Sejarah Desa Patikraja


Peta Kecamatan Patikraja Luas 43,23 km² 

Patikraja, Banyumas
kecamatan di kabupaten Banyumas, Indonesia Patikraja  yakni suatu kecamatan di Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kecamatan ini masuk dalam wilayah perkotaan Purwokerto. Kecamatan Patikraja tergolong kecamatan yang strategis lantaran lokasinya yang berada dekat dengan pusat kabupaten disamping itu juga dilintasi oleh jalan nasional yang menghubungkan jalan nasional pantai utara jawa (Pantura) dan jalur selatan maupun jalan provinsi lintas tengah yang menghubungkan Kabupaten Banyumas dengan Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Temanggung. Pusat pemerintahan Kecamatan Patikraja berada di Desa Notog. Kecamatan Patikraja juga dilintasi jalur kereta api dengan suatu terowongan yakni Terowongan Notog dan stasiun terbesarnya yakni Stasiun Notog. 

Batas-batas Wilayah
Utara: Kecamatan Karanglewas, Kecamatan Purwokerto Selatan, Kecamatan Sokaraja dan Kecamatan Kalibagor
Barat: Kecamatan Purwojati
Selatan: Kecamatan Rawalo, Kecamatan Kebasen dan Kecamatan Banyumas
Timur: Kecamatan Kalibagor
Desa/kelurahan
Karanganyar
Karangendep
Kedungrandu
Kedungwringin
Kedungwuluh Kidul
Kedungwuluh Lor
Notog
Patikraja
Pegalongan
Sawangan Wetan
Sidabowa
Sokawera Kidul
Wlahar Kulon
Sejarah Asal-usul Nama Desa Patikraja 
Bahwa pada tahun 1648, terjadi peristiwa mengenaskan di Kraton Mataram (masa pemerintahan Susuhunan Amangkurat I) perkelahian keluarga yang menyebabkan jatuh korban anggota keluarga kerajaan Mataram, yaitu:

Pangeran Cakraningrat I (Raden Praseno) sehingga disebut Pangeran Siding Magiri (Sidho Hing Magiri). Raden Ario Atmojonegoro putra pertama Pangeran Cakraningrat I. Pangeran Ario atau Pangeran Alit, adik Susuhunan Amangkurat I dan Raden Demang Mloyo Kusumo, ayah Pangeran Trunojoyo. Terjadi pergantian kekuasan di Madura Raden Undakan putra ke-2 Pangeran Cakraningrat I dinaikkan tahta kerajaan dengan gelar: “Pangeran Cakraningrat II” (1648 – 1707).

Pangeran Cakraningrat II dalam menjalankan pemerintah kerajaannya ternyata tidak sebijaksana ayahandanya, Pangeran Cakraningrat I. Kekuasaan pemerintahan Madura pada waktu itu cuma diserahkan terhadap bawahan-bawahannya yang ternyata cuma menjalankan penekanan-penekanan terhadap rakyat yang dipimpinnya, sementara Raja Cakraningrat II, terlalu sering berada di Kraton Mataram.

Pangeran Trunojoyo yang waktu itu hidup di lingkungan keraton Mataram berkembang selaku seorang cowok yang taat terhadap agamanya (Islam) dan membenci menyaksikan ketidak-adilan yang terjadi baik di Madura ataupun di Jawa.

Beliau secepatnya kembali ke Madura dimana imbas kekuasaan Pangeran Cakraningrat II (pamannya) kian tidak memperoleh simpati dari rakyat.Justeru kesannya sehabis Trunojoyo berada di Madura seluruh Madura,seluruh penduduk Madura mengakui kepemimpinan Pangeran Trunojoyo dari Bangkalan hingga dengan Sumenep dan bergelar: “Panembahan Madura”.

Dengan diidampingi Macan Wulung menantu dari Panembahan Sumenep, Pangeran Trunojoyo mulai menyusun perlawanan melawan kompeni Belanda yang dinamakan “Perang Trunojoyo” berjalan dari tahun 1677 – 1680.

Pasukan Pangeran Trunojoyo bergabung dengan pelaut-pelaut Makassar dibawah pimpinan Karaèng Galesung (yang pada kesannya menjadi menantu Pangeran Trunojoyo). Bantuan dari Panembahan Giri ialah satu kekuatan yang sungguh ditakuti oleh kompeni Belanda.

Tanggal 13 Oktober 1676, terjadi peperangan sengit di Gegodok antara pasukan Pangeran Trunojoyo dan pasukan Mataram yang dipimpin oleh Adipati Anom. Dalam perang dahsyat ini sudah gugur pimpinan pasukan Mataram, yaitu: Pangeran Purboyo.

Satu demi satu daerah kekuasaan kerajaan Mataram sukses ditaklukkan pasukan Pangeran Trunojoyo.

Sementara itu Susuhunan Amangkurat I sungguh bersedih atas kekalahan itu, pasukan Mataram yang dipimpin kandidat Putra Mahkota Kerajaan Mataram tak berdaya menghadapi pasukan Pangeran Trunojoyo.

