Amalan-Amalan Dalam Ibadah Haji

 Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu  Amalan-Amalan Dalam Ibadah Haji
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji cuma milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wassallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang senantiasa setia dan Istiqomah.
  • Amalan-Amalan Pada Hari Kedelapan
Disunnahkan bagi yang berhaji tamattu’ dan penduduk Mekkah, untuk melaksanakan ihram haji pada hari ke delapan, dan ini merupakan hari pertama dari hari-hari haji, dan dinamakan hari Tarwiyah, lantaran jama’ah haji mulai membekali diri dengan air.

Hendaknya dia melaksanakan ihram dari tempat tinggalnya di Mekkah, sebagaimana hadist Jabir :

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَمَرَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَحْلَلْنَا أَنْ نُحْرِمَ إِذَا تَوَجَّهْنَا إِلَى مِنًى قَالَ فَأَهْلَلْنَا مِنْ الْأَبْطَحِ

“Dari Jabir bin Abdullah radliallahu 'anhuma, ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendelegasikan kami sesudah tahallul untuk berihram di saat berangkat menuju Mina. Maka kami pun berihram dari Abthah. (HR. Muslim)

Dan tempat ini berada di dalam Mekkah, dan ihramnya memiliki arti masih di dalam Tanah Haram.

Hendaknya di dalam ihramnya dia menjalankan sebagaimana  yang dilakukan pada waktu ihram untuk umrah, seumpama mandi dan bersih-bersih diri, menggunting kuku, dan mengucapkan Labbaika Hajjan.

Disunahkan jama’ah haji untuk pergi ke Mina - yang letaknya bersahabat dengan Mekkah  antara dua gunung besar, dan mempunyai gejala yang terang - pada tanggal delapan (hari Tarwiyah) sebelum Dhuhur, dan melaksanakan sholat Dhuhur dan Ashar masing-masing dua reka’aat di sana, begitu pula sholat Maghrib tiga reka’at dan sholat Isya’ dua rekaa’t, sebagaimana yang terdapat dalam hadist Jabir, dan direkomendasikan untuk menginap di sana.

Tinggal di Mina pada hari kedelapan dan menginap di sana merupakan sunnah, kalau ditinggalkan atau terlewati, lantaran dia pribadi ke Arafah apalagi dahulu, maka tidaklah mengapa, tetapi dia sudah meninggalkan sunnah.

Pada hari kedelapan ini tidak ada amalan khusus, lantaran pada hari itu, setiap yang berhaji berkemas-kemas untuk menghadapi amalan-amalan yang dilakukan pada hari kesembilan dan hari-hari sesudahnya.

Amalan-Amalan Pada Hari Kesembilan

Jika matahari terbit pada hari kesembilan, disunnahkan bagi yang melaksanakan ibadah haji untuk pergi menuju Arafah pada di saat matahari terbit seraya mengucapkan talbiyah, kemudian berdiam di Namirah (tempat yang letaknya disamping Arafah, di dalamnya ada masjid yang sering dipakai untuk sholat para jama’ah haji) hal ini menurut hadits Jabir. Jika tidak dapat berdiam di sana lantaran berdesakan dan kalut akan kehilangan kawan dan rombongan, maka dia bisa pribadi berdiam di Arafah. Jama’ah haji tetap berada di sana di saat Dhuha, dan direkomendasikan untuk beristirahat mudah-mudahan nanti kondisi fisiknya mempunyai pengaruh di saat berdo’a dan berdzikir. Nabi saw sendiri di saat hingga di Namirah, dia mendirikan tenda dan duduk di dalamnya.

Jika matahari sudah tergelincir, sang imam secepatnya berkhutbah di hadapan jama’ah haji, sebagaimana nabi saw berkhutbah pada hari Arafah mengajak manusia  untuk menjalankan aliran agama mereka, mempertahankan jiwa dan harta mereka, dan mengajari mereka beberapa aturan yang terkait dengan haji dan hal-hal yang mesti mereka kerjakan.

Jika khutbah sudah selesai, maka secepatnya muadzin mengumandangkan adzan dan iqamat, kemudiaan sholat Dhuhur dua reka’at, kemudian dikumandangkan iqamat lagi dan sholat ‘Ashar dua rekaa’t jama’ taqdim. Setelah itu gres masuk  Arafah. Untuk penduduk Mekkah dia cuma diperbolehkan menjama’ dan tidak meng-qashar sholat.

Arafah segalanya tempat untuk wukuf, di tempat mana saja orang yang haji, boleh melaksanakan wukuf selama di dalam batasan dan gejala yang menyatakan itu Arafah.

Wukuf di batu-batuan bersahabat bukit (jabal rahmah) seraya menghadap kiblat merupakan tempat wukuf nabi saw, dia bersabda :

وَقَفْتُ هَاهُنَا وَعَرَفَةُ كُلُّهَا مَوْقِفٌ

“Dan wukuf di Arafah, maka Arafah segalanya merupakan tempat wukuf” Sebagaimana dalam hadist Jabir.

Tidak direkomendasikan bagi orang yang melaksakan haji untuk memaksakan diri ke tempat tersebut, lantaran akan terpisah dari rombongan dan membuang-buang waktu. Tetapi hendaknya dia melaksanakan wukuf di mana rombongannya melaksanakan wukuf.

Bukit yang sering disebut dengan bukit (jabal rahmah) tidak dikhususkan untuk tempat wukuf, dan tidak direkomendasikan untuk mendakinya, lantaran nabi saw tidak mendakinya dan tidak mendelegasikan untuk mendakinya. Bagi orang yang melaksanakan ibadah haji dihimbau mudah-mudahan tidak menyulitkan diri sendiri mendatangi bukit jabal rahmat tersebut sehingga waktunya terbuang sia-sia.

Waktu wukuf di Arafah dimulai sejak tergelincirnya matahari, yakni di saat adzan Dhuhur, pada hari kesembilan, dan rampung pada waktu terbitnya fajar pada hari penyembelihan. Barang siapa yang wukuf antara waktu itu, meskipun sebentar saja, maka sah hajinya, menurut sabda nabi saw :

مَنْ شَهِدَ صَلَاتَنَا هَذِهِ وَوَقَفَ مَعَنَا حَتَّى نَدْفَعَ وَقَدْ وَقَفَ بِعَرَفَةَ قَبْلَ ذَلِكَ لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَقَدْ أَتَمَّ حَجَّهُ وَقَضَى تَفَثَهُ

“Barangsiapa yang shalat bareng kami, dan wukuf bareng kami hingga selesai dan sebelum itu dia wuquf di Arafah baik malam maupun siang maka hajinya sudah tepat serta sudah melaksanakan seluruh manasik'." (HR. Khomsah. Tirmidzi dan Ibnu Huzaimah menshahihkannya)

Dinyatakan bahwa mulainya sesudah tergelincirnya matahari, lantaran nabi saw mulai masuk Arafah sesudah tergelincirnya matahari.

Dianjurkan untuk rajin melaksanakan amal sholeh pada hari Arafah, lantaran hari itu merupakan sebaik-baik hari dimana matahari terbit, hal ini menurut hadist ‘Amru bin Syu’aib  :

عن عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Dari ‘Amru bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata; Do'a yang paling kerap dibaca Rasulullah pada hari 'Arafah ialah: "Laa Ilaaha Illallah Wahdahuu Laa Syariikalah Lahul Hamdu Biyadihil Khair Wahuwa 'Ala Kulli Syai-In Qodiir (Tiada Ilah selain Allah semata, dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya segala puji-pujian, ditangan-Nya ada kebaikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu)." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Dan dalam lafadz tirmidzi

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Dari 'Amru bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik do'a merupakan do'a pada hari 'Arafah dan sebaik-baik apa yang saya dan para Nabi sebelumku katakan merupakan "Laa Ilaaha Illallahu Wahdahuu Laa Syariikalahu Lahul Mulku Walahul Hamdu Wahuwa 'Alaa Kulli Syai'in Qadiir (Tiada Ilah melainkan Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya lah segala kerajaan dan kebanggaan dan Dialah Maha menguasai atas segala sesuatu)."

