Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji cuma milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang setia dan Istiqomah.
Tafsir surat Al Hijr HR Tirmidzi:
اتقوا فراسة المؤمن ، فإنه ينظر بنور الله
“Hati- hatilah dengan firasat orang yang beriman, alasannya dia menyaksikan dengan cahaya Allah.“(HR Tirmidzi dengan sanad lemah ,dalam Al Sunan, Kitab : Tafsir, Bab : Tafsir surat Al Hijr (hadits 3127).
Pengertian Firasat
Firasat, kalau kita kaji dengan teliti, ternyata terdapat di dalam anutan Islam. Dalilnya, selain hadits di atas, yakni beberapa ayat Al Qur’an yang menjamah kendala firasat tersebut, di antaranya yakni firman Allah:
إن في ذلك لآيات للمتوسمين
“ Sesungguhnya pada insiden itu terdapat tanda- tanda bagi orang-orang yang “ Al Mutawassimin “ (QS Al Hijr: 75).
Al Mutawasimin menurut pengertian ulama yakni orang-orang yang mempunyai firasat, yakni mereka yang dapat mengenali suatu hal dengan mempelajari tanda-tandanya.
Sebagaimana firman Allah:
ولو نشاء لأريناكهم فلعرفتهم بسيماهم
“Sekiranya Kami kehendaki, tentu Kami tunjukkan mereka kepadamu, sehingga kau sungguh-sungguh mengenali mereka dengan tanda-tandanya.“ (QS Muhammad: 30).
Allah juga berfirman :
يحسبهم الجاهل أغنياء من التعفف تعرفهم بسيماهم
“Orang-orang yang kurang pandai mengira mereka yakni orang kaya, alasannya mereka memelihara diri dari meminta-minta, kau mengenali mereka dengan tanda-tandanya.“ (QS Al Baqarah: 273).
Walaupun hadits di atas sanadya lemah, tetapi makna dan artinya tidak berbeda dengan anutan Islam. Banyak hal yang membuktikan bahwa orang yang beriman bisa menatap sesuatu dengan tepat dan akurat. Karena Allah menyediakan kekuatan terhadap orang yang beriman kepada-Nya, yang mana hal itu tidak diberikan terhadap orang lain.
Kekuatan yang diberikan Allah tersebut, tidak cuma terbatas terhadap cara memandang, melihat, menentukan suatu kendala ataupun mencarikan jalan keluar. Akan tetapi, kekuatan tersebut meliputi seluruh faktor kehidupan ini.
Orang yang beriman mempunyai keistimewaan kekuatan dalam bersabar menghadapi ujian dan cobaan, alasannya dia percaya bahwa cuma Allah-lah yang dapat menyelamatkan dan menyediakan jalan keluar dari ujian tersebut, sekaligus berharap dari ujian tersebut, bahwa dia akan mendapat pahala di sisi-Nya dan akan memperbesar ketinggian derajatnya di akherat kelak. Apalagi tatkala dia mendengar hadits yang menyatakan :
“ Jika Allah mengasihi hamban-Nya , tentu Dia akan mengujinya “, tentunya, dia akan bertambah sabar, tabah dan tegar.
Di dalam peperangan, orang yang berimanpun mempunyai stamina dan keberanian yang lebih, alasannya mati syahid yakni sesuatu yang didambakan. Mati mulia yang mau mengantarkannya terhadap syurga nan abadi tanpa mesti dihisab dahulu.
Belum lagi nilai jihad yang begitu tinggi, yang ialah “puncak“ anutan Islam, suatu amalan yang kadang, dapat menjadi wasilah(sarana) untuk menghapuskan dosa-dosanya, meskipun dosa tersebut begitu besar, menyerupai yang dialami oleh Ibnu Abi Balta’ah seorang teman dekat yang terbukti berbuat salah, dengan membocorkan diam-diam pasukan Islam yang mau menyerang Makkah. Keikutsertaannya dalam perang Badar, ternyata bisa menyelamatkannya dari tajamnya pedang Umar ibnu Khottob.
