Memuliakan Ilmu Dan Menghargai Murid

 Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu  Memuliakan Ilmu dan Menghargai Murid
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji cuma milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wassallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang senantiasa setia dan Istiqomah.

Adab ilmu menempati wilayah yang agung dalam Islam. Imam Abdullah Ibn al-Mubarak (w. 181 H) mengungkapkan bahwa seseorang tidaklah menjadi mulia dengan sebuah jenis ilmu selama tak menghiasi ilmunya dengan adab.[1]

Ibn al-Mubarak pun mengungkapkan bahwa keimanan memiliki lima pilar benteng:

Pertama, keyakinan. 
Kedua, keikhlasan. 
Ketiga, pengamalan kewajiban-kewajiban. 
Keempat, pengamalan aneka macam hal yang disunnahkan. 
Kelima, memelihara adab.

Selama seorang hamba memelihara adab-adab dan berpegang teguh padanya, maka setan tak akan memiliki kesempatan atasnya. Jika ia meninggalkan adab, setan akan menghancurkan pengamalan aneka macam kesunahan, kemudian aneka macam kewajiban, kemudian keikhlasan, hingga keyakinan. WaLlâhu a’lam.[2]

Ahnaf bin Qays berkata bahwa budbahasa merupakan cahaya akal. Sebagaimana api dalam kegelapan merupakan cahaya bagi penglihatan.[3] Sebagian orang bijak pun memastikan bahwa tidak ada budbahasa kecuali dengan logika dan tidak ada logika kecuali dengan adab.[4]

Karena itu berkaitan jikalau Islam mengajarkan budbahasa mencari ilmu dan mengajarkannya. Di antara budbahasa mengajarkan ilmu sebagaimana diuraikan dalam Min Muqawwimât al-Nafsiyyah al-Islâmiyyah adalah:

(1) Menegur mereka yang meremehkan ilmu dan aturan syariah; 
(2) Memperhatikan pernyataan dan pertanyaan murid; 
(3) Berbicara terhadap orang yang akan menyimak dan tidak sebaliknya.

Rinciannya selaku berikut:

1) Menegur mereka yang meremehkan ilmu dan aturan syariah.

Di antara budbahasa untuk mempertahankan kemuliaan dan keberkahan dan ilmu adalah: “Menegur orang udik yang menyalahi dan meremehkan aturan syariah, tergolong orang udik yang mencari-cari argumentasi terhadap spesialis ilmu yang memiliki rekomendasi berlawanan dengan rekomendasi gurunya.”

Salah satu dalilnya merupakan hadis dari Abdullah bin al-Mughaffal yang berkata,

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَن الخَذْفِ

“Nabi Saw. sudah melarang al-khadzf.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmaddan al-Hakim).

Dalam riwayat ini pun digambarkan: “Ada seseorang yang melempar-lempar kerikil kecil di akrab Abdullah al-Mughaffal, kemudian ia berkata: “Aku sedang menceritakan kepadamu tentang Rasulullah saw., sedangkan kau malah melempar-lempar sesuatu. Demi Allah, saya tak akan mengatakan lagi dengan kau selamanya.”

Secara manthûq, terang digambarkan adanya larangan Rasulullah saw. atas al-khadzf, yang berkonotasi melempar-lempar kerikil kecil atau biji-bijian dalam sebuah majelis (di tengah kajian). Pengertian ini disebut Imam Ibn Baththal (w. 449 H) dalam Syarh al-Bukhâri (V/388) selaku rekomendasi andal bahasa.[5]

Ditegaskan oleh Al-Hafizh Ibn al-Jauzi (w. 597 H) dalam Kasyf al-Musykil (I/492) hal itu selaku rekomendasi yang paling biasanya diketahui (aghlab). Itu ditangani dengan jari-jemari.

Sikap tersebut dalam perspektif manthiq, mengandung dilâlah ghayr lafzhiyyah (petunjuk tersirat) dari perilaku menyepelekan ilmu. Sibuk dengan kasus yang melewatkan dan kesia-siaan.

Pada masa kini perbuatan ini sanggup diserupakan dengan perbuatan jari-jemari memainkan gadget ketika menuntut ilmu. Padahal tidak ada keperluan mendesak untuk itu (alasan syar’i).

2) Berbicara terhadap orang yang akan menyimak dan tidak sebaliknya.

Adab yang lain yang berfungsi mempertahankan kemuliaan ilmu merupakan tidak membicarakan ilmu kecuali terhadap orang yang layak, yaitu yang akan menyimak ilmu:

عَدَمُ الْحْدِيْثِ مَعَ مَنْ لا يَنْصِتُ

“Tidak mengatakan dengan orang yang tidak mau diam.”

Maknanya, seseorang yang tidak ingin membisu ketika diajak bicara, artinya tidak ingin mendengarkan. Adab ini pun berlaku baik dalam konteks bahasa verbal maupun bahasa tulisan, semisal diskusi di media sosial. Sebagaimana kaidah yang diutarakan Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1314 H):

أَنَّ الْقَلَمَ أَحَدُ اللِّسَانَيْنِ لِلإِنْسَانِ وَ لِأَنَّ الْكِتَابَة بِهِ تَدُلُّ عَلَى عِبَارَة اللِّسَانِ

“Tulisan merupakan salah satu verbal bagi insan sebab goresan pena menyediakan sebutan lisan.”[6]

Hal itu sebagaimana budbahasa yang diajarkan Rasulullah saw ketika mengatakan di hadapan manusia. Jarir bin Abdullah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah berkata terhadap ia pada dikala Haji Wada,