Oleh lantaran itu, nabi saw paling rajin untuk beribadah pada hari tersebut, dalil-dali yang menampilkan hal tersebut merupakan selaku berikut :

Menjama’ sholat Dhuhur dan ‘Ashar agar bisa berfokus dalam berdo’a dan berdzikir
Disunnahkan untuk tidak berpuasa bagi yang melaksankan ibadah haji, padahal puasa hari Arafah mempunyai keunggulan yang besar. Hal itu dimaksudkan mudah-mudahan bisa menolong baginya di saat berdzikir.

Beliau Nabi saw beristirahat pada waktu Dhuha di Namirah
Kesungguhan dia di dalam berdo’a, lantaran dia masih mengangkat tangan selama sehari penuh, sampai-sampai di saat tali kekang untanya jatuh, dia secepatnya mengambilnya dengan salah satu tangannya, sedang tangannya yang lain masih terangkat.

Inilah situasi dimana Allah membanggakan hamba-hamba-Nya, situasi dimana Allah membebaskan mereka dari api nereka, situasi dimana Allah menampilkan ampunan bagi dosa-dosa mereka dan menyelisik kesulitan-kesulitan dan dikabulkannya segala keperluan, maka jadilah anda orang yang  bersimpuh di hadapan Allah sambil menghadapkan hati kepada-Nya, takut terhadap adzab-Nya dan mengharap rahmat-Nya, sambil meneteskan air mata lantaran takut dan bertaubat kepada-Nya, verbal ini bergerak mengharap dan takut kepada-Nya.

Dan camkan bahwa anda sedang berpisah dengan keluarga dan jauh dari tanah air, tidak berpakaian, meninggalkan segala kesenangan, rambut lusuh, dan anda sungguh memerlukan terhadap Rabb-mu. Dan camkan berulang kali anda bercita-cita untuk bisa hadir dalam situasi seumpama ini, dan berwukuf  di tempat ini,  serta mendapat tiupan ruhani ini. Betapa banyak harta yang anda korbankan, dan betapa tenaga yang anda keluarkan demi untuk meraih situasi seumpama ini.  Barangkali inilah peluang terakhir untuk anda untuk bisa hadir di tempat ini dan terlibat dalam pelaksanaan ibadah haji, maka tidaklah patut anda bermalas-malas di dalamnya.

Bagi yang melaksanakan ibadah haji direkomendasikan untuk menghadap Allah dengan sepenuh hatinya dan memperbanyak talbiyah, dzikir dan do’a, sebagaimana sabda nabi saw :

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

"Sebaik-baik do'a merupakan do'a pada hari 'Arafah dan sebaik-baik apa yang saya dan para Nabi sebelumku katakan adalah: "Laa Ilaaha Illallahu Wahdahuu Laa Syariikalahu Lahul Mulku Walahul Hamdu Wahuwa 'Alaa Kulli Syai'in Qadiir (Tiada Ilah melainkan Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya lah segala kerajaan dan kebanggaan dan Dialah Maha menguasai atas segala sesuatu)."

Begitu juga, hendaknya dia berdo’a memohon dibebaskan dari api neraka, sebagaimana hadist Aisyah :

عن عَائِشَةُ  قالت إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنْ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمْ الْمَلَائِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلَاءِ

“Dari Aisyah berkata; Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada satu hari pun yang di hari itu Allah lebih banyak membebaskan hamba-Nya dari api neraka ketimbang hari 'Arafah, alasannya merupakan pada hari itu Dia turun kemudian membangga-banggakan mereka di depan para malaikat seraya berfirman: 'Apa yang mereka inginkan? '" (HR. Muslim)

Sebagian ulama salaf di saat ditanya mengenai sebaik-baik do’a  yang diucapkan pada hari Arafah, dia menjawab :

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“ Tiada Ilah melainkan Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya lah segala kerajaan dan kebanggaan dan Dialah Maha menguasai atas segala sesuatu."

Dikatakan kepadanya : “ Ini kebanggaan bukan do’a “, dia menjawab : “ apakah anda tidak mendengar perkataan seorang penyair :

 “ Apakah saya menyebutkan kebutuhanku atau apakah sudah cukup  bagi saya

Rasa malumu, kalau betul-betul sifatmu merupakan pemalu,

Jika pada suatu di saat seseorang memuji kamu,

Maka cukuplah baginya di saat memuji tersebut.  “

Dan diriwayatkan dari Ali bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam berdo’a pada hari Arafah di Arafah dengan do’a selaku berikut :

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ  اللَهُمَ اجعَل فِي قَلبِي نورأ وفي سَمعِي نورًا وَ فِي بَصَرِي نورًا اللهُمَ اشرَح لِى صَدرِي و يَسرلِي أَمرِي أَعُوذُبِكَ مِن وَساوِس الصَدر و فِتنةِ القَبر و مِن شرِ ما تَهبُ به الرِياحِ وَ مِن شَر مَا يَأتي به الليلُ و النهارُ

“ Tiada Ilah melainkan Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya lah segala kerajaan dan kebanggaan dan Dialah Maha menguasai atas segala sesuatu.Ya Allah jadikanlah di dalam hatiku cahaya, dan di dalam pendengaranku cahaya dan di dalam penglihatanku cahaya. Ya Allah lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku. Saya berlindung kepada-Mu dari bisikan yang ada di dalam dada, dan dari firnah kuburdan dari kejahatan angin yang bertiup, dan dari kejahatan dari munculnya malam dan siang. “ 

Ibnu Uyainah pernah ditanya mengenai doa’ yang paling kerap diucapkan pada hari Arafah, dia menjawab :

سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ

“ Maha Suci Allah, Segala puji bagi Allah, dan Allah Maha Besar “

Hendaknya dia beradab terhadap Allah di saat berdo’a, seumpama mengangkat kedua tangannya, dalam kondisi bersuci, menghadap kiblat, memuja dan memuji Allah, mengucapkan sholawat terhadap nabi, meminta cuma terhadap Allah, bertawassul dengan nama dan sifat-Nya, tidak bertawassul terhadap makhluq-Nya, seumpama para nabi dan orang-orang sholeh, serta berdo’a untuk dirinya sendiri, keluarganya dan seluruh kaum muslimin.

Jika sudah terbenam matahari hari Arafah, maka jama’ah haji keluar dari Arafah, ini menurut hadist Jabir yang menyebutkan bahwa :

فَلَمْ يَزَلْ وَاقِفًا حَتَّى غَرَبَتْ الشَّمْسُ وَذَهَبَتْ الصُّفْرَةُ قَلِيلًا حَتَّى غَابَ الْقُرْصُ وَأَرْدَفَ أُسَامَةَ خَلْفَهُ وَدَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“ Rasulullah senantiasa wukuf hingga matahari terbenam dan mega merah hilang. Kemudian dia memboncengkan Usamah di belakangnya, dan dia sendiri secepatnya berangkat ( meninggalkan Arafah ). “ 

Dan barang siapa yang keluar dari Arafah sebelum terbenamnya matahari, maka wajib baginya untuk kembali lagi, kalau dia kembali, maka tidak ada keharusan apa-apa atasnya. Tetapi kalau tidak kembali lagi, maka wajib baginya untuk mengeluarkan duit dam selaku penyempurna kelemahan yang dilakukannya.