Dalam bidang keilmuan, pastinya keimanan seseorang mempunyai tugas yang sungguh urgen di dalamnya. Masalah keilmuan ini ada kaitannya dengan kendala firasat, yang ialah pembahasan kita kali ini. Allah berfirman :
واتقوا الله ويعلمكم الله
“ Dan bertaqwalah kau terhadap Allah, dan Allah mengajarimu“ (QS Al Baqarah: 282).
Ayat di atas menjelaskan bahwa barang siapa yang bertaqwa terhadap Allah, tentu Allah akan mengajarinya( menyediakan ilmu kepadanya ).Kalau orang – orang awam kini menyebutnya dengan “ Ilmu Laduni “ , yakni ilmu yang diberikan Allah terhadap seseorang tanpa lewat proses belajar, yang masuk akal dijalankan orang. Hakekat Ilmu Laduni ini sudah kita terangkan pada pembahasan sebelumnya.
“ Barang siapa yang mengajarkan Al Qur’an , tentu Allah akan mengajarkan sesuatu yang belum ia pahami “
Artinya : Mengajarkan Al Qur’an yakni salah satu dari acara yang memperbesar ketaqwaan atau keimanan seseorang terhadap Allah, sehingga dengan amalan tersebut Allah akan membalasnya dengan mengajarkan kepadanya sesuatu yang ia belum mengetahuinya.
Salah seorang teman dekat Nabi Muhammad saw pernah berkata : “ Seorang yang alim menyaksikan fitnah ( kekacauan dan sejenisnya ) sebelum datang, sedang orang yang jahil menyaksikan fitnah sehabis terjadi “ . Maksudnya , bahwa orang yang alim ( pastinya dibarengi dengan keimanan dan ketaqwaan terhadap Alah ) mempunyai firasat atau wawasan akan sesuatu yang mau terjadi.
Sedang orang yang kurang pandai dan tidak bertaqwa terhadap Allah , tidak mengetahuinya kecuali sehabis insiden tersebut terjadi. Ini bukan mempunyai arti sang alim tadi mengenali hal- hal yang ghoib dengan begitu saja, akan tetapi artinya bahwa dia mengetahuinya dengan tanda- tanda ( firasat ) yang sudah diberikan Allah kepadanya, atau gejala tersebut sudah disebutkan Allah di dalam kitab suci-Nya dan hadits nabi-Nya.
Sekedar contoh, bahwa seorang alim akan mengenali runtuhnya suatu bangsa, atau terjadinya malapetaka menakutkan yang mau menimpa pada suatu tempat, dengan menyaksikan tanda- tandanya, menyerupai menyebarnya perzinaan dengan cara yang terang-terangan, merebaknya perbuatan liwath atau homosex, semaraknya riba di bank- bank dan di pasar- pasar, serta perbuatan –perbuatan sejenis, yang kesemuanya itu akan menghadirkan marah Allah dan memunculkan turun adzab dari langit.
Penyakit “ AIDS ” , yang hingga kini belum ada obatnya, ialah bukti faktual akan statement di atas. Di tambah timbul wabah gres yang menakutkan dan pemburu nyawa yang ditakuti oleh semua orang, yakni wabah “ SARS “ yang menghasilkan kalang kabut negara- negara maju. Terakhir penyakit ini, malah menyerang prajurit Amerika yang menjajah Irak.
Terpuruknya bangsa- bangsa yang ada yakni akhir jauhnya mereka dari anutan Islam , tergolong di dalamnya negara Indonesia, yang terus-menerus mengumbar kemaksiatan, meraup harta- harta hasil korupsi dan menebar kejahatan riba serta memerangi Islam dengan terang-terangan.
Dan dalam waktu dekat yakni negara Amerika Serikat yang sedang sekarat dan terpuruk dengan banyak sekali problem dalam dan luar negri. Negara ini konon sudah menyediakan lampu hijau bagi kaum homosex untuk mempraktekan kebejatannya, ini yakni salah satu indikasi bagi “Al-Mutawassimin “ ( orang-orang yang mempunyai firasat ) bahwa negara tersebut sudah berada pada jurang kehancuran.
