkin juga itu suatu dorongan alasannya yakni ibu kasihan melihatku yang terus melajang.
Terus terang, saya senang dengan hidup yang kujalani di saat ini. Betapa banyak lezat yang sudah Allah beri. Berkat beasiswa dari pemerintah daerah, saya sudah menyelesaikan pendidikan strata duaku. Aku juga sudah mempunyai perkerjaan yang sanggup menopang hidupku dan juga ibu. Aku mempunyai teman-teman yang baik. Namun semua kenikmatan itu seakan tidak bermakna dimata ibuku tanpa datangnya seorang suami.
Bukan tidak pernah saya mencicipi indahnya jatuh cinta dah suramnya patah hati. Bukan tidak ada pria yang serius mengajakku menikah. Bila tidak takabur kukatakan, banyak sekali yang ingin memilikiku, namun alasannya yakni ibu, saya menolak sebagian mereka. Ada yang menatap ibuku sebelah mata alasannya yakni kendala perceraiannya. Ada yang akan membawaku tinggal jauh dan meninggalkan Ibu setelah menikah. Aku tidak mau meninggalkan Ibu. Aku tidak rela ibuku dipandang rendah oleh siapapun.
Ibu dan saudara-saudara dekatku lainnya juga tidak tinggal membisu mengusahakan seorang suami untukku. Mereka kasihan kepadaku, padahal akulah yang mengasihani mereka dengan caraku.
"Nak, usiamu nyaris 33 tahun. Lihatlah Nia tetangga kita yang sebaya denganmu sudah mempunyai tiga orang anak." Keluh ibuku suatu malam.
"Apa ibu tidak lihat? Apa yang dapat dibanggakan dari janji nikah mereka? Bukankah Nia dan suaminya sudah bercerai? Lalu meninggalkan Nia beserta tiga anaknya di sini? Ibu mau Aku seumpama itu?" Terangku hendak membuka mata hatinya.
Ibu berlalu dari hadapanku.
-----
Ibu mengenalkanku dengan seorang anak temannya. Duda beranak dua yang usianya 7 tahun lebih renta dariku.
"Bila kau tidak mau dengan Umar, ibu jamin, tidak ada lagi yang mau menikah denganmu."
Aku pasrah.
Mungkin inilah salah satu caraku berbakti terhadap Ibu. Lagipula tidak ada Ibu yang akan menjerumuskan anaknya sendiri.
Segala antisipasi janji nikah sudah rampung. Seminggu menuju hari H, Umar mengakui padaku bahwa ia belum resmi bercerai dengan istrinya. Seribu kunang-kunang kembali menari di kepalaku.
"Ibu akan mati, jikalau pernikahanmu kali ini tidak juga jadi."
Demi Ibu, saya akan menikah dengan Umar. Walaupun setelah menikah nanti bisa jadi saya akan bercerai. Mungkin seumpama itulah senang yang ibu inginkan.
Selesai.
0 Komentar untuk "Expired (?)"