Jika seseorang tiba ke Arafah pada malam hari, maka hajinya tetap sah,  dan tidak ada keharusan apa-apa terhadapnya. Ini menurut Ibnu Umar bahwa Nabi saw bersabda :

فَمَنْ أَدْرَكَ الْعَرَفَةَ بليل فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ

“ Barang siapa hingga di Arafah pada waktu malam, maka sesungguhnya ia sudah berhaji.”

Dan barang siapa belum hingga Arafah hingga terbitnya fajar Hari Nahr (hari penyembelihan), maka hajinya tidak sah, sebagaimana sabda Nabi saw bahwa haji itu pada dasarnya wukuf di Arafah, maka hendaknya dia tahalul dari ihramnya dengan mengakhiri umrah.

Para jama’ah haji keluar dari Arafah sesudah terbenamnya matahari sambil mengucapkan talbiyah menurut hadist Fadhl radhiyallahu ‘anhu :

أن النبي صلى الله عليه وسلم لَمْ يَزَلْ يُلَبِّي حَتَّى رَمَى الْجَمْرَةَ

“ Sesungguhnya Nabi saw senantiasa bertalbiyah hingga melempar jumrah. “

Hendaknya dia berangkat menuju Muzdalifah dalam kondisi damai dan tidak tergesa-gesa, lantaran Nabi saw bersabda  di saat berangkat ke Muzdalifah  :

أَيُّهَا النَّاسُ السَّكِينَةَ السَّكِينَةَ

" Wahai insan tetaplah dalam kondisi tenang, tetaplah dalam kondisi tenang." ( HR Muslim )

كَانَ إذَا وَجَدَ فَجْوَةً أَسْرَعَ إلَيْهَا

 “ Jika mendapat jalan kosong, dia mempercepat langkahnya “ ( HR Bukhari dan Muslim )

Keluar Menuju Muzdalifah :

Wukuf di Muzdalifah di mulai sejak terbenamnya matahari pada hari Arafah hingga sebelum terbitnya fajar Hari Nahr, hal ini menurut sabda Nabi saw :

مَنْ شَهِدَ صَلَاتَنَا هَذِهِ وَوَقَفَ مَعَنَا حَتَّى نَدْفَعَ وَقَدْ وَقَفَ بِعَرَفَةَ قَبْلَ ذَلِكَ لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَقَدْ أَتَمَّ حَجَّهُ وَقَضَى تَفَثَهُ

“ Barangsiapa yang shalat bareng kami, dan wukuf di Muzdalifah bareng kami hingga selesai dan sebelum itu dia wukuf di Arafah baik malam maupun siang, maka hajinya sudah tepat serta sudah melaksanakan ibadahnya."

Dianjurkan bagi yang lemah atau yang sedang menemani orang-orang yang lemah dan para wanita, hendaknya meninggalkan Muzdalifah sesudah pertengahan malam, begitu pula selain mereka boleh meninggalkan Muzdalifah sesudah pertengahan malam, cuma saja mereka tidak mengamalkan sunnah. Ini menurut apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas  bersama-sama ia berkata :

كُنْتُ فِيمَنْ قَدَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ضَعَفَةِ أَهْلِهِ  مُزْدَلِفَة إلى مِنَّي

"Aku tergolong dalam rombongan orang-orang ditugaskan oleh  Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bareng anggota keluarga dia untuk secepatnya berangkat dari Muzdalifah ke Mina" ( HR Bukhari dan Muslim )

Barang siapa yang sampai  Muzdalifah sesudah pertengahan malam, maka dia tidak terkena bimbang apapun, maka dibolehkan baginya untuk melewatinya saja dan tidak mesti berhenti. Kalau dia hingga Muzdalifah sesudah fajar, memiliki arti dia tidak ada peluang untuk wukuf disana, maka dia mesti mengeluarkan duit dam untuk melengkapi kelemahan yang dia kerjakan.

Jika dia hingga Muzdalifah, yang letaknya di jalan antara Arafah dan Mina, maka pertama kali yang dilakukan merupakan melaksanakan sholat Maghrib dan Isya’ dengan satu adzan dan dua iqamat secara jama’ dan qashar, untuk sholat maghrib tiga reka’at dan sholat Isya’ dua reka’at, kecuali penduduk Mekkah, mereka melaksanakan sholat dengan menjama’ tanpa qashar, untuk sholat Maghrib tiga reka’at dan sholat Isya’ empat reka’at.

Sholat dilaksanakan sebelum menurunkan barang-barangnya dari kendaraan. Hendaknya dia tidak menjalankan sholat sebelum hingga Muzdalifah, kecuali kalau dia kalut waktunya tidak cukup lantaran kondisi yang sungguh ramai dan berdesak-desakan, maka dia berhenti di jalan dan melaksanakan sholat, hal ini lantaran Usamah pernah menyodorkan terhadap Rasulullah saw : “ Wahai Rasulullah kita sholat dahulu “ ? Beliau bersabda : “ Kita akan melaksanakan sholat di depan sana “  ( HR Muslim )

Setelah melaksanakan sholat, dia menurunkan barang-barangnya dari kendaran dan menginap di Muzdalifah dan melaksanakan sholat witir pada malam itu, kemudian melaksanakan sholat fajar tepat pada waktunya, mudah-mudahan bisa wukuf di Masy’aril Haram, dan direkomendasikan untuk melaksanakan sholat lebih awal  menurut hadist Jabir ra :

وَصَلَّى الْفَجْرَ حِينَ تَبَيَّنَ لَهُ الصُّبْحُ بِأَذَانٍ وَإِقَامَةٍ

“ Dan Beliau melaksankan sholat Fajar di saat terang bagi dia waktu Subuh, dengan didahului adzan dan iqamat. “

Dan tidak sah sholat shubuh dilakukan sebelum terbit fajar, lantaran sholat tidak sah dilakukan sebelum waktunya.

Setelah itu, direkomendasikan untuk mendatangi Masy’aril Haram, lantaran tempat itu dijadikan tempat wukufnya Nabi saw, letaknya bersahabat masjid, dan dia boleh mendakinya. Jika dia wukuf di mana saja, hal itu dibolehkan, menurut sabda Nabi saw : “ saya wukuf di sini dan semua Muzdalifah merupakan tempat wukuf “ .

Kemudian hendaknya dia menghadap kiblat sambil berdo’a terhadap Allah, bertakbir, bertahlil serta mentauhidkan-Nya sehingga langit menguning sekali dan kelihatan cahaya siang, maka hendaknya dia secepatnya meninggalkan Masy’aril Haram sebelum matahari terbit selaku amalan yang membedakan dengan orang-orang musyrik.  Berkata Umar :

إِنَّ الْمُشْرِكِينَ كَانُوا لَا يُفِيضُونَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَيَقُولُونَ أَشْرِقْ ثَبِيرُ – وهو جبل تشرق الشمس من جهته – وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَالَفَهُمْ ثُمَّ أَفَاضَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ

"Sesungguhnya orang-orang musyrik tidak bertolak ke Mina hingga terbit matahari dan mereka berkata: "Terbitlah, wahai gunung Tsabir"- yakni suatu gunung yang Matahari terbit dari arahnya- , Kemudian Nabi shallallahu'alaihiwasallam menyelisih mereka, maka Beliau bertolak ke Mina sebelum matahari terbit". ( HR Bukhari )

Kemudian hendaknya dia menuju Mina  dan terus mengucapkan talbiyah, di saat hingga terhadap lembah Muhassar – yakni lembah yang terletak antara Muzdalifah  dan Mina- direkomendasikan untuk mempercepat jalannya sedikit, menurut apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw.

