Saya tidak ingat lagi sejak kapan orang Aceh menghibur diri dengan sinema yang dibuat oleh Bollywood. Bila tidak salah, sejak saya kelas III SD, setiap film India diputar di televisi--TPI-- maka warga akan berkerumun. Mereka menikmati jalan kisah yang hampir seragam dari satu film ke film lainnya. Mulai dari sinema yang dibintangi oleh Jeetendra, Rajeh Khanna, Amitabh Bachchan, Shatrughan Sinha, sampai generasi Aamir Khan. Aktor-aktor itu di ujung kisah senantiasa menjadi pahlawan yang tidak terkalahkan. Kekuatan mereka senantiasa timbul di menit tamat berkat doa ibu, tangisan pacar sampai dentang lonceng kuil.
Juga liukan pingang kolam gitar Spanyol para aktris menyerupai Sridevi, Mdhuri Dixit, dan lain-lain. Dengan paras ayu khas Hindustan, perempuan-perempuan itu bisa menjadi penyedap utama film, selain jalan kisah dan polisi India yang senantiasa di bawah kontrol para bandit, atau polisi yang kerap hadir saat pahlawan sukses mengalahkans emua musuh-musuhnya.
Saya merekam dengan ingatan, kegemaran menonton sinema India berlanjut sampai beberapa tahun kemudian. Tahun 2000- 2005, di mana eskalasi pertentangan makin kencang di Aceh dan saban hari media mewartakan ihwal perang dan kematian dibarengi pelanggaran HAM oleh pelaku konflik, orang-orang Aceh tetap meluangkan diri menonton sinema India. Bila dahulu mereka menanti stasiun televisi yang menayangkan, di kurun 2000-an, warga telah menontonnya lewat VCD. Rental-rental VCD bertebaran di mana-mana. Bukan cuma film yang laris keras--tentu kaset bajakan-- VCD kumpulan lagu-lagu di banyak sekali film India pun diburu. Diputar di rumah-rumah sampai warung kopi, berkali-kali, berbulan-bulan, sampai kaset tersebut rusak.
Di kampung saya Teupin Mane, kaum lelaki--walau tidak semuanya-- menyerupai memiliki ritual wajib sebelum berangkat kerja. Mereka meluangkan diri menonton lagu India di warung kopi sembari menyeruput kopi robusta yang tidak lagi murni.
Sembari menyundut rokok, mata mereka tidak sedikitpun beralih dari layar televisi. Menikmati irama lagu, yang kadang rancak, kadang pula sedih. Soundtrack Kuch-kuch Hota Hai, Dhadhkan, Mann, dll, dicicipi dengan sarat konsentrasi.
Bila jenuh menonton lagu-lagu soundtrack film, maka pemilik warkop akan menggugah parabola dan memutuskan channel Hindustan Z.
Lirik-lirik lagu itu kerap dihafal oleh warga. Lengkap dengan gerakan si penyanyi lipsing. Misal, sembari jalan kaki pulang ke rumah, saya sering menyanyikan lagu Kuch-kuch Hota Hai sembari membayangkan diri selaku Shah Rukh Khan, atau lagu Dhadhan, dengan membayangkan kesedihan Sunil Shetty dan Ajay Devgan.
Penulis: Muhajir Juli
0 Komentar untuk "Lagu India Di Tengah Perang"