Kompeni Belanda mulai turun tangan mencampuri masalah lantaran bila kerajaan Mataram ditaklukkan Pangeran Trunojoyo memiliki arti kompeni Belanda tidak akan punya imbas lagi di tanah Jawa.

Cornelis Speelman, pada tanggal 29 Desember 1676 berangkat dari Betawi dengan 5 kapal perang dan 1.900 orang pasukan adonan dari Jepara menyerbu Surabaya. Perang terjadi antara pasukan Pangeran Trunojoyo dan pasukan kompeni Belanda, meskipun kesannya Pangeran Trunojoyo mesti mundur ke Kediri. Sementara pasukan kompeni Belanda terus mendesak ke Madura ke pusat cadangan pasukan Pangeran Trunojoyo, kompeni Belanda sukses menaklukkan pasukan cadangan Pangeran Trunojoyo di Madura, namun pada lain pihak pasukan Pangeran Trunojoyo sukses menduduki Kraton Kartasura.

Jatuhnya ibu kota Mataram, lantaran tidak ada sokongan sama sekali terhadap Susuhunan Amangkurat I, bahkan dari para Pangeran dan Bangsawan Kraton Kartasura.

Dalam kondisi sakit, Susuhunan Amangkurat I terpaksa mesti mengungsi dari Istana didampingi putranya Adipati Anom

Amangkurat I beserta pengiringnya melarikan diri ke arah barat menuju Banyumas. Setelah perjalanan yang amat bikin kecapekan rombongan Amangkurat I sukses menyeberangi Sungai Serayu. Maka Raja Mataram yang malang itu merasa lega. Lebih-lebih lantaran mereka memperoleh sambutan yang amat ramah dari penduduk lokal yang secara tradisional memang amat setia terhadap Kerajaan Mataram.

Di suatu desa di segi utara Sungai Serayu, Sang Raja mengutus rombongan untuk istirahat beberapa hari, alasannya yakni ia dikala itu sedang dalam kondisi sakit. Demikian pula sejumlah anggota rombongan, ada pula yang sakit. Bahkan salah satu petugas yang lazim merawat kuda Sang Raja, juga sakit, kesannya meninggal dan dikuburkan di desa itu. Kelak desa itu oleh penduduk lokal diberi nama desa Patikraja. Patik yakni abdi dalem raja yang sudah dianggap kerabat oleh Adipati Anom sudah dianggap kerabat (dulur) saking akrabnya kedua orang tsb penduduk sekitar lebih mengenangnya selaku saudaranya/dulurnya Anom atau Bupati Anom.Hingga makam tsb lebih kondang dengan lur Anom/dulurnya Anom.

Nama Patikraja 
Amangkurat I dikala istirahat di Desa Patikraja (*kini) dalam waktu beberapa hari dan pada dikala itu tengah viral panen padi.Ketertarikan waktu itu pada acara penduduk maka Amangkurat I ikut nimbrung dan ikut memetik padi sebentar dengan ani-ani,Peristiwa ini lebih memastikan penamaan daerah tersebut dengan peristiwa Petik pari raja hingga kesannya daerah ini ditegaskan selaku daerah Patikraja.

Perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri Sungai Serayu ke arah timur hingga menempuh jarak 10 km, kemudian rombongan belok kiri ke arah utara, dengan tujuan Tegal. Dari sana akan terus dilanjutkan menuju Batavia, guna meminta proteksi Kompeni, sahabatnya. Tetapi gres menempuh perjalanan sejauh lebih kurang 10 km, Sang Raja jatuh sakit lagi, sehingga rombongan raja itu beristirahat lagi di suatu desa. Kali ini malah istirahatnya hingga beberapa hari. Putra Mahkota Adipati Anom dan anggota keluarga raja sudah kalut dan kalut kalau-kalau Sang Raja akan wafat. Tetapi sehabis istirahat beberapa hari, ternyata kesehatan Raja berangsur-angsur membaik. Karena itu Putra Mahkota dan segenap rombongan merasa amat gembira. Mereka semua bersuka ria, bahagia dan gembira. Bahkan Sang Raja sendiri berbincang kegembiraannya dan mengutus mudah-mudahan rombongan meneruskan perjalanannya menuju Tegal. Desa tempat Sang Raja merasa senang, suka dan bangga lantaran sanggup sembuh dari sakit, kelak oleh penduduk diberi nama desa Sukaraja. Artinya desa tempat Sang Raja merasa suka, bahagia dan gembira, lantaran sanggup sembuh. Tapi usang kelamaan nama Sukaraja, berubah mengikuti pengecap orang Banyumas, menjadi Sokaraja.

