Urgensi Forum Pendidikan Dalam Menyebarkan Pendidikan Agama Islam Di Aceh

Urgensi Lembaga Pendidikan dalam Mengembangkan Pendidikan Agama Islam di Aceh Urgensi Lembaga Pendidikan dalam Mengembangkan Pendidikan Agama Islam di Aceh

BAB IV

PERANAN DAYAH DALAM MENGEMBANGKAN  
 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DIACEH



A.    Urgensi Lembaga Pendidikan dalam Mengembangkan Pendidikan Agama Islam di Aceh

Lembaga pendidikan tertua dalam sejarah pendidikan di Aceh yaitu Dayah. Lembaga pendidikan semacam dayah ini di Jawa dikenal dengan nama Pesantren,di Padang disebut Surau, sementara di Patani dan Malaysia disebut Pondok.[1] Dayah diambil dari bahasa arab zawiyah, yang artinya pojok atau sudut,[2] diyakini masyarakat Aceh pertama kali digunakan untuk sudut Masjid Madinah ketika Nabi Muhammad mengajar para sobat pada awal Islam.[3] Dayah yang penulis maksud yaitu tempat tinggal tetap yang digunakan untuk mempelajari, membahas dalil-dalil naqliyah dan aqliyah yang berkaitan dengan agama Islam.
            Sejak Islam masuk ke Aceh 225 H (840 M)[4], pendidikan dan pengajaran Islam mulai lahir dan berkembang dengan sangat pesat, terutama sehabis berdirinya Kerajaan Islam Pasee, alasannya pada masa itu mulai banyak ulama yang mendirikan Dayah, sehingga banyak pelajar yang berdatangan ke Pasee.[5] Di masa Sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan Aceh Darussalam di kala ke 17, Aceh telah menjadi Serambi Mekkah. Ketika Malaka ditaklukkan Portugis (1511 M), para ulama banyak yang  meninggalkan Malaka menuju Aceh, sesampai di Aceh para ulama ini banyak yang menyiarkan agama dan bahkan ada yang mendirikan Dayah. Di masa Sultan Iskandar Muda inilah Dayah mencapai puncak keemasannya.
            Dayah merupakan sentra pendidikan Islam masyarakat Aceh semenjak dahulu hingga sekarang. Keberadaaan dayah sebagai sentra pendidikan Islam masa kemudian sudah menghasilkan sejumlah ulama dan tokoh yang besar lengan berkuasa di masanya. Peminpin-peminpin Aceh masa kemudian menyerupai Sultan Iskandar Muda yaitu alumni dayah. Dayah masa kemudian sukses mengintegrasikan pendidikan umum dan pendidikan agama, ini semua dikarenakan pendidikan dayah dikala itu yang tidak dikotomi, sehingga outputdayah bukan hanya ulama, tetapi juga politikus atau negarawan.[6]
            Institusi dayah di Aceh mengalami pasang surut yang sangat signifikan, terutaman di masa penjajahan Belanda. Penghancuran dayah dan segala khazanah keilmuannya, perpustakaan dan manuskrip yang dimiliki serta para peminpin dayah itu sendiri telah menghipnotis kemunduran dayah semenjak Belanda memulai pendudukannya di Aceh pada tahun 1873. Dayah dan peminpinnya dikala itu merupakan simbol dan penggagas usaha menentang kolonialisme di Aceh.
Dalam kehidupan masyarakat Aceh, sebagai salah satu landasan budaya terdapat satu forum yang dinamakan dengan Meunasah. Sebagai simbol masyarakat Aceh, pada setiap Gampong terdapat Meunasah, sebagai sentra pengendalian tata kehidupan masyarakat. Meunasah dibentuk terbentuk empat segi tanpa dilengkapi dengan jendela, lorong atau sekatan-sekatan. Beda antara rumah dengan Meunasah hanya sedikit saja bagi orang yang tidak memperhatikan dengan sengaja akan sanggup dilihat kesamaannya dari pada perbedaannya. Persamaan terdapat pada bentuknya menyerupai rumah Aceh. Sedangkan perbedaannya kelihatan pada posisinya yaitu rumah tampak membujur kearah kiblat dan Meunasah tampak kearah utara selatan. Perbedaan selanjutnya terletak pada lantai Meunasah yang kelihatan rata,  sedangkan lantai rumah tampak tinggi potongan tengahnya.[7]