اسْتَنْصِت النَّاسَ

“Perintahkan orang-orang untuk diam.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Tujuannya mudah-mudahan mereka menyimak apa yang diutarakan Rasulullah Saw. Ini sebagaimana nasihat Abu Amr bin al-‘Ala’ (w. 154 H)7 yang dinukiloleh Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H):

وَ لَيْسَ مِنَ الْأَدَبِ أَنْ تُجِيْبَ مَنْ لا يَسْأَلُكَ، أَوْ تَسْأَلَ مَنْ لاَ يُجِيْبُكَ، أَوْ تُحَدِّثَ مَنْ لاَ يَنْصِتُ لَكَ

“Tidak tergolong budbahasa yang bagus jikalau engkau menjawab orang yang tidak mengajukan pertanyaan kepadamu, mengajukan pertanyaan terhadap orang yang tidak mau menjawab pertanyaanmu, atau mengatakan terhadap orang yang tidak mau membisu mendengarkanmu.”[8]

Pasalnya, menyimak perkataan merupakan abjad fundamental kelompok ulul albâb. Ini sebagaimana firman-Nya:

ٱلَّذِينَ يَسۡتَمِعُونَ ٱلۡقَوۡلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحۡسَنَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَىٰهُمُ ٱللَّهُۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ  ١٨

“Orang-orang yang menyimak perkataan, kemudian mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka itulah yang sudah Allah beri isyarat dan yang memiliki akal.” (QS az-Zumar [39]: 18).

Menyimak sebuah perkataan (istimâ’ al-qaul) dan mengikuti yang terbaik di antaranya (ittibâ’ al-ahsan), tergolong abjad unggul kelompok orang yang berpikir (ulul albâb). Istimewanya, Allah memutuskan diksi yastami’ûna, berupa kata kerja al-mudhâri’, menyediakan perbuatan yang bersifat kontinu, berkonotasi menyimak (istama’a-yastami’u), yaitu menyimak disertai perhatian.

Lalu bagaimana mungkin ilmu sanggup tersampaikan jikalau yang diajak bicara tidak ingin membisu mendengarkan?

3) Memperhatikan pernyataan dan pertanyaan murid.

Seorang pengajar perlu memperhatikan budbahasa berinteraksi dengan muridnya. Di antaranya menyimak baik-baik penerima didik yang bertanya.

Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dan Ibn Hibban dalam Rawdhah al-’Uqala berkata: Kami dikabari oleh Muadz bin Saad al-A’war yang berkata: Aku pernah duduk akrab Atha bin Abi Rabah. Kemudian ada seseorang mengatakan tentang sesuatu. Lalu tiba-tiba ada orang lain dari kaum itu menyela ucapannya.

Muadz berkata: Kemudian Atha’ murka dan berkata, “Akhlak apa ini? Tabiat apa ini? Sungguh saya sungguh-sungguh akan menyimak ucapan seseorang, padahal saya lebih tahu tentang apa yang ia ucapkan. Lalu saya memamerkan terhadap ia seolah-olah saya tidak lebih baik (pengetahuanku) dari dirinya tentang apa yang ia ucapkan.”

Kalimat “Akhlak apa ini? Tabiat apa ini? (Mâ hadzihi al-akhlâq wa mâ hadzihi al-thabâi’a),” dalam perspektif ilmu balaghah, merupakan pengingkaran bernada pertanyaan (istifhâm inkâri).

Ini menjadi isyarat tersurat (dilâlah lafzhiyyah) berupa celaan atasnya, dibarengi dengan ratifikasi yang menggambarkan abjad seseorang yang tawadhdhu’ terhadap ilmu, dari siapa saja munculnya ilmu tersebut.

Tiga poin di atas merupakan sedikit dari bukti keagungan fatwa Islam yang menempatkan ilmu dan ahlinya serta pencarinya pada wilayah yang mulia. Beruntunglah mereka yang meniti jalan ilmu dan menunjuki insan pada jalan-Nya. Wa biLlâhi at-tawfîq. [MNews] Sumber: Al-Waie 26 Mei 2020

Catatan kaki:

1 Syamsuddin Abu al-‘Awn al-Safarini, Ghidzâ’ al-Albâb fî Syarh Manzhûmat al-آdâb, Mesir: Mu’assasat Qurthubah, cet. II, 1414 H, juz I, hlm. 36.

2 Muhammad bin Muflih al-Hanbali, Al-آdâb al-Syar’iyyah, ‘آlam al-Kutub, juz III, hlm. 552.

3 Ibid.

4 Ibid.

5 Di antaranya al-Khalil bin Ahmad (w. 170 H), guru dari Sibawaih; Al-Khalil bin Ahmad, Kitâb al-‘Ain, Dar al-Hilal, juz IV, hlm. 245.

6 Muhammad Nawawi bin Umar, Syarh Sullam al-Taufîq, Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, cet. I, 1431 H, hlm. 132

7 Ulama andal qira’at, nahwu dan bahasa arab.

8 Ahmad bin Ali al-Khathib al-Baghdadi, Al-Faqîh wa al-Mutafaqqih, KSA: Dar Ibn al-Jauzi, 1417 H, juz I, hlm. 375.

Oleh: Irfan Abu Naveed (Praktisi Pendidikan, Penulis Buku “Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjama’ah)

Related : Memuliakan Ilmu Dan Menghargai Murid

0 Komentar untuk "Memuliakan Ilmu Dan Menghargai Murid"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close