Kedudukan Desa/Gampong Dan Keuchiek Dalam Ketatanegaraan Indonesia


kedudukan Desa/Gampong dalam konteks pembentuk peraturan perundang-undangan (peraturan Desa/Gampong) pada masa Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 yang berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 sudah tidak berlaku pada ketika telah diatur dengan undang-undang (semenjak diundangkannya UU No. 10 Tahun 2004 perihal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Untuk memahami hal tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu perkembangan kedudukan Desa/Gampong secara umum.

Memosisikan kedudukan Desa/Gampong dan Keuchiek dalam ketatanegaraan Indonesia perlu dipahami sebagai penyelenggaraan urusan yang dilaksanakan dalam rangka pemerintahan dalam arti luas, untuk melayani masyarakat. Perlekatan mengenai ketatanegaraan sepertinya lebih baik dikesampingkan terlebih dahulu lantaran beberapa alasan. Faktor utama yaitu bahwa persepsi mengenai urusan dan kelembagaan ketatanegaraan berbeda dengan urusan dan kelembagaan pemerintahan. Hal ini sanggup dikuatkan oleh klarifikasi Bagir Manan bahwa lantaran konstitusi/Undang-Undang Dasar merupakan kaidah dasar bagi semua bidang hukum, belum tentu kaidah yang diatur merupakan kaidah ketatanegaraan. Begitu pula lembaga-lembaga yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar belum tentu merupakan forum yang bersifat ketatanegaraan (Manan: 2009).

Adapun di dalamnya terdapat distribusi kekuasaan secara vertikal (kekuasaan pemerintah Pusat dan Daerah), terbatas pada satuan pemerintahan mana yang diberikan kekuasaan dalam konstitusi (Anwar: 1999). Undang-Undang Dasar 1945 sendiri secara eksplist mengatur satuan pemerintahan yang mempunyai pemerintahan kawasan hanya Provinsi, Kabupaten, dan Kota (vide Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Kedua). Dengan demikian, kerangka ketatanegaraan perlu dibatasi sebatas pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah, selain tentu saja struktur ketatanegaraan secara fundamental, pembagian wewenang di antara struktur ketatanegaraan secara fundamental, dan jaminan hak asasi insan (Sri Soemantri: 2006).

Mengenai kedudukan Desa/Gampong (atau nama lainnya), Rosjidi Ranggawidjaja menautkannya dari ratifikasi dan penghormatan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 kesatuan­kesatuan masyarakat aturan watak serta hak­hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dansesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan Undang­Undang (Ranggawidjaja: 2013).

Landasan ini memisahkan antara satuan pemerintahan kawasan yang diberi otonomi dengan kesatuan masyarakat hukum. Urusan yang dikelola oleh satuan pemerintahan kawasan menawarkan pemencaran kekuasaan, sementara, sepanjang masih ada, urusan yang dikelola oleh Desa/Gampong merupakan pengakuan. Tentunya tetap dimungkinkan terdapat kiprah pembantuan yang diberikan oleh Kabupaten, Provinsi, maupun Pemerintah Pusat.

Dalam Undang-Undang Desa/Gampong yang gres (UU No. 6 Tahun 2014), diartikan bahwa:

“Desa/Gampong yaitu Desa/Gampong dan Desa/Gampong watak atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa/Gampong, yaitu kesatuan masyarakat aturan yang mempunyai batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1).

Kedudukan Desa/Gampong tercermin dalam Pasal 2 dan Pasal 5 undang-undang tersebut, sebagai berikut:
  1. “Penyelenggaraan Pemerintahan Desa/Gampong, pelaksanaan Pembangunan Desa/Gampong, training kemasyarakatan Desa/Gampong, dan pemberdayaan masyarakat Desa/Gampong berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika”.
  2. “Desa/Gampong berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota” (Pasal 5).
Ketentuan di atas menegaskan kedudukan Desa/Gampong sebagai kepingan dari Pemerintahan Daerah. Hal ini pula yang menimbulkan Peraturan Desa/Gampong atas dasar Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 (vide Pasal 3 ayat (7) abjad c) dan UU No. 10 Tahun 2004 (vide Pasal 7 ayat (2) abjad c) sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan sebagai kepingan dari peraturan daerah.


Walaupun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, Peraturan Desa/Gampong tidak dikategorikan sebagai peraturan kawasan berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 perihal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, walaupun undang-undang tersebut mengakui keberadaan “peraturan yang ditetapkan oleh… Keuchiek atau pejabat yang setingkat” (vide Pasal 8 ayat (1)).

Perlu dicatat pula bahwa karakter Desa/Gampong kini berbeda dengan apa yang diartikan dahulu oleh UU No. 19 Tahun 1965. Dikatakan bahwa “Desa/Gampongpraja yaitu kesatuan masyarakat aturan yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, menentukan penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri” (vide Pasal 1 UU No. 19 Tahun 1965).