Bentuk dan kondisi Meunasah semacam itu pada kurung waktu kini ini mungkin sudah minim alasannya Meunasah kini mengikuti arus kemajuan zaman yang modern. Meunasah sudah berjendela mempunyai Kulah, kolam wudhuk pada sudah mempunyai penerangan lampu listrik serta banyak sekali variasi lainnya.
Ada yang menyebut Meunasah dan meulasah atau beulasah. Namun yang penting yaitu bahwa istilah Meunasah berasal dari kata madrasah dalam bahasa Arab yang mengandung pengertian forum pendidikan. Meunasah merupakan tempat mencar ilmu dasar bagi belum dewasa yang mempelajari dasar ilmu agama dan cara membaca Alquran. Anthony Reid dalam bukunya asal mula konflik Aceh dan perebutan Pantai Timur Sumatra hingga selesai kerajaan Aceh kala ke -19 menyebutkan bahwa �Meunasah yaitu suatu tempat umum yang dipergunakan sebagai sarana penginapan bagi kaum laki-laki remaja yang singgah dalam suatu gampong�.[8] 
Terlepas dari sejarah dan latar belakang wacana asal muasal lahir Meunasah, yang pasti antara Aceh dengan Meunasah merupakan integritas dua sisi yaitu sisi Meunasah dan sisi binnya yaitu masyarakat Aceh, sehingga dimana ada masyarakat Aceh disitulah ada Meunasah, sebaliknya dimana ada Meunasah disitu pasti ada masyarakat Aceh, meskipun berada diluar daerah. Meunasah sudah merupakan potongan budaya, identitas dan ciri-ciri kehidupan masyarakat Aceh. Tidak berfungsinya Meunasah dari aspek budaya berarti lanyap pula identitas dan ciri-ciri kehidupan masyarakat Aceh. Dengan demikian Meunasah bukan hanya suatu bangunan, tetapi lebih menggambarkan kondisi dan situasi suatu lingkungan masyarakat, khususnya masyarakat Aceh terutama pada tingkat gampong. Makara Meunasah bukanlah hanya sebagai sebuah simbol wilayah saja, tetapi juga merupakan sebuah bangunan yang mempunyai fungsi serba guna.
Masyarakat Aceh yang bersahabat sekali dengan adat yang bernafaskan agama (Islam) menyerupai adat dan hukom lagee zat ngon sifeut.  Lembaga-lembaga adat menyerupai meunasah, dan prosesi-prosesi adat menyerupai adat meugoe, khanduri blang, khanduri udep dan khanduri matee, teungku memegang peranan penting, baik sebagai pimpinan pada forum tersebut atau juga sebagai pimpinan pada prosesi adat yang dilakukan.[9]
Meunasah bagi masyarakat Aceh sudah ada semenjak kala ke-8 dikala kerajaan Perlak membangun  pusat-pusat pendidikan untuk masyarakat di tingkat gampong.  Dalam Khazanah Pendidikan Tradisional di Aceh, sebagaimana dikutip dari perkataan Sulaiman Tripa menyebutkan bahwa �lembaga meunasah, yang berasal dari kata madrasah dalam bahasa Arab ini berarti forum pendidikan, meunash ini ada di setiap gampong yang ada di Aceh�.[10]
Sejarah perkembangan pendidikan di Aceh, menandakan bahwa Meunasah merupakan salah satu forum awal pendidikan yang tujuannya yaitu mempersiapkan generasi penerus yang mengetahui dan mengamalkan segala pemikiran agama Islam secara benar dan baik. Sebagai forum pendidikan, meunasah memang mengadakan pengajian rutin pada malan hari, maupun siangnya merupakan forum pendidikan yang paling bau tanah dalam masyarakat Aceh.[11]
Meunasah ini dikenal oleh masyarakat Aceh semenjak masuknya Islam ke Aceh. Hal ini sesuai dengan pendapat A. Hasjmi sebagai berikut:
Para hebat sejarah muslim Indonesia telah setuju bahwa agama Islam masuk ke Indonesia melalui Negeri Peureulak Kabupaten Aceh Timur. Kerajaan Peureulak diresmikan sebagai kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara pada tanggal 1 Muharram 225 H. sekitar tahun 854 M, dengan sultan Said Abdul Aziz Syah. Di negeri inilah pertama kali diresmikan sebuah forum pendidikan yang berjulukan Dayah Cot Kala yang dipimpim ulama besar Teuku Chik Muhammad Amin.[12]