Allahpun tolong-menolong sudah menyediakan rujukan ilmu firasat ini dengan sungguh terang , sebagaimana yang tertera pada ( Q.S Al Hijr, ayat :75) diatas. Alur obrolan ayat tersebut, ternyata berkenaan dengan insiden atau kemaksiatan yang di lakukan oleh kaum Luth, suatu bangsa yang pertama kali mengajarkan “ homosex “ terhadap manusia, sehingga di aturan oleh Allah dengan dibaliknya kota Soddom dan dihujani dengan batu- kerikil besar.
Sesungguhnya hal itu terdapat tanda- tanda bagi orang-orang yang mempunyai firasat.
Tanda- tanda ( firasat ) yang digunakan oleh seorang yang alim untuk mengenali suatu peristiwa, bukan cuma berupa “ fahisah “ ( kemaksiatan menyerupai zina dan sejenisnya ) saja, akan tetapi gejala itu bisa juga berupa penyelewengan dari manhaj Al Alquran secara biasa dan penyelewengan dari disiplin ilmu yang benar, meskipun kadang, penyelewengan tersebut dijalankan dengan tidak sengaja, menyerupai : tidak adanya amar ma’ruf dan nahi mungkar didalam suatu masyarakat, atau bahkan ada perbuatan amar ma’ruf dan nahi mungkar, tetapi tidak dilandasi dengan ilmu syar’I yang benar .Kita lihat umpamanya, Bani Israel mendapat laknat dan adzab dari Allah alasannya mereka meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar.
Bahkan kesalahanan seorang pemimpin dalam berijtihadpun bisa dijadikan tanda bagi orang yang mempunyai firasat bahwa hal itu akan memunculkan malapetaka. Inilah salah satu bentuk firasat yang dimiliki oleh Ibnu Umar ra, saat melepas Husein bin Ali ra - meskipun dengan sungguh berat hati - berangkat ke Iraq untuk menyanggupi undangan penduduk Iraq yang ingin membai’atnya jadi kholifah , dia berkata terhadap Husein bin Ali ra:
“ Saya menitipkanmu terhadap Allah , wahai orang yang mau terbunuh “.
Firasat Ibnu Umar menyampaikan bahwa Husein akan terbunuh dalam perjalanan menuju Iraq tersebut, ternyata menjadi kenyataan . Terjadilah insiden menyedihkan yang ditulis sejarah dengan lumuran darah , yakni pembantaian terhadap Husein ra, cucu Rosulullah saw dan rombongannya di “ Karbela “ , yang kesudahannya memunculkan luka mendalam pada seluruh umat Islam bahkan memunculkan fitnah yang berkepanjangan hingga hari ini.
Para teman dekat yang lain juga mempunyai firasat yang benar, menyerupai yang dimiliki oleh Abu Musa Al Asy’ari ra, saat menyaksikan pertengkaran antara Muawiyah dan Ali di dalam menyeleksi perilaku terhadap para pembunuh kholifah Utsman bin Affan.
Beliau menyaksikan pertengkaran tersebut selaku bibit fitnah yang mesti dijauhi, sehingga dia dengan beberapa teman dekat senior lainnya, menyerupai Sa’ad bin Abi Waqas, Ibnu Umar, Usamah bin Zaid, Abu Bakroh, Salamah bin Akwah, Abu Huroirah, Zaid bin Tsabit dan lainnya, menolak untuk ikut campur dalam pertempuran antara kedua kelompok umat Islam tersebut.
