Akhirnya saya mesti menulis wacana ini. Perihal kabar yang santer sejak beberapa bulan lalu, di tengah pandemi Covid-19 yang menghasilkan ekonomi terpuruk, tiba-tiba para keuchik diminta mengalokasikan Rp10 juta untuk pengadaan buku bacaan perpustakaan gampong.
Makin ke sini, nampaknya itu bukan isapan jempol lagi. Walau sebelumnya sejumlah stakholder buang tubuh terkait "perintah" tersebut, namun hadirnya surat dari suatu distributor buku, menjadi penguat kalau apa yang selama ini menjadi isu, ialah hal yang benar.
Sebagai jurnalis sekaligus penulis sejumlah buku bernuansa keacehan, serta juga bab dari penerbit setempat yang konsen pada isu-isu kearifan lokal, saya merasa perlu menampilkan catatan. Ini bukan alasannya buku di penerbit saya tidak ikut dimasukkan ke dalam listing. Tapi tentang moral.
Rp10 juta bukan angka yang kecil. Apalagi timbul tanpa dijadwalkan sebelumnya. Memaksa keuchik berbelanja buku yang temanya telah diputuskan oleh pihak lain, bab dari upaya penjajahan kebudayaan yang mengatasnamakan kampanye literasi. Karena buku ialah salah satu alat propaganda kebudayaan.
Bayangkan, dengan angka Rp10 juta, yang bukunya ditawarkan oleh pihak lain, bukan atas pendapat pihak gampong, berapa banyak buku yang hendak masuk ke gampong-gampong di Aceh? Mungkin ratusan judul. Dari jumlah itu, berapa judul yang temanya sesuai dengan syariat Islam dan gezah keacehan. Berapa persen yang sanggup dipergunakan untuk memperbesar wawasan penduduk gampong dalam upaya kenaikan pengertian terhadap kekhususan Aceh.
Apakah pembelian buku itu dipaksa? Secara gamblang tidak ada yang mau mengaku. Semua masih misterius, semisterius maop yang berada di belakang kesibukan pengadaan buku tersebut.
Beberapa keuchik dan sekdes mengaku tidak berdaya menolak. Karena berdampak pada tata kelola pengajuan DD. Pun demikian, di tingkat lebih tinggi, seluruhnya buang badan. Terkesan pengadaan buku meraih angka 10 juta rupiah, bukan sesuatu yang dipaksa. Bukan perintah, namun imbauan. Bila benar itu imbauan, mengapa ada kesan mengerikan di sana? Ada kesan panik di sana.
Indonesia yang di dalamnya menaungi Bireuen, gres beberapa hari kemudian memperingati kemerdekaannya yang ke 75 tahun. Aceh juga gres memperingati perdamaian yang telah bertahan 15 tahun. Lalu, semangat merdeka, semangat damai, tidak menjalar hingga ke gampong-gampong? Mengapa masih ada kesibukan paksaan dengan macam-macam dalih. Bila hingga usia 75 tahun kemerdekaan Republik Indonesia masih saja ada pola-pola "penjajahan", kemudian mengapa di atas podium para pejabat bicara wacana keadilan? Mengapa bicara wacana transparansi dan kemerdekaan?
Apalagi di tengah pandemi Covid-19. Semua sendi ekonomi rusak parah. Di akar rumput, rakyat kelimpungan. Angka 6 miliar rupiah yang sanggup dikumpulkan dari seluruh gampong yang ada di Bireuen, bukan jumlah kecil. DAN, dengan angka sebesar itu, saya meyakini tidak akan terjadi multi player effect terhadap perekonomian kita di Bireuen. Angka besar itu akan mengalir ke penerbit dan distributor serta orang-orang yang berada di luar rantai sosial penduduk Bireuen.
Saya kira Pemerintah Bireuen mesti turun tangan. Rp10 juta untuk pengadaan "buku di dalam karung" akan menjatuhkan wibawa bupati, kadis dan seluruh anggota DPRK. Mereka itu hingga di sekarang ini belum seorang pun bicara wacana fenomena maop yang sedang menggelayuti para kepala desa di Bireuen.
Para keuchik, saya sarankan berkumpullah. Bila itu memberatkan, lawanlah. Adukan duduk problem itu terhadap bupati. Sampaikan kalau 10 juta rupiah tidak masuk akal. Sangat besar. Padahal di gampong kita masing-masing, banyak warga yang tidak diberikan BLT alasannya kekurangan anggaran. Banyak kesibukan pembangunan yang ditolak di dalam musyawarah alasannya tidak adanya biaya. Jangan takut pada bayang.
Jangan makan simalakama. Jadilah lelaki. Tolak upaya-upaya pemerasan atas nama pembangunan literasi. mencerdaskan anak bangsa, membangun peradaban bangsa, tidak sanggup dijalankan dengan cara-cara yang tidak berkebudayaan.
Bilakah tujuan pembelian buku itu sungguh-sungguh untuk penguatan literasi, saya kira angkanya tidak perlu sebesar itu. Serta berikan kewenangan para pemimpin gampong menyeleksi tema dan judul buku. Kalau mau cari untung di sana. Duduk baik-baik. Pemimpin gampong tetapkan tema dan judul yang tepat dengan gezah Islam dan keacehan, para "agen" yang hendak membelinya dari penerbit.
Buku yang berlimpah di tengah kemiskinan yang akut dan minat baca yang kurang, cuma akan menjadi sampah tak berguna.
#Mari musuh penindasan. Bagi siapapun yang sepakat dengan saya, mari bagikan goresan pena ini. Mari tetap peduli.
Penulis: Muhajir Juli
0 Komentar untuk "Jangan Paksa Gampong Di Bireuen Beli Buku Dalam Karung"