Meunasah-meunasah yang ada di Aceh merupakan forum pendidikan Islam yang dahulunya telah banyak membuat orang-orang yang bisa memhami ilmu agama secara mendalam, khususnya wacana aqidah, ibadah, dan akhlak. Meunasah juga telah banyak melahirkan juru dakwah, pendidik, dan pemimpin yang berwawasan luas, sehingga bisa memecahkan banyak sekali dilema umat serta bisa berhadapan dengan cobaan-cobaan dan rintangan dalam usaha menyebarluaskan agama Islam ke seluruh penjuru tanah air.[13]
Berdasarkan uraian di atas sanggup dipahami bahwa, sejarah dan perkembangan meunasah di Aceh diawali oleh perkembangan agama Islam di bumi Nusantara dan merupakan suatu langkah yang ditempuh untuk menarik umat dalam menyebarluaskan agama Islam, yaitu melalui pembukaan dan pelatihan di meunasah-meunasah dengan cara  guru atau teungku di meunasah mengumpulkan mayarakat untuk mengkaji ilmu-ilmu agama Islam.
Memperhatikan perkembangan meunasah pada masa dahulu, maka nampak terang peranannya dalam usaha pelatihan pendidikan terhadap masyarakat, terutama dalam membina generasi muda. Dalam hal ini meunasah telah banyak menampakkan hasil-hasil positif. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peminat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama di meunasah.
Dalam perkembangan meunasah masa kini ini sanggup dilihat bahwa meunasah tidak lagi berfungsi menyerupai pada zaman dahulu, alasannya masyarakat telah banyak pergi ke pesantren-pesantren atau dayah-dayah yang telah maju untuk mengkaji ilmu pengetahuan agama. Ditambha lagi dengan didirikannya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bernaung di bawah Departemen pendidikan Agama. Seperti sekolah MIN, MTsN, MAN, dan  telah ada perguruan-perguruan hampir di setiap kabupaten yang ada di Aceh. Hal ini membawa factor rendahya minat masyarakat untuk mengkaji ilmu-ilmu agama di Meunasah-meunasah yang masih ada di setiap Gampong di Aceh. [14]
Dengan demikian, sebagaimana sanggup kita lihat dalam kehidupan masyarakat Aceh sekarang, di mana meunasah tidak lagi digunakan sebagai tepada waktu adanya musyawarah-musyawarah. Akan tetapi di daerah-daerah perdalaman Meunasah masih juga digunakan sebagai tempat pelatihan keagaamaan bagi orang tua, anak muda, dan belum dewasa remaja. Disini mereka masih aktif untuk mempelajari agama. Seperti balajar Alquran, tauhid, fiqih dan  tasawuf. Hal ini menandakan bahwa hingga dikala ini meunasah masih dijadikan sebagai tempat forum pendidikan oleh masyarakat Aceh.
Dayah yaitu suatu forum pendidikan yang terdapat di Aceh, yang hampir sama dengan pesantren di Jawa, baik dari aspek fungsi maupun tujuan. Kendati ada beberapa perbedaan penting, menyerupai yang terlihat di pesantren yang ada di Jawa Timur, yaitu pesantren merupakan suatu tempat yang dipersiapkan untuk memperlihatkan pendidikan agama mulai dari tingkat dasar hingga ke tingkat yang lebih tinggi.[15]
Sedangkan di Aceh, dayah yaitu forum pendidikan lanjutan bagi belum dewasa yang sudah menuntaskan pendidikan dasar di Meunasah atau rangkang atau di rumah-rumah Teungku Gampong.[16] Di masa Kerajaan Aceh Darussalam, terdapat beberapa forum negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, di antaranya: Pertama, Balai Seutia Hukama, merupakan forum ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, cendekiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Kedua,Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran. Ketiga,  Balai Jamaah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar pikiran membahas persoalan-persoalan pendidikan dan ilmu pendidikan[17].                    
B.    Signifikan Pendidikan Dayah dalam Mengembangkan Pendidikan Agama Islam di Aceh        

Sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia, menandakan bahwa pesantren merupakan forum pendidikan agama yang salah satu tujuannya yaitu mempersiapkan generasi penerus yang mengetahui dan mengamalkan segala pemikiran agama Islam secara baik. Sesuai dengan pengertian dayah itu sendiri, yaitu sudut atau pojok. Sebagai forum pendidikan, dayah memang berasal dari pengajian-pengajian yang diadakan di sudut-sudut mesjid yang merupakan forum pendidikan yang paling bau tanah dalam Islam. Dalam bahasa Aceh perkataan zawiyah balasannya bermetamorfosis dayah alasannya dipengaruhi oleh bahasa Aceh yang intinya tidak mempunyai abjad Z dan cenderung lebih memendekkan. Di samping istilah dayah berasal dari zawiyah itu, forum pendidikan tradisional di Aceh kini ini disebut juga dengan pasantren yang terdiri dari khazanah bahasa Sanskerta yang digunakan untuk forum pendidikan tradisional yang sama di Jawa.[18]
Semenjak dahulu masyarakat Aceh mengenal pasantren dengan nama dayah atau rangkang, sehingga dalam penulisan ini kata pesantren diidentikkan dengan kata dayah. Dayah atau rangkang ini dikenal oleh masyarakat Aceh semenjak masuknya Islam ke Aceh. Hal ini sesuai dengan pendapat A. Hasjmi sebagai berikut:
Para hebat sejarah muslim Indonesia telah setuju bahwa agama Islam masuk ke Indonesia melalui Negeri Peureulak Kabupaten Aceh Timur. Kerajaan Peureulak diresmikan sebagai kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara pada tanggal 1 Muharram 225 H. sekitar tahun 854 M, dengan sultan Said Abdul Aziz Syah. Di negeri inilah pertama kali diresmikan sebuah forum pendidikan yang berjulukan Dayah Cot Kala yang dipimpim ulama besar Teuku Chik Muhammad Amin.[19]

Dayah merupakan forum pendidikan Islam yang banyak membuat ulama, juru dakwah, pendidik, dan pemimpin yang berwawasan luas, sehingga bisa memecahkan banyak sekali dilema umat serta bisa berhadapan dengan cobaan-cobaan dan rintangan dalam usaha menyebarluaskan agama Islam ke seluruh penjuru tanah air. Ulama dan muballigh yang telah menamatkan studinya di suatu dayah kembali mendirikan dayah atau pesantren yang gres di kawasan asalnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan A. Hasjmi sebagai berikut:
Dayah Cot Kala yaitu sentra pendidikan yang banyak menghasilkan ulama, juru dakwah, dan pemimpin yang sangat berperan dalam pembangunan kerajaan Peureulak, Samudra Pase, Beunua (Tamiang), Lingga, Pidie, Daya dan Lamuri. Sebagai teladan Teungku Kawee Teupat, dan Teungku Chik lampeuneu�eun. Teungku Kawee Teupat yaitu keluaran Dayah Cot Kala, pindah ke Aceh Tengah, dan membangun kerajaan Islam Lingga pada tahun 416 H. atau 1025 M. sedangkan teungku Chik Lampeuneu�eun yang orang tuanya berasal dari Kan�an Palestina, sehabis menamatkan pendidikannya di Cot Kala, pindah ke Lamuri, Aceh Besar dan menjadi pendakwah yang pertama di Aceh Besar.[20]