Dan perilaku inilah yang lebih dibenarkan oleh beberapa ulama “ muhaqiqin “ dari dua kubu lainnya, yakni kubu Ali bin Abi Tholib ra dan kubu Muawiyah ra. Walaupun dominan Ulama lebih membenarkan kubu Ali bin Abu Tholib ra, tetapi usulan tersebut kurang kuat, alasannya ada riwayat yang menyatakan penyesalan Ali bin Tholib terhadap perilaku yang dia ambil di dalam menghadapi fitnah ini, yakni sehabis perang Siffin yang mengorbankan ribuan putra- putra terbaik umat Islam itu selesai.
Begitu juga firasat yang dicicipi oleh kholifah Utsman bin Affan ra, saat seseorang tiba menemuinya , dia menyampaikan :
“ Salah satu dari kalian menemuiku , sedang perbuatan zina nampak pada matanya “
Mendengar perkataan tersebut, spontas saja, yang datang di situ mengatakan: “ apakah pernyataan tuan tersebut, ialah wahyu dari Allah ? “ . Kholifah Utsman menjawab: “ Bukan, akan tetapi itu yakni firasat yang benar “ .
Juga, sebelum dia meninggal dunia alasannya terbunuh, dia mencicipi bahwa ajalnya sudah akrab dan dia akan mati terbunuh, maka dia mengambil perilaku untuk tidak mengadakan perlawanan saat segerombalan orang masuk ke rumahnya, serta menolak santunan yang di tawarkan oleh beberapa pengawal dan sahabatnya. Beliau ingin menyingkir dari pertumpahan darah antara kaum muslimin, yang ujung-ujungnya, dia jugalah yang mau menjadi korbannya.
Menentukan Hukum dengan Firasat
Bukan hingga di situ saja, firasatpun kadang bisa digunakan di dalam menentukan suatu masalah. Yang perlu dikenang kembali, maksud firasat di sini yakni firasat yang benar, yang ialah tanda- tanda atau bukti- bukti yang cuma bisa dipahami oleh orang – orang tertentu dan pastinya bisa dicerna oleh kebijaksanaan sehat.
Salah contohnya, yakni apa yang dijalankan oleh nabi Allah Sulaiman as, saat dua orang perempuan tiba terhadap nabi Daud as, untuk mengakhiri kendala mereka berdua yang masing – masing mempunyai bayi, salah satu bayi dari keduanya disantap srigala. Kedua- duanya mengaku bahwa bayi yang masih hidup yakni bayinya.
Tidak ada satupun dari mereka mau menyerah dan ironisnya lagi, tidak ada tanda satupun untuk bisa dijadikan bukti dalam kendala tersebut. Setelah berpikir sejenak, nabi Daud as kesudahannya menentukan bahwa bayi tersebut milik perempuan yang lebih tua. Apa yang dijadikan dasar oleh nabi Daud as, sehingga mengambil keputusan tersebut ?
Barangkali alasannya pertimbangan umur, atau alasannya Nabi Daud as sejak pertama kali menyaksikan bahwa bayi tersebut senantiasa dalam dekapan ( gendongan ) perempuan yang tua. Keadaan menyerupai itu dijadikan Nabi Daud as, selaku dasar pijakan untuk menentukan bahwa anak tersebut milik perempuan yang mendekapnya. Dan teori ini dibenarkan di dalam Hukum Islam.
Namun, saat kedua perempuan tersebut mengunjungi Nabi Sulaiman as, dan menceritakan duduk perkaranya. Karena tidak ada bukti, Nabi Sulaiman as berpikir sejenak. Dan tanpa banyak bicara, dia secepatnya mewakilkan anak buahnya untuk mengambil pedang. Setelah pedang yang terhunus tersebut di tangan nabi Sulaiman as, dia menyarankan biar salah satu dari dua perempuan tersebut untuk mengalah, sebelum pedang tersebut diayunkan ke badan bayi mungil, untuk kemudian dibagi menjadi dua kepingan agar adil. Sampai di situ, kedua perempuan tadi tidak bergeming dari pendiriannya masing-masing.