 Dianjurkan baginya untuk mengambil kerikil untuk melempar jumrah dari jalan yang dilaluinya atau dari Muzdalifah, lantaran nabi saw mendelegasikan Ibnu Abbas untuk mengambil kerikil sedang dia di atas untanya.  Kerikil yang diambil ukurannya sedang ( antara yang kecil dan yang besar ), lantaran nabi saw menggenggam kerikil, seraya bersabda :

بأمثال هذا فارموا
“ Dengan kerikil seumpama ini, maka hendaknya kalian melempar jumrah “ 

Mengambil kerikil dari Muzdalifah lebih mudah, lantaran di Mina sungguh jarang di sanggup kerikil-kerikil tersebut. Berkata Sa’id bin Jubair : “ Mereka ( para sahabahat ) membekali diri dengan kerikil-kerikil yang diambil dari Muzdalifah “ .


  • Amalan-amalan Pada Hari Kesepuluh (Hari Nahr)
Hari Nahr merupakan hari ‘Ied, atau hari haji yang paling agung, lantaran di dalamnya banyak amalan-amalan yang dikerjakan, yakni :

  1. Melempar Jamrah ‘Aqabah
  2. Menyembelih bagi yang berhaji tamattu’ atau qiran, begitu pula yang berhaji ifrad kalau menghendaki untuk menyembelih juga.
  3. Menggundul kepala atau mencukur rambut saja     
  4. Thowaf Haji
Seluruh amal di atas dilakukan secara berurutan, kalau didahulukan satu dengan yang lainnya, maka tetap sah, tetapi tidak cocok dengan sunah, lantaran Nabi saw tidak pernah ditanya pada hari Nahr mengenai amalan apapun yang dilakukan lebih dahulu ataupun diakhirkan kemudian,  kecuali dia menjawab tidak apa-apa .

Di dalam pembahasan  ini ada enam duduk permasalahan :

1. Waktunya

Amalan hari kesepuluh ini dimulai sejak pertengahan malam ‘ied, yakni di saat orang-orang lemah mulai meninggalkan Muzdalifah, mereka pribadi mengawali amalan-amalan Hari Nahr.  Mereka mengawali melempar Jumrah Aqabah. Disebut juga dengan Jumrah Kubra,  letaknya paling bersahabat dengan Mekkah . Inilah amalan pertama pada Hari Nahr. Disebut juga dengan penghormatan kota Mina, sebagaimana thowaf merupakan pernghormatan terhadap Ka’bah. 

Disunnahkan baginya untuk menyebabkan Mekkah disebelah kirinya, sedangkan Mina di sebelah kanannya, kemudian dia melemparnya dengan tujuh kerikil, sambil mengucapkan takbir pada setiap kerikil. Tidak boleh memadukan lebih dari satu kerikil dalam sekali lemparan, dan dia mesti percaya bahwa kerikil tersebt masuk ke dalam lubang untuk memuat kerikil-kerikil. Untuk talbiyah hendaknya tidak boleh pada lemparan pertama, lantaran dia sudah mulai melaksanakan hal-hal yang menyebabkan bolehnya tahalul.

Dibolehkan untuk melempar pada pertengahan malam  ‘ied atau diakhir malamnya, atau sepanjang Hari Nahr, dan begitu pula dibolehkan melempar pada malam kesebelas, hingga terbitnya fajar.

2. Menyembelih Hewan Kurban  

Menyembelih tergolong amalan  Hari Nahr, maka bagi siapa yang berhaji hendaknya menyembelih binatang kurbannya sesudah melempar jumrah. Hal ini diwajibkan bagi yang berhaji tamattu’ dan qiran, serta  disunnahkan bagi yang berhaji ifrad.

Yang diwajibkan merupakan menyembelih satu kambing perorang atau  satu unta atau sapi untuk tujuh orang, bagi yang berhaji tamattu’ atau qiran. Tetapi disunnahkan bagi keduanya untuk menyembelih lebih dari kadar yang diwajibkan, lantaran nabi saw menyembelih dalam hajinya seratus ekor unta. Adapun yang berhaji ifrad disunnahkan untuk menyembelih binatang di dalam hajinya, tetapi tidak wajib baginya.

Disunnahkan baginya untuk menyembelih sendiri, lantaran nabi saw menyembelih dengan tangannya sendiri enam puluh tiga unta.

Tempat penyembelihan merupakan di Mina  atau Mekkah, lantaran nabi saw bersabda :

مِنًى كُلُّهَا مَنْحَرٌ وَكُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ طَرِيقٌ وَمَنْحَرٌ وَكُلُّ عَرَفَةَ مَوْقِفٌ وَكُلُّ الْمُزْدَلِفَةِ مَوْقِفٌ

“ Mina segalanya merupakan tempat penyembelihan, dan seluruh pelosok kota Makkah merupakan jalan dan tempat penyembelihan. Seluruh Arafah merupakan tempat wukuf, dan seluruh Muzdalifah merupakan tempat wukuf." (HR. Ibnu Majah)

Bagi yang berhaji boleh mewakilkan siapa yang dipercayainya  untuk menyembelihkan, seumpama lembaga-lembaga dan yayasan-yayasan yang sudah mendapat ijin untuk itu, atau terhadap orang yang sudah dimengerti amanatnya sehingga dia percaya bahwa dia akan menjalankan hal itu secara tepat sesuai dengan syarat-syarat penyembelihan yang terkait dengan umur, waktu dan lain-lainnya. Dan jangan hingga dia menggampangkan, kemudian mewakilkan penyembelihan terhadap orang yang kadang tidak melaksanakannya atau di saat menyembelih  tidak cocok dengan syarat, waktu atau tempatnya.

Waktu penyembelihan rampung serentak dengan terbenamnya matahari pada hari ketiga belas. Menyembelih pada waktu malam atau siang segalanya dibolehkan dan sah. Tetapi waktu siang lebih utama, dan yang lebih utama lagi pada siang pertama.

Jika dia sudah menyembelih binatang kurban, maka secepatnya dibagikan terhadap orang-orang miskin yang tinggal di Tanah Haram, baik mereka selaku penduduk di situ atau pendatang, dan dia boleh mengkonsumsi dari daging tersebut, lantaran nabi saw mengkonsumsi dari dagingnya dan tidak menampilkan upah terhadap penyembelihnya  dari binatang tersebut, tetapi dia memberikannya selaku sedekah atau hadiah.

3. Menggundul atau Mencukur

Menggundul dan mencukur rambut tergolong amalan ibadah haji. Orang yang berhaji wajib menggundul atau mencukur rambutnya, sebagaimana firman Allah :

مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ

“ Dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya” (QS. Al Fath : 27)

Nabi saw mencukur seluruh rambutnya, sedang mencukur sebagian rambutnya saja sudah cukup dan hajinyapun sah, cuma saja mencukur seluruh rambutnya lebih utama. Sebagaimana dalam hadist Ibnu Umar :

عنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَحِمَ اللَّهُ الْمُحَلِّقِينَ قَالُوا وَالْمُقَصِّرِينَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ رَحِمَ اللَّهُ الْمُحَلِّقِينَ قَالُوا وَالْمُقَصِّرِينَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ رَحِمَ اللَّهُ الْمُحَلِّقِينَ قَالُوا وَالْمُقَصِّرِينَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَالْمُقَصِّرِينَ

“Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semoga Allah merahmati mereka yang mencukur rambutnya ( hingga gundul) ." Lalu mereka berkata, "Dan juga bagi mereka yang menggunting rambutnya ya Rasulullah." Beliau berdo'a lagi: "Semoga Allah merahmati mereka yang mencukur rambutnya( hingga gundul ) ." Mereka berkata lagi, "Dan juga bagi mereka yang menggunting rambutnya ya Rasulullah." Namun dia tetap berdo'a: "Semoga Allah merahmati mereka yang mencukur rambutnya (sampai gundul)." Mereka berkata lagi, "Dan juga bagi mereka yang menggunting rambutnya ya Rasulullah." Kemudian dia berdo'a: "Dan juga (semoga Allah merahmati) bagi mereka yang menggunting rambutnya." (HR. Muslim)

Sedang orang yang gundul dan tak mempunyai rambut, disunnahkan untuk ditempelkan pisau cukur di atas kepalanya untuk menampakkan syia’r ibadah haji.  Mencukur tidak dikhusukan di tempat tertentu, tetapi boleh dilakukan di Mina atau Mekkah atau di tempat lainnya.