Sejarah permulaan Dayah di Aceh berlangsung dalam keadaan sangat sederhana. Hal ini sanggup dilihat dari keadaan tempat yang digunakan yaitu hanya mesjid-mesjid dan diikuti oleh beberapa orang saja, menyerupai Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan yang didirikan oleh Syech Muhammad Wali al-Khalidy pada tahun 1931. Namun, kini Dayah Labuhan Haji semakin maju dan sangat besar lengan berkuasa dan mempunyai 2000 santri dengan 300 orang guru.[21]
Sampai kini ini, pendidikan sistem dayah di Aceh mengalami banyak sekali fenomena gres yaitu munculnya banyak sekali pesantren atau dayah yang bersifat terpadu yang mengambil pola-pola perubahan yang telah dilakukan di Jawa. Di antara dayah terpadu yang sangat menonjol kini ini di Aceh yaitu Madrasah Bustanul Ulum Langsa Aceh Timur, dan Dayah Jeumala Amal di Lueng Putu Kabupaten Pidie.
Dayah Bustanul Ulum Langsa didirikan pada tahun 1961 pada mulanya hanyalah sebuah dayah tradisional biasa menyerupai dayah-dayah tradisional lainnya, tetapi pada tahun 1985 Dayah ini dimodernisir dengan konsep terpadu yang memadukan  pendidikan  Dayah  dengan  pendidikan madrasah yang ada di bawah Departemen Agama. Dengan memakai manajemen dan pendidikan sistem sekolah, ternyata masyarakat menaruh minat yang luar biasa terhadap forum pendidikan dayah yang terpadu ini, sehingga kini mempunyai santri lebih seribu orang.[22]
Lahirnya pendidikan terpadu ini nampaknya tidak terlepas dari pembaharu-pembaharu yang dialami oleh pendidikan pesantren di Jawa. Salah satunya yaitu pesantren modern Gontor di Jawa Timur. Pesantren ini memakai sistem pendidikan madrasah, dengan menerapkan disiplin mencar ilmu dan penerapan ibadah secara mudah dan sistematis. Sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh pesantren modern Gontor dalam komplek asrama. Santri digodok dalam satu lingkungan sosial keagamaan yang kuat dengan ilmu agama serta dengan ilmu pengetahuan umum.[23]
Berdasarkan uraian di atas sanggup dipahami bahwa, sejarah dan perkembangan pesantren atau dayah diawali oleh perkembangan agama Islam di bumi Nusantara dan merupakan suatu langkah yang ditempuh untuk menarik umat dalam menyebarluaskan agama Islam, yaitu melalui pembukaan dan pelatihan pesantren dengan cara mengumpul atau memondokkan sejumlah santri untuk mendapatkan pendidikan Islam di bawah bimbingan kyai atau ulama. Para santri yang telah usang mencar ilmu di pesantren atau dayah dibutuhkan bisa menguasai pengetahuan agama, sehingga sanggup mewarisi ilmu yang telah diperolehnya kepada generasi berikutnya.
Memperhatikan perkembangan pesantren, maka nampak terang peranannya dalam usaha pelatihan pendidikan terhadap masyarakat, terutama dalam membina generasi muda. Dalam hal ini dayah telah banyak menampakkan hasil-hasil positif. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peminat untuk menempuh jalur pendidikan di Dayah-dayah. Dayah pada masa kini juga sangat berperan dalam menanggulangi tindakan dekadensi moral dan kriminal di kalangan generasi muda. Dengan demikian, secara eksklusif dayah sanggup dikatakan sebagai forum yang sanggup menyukseskan program-program pemerintah.
Pemerintah juga sangat besar memperlihatkan perhatian terhadap perkembangan Dayah. Salah satu bentuk perhatian pemerintah dengan cara memperlihatkan bantuan-bantuan kepada pesantren modern yang memadukan jadwal pesantren dengan program-program pemerintah. Bentuk lain dari perhatian pemerintah yaitu adanya pengadaan seminar-seminar wacana pendidikan dayah yang tujuannya untuk mengembangkan pendidikan dan pengajaran di dayah, terutama mengenai pengembangan kurikulum dayah.
Dalam perkembangan dayah masa kini ini sanggup dilihat mulai mendirikan Madrasah dalam komplek dayah. Sebagian lagi ada juga yang mendirikan forum pendidikan umum yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, bukan berarti sistem pendidikan agama yang berada di bawah Departemen Agama. Dengan kata lain, Dayah di samping mendirikan madrasah, juga mendirikan sekolah-sekolah umum dengan kurikulum yang diatur oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.[24]               
C.    Peranan Ulama Dayah dalam Mengembangkan Pendidikan Agama Islam di Aceh
                                                                 
