Ilmu Selaku Tonggak Kekuasaan

 Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu  Ilmu Sebagai Tonggak Kekuasaan
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji cuma milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang setia dan Istiqomah.

وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ عِلْمًا وَقَالَا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي فَضَّلَنَا عَلَى كَثِيرٍ مِنْ عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ . وَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ

"Dan sesungguhnya Kami sudah memberi ilmu terhadap Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari pada biasanya hamba-hamba-Nya yang beriman". Dan Sulaiman sudah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai Manusia, kami sudah diberi pengertian perihal bunyi burung dan kami diberi segala sesuatu.  Sesungguhnya (semua) ini betul-betul suatu karunia yang nyata". (Qs. an-Naml: 15-16)

Pelajaran yang sanggup kita ambil dari ayat di atas:

Pelajaran Pertama : Ilmu merupakan Karunia Allah

(وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ عِلْمًا) “Dan sesungguhnya Kami sudah memberi ilmu terhadap Daud dan Sulaiman.”

1. Ilmu merupakan pemberian dari Allah, untuk menerimanya memerlukan taufik dari-Nya. Walaupun seseorang sudah rajin mempelajari ilmu dengan mengerahkan seluruh pikiran, tenaga dan harta, serta tersedianya segala akomodasi yang dimilikinya, namun kalau Allah belum menampilkan taufik dan pengertian kepadanya, maka dia  tidak akan bisa menggapai ilmu tersebut.

Jika seseorang sudah meraih suatu ilmu, atau mendapat derajat keilmuan, menyerupai profesor, doktor atau piawai dalam suatu bidang, maka hendaknya dia tetap tawadhu’ dan tidak sombong, alasannya seluruhnya merupakan pemberian Allah.

2. Allah tidak akan menampilkan ilmu terhadap hamba yang dikehendaki-Nya, kecuali alasannya terdapat hikmah dan maslahat di dalamnya.  

Begitu juga saat mengajarkan terhadap Nabi Daud dan Sulaiman 'alaihimassalam, keduanya merupakan seorang raja, dan sekaligus bapak dan anak, pasti ada maksud tertentu yang akan dituju oleh Allah. 

Keyakinan menyerupai ini penting, sekaligus selaku respon dari pertanyaan, kenapa yang diseleksi menjadi nabi mesti Daud dan Sulaiman, tidak yang lainnya? Allah berfirman,

اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ

“Allah lebih mengenali di mana Dia menempatkan kiprah kerasulan “ ( Qs. al-An’am, 124 )

Pelajaran Kedua : Ilmu Tonggak Kekuasaan.

1. Nikmat yang diberikan Allah terhadap hamba-Nya, ada dua macam ; 
a. Nikmat Lahir, seperti; harta, tahta dan wanita 
b. Nikmat Batin, seperti; ilmu dan kebahagian hati.

Diantara dua lezat tersebut, yang lebih  penting merupakan lezat batin, tergolong di dalamnya lezat ilmu. Allah tidak menampilkan lezat ilmu ini terhadap semua orang, namun memberikannya cuma terhadap hamba-hamba pilihan-Nya, diantaranya merupakan para nabi dan rasul.

2. Pada ayat di atas, lezat ilmu disebut terlebih dahulu, sebelum lezat kekuasaan. Hal itu, alasannya suatu kekuasaan, tidak akan menjadi besar lengan berkuasa dan berkah, kecuali mesti ditopang dengan ilmu. Tanpanya, kekuasaan akan lemah dan menjadi bumerang bagi pemegangnya serta menenteng tragedi bagi manusia.

Imam Bukhari di dalam Kitab as-Shahih (1/25) menyebutkan bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata:

تَفَقَّهُوا قَبْلَ أَنْ تُسَوَّدُوا
“ Belajarlah sebelum kalian memimpin.“

Seorang penguasa yang menertibkan rakyatnya dengan ilmu dan kebenaran, akan dimasukkan Allah ke dalam surga. Sebaliknya yang mengatur  rakyatnya dengan kebatilan dan kebodohan, akan dimasukkan ke dalam neraka. 