Sedangkan untuk perempuan disyari’atkan mencukur sebagian rambut saja, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas  :

عنَ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ عَلَى النِّسَاءِ حَلْقٌ إِنَّمَا عَلَى النِّسَاءِ التَّقْصِيرُ

“Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak diwajibkan bagi perempuan untuk menggundul kepalanya , tetapi  yang wajib atas perempuan hanyalah mencukur sebagian rambut " (HR. Abu Daud)

Cara mencukur untuk perempuan merupakan mengambil dari  setiap kepala sekadar satu ruas dari telunjuk tangan.

4. Tahallul Awal

Jika orang yang berhaji sudah melempar jumrah dan mencukur rambutnya, maka dia sudah mengakhiri tahallul awal, maka dibolehkan baginya untuk menjalankan apa saja, kecuali mendatangi istri dan bercumbu rayu dengannya, menurut perkataan Aisyah :

كُنْتُ أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِحْرَامِهِ حِينَ يُحْرِمُ وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ

"Aku pernah memakaikan parfum terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk ihramnya di saat Beliau berihram dan sesudah tahallul sebelum melaksanakan thawaf mengelilingi Baitullah".  (HR. Bukhori dan Muslim)

Dan diriwayatkan dari  Sa’id :

إِذَا رَمَيْتُمْ وَحَلَقْتُمْ فَقَدْ حَلَّ لَكُمْ الطِّيبُ وَالثِّيَابُ وَكُلُّ شَيْءٍ إِلَّا النِّسَاءَ

"Jika kalian sudah melempar jumroh dan mencukur rambut maka sudah halal bagi kalian untuk berwangi-wangian, berpakaian, dan melaksanakan segala sesuatu kecuali menggauli istri." (HR. Ahmad)

Tahallul permulaan ini bisa terwujud pula dengan mendahulukan atau mengakhirkan sebagian amalan pada hari kesepuluh, yakni dengan melaksanakan dua dari tiga amalan yang ada ; melempar, mencukur atau thowaf.  Maka barang siapa yang mengawali dengan thowaf, maka dia sudah bisa tahallul permulaan kalau sudah melempar, atau dia sudah thowaf dan mencukur. Karena sesungguhnya thowaf bobotnya lebih berat dibanding dengan melempar, maka bisa dianalogikan dengan melempar di dalam merealisasikan tahallul awal. Ini menurut hadist :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِيلَ لَهُ فِي الذَّبْحِ وَالْحَلْقِ وَالرَّمْيِ وَالتَّقْدِيمِ وَالتَّأْخِيرِ فَقَالَ لَا حَرَجَ

“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah ditanya mengenai penyembelihan binatang kurban, bercukur, dan melontar jumrah serta mendahulukan atau mengakhirkan (amalan tersebut), tetapi dia bersabda: "Tidaklah mengapa." ( HR Bukhari dan Muslim )

Disunnahkan bagi pemimpin untuk berkhutbah pada hari itu untuk mengajarkan terhadap insan hukum-hukum yang berhubungan dengan haji. Hal ini menurut hadist :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ النَّاسَ يَوْمَ النَّحْرِ

“Dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyodorkan khuthbah pada hari Nahar, (HR. Bukhori)

5. Thowaf Ifadhah

Thowaf Ifadhah disebut juga Thowaf haji, atau Thowaf Ziarah. Dinamakan demikian,  lantaran orang yang berhaji tiba dari Mina, kemudian berziarah ke Ka’bah. Dan ini merupakan simpulan amalan pada hari Nahr.

Adapun waktunya merupakan dimulai beriringan dengan amalan-amalan hari nahr, yakni sejak pertengahan malam hari nahr, sesudah meninggalkan Muzdlifah . Thowaf ini tidak ada deadline untuk akhirnya. Tetapi yang paling utama dilakukan pada hari Nahr pada waktu Dhuha menurut apa yang diriwayatkan Jabir bersama-sama Nabi saw melaksanakan thowaf di Baitullah Ka’bah kemudian melaksankan sholat Dhuhur di Mina.  

Jika thowaf dilakukan ba’da Dhuhur atau malam hari, atau pada hari-hari di Mina, maka tidaklah mengapa. Jika terpaksa mengakhirkan Thowaf, maka tidak apa-apa dia mengakhirkannya, lantaran di saat Shofiyah tiba bulan ( haidh ), Nabi saw bersabda :  “ Apakah dia sudah menahan kita “, maksudnya rombongan haji tertahan untuk menanti Shofiyah hingga higienis dari haidh, kemudian gres thowaf, dan lazimnya bersihnya dari haidh terwujud sesudah selesai hari-hari di Mina.

Bagi perempuan yang tiba bulan ( haidh ) dibolehkan baginya untuk minum pil, agar haidhnya berhenti sehingga dia bisa melaksanakan thowaf  ifadhah ini. Begitu juga bagi perempuan kebanyakan dibolehkan meminum pil anti haidh agar tidak menghalanginya  melaksanakan thowaf dan menyempurnakan hajinya.

Cara pelaksanaannya seumpama thowaf umrah dan thowaf qudum, cuma saja tidak perlu melaksanakan ar-raml dan idhthiba’, menurut hadist Ibnu Abbas :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَرْمُلْ فِي السَّبْعِ الَّذِي أَفَاضَ فِيهِ

“Dari Abdullah bin Abbas radliallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam belum pernah berlari kecil pada tujuh putaran dalam thawaf Ifadhah” (HR. Ibnu Majah dan Abu Daud)

Dianjurkan untuk memakai wangi-wangian dan berdandan kalau sudah melempar dan mencukur dan sudah bertahallul awal, sebagaimana perkataan Aisyah :  

كُنْتُ أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِحْرَامِهِ حِينَ يُحْرِمُ وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ

"Aku pernah memakaikan parfum terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk ihramnya di saat Beliau berihram dan sesudah tahallulnya sebelum thawaf mengelilingi Baitullah". (HR Bukhari dan Muslim )

Adapun kalau dia melaksanakan thowaf sebelum tahallul awal, maka dia thowaf dengan tetap memakai busana ihram, tidak boleh memakai wangi-wangian, dan tidak boleh memakai baju yang berjahit.

Jika seseorang yang berhaji  tamattu’ sudah mengakhiri thowaf, maka dia mesti melaksanakan sa’I lagi, lantaran sa’I yang pertama untuk umrah, ini menurut perkataan Aisyah : “ Mereka para kawan melaksanakan thowaf lagi yang bukan thowaf mereka yang  pertama. “  

Adapun yang berhaji qiran atau ifrad, kalau dia sudah melaksanakan sa’I sesudah thowaf qudum, maka itu sudah cukup baginya, dan tidak perlu sa’I lagi. Jika belum melaksanakan sa’I, hendaknya dia sa’I sesudah melaksanakan thowaf ifadhah ini, lantaran nabi saw melaksanakan sa’I sesudah thowaf haji, lantaran dia belum melaksanakan sa’I pada waktu thowaf qudum. Adapun cara melaksanakan sa’I, seumpama cara melaksanakan sa’I dalam ibadah umrah.