Sejak Islam pertama kali hingga ke Aceh, ulama telah memainkan kiprah penting dalam banyak sekali aspek kehidupan rakyat Aceh. Dalam hal ini, sejumlah hebat memandang bahwa faktor jaringan ulama Haramain telah memperlihatkan warna intelektual di Aceh. Kehadiran mereka dikala itu juga sangat dibutuhkan oleh masyarakat guna mengajar mereka ajaran-ajaran Islam. Di samping itu, para ulama juga menjadi penasehat para raja. Dengan begitu, segala keputusan mereka balasannya menjadi kebijakan kerajaan dalam bidang agama. Hingga dikala sebelum kedatangan penjajah dari  benua Eropa, ulama di Aceh telah dijadikan sebagai panutan dalam pengembangan tradisi keilmuan Islam. Karena itu, tidak sedikit dari mereka yang kemudian mengembangkan pemikiran Islam ke kawasan lain menyerupai Sumatera Barat dan pulau Jawa. Diaspora ini tentu saja kemudian menjadikan Aceh semakin dikenal luas oleh masyarakat Nusantara. Bukan hanya disitu, karya-karya ulama yang tinggal di Aceh dijadikan materi tumpuan dalam tradisi keilmuan Islam di Nusantara.[25]
Istilah �Ulama� yaitu jamak dari �alim sebagai sighah mubalaghah, yang berarti orang yang mempunyai pengetahuan yang mendalam wacana sesuatu. Kata ulama memperlihatkan kepada keahlian dan spesifikasi. Dengan demikian kata �alim berbeda dengan kata �alim yang berarti orang yang tahu tetapi belum tentu mendalam.[26]
Di Nanggroe Aceh Darussalam, ulama mempunyai posisi khusus di tengah-tengah masyarakat. Mereka bukan hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai otoritas yang menjadi tumpuan masyarakat dalam banyak sekali dilema sosial budaya dan persoalan-persoalan keseharian. Karena itu ulama dayah tersebut menjadi panutan rakyat dan mempunyai kharisma yang tinggi di mata masyarakat. Lebih dari itu, di era perjuangan, ulama dayah yaitu sebagai kekuatan dalam melawan penjajah. Oleh alasannya itu, Snouck Hurgronje, seorang advisor pemerintah kolonial Belanda, menyarankan kepada pemerintahannya untuk menekan para ulama dan membatasi ruang gerak mereka hanya dalam bidang keagamaan dan seremonial ibadat saja.[27] Orang Aceh dikala itu dianggap sebagai penjahat dan pembunuh oleh Belanda, alasannya melawan pemerintahannya, meskipun bagi orang Aceh hal tersebut yaitu potongan dari usaha keagamaan mereka.[28]Semua gerakan ini dimotori oleh para ulama, dan dayah yaitu sentra kekuatan dan sumber wangsit bagi banyak sekali gagasan ke arah usaha dan perubahan.
Lembaga pendidikan khas Aceh yang selanjutnya disebut Dayah merupakan sebuah forum yang pada awalnya memposisikan dirinya sebagai sentra pendidikan pengkaderan ulama. Kehadirannya sebagai sebuah institusi pendidikan Islam di Aceh bisa diperkirakan hampir bersamaan tuanya dengan Islam di Nusantara. Kata Dayah berasal dari bahasa Arab, yakni zawiyah, yang berarti pojok.