Suatu hari seorang ibu mengejek aku sebab satu artikel aku ihwal daster. Kejadiannya sudah usang seiring dengan status aku tersebut yang juga sudah cukup lama. Dalam artikel itu, aku menyampaikan bahwa aku tidak punya daster satupun, sebab suami aku tidak menyukainya. Beliau yang dalam kesehariannya memakai busana tersebut mungkin merasa muak dengan saya, begitu.
"Idiih... Daster aja ngga boleh pakek. Si Wendah istri Ruben (koreksi jikalau salah) yang tajir melintir aja pakek daster kemana-mana. Ini sok-sok-an. Emang elu siapa?"
Begitulah kira-kira citra ejekannya.
Padahal, kenapa ia mesti tersinggung? Kalau suaminya tidak protes, silakan pakai. Dasterpun kini kece-kece. Berbeda dengan mata suami saya, baginya, daster tetaplah daster sekece apapun modelnya.
Ia tidak pernah meminta aku mengolah makanan yang enak. Ia tidak pernah menuntut rumah biar senantiasa rapi. Ia tidak pernah melarang apapun kegemaran aku asalkan masih dalam bingkai syariah. Ia tidak menuntut aku senantiasa bagus dan wangi. Ia tidak mengeluh meskipun pekerjaan rumah tangga keteteran seharian dan malam. Hanya satu hal yang ia minta, JANGAN PAKAI DASTER! Bila satu saja permintaannya itupun tidak dapat aku penuhi, sangat pembangkang rasanya saya.
Dihari yang lain, aku berjumpa kembali dengan ibu yang mengejek aku setelah gres saja final berbelanja lauk di pinggiran jalan.
"Suami aku paling tidak mau makan lauk yang dijual begini. Harus aku yang masak. Bumbunya mesti pas. Bukan asal jadi begini." Katanya menunjuk bungkusan lauk yang aku jinjing.
Apakah aku mesti mengejeknya juga, seumpama ia mengejek "daster" saya?
"Idiih... Daster aja ngga boleh pakek. Si Wendah istri Ruben (koreksi jikalau salah) yang tajir melintir aja pakek daster kemana-mana. Ini sok-sok-an. Emang elu siapa?"
Begitulah kira-kira citra ejekannya.
Padahal, kenapa ia mesti tersinggung? Kalau suaminya tidak protes, silakan pakai. Dasterpun kini kece-kece. Berbeda dengan mata suami saya, baginya, daster tetaplah daster sekece apapun modelnya.
Ia tidak pernah meminta aku mengolah makanan yang enak. Ia tidak pernah menuntut rumah biar senantiasa rapi. Ia tidak pernah melarang apapun kegemaran aku asalkan masih dalam bingkai syariah. Ia tidak menuntut aku senantiasa bagus dan wangi. Ia tidak mengeluh meskipun pekerjaan rumah tangga keteteran seharian dan malam. Hanya satu hal yang ia minta, JANGAN PAKAI DASTER! Bila satu saja permintaannya itupun tidak dapat aku penuhi, sangat pembangkang rasanya saya.
Dihari yang lain, aku berjumpa kembali dengan ibu yang mengejek aku setelah gres saja final berbelanja lauk di pinggiran jalan.
"Suami aku paling tidak mau makan lauk yang dijual begini. Harus aku yang masak. Bumbunya mesti pas. Bukan asal jadi begini." Katanya menunjuk bungkusan lauk yang aku jinjing.
Apakah aku mesti mengejeknya juga, seumpama ia mengejek "daster" saya?
Penulis: Ismi Marnizar
0 Komentar untuk "Bagiku, Mungkin Itulah Syurga"