Disunnahkan baginya untuk mendatangi air zam-zam di saat menuju tempat sa’I, dan minum darinya banyak-banyak sehingga merasa segar, hal itu pernah dilakukan oleh nabi saw.

Dengan minum air zam zam tersebut seseorang akan mendapat yang diinginkannya, seumpama kesembuhan dari penyakit, mendapat rizqi dan lain-lainnya, sebagaimana tersebut di dalam hadist :

مَاءُ زَمزَم لمَا شُربَ لَهُ   

“ Air Zam- zam itu diminum sesuai dengan maksudnya “ ( HR Ahmad dan Ibnu Majah  dari hadist Jabir )  

Dan di dalam hadist lain disebutkan :

إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ وَشِفَاءُ سُقْمٍ                                   

“Sesungguhnya ia air yang berbarakah dan dia masakan yang bikin kenyang dan obat dari penyakit.”

Air zam zam bukanlah air yang segar, sehingga di saat meminumnya diniatkan untuk beribadah terhadap Allah, bukan untuk sekedar mencicipi kenikmatannya.

6. Tahallul Kedua

Jika seorang jam’ah haji sudah mengakhiri amalan-amalan hari Nahri yang tiga : Melempar Jumrah- Mencukur dan Thowaf dan dibarengi dengan Sa’i- , memiliki arti dia sudah bertahallul kedua, dan dihalalkan baginya semua hal, termasuk  berafiliasi tubuh dengan istrinya, meskipun dia belum sempat menyembelih  binatang kurbannya, lantaran binatang kurban tidak ada keterkaitannya dengan tahallul. Tetapi kalau dia belum thowaf, maka tetap saja dia belum tahallul kedua, meskipun tinggal selama satu bulan.

  • Para Jama’ah Haji Mabit ( menginap )  di Mina dan Tinggal di sana
Jika seorang jama’ah haji sudah mengakhiri thowaf pada hari Nahr, maka dia mulai tinggal di Mina sesuai yang dicontohkan nabi saw, sebagaimana hadist  yang menyebutkan :

أنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَاضَ يَوْمَ النَّحْرِ ثُمَّ رَجَعَ فَصَلَّى الظُّهْرَ بِمِنًى

“ Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan thowaf ifadhah pada hari Nahr, kemudian dia kembali dan melaksanakan shalat Dhuhur  di Mina"

Para jama’ah haji mabit ( menginap ) di Mina pada malam kesebelas, keduabelas,  dan ketiga belas, kecuali bagi yang tergesa-gesa, maka boleh bagi mereka meninggalkan mabit pada malam yang ketigabelas, dan akan dijelaskan mengenai hukumnya secara tersendiri.

Adapun Mabit ( menginap ) di Mina pada malam kesebelas, keduabelas, da ketigabelas, hukumnya wajib dan tidak boleh ditinggalkan oleh orang yang berhaji, kecuali ada udzur, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar bersama-sama Nabi saw menampilkan dispensasi bagi Abbas ( untuk tidak mabit di Mina ) lantaran mengurusi air di Mekkah. Maka hadist ini menampilkan bahwa yang tidak ada keperluan wajib mabit di Mina, dan tidak ada keringan baginya. 

Oleh karenanya, barang siapa yang meninggalkan mabit tiga malam secara keseluruhan, maka dia wajib mengeluarkan duit dam. Dan barang siapa yang meninggalkan mabit satu malam, maka hendaknya dia bederma ala kadarnya, seumpama sepuluh atau dua pulug real. Jika Mina tidak dapat memuat semua jama’ah haji, maka dibolehkan untuk tinggal di Muzdalifah atau tempat-tempat yang lain yang bersahabat dengan Mina. Hendaknya jangan memaksa dirinya untuk tinggal di pinggir jalan-jalan Mina, yang menjadikannya akan banyak terganggu. Sedangkan kesusahan seumpama itu mesti dihilangkan dalam Syari’at.

Barang siapa yang keluar dari Mina untuk melaksanakan thowaf, kemudian terjebak dalam kemacetan nyaris semalam penuh, maka tidak ada bimbang apapun atas dirinya, lantaran dia belum meninggalkan kewajiban. Sedangkan meninggalkan sebagian keharusan lantaran ada udzur, maka hal itu dimaafkan mudah-mudahan tidak menyusahkannya.

  • Amalan –Amalan Pada Hari Kesebelas
Hari kesebelas dari hari-hari haji disebut juga yaum al –qarri ( hari menetap ), lantaran jama’ah haji menetap di Mina dan berkewajiban untuk melempar jumrah pada hari itu.

Hari itu merupakan hari pertama dari hari-hari tasyriq, dimana para jama’ah haji ditugaskan untuk memperbanyak dzikir dan bertakbir, sebagaimana firman Allah swt :

فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا

“Apabila kau sudah mengakhiri ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kau menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu” (QS. Al Baqarah : 200)

dan sebagaimana hadist :

وَأَيَّامُ مِنًى أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وذِكْرُ الله

“Dan hari-hari di Mina merupakan hari makan-makan dan minum  dan mengingat Allah” ( HR Muslim )

Waktu melempar pada hari yang kesebelas dimulai sesudah tergelincirnya matahari, atau sesudah adzan Dhuhur. Dalilnya merupakan hadist Ibnu Umar yang menyebutkan :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تحيّن الزوال ثم رمي

“ Bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wassalam menanti waktu tergelincirnya matahari , sesudah itu dia mulai melempar “

Waktu melempar ini berjalan sehari penuh. Dan dibolehkan juga melempar pada malam hari hingga terbitnya fajar pada hari berikutnya. Yang dilempar merupakan seluruh jumrah :   sughra ( yang kecil ), wustha ( pertengahan ) dan kubra ( yang terbesar ).
Cara melemparnya dimulai dari jumrah yang paling kecil dan hendaknya posisi jumarah tersebut sebelah kirinya. Kemudian dia melempar dengan tujuh kerikil, seraya mengucapkan takbir pada setiap kerikil. Tidak boleh melempar lebih dari satu kerikil dalam setiap lemparan, dan dia mesti percaya bahwa kerikil tersebut masuk  di dalam lubang yang sudah disediakan.

Kemudian dia mundur sedikit  dan menghadap kiblat serta mengangkat kedua tangannya untuk berdo’a dan direkomendasikan kalau bisa untuk memperpanjang do’a sekitar setengah jam lamanya. Kemudian dia mendatangi jumrah al wustha, dan melemparnya dengan tujuh kerikil sebagaimana yang dilakukan pada jumrah as- Sughra. Kemudian dia maju sedikit ke arah sebelah kiri dan menghadap kiblat serta berdo’a dan memperpanjang do’anya sekitar setengah jam juga.