[29] Istilah zawiyah, yang secara literal bermakna sudut, diyakini oleh masyarakat Aceh pertama kali digunakan sudut mesjid Madinah ketika Nabi Muhammad saw berdakwah pada masa awal Islam. Pada kala pertengahan, kata zawiyah difahami sebagai sentra agama dan kehidupan gaib dari penganut tasawuf, alasannya itu, didominasi hanya oleh ulama perantau, yang telah dibawa ke tangah-tengah masyarakat. Kadang-kadang forum ini dibangun menjadi sekolah agama dan pada dikala tertentu juga zawiyah dijadikan sebagai pondok bagi pencari kehidupan spiritual. Dhus, sangat mungkin bahwa disebarkan pemikiran Islam di Aceh oleh para pendakwah tradisional Arab dan sufi; Ini mengidentifikasikan bagaimana zawiyah diperkenalkan di Aceh.[30]  Di samping itu, nama lain dari dayah yaitu rangkang. Perbedaannya, eksistensi dan kiprah rangkang dalam kancah pembelajaran lebih kecil dibandingkan dengan dayah.
Ulama Dayah merupakan suatu komunitas khusus di antara ulama Aceh. Mereka yaitu alumni dari dayah. Oleh alasannya itu mereka dianggap lebih terhormat dibandingkan dengan orang yang menuntut ilmu di tempat/lembaga pendidikan lain, menyerupai lulusan madrasah atau sekolah. Orang-orang yang mencar ilmu di tempat kecuali dayah dan bisa menguasai ilmu agama secara mendalam disebut sebagai �ulama modern�, walaupun perbedaannya tidak begitu jelas.[31]
Fungsi pendidikan yang dilakukan oleh ulama Aceh sudah terlihat semenjak Islam diperkenalkan kepada masyarakat. Penyebaran dan pengenalan Islam kepada masyarakat pada waktu itu juga dilakukan melalui pendidikan. Lembaga pendidikan Zawiyah (sekarang dikenal dengan nama dayah) yaitu satu-satunya forum pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat Aceh pada masa itu. Ulama melalui forum pendidikan dayah telah sangat berjasa mengajarkan pendidikan agama hingga kini ini. Berkat jasa para ulama itu juga kini ini forum pendidikan dayah dan balai-balai pengajian sudah tersebar di semua pelosok Aceh. Kewujudan forum pendidikan inilah yang menjadi benteng utama pertahanan syiar Islam di bumi Aceh walaupun selalu dihantam oleh banyak sekali gerakan pemudaran syariat dengan banyak sekali bingkai menyerupai pluralisme, leberalisme, sekulerisme dan banyak sekali isme-isme yang sesat lainnya. Saya yakin bahwa bila Aceh tidak mempunyai jaringan forum dayah yang mengakar ke dalam masyarakat menyerupai kini ini, pasti Aceh akan terbenam ke dalam kubangan kejahilan, kemungkaran bahkan kemurtadan.
Dalam menjalankan fungsi dakwah menghasruskan para ulama untuk terlibat dalam banyak sekali ranah kehidupan ummat, tidak hanya dalam dilema agama saja namun juga termasuk dalam ranah sosial. Fungsi ini pula yang menimbulkan ulama berkerja keras terlibat dalam permasalahan masyarakat. Dengan tanpa mengharapkan imbalan apapun para ulama selalu siap menampung banyak sekali keluhan yang disampaikan kepada mereka sehingga menjadikan mereka sebagai pemimpin kultural (kharismatik) dalam kehidupan masyarakat Aceh. Sebenarnya apabila merujuk kepada sejarah awal Islam, baik yang  dipraktekkan oleh Rasulullah maupun Khulafaur Rasyidin, maka tidak ditemukan adanya pemisahan antara ranah agama dengan dan ranah sosial, tetapi keduanya mempunyai relasi yang saling melengkapi dalam mengantarkan ummat untuk menggapai kehidupan yang sejahtera.          