Dari desa Sokaraja, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Tegal dengan menyusuri lereng Gunung Slamet. Tetapi sebelum hingga di Tegal, Sang Raja jatuh sakit lagi dan kali ini tidak tertolong. Amangkurat I mangkat di desa Tegal Arum. Putra Mahkota Adipati Anom ditetapkan selaku penggantinya dan naik tahta Kerajaan Mataram dengan gelar Amangkurat II ( 1677- 1704 M)

Legenda 
Kecamatan Patikraja zaman dahulu yakni lokasi penyeberangan perjalanan menuju Pantai Selatan. Hingga di daerah ini diutus seorang tukang seberang berjulukan Joko Rekso. Lokasi penyeberangan waktu itu bila di lihat masa sekarang berada di grumbul "Tambangan". Di lokasi ini juga terdapat Air Pethuk Telu atau sanggup disebut juga air konferensi tiga anutan sungai, yakni Kali Serayu, Kali Logawa dan Kali Rajut. Konon air pethuk telu diyakini selaku air keramat guna laris mandi penyucian jiwa. Hingga banyak kelompok dari banyak sekali kerajaan banyak berdatangan untuk menjalankan mandi penyucian jiwa. Dilain pihak lokasi air pethuk telu juga sering digunakan selaku tempat pelarungan (penghanyutan) bubuk jenazah. Lokasi ini kondang di segala penjuru wilayah.

Hingga pada suatu di saat datanglah peristiwa banjir yang sungguh dasyat memporak porakan nyaris seluruh wilayah pinggir sungai tergolong daerah yang kini di sebut Patikraja. Nasib Joko Rekso sang petugas penyeberangan tak diketahui, hingga dikala Tunggul Ametung mengutus penggantinya berjulukan Tunggul Rejo. Sehingga di bantaran Kali Serayu dibangun petilasan untuk mengenang Joko Rekso. Pada masa kiprah Tunggul Rejo di wilayah ini juga dibangun sanggar pembakaran mayat, yang pernah didapatkan petilasan/bekas lantai bangunanya tepatnya 100m arah selatan balai Desa sekarang.

Tahun berubah tahun, masa kiprah Tunggul Rejo di wilayah ini, hingga pada suatu dikala terjadilah hal yang sungguh menakjubkan. Saat itu seorang Raja (entah raja darimana) sudah dikramasi, sehabis dikumpulkan bubuk jenazahnya ternyata ada satu gigi sang raja yang masih utuh tak terakar. Takut terjadi kesalahan, maka diulang kembali untuk dibakar. Tapi sehabis berulang ulang ternyata tetap saja gigi sang raja utuh tak berubah jadi abu. Berita keanehan ini menyebar ke seantero jagad dan hingga ke indera pendengaran sang adipati Tunggul Ametung di Tumapel. Atas janji warga dan jadi keputusan sang Adipati maka wilayah ini dinamakan Patikraja

Geografi
Kecamatan Patikraja berada dibagian tengah Kabupaten Banyumas. Kecamatan Patikraja sebagian besar memiliki topografi wilayah berupa dataran rendah bergelombang dan perbukitan tak terstruktur dibagian utara selaku frustasi Serayu. Dibagian selatan terdapat rangkaian perbukitan antiklin Ajibarang memanjang dari barat ke timur. Ketinggian wilayah Kecamatan Patikraja antara 40-300 meter di atas permukaan air bahari (Mdpl) dengan titik tertingginya berada di Bukit Payung (312 Mdpl di perbatasan Desa Karangendep dengan Kecamatan Rawalo. Sejumlah bukit yang lain yakni Bukit Cimelang, Bukit Gelap, Bukit Kubang dan Bukit Jaro. Kecamatan Patikraja ialah wilayah konferensi sejumlah sungai yang cukup besar diantaranya Kali Serayu, Kali Logawa, Kali Rajut, dan Kali Banjaran sebelum memotong Pegunungan Serayu Selatan dan selsai ke Samudera Hindia. Kecamatan Patikraja yang beriklim tropis dengan dua viral dalam satu tahunnya yakni viral kemarau dan penghujan, dengan suhu udara pada siang hari berkisar antara 25 - 32 derajat Celcius.

Penduduk
Sebagian besar penduduk Kecamatan Patikraja berprofesi selaku pedagang, petani, buruh tani, wiraswasta dan PNS. Umumnya penduduk usia produktif pergi merantaau atau bersekolah ke kota besar menyerupai Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (Jabotabek), Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surabaya dan sejumlah kota besar di luar pulau menyerupai Sumatra, Bali, dan Kalimantan. Mayoritas penduduk Kecamatan Patikraja yakni beragama islam. Jenjang pendidikan yang diraih penduduk di wilayah ini yakni hingga Universitas meski sebagiaan besar tamatan Sekolah menengah pertama dan Sekolah menengah atas.

Potensi
Kecamatan Patikraja memiliki sejumlah potensi baik potensi rekreasi alam maupun kesenian dan budaya. Kecamatan Patikraja memiliki empat kelompok kesenian karawitan yang tersebar di sejumlah desa. Selain itu juga terdapat tempat buatan pahat wayang kulit di Desa Pegalongan serta buatan calung/ kentongan di Desa Kedungrandu. Kecamatan Patikraja juga membuatkan potensi pusat perikanan di Desa Kedungwuluh Kidul, Desa Karanganyar dan Desa Sidabowa.

Demikian sejarah desa Patikraja, mudah-mudahan berharga terimakasih atas kunjungannya.

Related : Sejarah Desa Patikraja

0 Komentar untuk "Sejarah Desa Patikraja"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close