Mereka menerka bahwa nabi Sulaiman sulit dipercayai berbuat setega itu. Namun, saat perempuan yang lebih muda menyaksikan Nabi Sulaiman ra, serius dan tidak main- main dengan ancamannya, serta hendak mengayunkan pedangnya persis di tengah badan bayi tersebut, tiba- tiba dia berteriak: “ Jangan engkau laksanakan wahai nabi Allah Sulaiman, semoga Allah menyediakan rohmat kepadamu, saya nyatakan bahwa bahwa anak tersebut milik perempuan yang lebih renta dariku “. Mendengar teriakan tersebut, Nabi Sulaiman tersenyum dan tidak meneruskan rencananya tersebut. Kemudian menentukan bahwa bayi tersebut yakni milik perempuan yang lebih muda.
Nabi Sulaiman dalam menentukan kendala tersebut, sudah menggunakan firasat dan ilmunya bahwa diamnya perempuan yang tua, dan menjeritnya perempuan yang lebih muda serta tidak hingga hatinya dia menyaksikan anak tersebut dibelah menjadi dua, ialah bukti atau tanda yang sungguh besar lengan berkuasa bahwa anak tersebut milik perempuan muda.
Bahkan bukti- bukti menyerupai itu, jauh lebih besar lengan berkuasa dari pada sekedar ratifikasi perempuan muda sendiri yang menyatakan bahwa anak tersebut bukan anaknya, namun anak perempuan yang lebih tua. Peristiwa ini bisa dilihat di dalam buku Shohih Bukhori, Kitab ; mengenai para nabi, no ( 3427) dan di Shohih Muslim, Kitab ; peradilan no ( 1720 ) Peristiwa tersebut sungguh erat kaitannya dengan firman Allah :
وداود وسليمات إذ يحكمان في الحرث غذ نفشت فيه غنم القوم وكنا لحكمهم شاهدين ، ففهمناها سليمان وكلا آتيناه حكمة وعلما
“ Dan camkan kisah Daud dan Sulaiman, saat mereka menyediakan keputusan mengenai tanaman, alasannya flora tersebut di rusak oleh kambing –kambing kaumnya , dan Kami yakni menyaksikan apa yang mereka putuskan. Adapun Sulaiman sudah Kami berikan pengertian ( kepahaman ) terhadap aturan yang tepat, Dan masing- masing dari keduanya , Kami beri hikmah dan ilmu … “ (QS Al Anbiya’ 78-79 )
Dari ayat di atas, sebagian ulama beropini bahwa menyeleksi putusan dalam peradilan dengan tanda- tanda menyerupai itu, ialah kepingan dari “ al fahmu “ ( pemahaman) atau firasat, bukan sekedar ilmu belaka.
Namun , menurut irit penulis “ al fahmu” atau firasat tolong-menolong tidaklah berbeda dengan Ilmu Syareat, bahkan “ al fahmu “ sendiri ialah kepingan dari Ilmu Syareat tersebut. Jadi, ilmu yang disebutkan Allah di dalam Qs Al Baqarah : 282 di atas,- yang tiba alasannya ketaqwaan -, tergolong di dalamnya yakni ilmu “ alfahmu “ atau “ firasat yang benar “ .
Contoh lain, yakni apa yang terjadi pada masa kekholifahan Umar ibnu Khottob, saat tiba kepadanya seorang perempuan yang memuji sifat suaminya, seraya berkata :
“ Suami saya yakni orang yang paling baik di dunia ini, dia senantiasa bangkit untuk melakukan sholat malam hingga pagi, kemudian dia juga puasa pada siang harinya nya hingga malam“.