Penguasa di sini meliputi presiden, mentri, gubernur, walikota, bupati, bahkan hakim di pengadilan pun masuk dalam katagori penguasa, alasannya dia diberi wewenang untuk menentukan kasus secara mandiri. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْقُضَاةُ ثَلاَثَةٌ اثْنَانِ فِى النَّارِ وَوَاحِدٌ فِى الْجَنَّةِ رَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِى الْجَنَّةِ وَرَجُلٌ قَضَى بَيْنَ النَّاسِ بِالْجَهْلِ فَهُوَ فِى النَّارِ وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فَهُوَ فِى النَّارِ

“Hakim itu terbagi terhadap tiga golongan, dua kelompok masuk neraka dan cuma satu yang masuk surga; seseorang mengenali kebenaran kemudian menegakkan kebenaran tersebut, maka dia masuk surga. Dan seorang yang menghukum insan atas dasar kebodohan, maka ia masuk neraka. Dan seseorang tahu akan kebenaran namun dia berbuat kecurangan dalam menghukum, maka ia masuk neraka.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa`i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Hakim)

Pelajaran Ketiga : Bersyukur Terhadap Nikmat Ilmu.

(وَقَالَا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي فَضَّلَنَا) “Dan keduanya mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami ..".

1. Ayat di atas menampilkan betapa pemimpin yang baik, menyerupai Nabi Daud dan Sulaiman 'alaihimassalam, akan senantiasa bersyukur terhadap lezat apapun yang Allah berikan kepadanya. Ini mengambarkan akan ketawadhu’an ia berdua.

Berkata Umar bin Abdul Aziz  rahimahullah: “Sesungguhnya Allah, tidaklah menampilkan terhadap hamba-Nya suatu nikmat, kemudian dia bersyukur terhadap lezat tersebut, kecuali kesyukurannya tersebut lebih utama dari lezat itu sendiri.”

Kemudan ia pun membacakan surat an-Naml, ayat 15 di atas.

2. Ayat di atas juga menerangkan bahwa yang bersyukur bukan cuma Nabi Daud 'alaihissalam selaku orang bau tanah saja, namun anaknya pun yakni Nabi Sulaiman 'alaihissalam, ikut bersyukur bareng bapaknya. Ini menampilkan kesuksesan Nabi Daud dalam  mendidik anaknya sekaligus menampilkan teladan bagi setiap orang bau tanah agar selalu  mengajak anak istri dan seluruh keluarganya untuk senantiasa taat terhadap pedoman agama, agar mereka masuk nirwana satu keluarga.  Allah berfirman,

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

“ Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada menghemat sedikit pun dari pahala amal mereka.  Tiap-tiap insan terikat dengan apa yang dikerjakannya.” ( Qs. ath-Thur : 21)

Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsir-Nya ( 7/432) : “ Allah mengumumkan perihal karunia, kedermawanan, pemberian, dan kasih sayang serta kebaikan-Nya terhadap hamba-Nya, bahwa orang-orang yang beriman, kalau keturunan ( anak cucu) mereka ikut beriman juga,  maka mereka akan diikutkan pada derajat orang bau tanah mereka, meskipun amalan mereka belum setinggi derajat orang bau tanah mereka. “

3. Dianjurkan bersyukur terhadap lezat ilmu, alasannya dengan ilmu, Allah mengangkat derajat hamba-Nya, tergolong para pemimpin yang berilmu. Derajat mereka jauh lebih tinggi dari pemimpin yang tak mempunyai ilmu. 

Lihat, bagaimana pemimpin negara yang tak mempunyai bekal ilmu yang cukup, dan tidak mengenali banyak hal perihal negaranya, terlebih tak mempunyai ketrampilan yang dibutuhkan seorang pemimpin, dia akan mendapat usikan dari rakyatnya. Berbeda kalau mempunyai ilmu yang cukup, dia akan dihormati oleh rakyatnya, dan disegani oleh negara-negara lain.

Pelajaran Keempat : Allah Meninggikan Derajat para Ulama.