Kemudian dia mendatangai jumrah al-Kubra ( al-‘Aqabah ) dan melemparinya dengan tujuh kerikil, sesudah itu dia tidak bangun untuk berdo’a. Hal itu menurut apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ كَانَ يَرْمِي الْجَمْرَةَ الدُّنْيَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ عَلَى إِثْرِ كُلِّ حَصَاةٍ ثُمَّ يَتَقَدَّمُ حَتَّى يُسْهِلَ فَيَقُومَ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ فَيَقُومُ طَوِيلًا وَيَدْعُو وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَرْمِي الْوُسْطَى ثُمَّ يَأْخُذُ ذَاتَ الشِّمَالِ فَيَسْتَهِلُ وَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ فَيَقُومُ طَوِيلًا وَيَدْعُو وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ وَيَقُومُ طَوِيلًا ثُمَّ يَرْمِي جَمْرَةَ ذَاتِ الْعَقَبَةِ مِنْ بَطْنِ الْوَادِي وَلَا يَقِفُ عِنْدَهَا ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُولُ هَكَذَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ

“ Dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma bahwa dia melempar Al Jumrah Ad-Dunya (Al Ulaa) dengan tujuh kerikil dengan bertakbir pada setiap kali lemparannya, kemudian dia maju hingga hingga pada permukaan yang datar, dia bangun menghadap kiblat dengan agak lama, kemudian berdo'a dengan mengangkat kedua tangannya kemudian melempar jumrah Al Wustho kemudian dia mengambil jalan sebelah kiri pada dataran yang rata, kemudian bangun menghadap kiblat dengan agak usang kemudian berdo'a dengan mengangkat kedua tangannya dan tetap bangun agak lama, kemudian dia melempar jumrah Al 'Aqabah dari dasar lembah dan dia tidak berhenti disitu, kemudian secepatnya pergi dan berkata Ibnu Umar : "Begitulah saya menyaksikan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengerjakannya". (HR. Bukhori)

Barang siapa yang tidak bangun dan berdo’a, maka dia sudah meninggalkan sunnah tetapi amalan melemparnya tetap sah. Dan mesti melempar dengan tujuh kerikil. Jika dia melempar dengan enam kerikil, maka sah, tetapi tidak sempurna.

Barang siapa yang merasa berat untuk melempar karena  lanjut usia, atau masih kecil, atau dia seorang perempuan tidak dapat berdesak-desakan, maka dibolehkan baginya untuk mewakilkan terhadap jama’ah haji lain untuk melemparnya. Orang yang mewakilinya hendaknya melempar dahulu untuk dirinya, kemudian dia melempar untuk yang diwakilinya, sebagaimana dalam hadits Jabir :

عَنْ جَابِرٍ قَالَ حَجَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَنَا النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ فَلَبَّيْنَا عَنْ الصِّبْيَانِ وَرَمَيْنَا عَنْ لنِّسَاء

“ Dari Jabir berkata; "Kami melaksanakan haji bareng Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang bareng kami ada perempuan dan anak-anak, kami bertalbiyah untuk belum dewasa dan kami melempar untuk perempuan "  (HR. Ibnu Majah)

 Akhir waktu melempar merupakan simpulan hari tasyriq.

Jika seseorang menangguhkan semua amalan melemparnya pada simpulan har tasyriq, maka dia mesti memempar dahulu untuk hari yang pertama, kemudian untuk hari kedua, kemudian untuk hari ketiga. Karena amalan melempar ini dan hari –hari nya mesti berurutan.

  • Amalan-Amalan Pada Hari Kedua Belas.
Hari yang kedua belas merupakan hari terakhir bagi jama’ah haji  yang tergesa-gesa. Di hari tersebut seorang jama’ah haji mesti melaksanakan seumpama yang dilakukan pada hari kesebelas, yakni melempar dengan cara dan waktu yang sama, yakni melempar jumrah as-Sughra, al-Wustha, dan al-Kubra sesudah tergelincirnya matahari dan tidak boleh melempar sebelum tergelincirnya matahari.[1]

Jika seorang jama’ah haji melempar pada hari kedua belas, maka dibolehkan baginya keluar dari Mina dan bergegas. Hal ini menurut firman Allah :

فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ

“ Dan Barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), Maka tidak ada dosa pula baginya. “  (Qs. al Baqarah : 203)

Bergegas artinya  dia mesti keluar dari Mina sebelum terbenamnya matahari. Hal ini menurut perkataan Umar : “ Barang siapa berada pada sore hari ( di Mina ) pada hari kedua, hendaknya tetap tinggal hingga esok harinya, sehingga bisa pergi bareng jama’ah haji yang lain. Barang siapa yang berkehendak untuk pergi ( pada hari kedua belas sebelum terbenamnya matahari ), tetapi terjebak di dalam kemacetan, maka dibolehkan untuk tetap pergi, meskipun sudah terbenam matahari. Tetapi hal ini tidak berlaku bagi yang tidak berniat untuk meninggalkan Mina ataupun yang berniat tetapi belum menenteng barang-barangnya. “

Jika seorang jama’ah haji bergegas keluar dari Mina ( pada hari kedua belas ), maka tidak ada keharusan baginya untuk menginap di Mina pada malam hari ketiga belas, begitu pula tidak ada keharusan untuk melempar. Setelah dia keluar dari Mina, maka tidak dibolehkan lagi untuk mewakili seseorang di dalam melempar dan tidak boleh juga dia untuk melempar.

  •  Amalan-Amalan Hari Ketigabelas
Hari ketiga belas merupakan hari ketiga dari hari-hari tasyriq, dimana para jama’ah haji yang menangguhkan ( pergi dari Mina ) mesti tetap tinggal di Mina  dan melempar jumrah, sebagaimana yang dilakukan pada hari kesebelas tata cara, waktu dan hukumnya tetap sama. Maka tidak boleh bagi mereka ( yang tidak bergegas ) untuk meninggalkan Mina sebelum melempar. Adapun cara melemparnya sama dengan cara melempar pada dua hari sebelumnya. Inilah yang disebut dengan hari Nafar ats-Tsani ( hari kedua untuk meninggalkan Mina ) atau Nafar al Akhir

Barang siapa yang keluar dari Mina, disunnahkan untuk singgah di al-Mahshab dan istirahat di dalamnya. Berkata Ibnu Umar :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ يَنْزِلُونَ بِالْأَبْطَحِ

“ Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman berhenti di Abthah. “

Jika seorang jama’ah haji keluar dari Mina, maka tidak ada keharusan baginya kecuali thowaf wada’ ( thowaf perpisahan ). Thowaf wada’ ini hukumnya wajib, tidak boleh seorang jama’ah haji pulang terhadap keluarganya kecuali dia mesti melaksanakan thowaf, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلَّا أَنَّهُ خُفِّفَ عَنْ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ

“ Dari Ibnu Abbas ia berkata: “ Orang-orang ditugaskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mudah-mudahan mereka menyebabkan amalan terakhir mereka di Baitullah sebelum pulang merupakan melaksanakan thawaf, hansaja dia memberi dispensasi bagi perempuan haid. (HR Bukhari dan Muslim )

Thowaf wada’ merupakan thowaf mengelilingi Baitullah Ka’bah tanpa disertai sa’i. Jika dia sudah pulang dan belum thowaf sedang jaraknya belum jauh, maka hendaknya dia kembali dan melaksanakan thowaf. Jika dia tidak kembali atau lantaran jaraknya sudah jauh, maka dia wajib mengeluarkan duit dam, yakni menyembelih kambing  dan dibagikan terhadap fakir miskin yang tinggal di haram.

Untuk penduduk Mekkah dan Haram tidak ada keharusan untuk melaksanakan thowaf wada’. Adapun untuk penduduk Jeddah atau dari tempat sekitarnya, maka tetap mempunyai keharusan untuk melaksanakan thowaf wada’ seumpama yang lainnya.

Begitu juga, perempuan yang sedang haidh tidak ada keharusan thowaf wada’ baginya. Wanita yang haidh kalau sudah melaksanakan thowaf ifadhah, maka sudah dibolehkan baginya untuk meninggalkan Mekkah. Dan tidak perlu tinggal di Mekkah sekedar untuk menanti thowaf wada’, menurut hadist Ibnu Abbas di atas.

Dibolehkan bagi seorang jama’ah haji untuk menangguhkan thowaf ifadhah hingga dia ingin pergi meninggalkan Mekkah, maka pada di saat itu dibolehkan baginya untuk melaksanakan thowaf ifadhah dan thowaf wada’ dengan niat thowaf ifadhah, maka niat itu cukup untuk dua thowaf : ifadah dan wada’. Setelah itu dia melaksanakan sa’I, kalau belum melaksanakan sa’I sebelumnya.  Tidak apa-apa dia melaksanakan sa’I sesudah thowaf, lantaran sa’I ini mengikuti ibadah thowaf. Dan ini tergolong orang yang amalan balasannya di Ka’bah merupakan thowaf.