Mengutip pendapat Bagir Manan, Rosjidi Ranggawidjaja menegaskan bahwa Desa/Gampong di masa lampau merupakan komunitas sosial, keberadaannya telah ada jauh sebelum Indonesia berdiri. Rosjidi Ranggawjidjaja melanjutkan pendapatnya bahwa “Pemerintahan Desa/Gampong yang ada kini yaitu kelanjutan dari Pemerintahan Desa/Gampong jaman dahulu, hanya saja Pemerintahan Desa/Gampong kini sudah kehilangan “rohnya” sebagai Desa/Gampong yang mandiri. Desa/Gampong yang ada kini bukan lagi sebagai ”inlandsche gemeenten”, sebagai pemerintahan orisinil bangsa Indonesia. Pemerintahan Desa/Gampong kini lebih sempurna disebut pemerintahan semu atau bayang-bayang (quasi government organization)” (Ranggawidjaja: 2013).

UU No. 32 Tahun 2004 perihal Pemerintahan Daerah masih mengakui keberadaan pemerintahan Desa/Gampong tetapi juga tidak bermaksud untuk tetap mempertahankan sistem pemerintahan Desa/Gampong ini dalam sistem pemerintahan kawasan di Indonesia. Hal ini berdasarkan Rosjidi Ranggawdjaja (2013) sanggup dilihat dari adanya kebolehan untuk mengubah status Desa/Gampong menjadi kelurahan (Pasal 200 Ayat (3)), yang menjadi kepingan dari pemerintahan kawasan kabupaten/kota dan menjalankan fungsi dekonsentrasi. Sayangnya, undang-undang ini seperti menempatkan kedudukan kelurahan seperti lebih baik dari Desa/Gampong yang menjalankan desentralisasi dengan adanya syarat tertentu berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah dll apabila suatu Desa/Gampong hendak diubah statusnya menjadi kelurahan. Hal ini berdasarkan Rosjidi Ranggawdjaja (2013) mengarah kepada kehendak untuk dilaksanakannya dekonsentrasi atau sentralisasi.

Kebijakan penyeragaman yang telah dibangun semenjak Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 perihal Pemerintahan Desa/Gampongberlanjut sampai UU No. 6 Tahun 2014 perihal Desa/Gampong, terutama dilihat dari kedudukan serta pengisian jabatan Keuchiek dan penghasilan Pemerintah Desa/Gampong. Pertama, kedudukan Keuchiek yaitu sebagai pimpinan Pemerintah Desa/Gampong atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa/Gampong atau yang disebut dengan nama lain (Pasal 25 UU No. 6 Tahun 2014). Walaupun Keuchiek dipilih pribadi oleh penduduk Desa/Gampong (Pasal 34 (1)), ratifikasi (Pasal 37 (5)) dan peresmian (Pasal 38 (1)) Keuchiek dilaksanakan oleh Bupati/Walikota.


Kedua, peresmian tersebut linier dengan penghasilan Keuchiek. Pasal 66 (1) melegitimasi bahwa Keuchiek dan perangkat Desa/Gampong memperoleh penghasilan tetap setiap bulan ditambah dengan jaminan kesehatan dan sanggup memperoleh penerimaan lainnya yang sah (ayat (4)). Penghasilan tetap Keuchiek dan perangkat Desa/Gampong bersumber dari dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 66 ayat (2)).

Selain penghasilan tetap, Keuchiek dan perangkat Desa/Gampong mendapatkan tunjangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa/Gampong (Pasal 66 ayat (3)). Skema sumber pendapatan Keuchiek tersebut menawarkan ketergantungan keuangan yang cukup besar bagi penyelenggaraan Pemerintahan Desa/Gampong. Gerusan terhadap otonomi Desa/Gampong pun diperkuat lagi dalam pembentukan Desa/Gampong. Walaupun belum tentu sifat asal-usul dan hak-hak tradisional masyarakat Desa/Gampong serta merta hilang lantaran kebijakan pemekaran Desa/Gampong, keberadaan Desa/Gampong secara formal tidak lagi merupakan komunitas sosial yang tumbuh melalui ikatan sosiologis.

Pengaturan gres perihal Desa/Gampong dalam UU No. 6 Tahun 2014 tidak berimplikasi pada perubahan status Keuchiek menjadi “pejabat negara”. Hal ini disebabkan Keuchiek semenjak dahulu, walaupun memimpin satuan pemerintahan yang bersifat otonom (Desa/Gampong) tidak bertindak untuk dan atas nama negara sebagaimana karakter yang menempel pada “pejabat negara”.Namun tetap sebagai pejabat pemerintahan lantaran merupakan salah satu penyelenggara pemerintahan Desa/Gampong. Penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan antara pejabat negara dan pejabat pemerintahan sanggup merujuk artikel Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintahan. Semoga bermanfaat.

Related : Kedudukan Desa/Gampong Dan Keuchiek Dalam Ketatanegaraan Indonesia

0 Komentar untuk "Kedudukan Desa/Gampong Dan Keuchiek Dalam Ketatanegaraan Indonesia"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close