(عَلَى كَثِيرٍ مِنْ عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ) “ ..dari pada biasanya hamba-hamba-Nya yang beriman"

1. Orang bakir tidak cuma lebih tinggi di atas orang-orang biasa, namun juga lebih tinggi di atas orang-orang beriman. Hal ini berlaku, kalau yang bakir itu merupakan orang yang beriman. Sebagaimana firman-Nya,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“ Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu wawasan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kau kerjakan.” (Qs. al-Mujadilah: 11)

Para ulama menerangkan bahwa belajar lebih utama dibanding dengan ibadah-ibadah sunnah lainnya, menyerupai puasa, sholat, dzikir, membaca al-Qur’an. Jika anda bangkit malam, dan mempunyai dua opsi ; melaksanakan sholat tahajud atau mempelajari suatu permasalahan dalam agama, maka opsi kedua yakni berguru merupakan lebih utama.  

Jika anda berada di dalam masjid antara Maghrib dan Isya’, ternyata di dalamnya ada pengajian yang mempelajari suatu ilmu agama, maka mengikuti pengajian lebih utama dari pada membaca al-Qur’an sendiri.

2. Derajat Nabi lebih tinggi dari derajat Siddiqin, Syuhada dan Shalihin, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala,

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

“Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan gotong royong dengan orang-orang yang dianugerahi lezat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah kawan yang sebaik-baiknya.” (Qs. an-Nisa’: 69)

Derajat Nabi juga lebih tinggi dari derajat seorang Wali. Jika ada yang berkata bahwa Nabi Musa 'alaihissalam berguru terhadap Khidhir, padahal dia bukan nabi. Jawabannya, bahwa dalam dongeng konferensi Nabi Khidhir dengan Nabi Musa, tidak menampilkan bahwa Wali lebih tinggi dari Nabi, alasannya kedua-duanya merupakan seorang Nabi.

Derajat para Nabi pun bertingkat-tingkat, yang paling tinggi merupakan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam,  kemudian para nabi Ulul Azmi (Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa ‘alaihimussalam), kemudian gres nabi-nabi yang lain. Derajat Nabi Daud dan Sulaiman 'alaihimassalam di bawah para Ulul Azmi, sebagaimana firman-Nya,

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ

“Dia sudah mensyariatkan kau perihal agama apa yang sudah diwasiatkan-Nya terhadap Nuh dan apa yang sudah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang sudah Kami wasiatkan terhadap Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kau berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kau seru mereka kepadanya. Allah menawan terhadap agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi isyarat terhadap (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (Qs. asy-Syura: 13)

Berkata as-Sa’di di dalam Taisir al-Karim ar-Rahman (1/754 ) : “ Agama Islam ini disyareatkan Allah untuk orang-orang pilihan-Nya, yakni Ulul Azmi ( orang-orang yang mempunyai kemauan kuat)  dari para rasul yang sudah disebutkan pada ayat di atas. Mereka merupakan orang-orang yang paling tinggi derajat mereka, dan paling tepat dari seluruh sisi. “

Walaupun demikian, Nabi Daud dan Nabi Sulaiman 'alaihimassalam, keduanya tetap bersyukur atas lezat ilmu, kenabian dan kekuasaan.

Pelajaran Kelima : Warisan Para Nabi.

(وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ)  ” Dan Sulaiman sudah mewarisi Daud.“

Berkata Muhammad Sayid Tanthawi di dalam at-Tafsir al-Wasith  (1/3203) : “ Yang dimaksud mewarisi di sini merupakan mewarisi ilmu, kenabian dan kerajaan. “

1. Nabi Sulaiman mewarisi dari bapaknya tiga hal:

Pertama: Mewarisi Ilmu.  Nabi Sulaiman mewarisi ilmu dari bapaknya Nabi Daud, ini meliputi banyak sekali disiplin keilmuan. Walaupun demikian, Nabi Sulaiman juga mempunyai ilmu embel-embel dari Allah yang tidak dimiliki oleh Nabi Daud, sebagaimana firman-Nya :

وَدَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ (78) فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُودَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ (79)