[1]Hasbi Amiruddin, Menatap Masa Depan Dayah di Aceh,(Banda Aceh: PENA, 2008), hal. 41.

[2]Elias A. Elias dan Edward E. Elias, Kamus Saku Arab Inggris Indonesia ,(Jakarta: al-Ma�arif, 1983), hal. 439.
[3]Tgk. Mohd. Basyah Haspy, Appresiasi Terhadap Tradisi Dayah: Suatu Tinjauan Terhadap Tata Krama dan Kehidupan Dayah, (Banda Aceh: Panitia Seminar Apresiasi Pesantren di Aceh Persatuan Dayah Inshafuddin, 1987), hal. 7. 

[4]A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Cet. III,  (Medan: Al-Ma�arif, 1993), hal. 147.
[5]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1993), hal. 172.

[6]Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Banda Aceh: Bandar Publising, 2009), hal. 218.
[7] Baruzzaman Ismail, Mesjid dan Adat Meunasah bagi Sumber Energi Budaya Aceh, (Aceh: Majelis Pendidikan Daerah NAD. 2002), hal. 1.
[8] Anthony Reid, Asal mula konflik Aceh (Dari Perebutan Pantai Timur Sumatra Hingga selesai kerajaan Aceh Abad ke-19), (Jakarta: Yayasan Obat Indonesia, 2005), hal 313.

[9]Majelis Pendidikan Daerah Provinsi Daerah spesial Aceh, Perkembangan Pendidikan di Daerah spesial Aceh, (Banda Aceh: Gua Hira�, 1995), hal. 61.

[10]Sulaiman Tripa, Meunasah Ruang Serba Guna Masyarakat Aceh, http://www.acehinstitute. Diakses 20 Oktober, 2010.

[11] Majelis Pendidikan Daerah Provinsi Daerah spesial Aceh, Perkembangan �, hal. 62.

[12]A. Hasjmi, Pendidikan Islam di Aceh dalam Perjalanan Sejarah, (Banda Aceh: Yayasan Pembina, 1977), hal. 11.

[13]A. Hasjmi, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, 1993), hal. 226.

[14] Ibid.,hal. 228.
 
[15]Abdurrahman Saleh dkk, Penyelenggara Pendidikan Formal diPondok Pesantren,  (Jakarta: Ditjen Bimbingan Islam Departemen Agama R. I, 1985), hal. 11.
[16]A. Hasjmy, Sejarah Kebudayan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 192.

[17] Hasbullah,  Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999), hal. 32.
[18]Majelis Pendidikan Daerah Provinsi Daerah spesial Aceh, Perkembangan Pendidikan di Daerah spesial Aceh, (Banda Aceh: Gua Hira�, 1995), hal. 61.

[19]A. Hasjmi, Pendidikan Islam di Aceh dalam Perjalanan Sejarah, (Banda Aceh: Yayasan Pembina, 1977), hal. 11.
[20]A. Hasjmi, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, 1993), hal. 226.

[21]Forum Keadilan, Potret Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Forum Adil Mandiri, 2001), hal. 104.
[22]Majelis Pendidikan Daerah Provinsi Daerah spesial Aceh, Perkembangan Pendidikan�, hal. 87.

[23]H. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 241.
[24]Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesatren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 19.

               [25]Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Membangun Kembali Jati Diri Ulama Aceh (Pengantar Penerjemah),� dalam M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah: Pengawal Agama Masyarakat Aceh, (Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003), hal. xi-xii.
               [26] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam,(Bandung: Citapustaka Media, 2004), hal. 29.
              
               [27]Muntasir, Dayah Dan Ulama Dalam Masyarakat Aceh, dalam Sarwah, vol II, hal. 43.

               [28] Amiruddin, Ulama Dayah, Pengawal Agama Masyarakat Aceh, (Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003), hal. 1.
               [29] Ibid., hal. 2.

               [30]Amiruddin, Ulama Dayah...., hal. 33.

               [31]M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah: Peran dan Responnya terhadap Pembaruan Hukum Islam, dalam Dody S.Truna dan Ismatu Ropi (ed.), Pranata Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 119.

Related : Urgensi Forum Pendidikan Dalam Menyebarkan Pendidikan Agama Islam Di Aceh

0 Komentar untuk "Urgensi Forum Pendidikan Dalam Menyebarkan Pendidikan Agama Islam Di Aceh"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close