Bagi yang melaksanakan thowaf wada’ direkomendasikan untuk bangun di Multazam kalau hal itu praktis baginya. Multazam ini letaknya antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah. Di tempat ini, hendaknya dia berdo’a dan bersimpuh di hadapan-Nya, lantaran para ulama salaf melaksanakan hal ini.  Hendaknya dia berdo’a meminta keperluannya dan memohon taubat  dari rabb-nya, serta meminta Allah untuk kebaikan dirinya dan kaum muslimin.

Jika dia sudah melaksanakan thowaf wada’, hendaknya dia secepatnya pergi, dan tidak direkomendasikan untuk keluar dengan mundur ke belakang sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang awam. Setelah itu tidak diperbolehkan baginya untuk menyibukan diri dengan perdagangan, atau berdiam lama, ataupun tidur. Tetapi tidak apa-apa dia berbelanja sesuatu di jalan, atau menanti rombongannya walau mengkonsumsi waktu yang lama.  Begitu juga kalau terjadi kemacetan atau terlambatnya kendaraan. Karena hal-hal seumpama ini sesuatu yang tidak dapat dikesampingkan oleh jama’ah haji, dan tidak mengganti status thowafnya selaku amalan haji yang terakhir yang dilakukan di Ka’bah.

  • Melakukan Kunjungan Ke Masjid Nabi Saw, Hukum Berziarah Ke Kuburannya, Serta Hukum Berziarah Ke Tempat-Tempat Yang Bersejarah.
Di dalam pembahasan ini terdapat empat duduk permasalahan :

1. Ziarah Masjid Madinah

Berziarah ke masjid nabi saw merupakan sesuatu yang dianjurkan, lantaran di dalamnya ada keutamaannya, sebagaimana bunyi hadits yang terdapat dalam ash-shahih :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ

“ Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Shalat di masjidku ini nilainya seribu kali lebih baik dibandingkan pada masjid lain kecuali pada Al Masjidil Haram". (HR. Muslim)

Dibolehkan secara sengaja melaksanakan perjalanan untuk mendatangi masjid nabawi, ini menurut riwayat Abu Hurairah :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

“ Dari Abu Hurairah hingga hingga terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dia bersabda: "Janganlah kalian melakukan pekerjaan keras melaksanakan perjalanan jauh, kecuali ke tiga Masjid. Yaitu; Masjidku ini (Masjid Madinah), Masjidil Haram (di Makkah) dan Masjid Al Aqsha." (HR. Bukhori dan Muslim)

Orang yang berkunjung tersebut hendaknya berniat untuk berziarah ke masjid bukan ke kuburan nabi saw.

Berziarah ke masjid nabawi merupakan ibadah yang mendekatkan diri terhadap Allah dan merupakan wajud ketaatan kepada-Nya, tetapi amalan ini bukan tergolong dari ritual ibadah haji dan bukan pula pelengkapnya. Jika dia tidak berziarah, maka ibadah hajinya tidak berkurang.

2. Berziarah Ke Kuburan Nabi Saw

Disunnahkan bagi yang sudah hingga di Madinah untuk berziarah ke kuburan nabi saw, tetapi tidak dibolehkan untuk mengadakan safar cuma diniatkan untuk itu saja. Sebagaimana yang diriwayatkan Abu Hurairah  :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ

“ Dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian selaku kuburan dan jangan kalian jadikan kuburanku selaku 'ied (tempat yang senantiasa dikunjungi dan dihadiri pada setiap waktu dan saat), bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya shalawat kalian akan hingga kepadaku di manapun kalian berada." (HR. Abu Daud)

Adapun yang sering disebut oleh orang-orang awam bahwa ziarah kubur nabi saw merupakan kesempurnaan ibadah haji, maka hal itu tidak benar. Tidak satupun dari empat Imam yang menyampaikan seumpama itu. Adapun hadist yang sering dijadikan landasan untuk itu, yakni :

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَزُرني فَقَد جَفَاني

“ Barang siapa yang melaksanakan ibadah haji dan tidak berziarah kepadaku, maka dia sudah pastikan kekerabatan denganku “  

Ternyata hadist ini maudhu’ ( dibuat-buat insan ), maka tidak boleh dijadikan dalil, dan berbeda dengan hadist-hadits shahih yang melarang untuk melaksanakan safar khusus untuk berziarah ke kuburan Nabi saw

3. Adab-Adab Berziarah

Dianjurkan bagi peziarah untuk menampilkan salam terhadap nabi saw dan terhadap kedua sahabatnya, caranya dengan mengucapkan:
السَلَامُ عَلَيكَ أَيُهَا النَبي وَرَحمَة الله وَبَركَاتُه

“ Semoga salam makmur tetap tercurahkan terhadap Nabi, begitu pula rahmat Allah dan berkat-Nya. “

Jika dia menyertakan sesuatu yang tepat dengan salam itu, maka tidaklah mengapa, seumpama kalau mengucapkan :  

السَلاَم عَلَيكَ يَا خَلِيلَ الله وَأَمِينُه عَلَى وَحيِه وَخِيرَته مِن خَلقه وَأَشهَدُ أَنَكَ قَد بَلَغتَ الرِسَالة وأديتَ الأمَانَة وَنصحتَ الأُمَة وجَاهَدتَ في الله حَقَ جهَاده

“ Semoga salam makmur tetap tercurahkan kepada-mu wahai kekasih Allah dan pembawa wahyu, serta makhluq-Nya yang terbaik. Saya menyaksikan bahwa engkau sudah menyodorkan risalah, sudah melaksanakan amanah, sudah menasehati umat, dan sudah berjihad dengan sebenar-benar jihad. “

Jika cuma membaca dengan bacaan yang pertama tadi, maka itupun sudah baik. 

Ibnu Umar ra, kalau mengucapkan salam, dia menyampaikan :

السَّلَامُ عَلَيْك يَا رَسُولَ اللَّهِ السَّلَامُ عَلَيْك يَا أَبَا بَكْرٍ السَّلَامُ عَلَيْك يَا أَبَتِ

“ Semoga salam makmur tetap tercurahkan kepadamu wahai rasulullah, mudah-mudahan salam sejahtera  tetap tercurahkan kepadamu wahai Abu Bakar, mudah-mudahan salam makmur tetap tercurahkan kepadamu wahai Bapak-ku “ 

Kemudian dia pergi meninggalkan tempat itu.

Hendaknya dia tiba dengan damai dan secara perlahan-lahan menjauhi kegaduhan, tidak pula meninggikan suara. Hal ini menurut firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau meninggikan suaramu melampaui bunyi Nabi," ( Qs.Al Hujarat : 2)


  1. Tidak disyari’atkan bagi peziarah untuk mengusap-usap tembok kuburan  dan tidak pula menciumnya  ataupun sejenisnya.
  2. Tidak disyari’atkan untuk berdo’a di kuburan nabi saw, dan tidak ada kekhususan bagi beliau, bahwa orang yang berdoa’ bersahabat kuburannya maka doanya mustajab
  3. Tidak disyari’atkan berdo’a terhadap nabi saw dan meminta pinjaman kepadanya untuk mengampuni dosa atau mengindarkan dari tragedi alam atau mengembalikan barang yang dicuri, atau meminta kemenangan terhadap musuh-musuhnya atau yang lainnya. 

Related : Amalan-Amalan Dalam Ibadah Haji

0 Komentar untuk "Amalan-Amalan Dalam Ibadah Haji"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close