“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya menampilkan keputusan mengenai tanaman, alasannya flora itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan merupakan Kami melihat keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami sudah menampilkan pengertian terhadap Sulaiman perihal aturan (yang lebih tepat); dan terhadap masing-masing mereka sudah Kami berikan hikmah dan ilmu dan sudah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bareng Daud. Dan Kami lah yang melakukannya.” (Qs. al-Anbiya’: 78-79)

Kedua: Mewarisi Kenabian. Ini bukan bermakna setiap nabi bisa mewariskan kenabiannya terhadap anak, kerabat atau siapa pun yang dikehendakinya. Hanya saja Allah menampilkan kenabian terhadap bapak dan anaknya, menyerupai Daud dan Sulaiman, atau terhadap abang dan adiknya, menyerupai Musa dan Harun. Seakan terkesan bahwa anaknya mewarisi kenabian dari bapaknya, padahal itu karunia Allah semata.

Ketiga: Mewarisi Kerajaan. Nabi Sulaiman mengambil alih kedudukan ayahnya Nabi Daud selaku raja sehabis kematiannya.

Sebagai catatan, bahwa Nabi Daud tidak mewariskan terhadap anaknya harta. Inilah perbedaan para nabi dengan insan biasa, para nabi tidak mewariskan harta terhadap anak keturunannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّا لا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَاهُ صَدَقَةٌ

 “Kami tidak mewariskan harta, apa yang kami lewati selaku sedekah.” (HR. Ahmad)

2. Ayat di atas, juga menampilkan wangsit bahwa seorang pemimpin yang gres dilantik, hendaknya mengambil pelajaran dan pengalaman dari pemimpin-pemimpin sebelumnya.  Program-program yang sudah berlangsung baik, hendaknya dilanjutkan, sebaliknya program-program yang mangkrak dan berhenti, hendaknya dicarikan solusi, bagaimana cara menyelesaikannya, yang tidak efektif diganti yang lebih baik, dan yang salah diluruskan.

Pelajaran Keenam  : Orasi Politik

(وَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ) “ Dan dia berkata: Hai Manusia..”

1. Setelah penobatan dan pengangkatan selaku pemimpin, ia direkomendasikan untuk mengatakan di depan rakyatnya, memperkenalkan dirinya, serta memaparkan visi dan misi yang akan dilaksanakannya selama dia memimpin.

Berbicara di depan rakyat sungguh penting bagi seorang pemimpin, alasannya kedudukannya selaku penyambung pengecap rakyat, Berbicara di depan rakyat merupakan simbol kedekatannya dengan mereka. Berbicara di depan rakyat, merupakan bukti bahwa dia senantiasa memperhatikan problematika-problematika mereka. Semakin sering mengatakan di depan rakyat, maka dia akan makin dekat  dengan mereka, bahkan lama-lama akan menyatu bareng mereka.

2. Islam sudah mengajarkan hal ini dalam kegiatan-kegiatan ibadah, utamanya ibadah sholat dan khutbah. Dalam sholat berjama’ah umpamanya, seorang imam, kalau sudah mengakhiri sholatnya, direkomendasikan menghadap ke arah makmum, sambil berdzikir, selaku wujud kepeduliannya terhadap para jama’ah, dan agar tidak terkesan sombong, dan hirau tak hirau terhadap mereka.

Setiap Jum’at, diwajibkan seorang pemimpin atau tokoh atau ulama berkhutbah dua kali. Dalam hal ini sungguh direkomendasikan bahwa yang berkhutbah dan yang memimpin  sholat merupakan para pemimpin politik juga, menyerupai raja, presiden, perdana mentri, gubernur, walikota, bupati.  

Kebiasaan menyerupai ini sudah dilakukan semenjak Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sampai masa-masa pemerintahaan Khulafa Rasyidin selama 30 tahun. Kebiasaan ini mulai berubah semenjak pemerintahan Daulah Umayyah sampai sekarang.

Pelajaran Ketujuh : Pemaparan Visi dan Misi.

(عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ) “kami sudah diberi pengertian perihal bunyi burung dan kami diberi segala sesuatu.”