Kemudian perempuan tersebut tidak sanggup meneruskan perkataannya, alasannya malu. Setelah perempuan tersebut pulang, berkata Ka’ab bin Suwar , seorang qhodi yang cerdas dari kelompok tab’in , terhadap Umar :
“ Wahai amirul mukminin, perempuan tadi tolong-menolong ingin mengadu terhadap tuan “. “ Mengadu mengenai apa ? “ , tanya Umar. “ Mengadu mengenai kedholiman suaminya “, jawab Ka’ab. “ Kalau begitu panggil mereka berdua dan kau tuntaskan masalahnya “,
Jawab Umar tegas. “ Saya yang mengakhiri urusan mereka, sedang tuan menyaksikannya ? “ tanya Ka’ab ragu. “ Iya, alasannya firasatmu sanggup membaca sesuatu yang saya tidak memperhatikannya “, jawab Umar ra. Mendengar hal tersebut Ka’ab menjadi hening dan mulai mengakhiri problematika kedua suami istri tersebut dengan membacakan firman Allah :
فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع
“ Maka hendaklah engkau nikahi wanita- perempuan yang engkau sukai : dua , tiga atau empat “ ( QS An Nisa : 3 )
Kemudian Ka’ab berkata : “ Dengan dasar ayat tersebut, maka ( wahai suami ) hendaknya engkau puasa tiga hari saja, adapun hari keempat engkau mesti berbuka( tidak puasa ) bareng istrimu, dan hendaknya engkau sholat malam selama tiga malam saja, dan pada malam keempat, engkau mesti tidur bareng istrimu “.
Umar bin Khottob berdecak kagum, saat mendengar keputusan yang diajukan oleh Ka’ab terhadap dua orang suami istri tersebut, kemudian berkata : “ Firasatmu yang kedua ini jauh lebih mutakhir dari yang pertama “. Akhirnya , Umar mengangkatnya selaku qhodhi di kota Basroh.
Dari keterangan di atas, bisa kita ambil kesimpulan bahwa firasat ternyata terdapat di dalam anutan Islam, bahkan disebutkan di dalam Al Qur’an dan Hadits serta dijalankan oleh para teman dekat dan para pengikutnya.
Namun yang perlu di catat di sini, bahwa hal itu bukan mempunyai arti setiap orang boleh mengaku bahwa dia mempunyai firasat yang benar atau bahkan menentukan sesuatu kendala dengan firasat , meskipun tanpa ada gejala atau bukti-bukti yang dapat di pertangungjawabkan baik secara Hukum Islam , maupun secara logika yang sehat.
Karena hadits diatas, yang menyampaikan untuk waspada dengan firasat orang beriman , ditambah dengan contoh-contoh yang diutarakan di atas , sudah membuktikan bahwa firasat yang dapat di terima yakni firasatnya orang yang beriman, yakni orang yang benar- benar bertaqwa terhadap Allah subhanahu wa ta'ala, dibarengi dengan bekal ilmu syar’i yang mapan.
Hal tersebut, dikuatkan dengan lafadh hadits kepingan terakhir yang berbunyi ( alasannya dia menyaksikan sesuatu dengan cahaya Allah ) maksud dari : “dengan cahaya Allah” di sini yakni dengan ketaqwaan dan dengan ilmu. Karena kalau sekedar mengaku taqwa tanpa bukti, pastinya tidak dapat di terima pengakuannya, alasannya salah satu bukti dari ketaqwaan yakni ilmu.
Beribadah tanpa dasar ilmu bagaikan ibadahnya orang Nasrani (Kristen) yang dicap oleh Allah dengan golongan yang sesat. Seseorang tidak akan bisa beribadah dan bertaqwa terhadap Allah dengan baik dan sempurna, kalau tidak punya bekal ilmu yang cukup. Sebaliknya kalau cuma berbekal ilmu saja, tanpa ada keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah juga tidak akan terwujud suatu cahaya, alasannya ia tergolong type orang Yahudi yang di murkai oleh Allah.
Akhirnya, kita menyampaikan bahwa firasat yang benar dan yang dapat dipertanggung jawabkan, terlebih yang dapat digunakan selaku dasar pijakan untuk menentukan perkara, hanyalah dimiliki oleh orang-orang yang pandai dan bertaqwa serta beriman.
Semoga Allah menganugrahkan firasat yang benar terhadap kita semua. Amin.
Referensi:
0 Komentar untuk "Hukum Ilmu Firasat Dalam Islam"