1. Kebolehan bagi seorang pemimpin untuk menyebutkan keistimewaan dan kekuatan yang dimilikinya sekarang, dan memaparkan faedah program-program yang mau dijalankannya di masa mendatang. Ini dimaksudkan agar rakyat semangat dan ikut mendukung  visi, misi dan jadwal yang sudah dicanangkan agar bisa tercapai dengan lebih singkat dan mudah.

2. Salah satu keistimewaan yang dimiliki Nabi Sulaiman merupakan kemampuannya mengatakan dengan burung. Selain itu, ia juga mempunyai semua perlengkapan dan kekuatan yang dibutuhkan oleh seorang raja pada zaman itu.

Pelajaran Kedelapan : Pengakuan terhadap Nikmat

( إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ ) “Sesungguhnya (semua) ini betul-betul suatu karunia yang nyata".   

1. Seorang pemimpin direkomendasikan untuk senantiasa menyebut-nyebut lezat Allah yang diberikan kepadanya. Ini sesuai dengan firman-Nya dalam surat adh-Dhuha.

وَالضُّحَى (1) وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى (2) مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى (3) وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى (4) وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى (5) أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى (6) وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى (7) وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى (8) فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ (9) وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ (10) وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ (11)

“Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila sudah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kau dan tiada (pula) benci kepadamu, dan sesungguhnya tamat itu lebih baik bagimu dari permulaan. Dan kelak Tuhanmu niscaya menampilkan karunia-Nya kepadamu, kemudian (hati) kau menjadi puas. Bukankah Dia mendapatimu selaku seorang yatim, kemudian Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu selaku seorang yang bingung, kemudian Dia menampilkan petunjuk. Dan Dia mendapatimu selaku seorang yang kekurangan, kemudian Dia menampilkan kecukupan. Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kau berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kau menghardiknya. Dan terhadap lezat Tuhanmu maka hendaklah kau menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (Qs. adh-Dhuha: 1-11)

Berkata ath-Thabari di dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an (24/489) : “ Dari Abi Nadhrah, bahwa ia berkata : “ Orang-orang Islam dulu menilai bahwa salah satu bentuk kesyukuran terhadap lezat Allah merupakan senantiasa membicarakannya. “

2. Pemimpin yang senantiasa menyebut dan mengakui  lezat Allah akan condong berbuat adil terhadap rakyatnya serta jauh dari perbuatan dhalim. Sebaliknya, pemimpin yang tidak pernah mengakui lezat Allah akan condong untuk angkuh, sombong, congkak dan senantiasa berbuat dhalim.

Lihat apa yang dilakukan seorang Qarun, saat merasa bahwa semua kekayaan yang dimiliknya merupakan hasil keringatnya sendiri, tanpa ada keterlibatan Allah sedikitpun di dalamnya, betapa angkuhnya dan betapa dhalimnya dia. Allah sudah menggambarkan hal itu di dalam firman-Nya,

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ

“Qarun berkata: "Sesungguhnya saya cuma diberi harta itu, alasannya ilmu yang ada padaku". Dan apakah ia tidak mengetahui, sesungguhnya Allah sungguh sudah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih besar lengan berkuasa daripadanya, dan lebih banyak menghimpun harta? Dan tidaklah perlu ditanya terhadap orang-orang yang berdosa itu, perihal dosa-dosa mereka. (Qs. al-Qashas: 78)

Kesimpulan:

1. “ Ilmu merupakan tonggak kekuasaan, dengannya kekuasaan akan menjadi berkah bagi umat manusia. Tanpanya, kekuasaan akan hancur dan insan akan menjadi sengsara.”

2. “ Pemimpin yang senantiasa mengakui  lezat Allah akan condong berbuat adil terhadap rakyatnya serta jauh dari perbuatan dhalim. Sebaliknya, pemimpin yang tidak pernah mengakui lezat Allah akan condong untuk angkuh, sombong, dan senantiasa berbuat dhalim.”

Semoga sanggup memperbesar wawasan kita.

Related : Ilmu Selaku Tonggak Kekuasaan

0 Komentar untuk "Ilmu Selaku Tonggak Kekuasaan"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close